Wahai bangsa-bangsa Timur. Waktunya membalas para perampas.
Bertahanlah dengan kesulitan. Berjiwalah gagah berani. Kalian telah lama
tidur. Musuh terus siap siaga.
Apakah kalian mau terima nasib?
Di tenda-tenda kesengsaraan. Mereka memisahkan kita di tenda-tenda
pengasingan. Mereka menggiring kita ke penjara-penjara menyengsarakan.
Rim
Banna namanya. Ia bercelana Jeans, berjaket kulit, berambut pendek, dan
bersyal ala kafiyeh almarhum Presiden Palestina Yasir Arafat. Ia maju
ke depan panggung. Menyapa ribuan hadirin. “Saya berharap nyanyianku
akan bisa membangkitkan semua bangsa yang tertindas untuk bangkit,
utamanya bangsaku, Palestina. Bangkit menuju kebebasan, kemerdekaan, dan
kemuliaan,” ujar perempuan 46 tahun itu disambut tepuk tangan meriah.
Ia lalu menyanyikan “Ya Syu'ub al-Syarq” (Wahai Bangsa-Bangsa Timur) dengan irama mars yang diikuti tepuk tangan teratur.
Akan datang suatu malam. Cahayanya sangat menyejukkan. Untuk
perjuangan kita yang abadi. Kita melangkah menuju kebebasan. Di depan
hidung para perampas. Ayo bangsa-bangsa Timur.
Rim Banna
menyanyikan lagu perjuangan itu di lapangan terbuka di Tunis, Tunisia,
pada pertengahan tahun lalu. Ribuan orang menghadirinya, laki-laki
perempuan. Dari anak-anak sampai orang tua. Ia ingin mengingatkan kepada
bangsa-banga di seluruh dunia tentang perlawanan para pejuang Palestina
melawan penjajahan Zionis Israel.
Selain Tunisia, ia juga
diundang konser ke Beirut, Damaskus, Gaza, Tepi Barat, Kairo, Milan
(Italia), Paris, Oslo (Norwegia), Madrid, London, Moskow, dan kota-kota
besar lainnya. Ia pun tampil di banyak acara radio dan televisi. Rim
Banna bukan sekadar bernyanyi (komersial), tapi juga berkisah tentang
sukacita, cinta, dan penderitaan bangsa Palestina.
“Inilah
kisahku. Kisah bangsa Palestina. Kisah cinta seorang istri yang suaminya
dipenjara. Kisah orang tua yang ditinggal mati anak-anaknya. Kisah
anak-anak Palestina yang dipisahkan dari saudara-saudara dan
keluarganya...” senandung Rim Banna dalam tembang “Ahki Lil'alam” (Aku
Kisahkan kepada Dunia).
Sudah puluhan lagu ia ciptakan. Lagu
tersebut tentang apa saja. Bisa soal cinta, kesedihan, perjuangan, dan
sukacita. Hatinya tersayat manakala melihat anak perempuan delapan tahun
ditembak mati militer Israel di depan matanya.
Ketika Sarah.
Ketika ia melangkahkan kakinya di bumi Palestina. Ketika ketawanya
memenuhi langit Palestina. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh tembakan sniper.
Di kepala kecil Sarah. Sarah oh Sarah. Andaikan aku bisa membuka matamu
untuk melihat pembunuhmu. Sarah oh Sarah. Kenapa kamu dan bukan nama
lain.
Rim Banna juga menangis ketika menyaksikan Faris Auda,
anak laki-laki 12 tahun, mati syahid lantaran ingin melindungi
sekelompok perempuan yang akan ditembak tentara Israel. “Harumnya roti
dan susu menjadi saksi dan akan membawamu ke pelukan ibumu,” terdengar
suara Banna sangat pedih dalam lagu “Faris Auda”.
Selanjutnya,
dengarkanlah jeritan hati Rim Banna ketika menyaksikan Madinatul Quds
(Yerusalem) dihancurkan oleh Zionis Israel dalam tembangnya “Surkhoh minal Quds” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “A Time to Cry”.
Al-Quds.
Mereka hancurkan di depan mata dunia. Rumah-rumah (Palestina) mereka
rusak dan mereka bakar di siang bolong. Penghuninya mereka usir dengan
tembakan senjata. Yang tersisa kini tinggal puing bebatuan.
Al-Quds.
Rumah-rumah dan jalan-jalan. Mereka rusak dan mereka ambil mimpi setiap
penghuninya. Mereka datangkan penghuni baru yang sangat asing. Mereka
ubah wajah setiap sudut kota. Yang tinggal di penduduk kota (Palestina)
kini hanya cerita dan kenangan. Tempat-tempat suci mereka hancurkan di
depan dunia yang hanya diam menyaksikan.
Rim Banna lahir
pada 8 Desember 1966 di An-Nasirah (Nazareth). Ia juga dibesarkan dan
menetap di kota kuno tempat kelahiran Nabi Isa AS itu. Kini An-Nasirah
merupakan kota Arab terbesar di Madinatul Quds yang diduduki Israel.
Sejak usia 10 tahun ia sudah menyukai musik. Ia kemudian memperdalam
bakatnya di Higher Music Conservatory di Moskow.
Rim Banna mulai
dikenal ketika ia menggubah dan merekam tembang tradisional rakyat
Palestina yang hampir punah ke dalam kemasan musik modern. Ia kemudian
juga menulis lirik lagunya sendiri yang terinspirasi oleh perlawanan dan
penderitaan orang-orang Palestina. Pun, mengenai harapan dan
mimpi-mimpi mereka.
Dalam albumnya “Maraya Ar-Ruh”
(Cermin Jiwaku), misalnya, ia bercerita tentang pengalaman hidupnya,
tentang cobaan dan kesengsaraan orang-orang di sekitarnya. Tentang
cerita pengantar tidur anak-anak yang ditinggal mati orang tua dan
saudara-saudaranya. Mengenai pemuda yang syahid ditembak mati tentara
Israel. Tentang cinta yang agung pemuda-pemudi pejuang Palestina.
Rim
Banna mulai dikenal di Eropa ketika ia bekerja sama dengan pemusik
Norwegia, Kari Bremenes. Yang terakhir ini memberi sentuhan musik pop
Barat dalam melodi dan lirik Arab Banna. Sejak itu, lagu-lagu Banna
mulai bisa diterima masyarakat Barat. Bersama dengan Bremenes, Banna
kemudian melakukan banyak tur di negara-negara Eropa. Apalagi, ia juga
bekerja sama dengan sejumlah pemusik Eropa lain. Selain itu,
album-albumnya juga banyak diproduksi di Eropa.
Bagi Banna musik
hanyalah alat penyampai. Dengan musik ia berkisah mengenai nasib bangsa
Palestina ke dunia. Menurut Hamid Dabashi, profesor studi Iran dan
komparatif literatur di Colombia University, AS, kepedulian masyarakat
dunia terhadap persoalan bangsa Palestina tak bisa dilepaskan dari peran
besar Rim Banna.
Bahkan, Dabashi juga menyejajarkan Rim Banna
dengan penyanyi legendaris Ummi Kultsum di Mesir, Edith Piaf di Prancis,
Joan Baez di AS, dan Marcedes Sosa di Argentina. Tembang-tembang mereka
sungguh menginspirasi bangsanya. Ya, perjuangan memang tidak selamanya
dengan senjata. Tembang Rim Banna telah menjadi jiwa perjuangan
bangsanya
Tembang Jiwa Pejuang Palestina
Minggu, 10 Maret 20130 komentar
Label:foto
RESONANSI,
SAJAK PUISI SYAIR PANTUN GURINDAM