Pesona Jiwa Raga
Pada
mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menantikan
pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang
magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.
Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.
Tapi selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.
Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa dan raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan”: kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pecinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah jangka panjang sesungguhnya adalah kebijakan jiwa mereka bersama.
Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.
Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.
Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau” bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.
Anis Matta
Cinta Bersemi di Pelaminan
Lupakan!
Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta
jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung
dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa.
Misalnya yang dialami Nasr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.
Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Shalih dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkan di malam hari. Umar pun mencari Nasr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.
Disini ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nasr justru cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nasr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh seorang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: aku cinta padamu! Nasr tentu saja malu kerena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nasr. Betapa gembiranya Nasr ketika perempuan itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nasr meninggal setelah itu.
Itu derita panjang dari sebuah cinta yang tumbuh dilahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan menjadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit.
Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin. Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nasr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh.
Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.
Anis Matta.
Temu Jiwa Sentuh Fisik
Shalatnya
panjang dan khusuk. Keluh dan resah mengalir dalam doa-doa. Hasrat dan
rindu merangkak bersama malam yang kian kelam. Usai shalat perempuan itu
akhirnya rebah di pembaringan. Cemasnya belum lunas. Lama sudah
suaminya pergi. Untuk jihad, memang. Tapi cinta tetaplah cinta. Walaupun
jihad, perpisahan selalu membakar jiwa dengan rindu. Maka ia pun rebah
dengan doa-doa; “Ya Allah, yang memperjalankan unta-unta, menurunkan
kitab-kitab, memberi para pemohon, aku memohon pada-Mu agar Engkau
mengembalikan suamiku yang telah pergi lama, agar dengan itu Engkau
lepaskan resahku. Engkau gembirakan mataku. Ya Allah, tetapkanlah
hukum-Mu di antara aku dan khalifah Abdul Malik bin Marwan yang telah
memisahkan kami”.
Untungnya malam itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan memang sedang menyamar di tengah pemukiman warga. Tujuannya, ya, itu tadi; mencari tahu opini warga soal pengiriman mujahidin ke medan jihad, khususnya istri-istri mereka. Dan suara perempuanlah itulah yang ia dengar.
Ini tabiat yang membedakan cinta jiwa dari cinta misi; pertemuan jiwa dalam cinta jiwa hanya akan menjadi semacam penyakit jika tidak berujung dengan sentuhan fisik. Disini rumus bahwa cinta tidak harus memiliki tidak berlaku.
Cinta jiwa bukan sekedar kecenderungan spritiual seperti yang ada dalam cinta misi. Cinta jiwa mengandung kadar sahwat yang besar. Dari situ akar tuntutan sentuhan fisik berasal. Mereka menyebutnya passionate love. Tanpa membawa semua penyakit. Sebagaimana hanya akan berujung kegilaan. Seperti yang dialami Qais dan Laila.
Ini mengapa kita diperintahkan mengasihi para pecinta; supaya mereka terhindar dari cinta yang seharusnya menjadi energi, lantas berubah jadi sumber penyakit. Maka sentuhan fisik dalam semua bentuknya adalah obat paling mujarab bagi rindu yang tak pernah selesai. Ini juga penjelasan mengapa hubungan badan antara suami istri merupakan ibadah besar, tradisi kenabian dan kegemaran orang shalih. Sebab, kata Ibnu Qayyim dan Imam Ghazali, ia mewariskan kesehatan dan jiwa raga, mencerahkan pikiran, meremajakan perasaan, menghilangkan pikiran dan perasaan buruk, membuat kita lebih awet muda dan memperkuat hubungan cinta kasih. Makna sakinah dan mawaddah adalah ketenangan jiwa yang tercipta setelah gelora hasrat terpenuhi,
Makna itu dapat dipahami Abdul Malik bin Marwan. Maka ia pun bertanya, “Berapa lama wanita bisa bertahan sabar?” “Enam bulan” jawab mereka. Kisah itu sebenarnya mengikuti pada temuan yang sama dimasa Umar bin Khattab. Dan di kedua kisah itu, kedua perempuan itu sama-sama melantunkan syair rindu dan hasrat, dan Abdul Malik bin Marwan mendengar bait ini;
air mata mengalir bersama larut malam
sedih mengiris hati dan merampas tidur
bergulat aku lawan malam
terawangi bintang hasrat rindu mendera-dera
melukai jiwa
Memang hanya puisi tempat jiwanya berlari. Melepas hasrat yang tak mau dilepas. Sebab rindu tetap saja rindu. Puisi tak akan pernah sanggup menyelesaikannya. Sebab memang begitulah hukumnya; hanya sentuhan fisik yang bisa mengobati hasrat jiwa.
Anis Matta
Kasihanilah Para Pecinta
Sepasang
aktivis itu datang menemui saya dengan mata berbinar. Binar cinta yang
bersemi di mushalla kampus dan dibangku kuliah dan di arak-arakan
jalanan demonstrasi untuk reformasi. Ditengah badai politik itu cinta
mereka bersemi.
Tapi cinta gadis keturunan Arab dengan pemuda Jawa itu kandas. Kasih mereka tak sampai ke pelaminan. Restu orang tua sang gadis tak berkenan meneruskan riwayat asmara putih mereka. Tragis. Tragis sekali. Karena dihati siapapun cinta yang tulus seperti itu singgah, kita seharusnya mengasihi pemilik hati itu. Sebab itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur begitu adalah gejolak kemanusiaan yang direstui disisi Allah. Sebab karena direstui itulah Rasulullah saw lantas bersabda, “Tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan.”
Islam memang begitu. Sebab ia agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu ramah dan apresiatif terhadap semua gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan yang paling luhur, mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam tata nilai Islam.
Itu karena Islam memahami betapa dahsyatnya goncangan jiwa yang dirasakan orang-orang yang sedang jatuh cinta. Tak ada tidur. Tak ada aral. Tak ada lelah. Tak ada takut. Tak ada jarak. Yang ada hanya hasrat, hanya tekad, hanya rindu, hanya puisi, hanya keindahan. Puisi adalah busur yang mengirimkan panah-panah asmara kejantung hati sang kekasih. Rembulan adalah utusan hati yang membawa pesan kerinduan yang tak pernah lelah melawan waktu.
Dua jiwa yang sudah terpaut cinta akan tampak menyatu bagaikan api dengan panasnya, salju dengan dinginnya, laut dengan pantainya, rembulan dengan cahaya. Mungkin berlebihan atau mungkin memang begitu, tapi siapapun yang melantunkan bait ini agaknya ia memang mewakili perasaan banyak arjuna yang sedang jatuh cinta: separoh nafasku terbang/bersama dirimu.
Bisakah kita membayangkan betapa sakitnya sepasang jiwa yang dipautkan cinta lantas dipisah tradisi atau apa saja? Tragedi Zaenudin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Vanderwijck, atau Qais dan Laila dalam Majnun Laila, terlalu miris. Sakit. Terlalu sakit. Karena didalam jiwa seharusnya itu mustahil. Tragedi cinta selamanya merupakan tragedi kemanusiaan. Sebab itu memisahkan pasangan suami istri yang saling mencintai adalah misi terbesar syetan. Sebab itu menjodohkan sepasang kekasih yang saling mencintai adalah tradisi kenabian.
Suatu saat, Khalifah Al Mahdi singgah beristirahat dalam perjalanan haji ke Makkah. Tiba-tiba seorang pemuda berteriak, “Aku sedang jatuh cinta”. Maka Al Mahdi pun memanggilnya, “Apa masalahmu?” “Aku mecintai puteri pamanku dan ingin menikahinya. Tapi ia menolak karena ibuku bukan Arab. Sebab itu aib dalam tradisi kami”.
Al Mahdi pun memanggil pamannya dan berkata padanya, “Kamu lihat putera-puteri Bani Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga banyak yang bukan Arab. Lantas apa salah mereka? Sekarang nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu dan terimalah 20 ribu dirham ini: 10 ribu untuk aib dan 10 ribu untuk mahar.”
Anis Matta
Kata Terurai Jadi Laku
Kulitnya
hitam. Wajahnya jelek. Usianya tua. Waktu pertama kali masuk ke rumah
wanita itu, hampir saja ia percaya kalau ia berada di rumah hantu.
Lelaki kaya dan tampan ia sejenak ragu kembali. Sanggupkah ia menjalani
keputusannya? Tapi ia segera kembali pada tekadnya. Ia sudah memutuskan
untuk menikahi dan mencintai perempuan itu. Apa pun resikonya.
Suatu saat perempuan itu berkata, “ini emas-emasku yang sudah lama kutabung, pakailah untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah dan menjadi seorang istri.” Tetapi lelaki itu malah menjawab, “Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.”
Semua orang terheran-heran. Keluarga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka kemudian dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian orang-orang menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki itu menjawab enteng, “Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tak pernah merasakan kulit hitam dan wajah jeleknya dalam kesadaranku. Yang ku rasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik.”
Begitulah cinta yang terurai jadi laku. Ukuran interigasi cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati... terkembang dalam kata... terurai dalam laku... kalau hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Kalau hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai kepalsuan dan tidak nyata... Kalau cinta sudah terurai jadi laku, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam laku. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.
Semakin dalam kita merenungi makna cinta, semakin kita temukan fakta besar ini, bahwa cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat, bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.
Rahasia dari sebuah hubungan yang sukses bertahan dalam waktu lama adalah pembuktian cinta terus menerus. Yang dilakukan para pecinta sejati disini adalah memberi tanpa henti. Hubungan bertahan lama bukan karena perasaan cinta yang bersemi dalam hati, tapi karena kebaikan tanpa henti yang dilahirkan oleh perasaan cinta itu. Seperti lelaki itu, yang terus membahagiakan istrinya, begitu ia memutuskan untuk mencintainya. Dan istrinya, yang terus menerus melahirkan kebajikan dari cinta tanpa henti. Cinta yang tidak terurai jadi laku adalah jawaban atas angka-angka perceraian yang semakin menganga lebar dalam masyarakat kita.
Tidak mudah memang menemukan cinta yang ini, tapi harus begitulah cinta, seperti kata Imam Syafii,
Kalau sudah ada cinta disisimu
Semua kan jadi enteng
Dan semua yang ada diatas tanah
Hanyalah tanah jua
Anis Matta
Bias Penghambaan
Diantara
kejujuran rasa dan kebenaran kata bias ada yang perlu kita renungi. Ini
semacam bibir tipis yang membedakan dua jenis cinta: cinta misi dan
cinta jiwa. Sebegitu tipisnya sampai hanya sedikit orang yang bisa
melihatnya.
Bias itu ada disini: bahwa karena cinta adalah sumber energi maka ia selalu berujung tindakan, dan setiap tindakan selalu punya motif. Bias itu adalah motif: antara motif memberi dan motif mengabdi. Secara keseluruhan ubudiyah harus menjadi motif pada cinta misi dan cinta jiwa. Sementara memberi adalah penampakannya. Tapi penampakan dalam bentuk memberi lebih merata dalam varian-varian cinta jiwa ketimbah cinta misi. Pada sebagian varian cinta misi penampakannya bahkan juga berbentuk penghambatan.
Sempai disini biasnya mungkin belum terlalu jelas. Sebab bias terjadi ketika muncul penyimpangan dimana motif ubudiyah kepada Allah berubah menjadi ubudiyah kepada objek-objek cinta jiwa dan sebagian objek cinta misi. Yang terakhir ini misalnya terlihat pada lagu-lagu cinta tanah air. Misalnya, lagu Padamu Negeri.
Contoh itu pada cinta jiwa lebih banyak lagi. Misalnya pada lagu-lagu pemujaan pada sang kekasih. Atau pada ratapan atas kematian atau kepergian sang kekasih. “Tiada guna aku hidup begini, tanpa dirimu kekasih yang aku sayangi,” kata Tommy J Pisa dulu.
Bias begini biasanya terjadi dipuncak gelora cinta yang mulai tidak terkendali. Semacam orgasme emosional yang meledak seketika dimana realitas untuk sesaat lenyap. Tapi begitu kita sadar dan kembali menatap realitas, seketika kita sadar kalau kita baru saja mabuk.
Ada cinta yang bisa membunuh, kata pepatah arab. Tapi disini ada cinta yang bikin kita jadi syirik. Ini tidak selalu karena kita kehilangan kendali akal sehat. Tapi terutama karena kita kehilangan kendali prinsip dan nilai.
Di saat itu hanya ada kenikmatan imajiner. Tidak ada pemaknaan spritual. Selalu ada pemisahan yang miris antara imaji dan realita; setiap satu teguk air disini hanya menimbulkan satu dahaga baru. Inilah sejatinya derita para pecinta yang menelan bias ini. Tegukan khamar pertama adalah kenikmatan. Tapi tegukan kedua dan ketiga adalah obat, kata penyair Arab. Tidak ada lagi kenikmatan. Yang ada hanya obat. Ya, hanya obat. Karena tegukan-tegukan itu telah berubah menjadi ketergantungan. Lalu penghambaan.
Maka menarilah mereka diatas luka. Bukan karena tariannya indah. Tapi itu jeritan dari luka yang membuat mereka melompat dan menari. Lalu melompat dan menari lagi. Menyanyikan lagu tentang jiwa yang lelah dan harus mengakhiri riwayat cintanya dengan kesia-siaan. Miris. Menyakitkan. Dan selalu begitu; mulanya hanya bias kecil, tetapi diujung sana ada luka besar yang sudah menganga lebar dalam kehidupan para pecinta.
Miris. Semiris ratapann Ebiet G Ade; “Adakah angin gunung mendengar keluhanku.”.
Anis Matta
Biar Dramatisasi Jadi Manis
Puisi
yang terlalu seadanya memang tidak memberi rasa apa-apa. Puisi perlu
greget. Perlu hentakan. Perlu dramatisasi. Begitu juga ungkapan cinta.
Cinta hanya bekerja kalau ia membara. Dan beranya meletup-letup lewat
kata.
Qur'an tidak mengingkari itu. Virus penyair yang disebut Qur'an sebenarnya terletak pada kadar kebohongan yang sering menyertai dramatisasi itu. Begitu juga ungkapan rasa cinta yang terlalu berlebihan sering mengandung kebohongan. Bisa karena tidak berakar dihati. Bisa juga kerena memang tidak mengandung kebenaran. Mungkin juga berakar dihati, tapi tidak mengandung kebenaran. Atau mengandung kebenaran, tapi tidak berakar dihati. Yang benar tapi tidak ada dihati adalah kebohongan. Yang tidak benar tapi ada dihati adalah kesalahan. Yang terakhir ini misalnya lagu berikut:
semua yang ada padamu
oh membuat diriku tidak berdaya
hanyalah untukmu
hanyalah bagimu
seluruh hidup dan cintaku
ungkapan itu mungkin memang berakar dihati. Tapi mengandung makna pengabdian dan penyerahan diri yang total kepada sang kekasih. Dan itu tidak boleh terjadi dalam cinta jiwa atau cinta sesama manusia. Itu hanya untuk Allah SWT.
Di sinilah letak tantangan bagi para pecinta; bagaimana menemukan ungkapan yang benar dan tepat bagi bara cinta yang meletup-letup dalam jiwa? Yang pertama tentu saja memastikan persoalan dasarnya; apakah memang ada bara dalam jiwa? Ini jelas sangat mendasar untuk memastikan bahwa “tidak ada dusta diantara kita”.
Yang kedua adalah menemukan kata yang benar dan tepat. Benar pada maknanya, tapi tepat melukiskan suasana jiwa. Ini membutuhkan penghayatan jiwa yang dalam, keakraban dengan diri sendiri yang kental, cita rasa keindahan dan kekayaan bahasa.
Melukis bara cinta dalam jiwa memang membutuhkan kata yang kuat agar baranya nyata dalam pandangan sang kekasih. Tapi kita harus menakar dengann objektif, seberapa panas bara yang hendak kita lukis. Ini untuk memastikan bahwa kata tidak melampaui panasnya bara, atau kata tidak melukis semua panas bara secara utuh.
Akhirnya memang, kejujuran dan kebenaran adalah kata kunci di balik semua dramatisasi cinta yang manis. Hanya itu. Jika tidak, pasti akan ada kesalahan dalam bahasa cinta kita. Tidak mudah memang, tapi begitulah cinta; selalu punya syaratnya sendiri.
Anis Matta
Penyair Dan Lembah Itu
Pasangan
yang sedang berasyik masuk itu sejak awal menyita perhatian hampir
semua penumpang. Mengelilingi selat Bosphorus yang membelah sayap Asia
dan Eropa, kota Istambul menjelang senja, memang sebuah sensasi romansa.
Mereka terus berpelukan. Dan berciuman. Yang ada hanya kata indah.
Senyum. Dan ribuah kebahagian. Dunia jadi milik mereka berdua. Dan semua
penumpang, termasuk rombongan, adalah penonton setia yang semakin
mendorong ekshibisi mereka. Ibarat cawan-cawan anggur yang terus
memabukkan orang-orang kasmaran.
Tapi kita semua tiba-tiba terhentak. Begitu wisata bahari sore itu selesai, pasangan itu turun dari boat sambil bertengkar hebat. Tidak ada yang mengerti di antara kami; apa asal usul kemesraannya, atau apa pula sebab musabab pertengkarannya.
Tapi yang ada hanya sebuah kaedah sederhana yang bisa disimpulkan: tidak semua kata cinta lahir dari cinta, sebab tidak semua yang terkata selalu datang dari jiwa. Boleh jadi atau sekedar lintasan pikiran yang tak berakar dalam hati. Atau respon sesaat terhadap suasana yang mengharu biru. Kata yang tak berakar di hati selalu mengandung virus: berlebihan, basa basi, tidak realistis, tidak punya daya gugah, atau punya daya gugah tapi mengandung kebohongan.
Ini dia penyakit penyair yang disebut Qur'an; “Dan para penyair itu, diikuti orang-orang pendusta... tidakkah kamu melihat bagaimana mereka mengembara tanpa arah di setiap lembah... dan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.” (QS. Al-Syuaro: 224-226).
Yahimun: mengembara tanpa arah. Itu ungkapan ajaib dan sangat akurat. Lalu diperkuat dengan pernyataan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan. Itu membuatnya lebih dalam lagi. Karena akhirnya, ini adalah cerita tentang watak yang terbelah, antara kata dan laku, tentang kata tanpa makna dan arah, kata yang hanya sekedar kata.
Penyair dan lembah itu, metafora tentang ketidakjujuran, tentang jiwa yang sakit, tentang karakter yang lemah. Cinta memang harus berkembang jadi kata. Sebab itu membuatnya nyata. Dan meyakinkan. Tapi kata itu harus benar-benar merupakan anak-anak manis yang lahir dari rahim cinta. Hanya itu yang membuatnya kuat dan berkarakter. Hanya itu yang membuat kata menyatu dengan laku. Serta bebas dari keterbelahan jiwa. Jika tidak cinta akan terkena virus yang menimpa para penyair.
Seringkali kata-katanya terlalu sederhana. Tapi kadar jiwa dan makna yang dikandungnya mungkin lebih dahsyat dari puisi-puisi yang pernah memenangkan nobel. Seperti ketika Rasulullah SAW menyanjung Khadijah: “Adakah perempuan yang bisa menggantikan Khadijah?” Ketika akhiranya rasa penasaran mendorong Aisyah menanyakan itu, Rasulullah SAW menjawab: “Dia beriman ketika semua orang kafir, dia mengorbankan harta ketika ketika semua orang menahannya, ia memberiku anak-anak.”
Pengakuan jujur yang abadi. Cinta yang terkembang jadi kata tapi tak sempat disampaikan kepada sang kekasih. Sederhana. Apa adanya. Tapi dalam. Karena ia memang lahir dari rahim cinta sejati.
Anis Matta
Cinta Terkembang Jadi Kata
Selalu
begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan
lain, cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta
terkembang dalam jiwa tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan yang tak
terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup menyatakan
semuanya.
Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata yang sanggup menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai dilaut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata. Indah.
Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta, ada puisi cinta, ada lagu, semuanya adalah kata. Walaupun tidak semua kata mampu mewakili gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus diberi kanal; biar dia mengalir sampai jauh. Cinta membuat makna-makna itu jadi jauh lebih nyata dalam rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu. Cinta bahkan menyadarkan kita pada wujud-wujud lain dari kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai, gelombang, purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga, burung-burung... tiba-tiba semua wujud itu punya arti... tiba-tiba semua wujud itu masuk kedalam kesadaran kita... tiba-tiba semua wujud itu menjadi bagian dalam hidup kita... tiba-tiba semua wujud itu menjadi kata yang setia menjelaskan perasaan-perasaan kita... tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi metafora-metafora yang memvisualkan makna-makna cinta. Itu sebabnya para pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair... atau setidaknya menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai puisi, atau mau belajar melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan benar-benar menjadi sastrawan atau penyair yang berbakat... tapi semata-mata ia tidak kuat menahan gelombang makna-makna cinta.
Cinta membuat jiwa kita jadi halus dan lembut... maka semua yang lahir dari kehalusan dan kelembutan itu adalah juga makna-makna yang halus dan lembut... hanya katalah yang dapat menguranginya, menjamahnya perlahan-lahan sampai ia tampak terang dalam imaji kita. Puisi “Aku ingin” nya Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata mengurangi dan menjamah makna-makna itu... apakah Sapardi sedang jatuh cinta atau sedang ingin memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Anis Matta
Akhir Sejarah Cinta Kita
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum
suatu saat alam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
rindu mengelus rindu
suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya
suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.
Anis Matta
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum
suatu saat alam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
rindu mengelus rindu
suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya
suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.
Anis Matta
Indahnya Jiwa Cinta
Tidak
ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat ketika
ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah
pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintalah yang seketika mengubah
persepsi kita tentang dunia disekeliling kita. Tidak selalu karena
wanita yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya. Tapi cinta
kita padanya yang membuatnya cantik dimata kita.
Saat jatuh cinta adalah saat dimana persepsi kita mengalami shifting pada semua realitas yang ada disekeliling kita. Kadang kita mungkin mengelabuhi diri kita sendiri. Tapi itu puncak subjektivitas yang justru mengubah kita menjadi lebih positif dalam cara kita memandang segala sesuatunya. Dan disitulah letak keindahannya. Seperti indahnya subjektivitas pada dunia anak-anak. Bagi mereka realitas sesungguhnya adalah realitas yang mereka persepsikan. Bukan realitas yang ada diluar sana seperti yang dilihat oleh orang dewasa. Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah. Tongkat bisa dipersepsi sebagai senjata. Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka. Karena itu dunia anak selalu indah, selalu penuh kenangan. Begitu juga saat kita jatuh cinta. Shifting pada persepsi kita membuat dunia serasa jadi realitas lain yang begitu indah. Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita. Karena perasaan kita seketika berbunga-bunga. Karena, seperti kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika menjadi ringan dan lembut, badan kita seketika jadi wangi , senyum kita seketika mengembang lebar, benci dan dendam dan angkara murka seketika lenyap dari ruang hati kita, dan tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak bisa bernyanyi jadi penyanyi.
Suatu saat seorang raja bingung menyaksikan putra mahkotanya begitu pemalas, apatis, tidak bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa berpidato. Ia gundah, karena putra mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja. Maka sang raja memerintahkan seorang dayang cantik istana untuk menggoda sang putra mahkota. Bilang padanya, pesan sang raja ada pada dayang cantik, aku sangat mencintaimu dan aku bersedia jadi permaisurinya. Nanti kalau hatinya sudah berbungan-bunga, bilang lagi padanya lanjut sang raja tapi ada syaratnya, kamu harus lebih bersemangat, lebih rajin dan mau menyiapkan diri menjadi raja, dan aku percaya kamu bisa. Firasat sang raja ternyata benar. Putra mahkotanya seketika bangkit berubah: ia mengubah penampilannya menjadi keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga tampil berpidato, ia juga menulis. Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan semangat hidupnya, dan meledakkan semua potensinya.
Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat kita jatuh cinta. Itu keindahan yang mempertemukan kita dengan sisi dalam kemanusiaan kita; subjektif, melankolik, kekanakan, tapi positif. Dan indah.
Anis Matta
Karena Jiwa Punya Hajat
Keagungan.
Keluruhan. Ketinggian. Hanya itu yang ada pada misi cinta. Romantika
juga ada. Tapi tetap dalam bingkai itu. Kita sebut romantika perjuangan.
Seperti ketika kita memandang indahnya pelangi yang menggores langit.
Mengagumkan. Mempesona. Tapi ada jarak. Itu keindahan yang dilukis oleh
nilai: kekuatan yang memvisualisasi sisi malaikat dari dalam diri kita
diatas kanvas kenyataan, lalu melegenda dalam riwayat sejarah.
Tapi manusia tercipta dari tanah. Dan tanah punya tabiatnya sendiri. Juga punya rasa, punya mau, punya hajatnya sendiri. Juga punya permintaannya sendiri dari asal usul ini, kehidupan manusia tersublimasi menjadi riwayat yang rumit dan kompleks. Begitu juga cinta yang lahir dari sini. Kalau dalam cinta misi perasaan bergerak mengikiti pikiran dan nilai, dalam cinta perasaan dan jiwa bergerak memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan kegenapan. Kebutuhan akan kesatuan.
Sendiri. Sepi. Itu musuh jiwa manusia. Sebab alam ini termasuk kita tercipta berpasangan. Begitu juga: kita semua punya pasangan hidup dalam perkawinan dan pasangan sosial dalam bermasyarakat. Perjalanan menemukan pasangan jiwa adalah kebutuhan eksistensial. Sampai kita menembus ruang dan waktu yang panjang: sebab keterpisahan ini, kata Rumi, hanya tipu daya waktu.
Sebab ia lahir dari kebutuhan akan kegenapan dan kesatuan, maka cinta jiwa masyarakatnya adalah penerimaan. Tidak ada pertemuan tanpa penerimaan. Syarat ini tidak selalu ada dalam cinta misi. Tapi syarat ini pula yang membuat cinta jiwa jadi rumit. Sebab asa penerimaan jiwa disini juga beragam. Ada faktor keseimbangan. Seperti dua sungai besar yang bertemu dalam samudra yang sama lalu menciptakan gelombang cinta yang dahsyat. Itu cinta yang lahir dari kesamaan.
Atau lidah api yang menyala-nyala namun dipadamkan oleh air yang sejuk. Cinta yang ini lahir dari kebutuhan dan kesimbangan. Atau seperti air bening yang mengaliri lahan tanah yang subur lalu melahirkan taman kehidupan yang indah. Ini kegenapan jiwa yang melahirkan cinta.
Kerumitannya terletak pada pencarian “meeting point” dari dua jiwa. Itu ada pada kesamaan atau kegenapan atau keseimbangan antara dua karakter. Hampir tidak ada pertemuan jiwa diluar ketiga meeting point itu. Bayangkanlah bila terjadi sebaliknya. Api bertemu angin menciptakan kebakaran yang ganas. Air bertemu angin melahirkan gelombang tsunami.
Baik dalam perkawinan atau perkawanan kita menemukan kerumitan itu. Itu masalah kecocokan. Sebab harus ada dua tangan untuk bisa bertepuk. Dua jiwa hanya mungkin bertemu dan menyatu kalau hajat mereka sama. Hikmah itulah yang disampaikan Rasulullah saw, “jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang paling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.
Anis Matta
Perseteruan Dua Cinta
“Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagi kamu..”
Bisakah anda membayangkan bahwa suatu saat, istri dan anak-anak yang anda cintai, justru jadi musuh bagi anda? Mungkin. Mungkin sekali itu terjadi. Pada siapa saja. Karena cintanya pada istri dan anak-anaknya tidak “turun” dari cinta misi, dari cintanya kepada Allah. Atau sebaliknya. Jika cinta pada istri dan anak-anaknya tidak berhasil membawa mereka kedalam lingkaran cinta misi.
Itulah tragedi dua orang Nabi dan seorang perempuan shalihah. Dengan segenap cinta dan harapan jiwanya, Nabi Nuh masih terus berusaha mempertahankan istri dan anak-anaknya ketika tsunami itu datang. Tapi tidak!
Cinta misinya tidak tersambung dengan nasibnya. Begitu juga Nabi Luth. Istrinya ada dalam daftar umatnya yang dibinasakan Allah. Dan perempuan shalihah itu bernama Asia, istri seorang thaghut terbesar sepanjang sejarah, Fir'aun. Ketika cinta harus memilih, ia memilih Tuhannya. Ia memilih cinta misinya. Meskipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Itu saat yang getir. Ketika kita harus memilih dua cinta yang bertarung dalam jiwa. Dan Allah mengabadikan cerita pertarungan dua cinta itu dalam jiwa Nuh, Luth dan Asia. Agar kita mengerti bahwa permisalan itu adalah takdir kehidupan, bahwa siapa pun mungkin mengalami itu: saat-saat dimana kita harus memutuskan pilihan dari dua cinta yang tidak dapat dipertemukan.
Tidak harus selalu begitu, memang. Sebab juga ada cerita lain. Cerita tentang dua cinta yang bertemu. Seperti cinta Muhammad dan Khadijah, atau Yusuf dan Zulaikha, atau Adam dan Hawa. Cerita tentang Adam yang memakan buah khuldi yang terlarang adalah manifestasi cinta jiwa yang tidak terangkai dalam cinta misi. Tapi mereka segera bertaubat dan meluruskan arah cinta mereka. Tapi ketegaran Yusuf menghadapi godaan istri sang raja adalah pesona yang mengantarkan hidayah ke dalam jiwa Zulaikha. Adapun Muhammad dan Khadijah: itu kisah cinta yang sejak awal tumbuh dan berkembang dalam bingkai cinta misi.
Secara manusiawi perseteruan dua cinta ini lahir dari kecenderungan jiwa yang tidak terbingkai dengan nilai-nilai cinta misi. Itu cobaan hati yang paling banyak menimpa orang shalih. Ketika “bentuk” mengalahkan “makna”, ketika “rupa” mendahului “jiwa”, itu pertanda awal dari datangnya cobaan. Mereka yang memenangkan bentuk dan rupa, biasanya harus membayar harga kenikmatan duniawi dengan ongkos makna dan jiwa yang seringkali terlalu mahal. Itu sebabnya Rasulullah saw menganjurkan kita mendahulukan agama dalam memilih pasangan hidup.
Itu kalau harus memilih. Tapi masalah ini tentu selesai dengan sendirinya kalau bentuk terpadu dengan makna, rupa bertemu jiwa. Dan itu, kata Ibnu Qayyim, adalah puncak karunia dan kenikmatan dunia dan akhirat: menikahi perempuan shalihah, cerdas dan cantik sekaligus. Seperti Muhammad kepada Aisyah. Tidak mungkin memang. Tetapi tetap saja mungkin.
Anis Matta
Bersatu di Tengah Badai
Satu
persen prajurit itu gugur. Mereka berempat. Semua syahid. Tapi semua
hidup. Sebab memang semua syuhada tidak mati dimata Allah. Mereka ada
disana, disisi Allah menikmati limpahan karunia-Nya. Sebab mereka Syahid
justru karena mereka ingin memberi kesempatan kepada saudaranya untuk
hidup.
Itu cerita tentang empat sahabat Rasulullah saw yang sama-sama kehausan dalam suatu pertempuran. Tapi air yang tersedia tidak cukup untuk mereka berempat. Maka masing-masing mereka mendahulukan saudaranya. Sampai gelas itu berkeliling tanpa satu pun yang minum. Begitu ia sampai pada prajurit pertama, ternyata ia sudah syahid. Begitu juga yang kedua, ketiga dan keempat. Itu “itsar” dalam bahasa agama kita. Semua gugur jadi syuhada. Semua tegak jadi saksi cinta.
Bisa. Bisa. Kita bisa menunjukan keluhuran tertinggi semacam itu di saat yang paling sulit. Itu bukan sekedar cerita cinta yang hanya bisa diriwayatkan dalam sahabat-sahabat Rasulullah saw. Kita bisa meriwayatkannya juga dalam kehidupan kita. Seperti pada badai tsunami lalu. Kita bisa bersatu atas nama cinta: maka ketika badai meluluhlantakan Serambi Mekah, cinta mengalir kesana lebih dahsyat. Kita bahkan tidak pernah punya sejarah cinta sebagai sebuah bangsa seperti pada peristiwa tsunami itu.
Sebab ketika Allah mempersaudarakan orang-orang beriman, ia hanya ingin mangatakan bahwa komunitas sosial kita harus diikat dengan cinta yang lahir dari iman. Hanya dengan begitu kita bisa menentukan kekuatan perekat abadi, tembus masa dan ruang, dan bebas dari berbagai perubahan situasi. Disaat persatuan bangsa dipertaruhkan di tengah badai alam atau politik atau ekonomi atau sosial atau keamanan, cinta adalah satu-satunya jawaban.
Cinta yang besarlah yang memungkinkan Rasulullah saw menyatukan para penghuni jazirah Arab yang normad, badui dan buta huruf serta tumbuh dalam struktur sosial berbasis kabilah yang kompleks. Seperti ketika Rasulullah saw menyatukan suku Aus dan Khazraj yang terseparasi dalam perang selama 40 tahun, serta menjadikan mereka semua sebagai kaum Anshar, yang kelak menyatu dengan Muhajirin dari suku Quraisy. Bahkan ketika “kearifan politik” menurut beliau memberikan semua harta rampasan perang kepada kaum Quraisy yang baru saja masuk islam, yang terkesan “tidak adil” di hati kaum Anshar, Rasulullah saw hanya memberikan jawaban cintanya: “Bisakah kalian rela bahwa jatah kalian adalah Rasulullah saw?” Fathu Makkah bahkan tidak lagi menggoda beliau untuk kembali ke Makkah. Raganya ada di Madinah. Hatinya ada di dalam hati kaum Anshar. Kaum Anshar menangis. Cinta menghadirkan makna lain dalam kehidupan sosial politik kita. Dan mengangkat kita ke ketinggian ruh yang mungkin sulit dijangkau oleh kepentingan sesaat.
Masih mungkin! Masih mungkin kita menyatukan bangsa yang terdiri dari 300 suku dan bahasa. Bahkan juga bangsa-bangsa dunia Islam. Dengan cinta. Cinta misi. Dan hanya itu.
Anis Matta
Disini Cinta Punya Hirarki
“Aku
mencintaimu wahai Rasulullah melebihi cintaku pada semua yang lain,
kecuali diriku sendiri.” Begitu Umar bin Khattab berkata pada Rasulullah
saw. Ia hendak menyatakan cintanya pada Sang Rasul. Dengan caranya
sendiri. Tapi ia tidak menduga kalau jawaban Sang Rasul justru berbeda
sama sekali. Tidak! Wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai daripada
dirimu sendiri, jawab Rasulullah saw.
Itu ciri utamanya. Hirarki. Cinta misi berawal dan berujung pada satu dan hanya satu nama: Allah Subhanahu Wataala.
Tapi Allah yang awal dan akhir dari semua cinta berkata pada Nabi dan
kekasih-Nya, Muhammad saw: “Katakanlah pada mereka, jika kamu mencintai
Allah, maka ikutilah aku.” Maka cinta pada Allah harus turun pada cinta
kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. Tapi cinta pada manusia saw mengharuskan
kita mencintai semua manusia yang telah beriman kepadanya, khususnya
para anggota keluarga yang luhur dan sahabat-sahabatnya yang mulia, dan
kepada semua generasi yang datang sesudah mereka dari pada tabiin dan
pengikut para tabiin, serta siapapun yang mengikuti jalan hidup (manhaj)
mereka dari kaum salaf bersama seluruh generasi mukmin hingga hari
kiamat.
Cukup?
Belum! Masih ada lagi. Cinta pada orang beriman yang mengharuskan kita
mencintai semua 'pekerjaan' yang mendekatkan kita pada Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang beriman. Jadi cinta pada Allah harus turun pada orang
dan pekerjaan. Orang-orang itu terdiri dari Nabi dan semua orang
beriman. Pekerjaan itu terdiri dari semua amal shaleh.
Begitu
hirarkinya. Semua cinta kita yang lain hanya akan menjadi lurus kalau
ia menyesuaikan diri dengan hirarki ini. Cinta pada istri-istri dan
anak-anak dan sanak saudara dan handai taulan dan sahabat karib dan
rumah-rumah dan mobil-mobil dan harta-harta dan semua hanya akan menjadi
lurus jika ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta pada Allah
swt. Perasaan kita harus ditata dalam struktur cinta seperti itu.
Cinta
misi adalah sebuah ruang besar tanpa batas. Semua cinta yang lain harus
disusun secara proporsional dalam ruang besar itu. Tidak mudah, memang.
Tapi ini lah sumber keharmonisan jiwa manusia. Hanya ketika emosi
tertata secara apik dalam hararki cinta misi, kita menemukan pemaknaan
yang hakiki terhadap semua aliran emosi kita yang lain. Persis seperti
anak-anak sungai yang mengalir sendiri-sendiri: pada mulanya menyatu
dihulu, lalu tampak berpencar ditengah, tapi kemudian bertemu lagi
dimuara.
Dengan
cara itu Al Banna memaknai cintanya pada Allah dan dakwah. Suatu saat
anaknya terbaring sakit. Panasnya meninggi. Istrinya panik. Beliau
sendiri sedang melakukan aktivitas dakwah. Tapi sang istri memanggilnya
pulang. Ia tidak kuat sendiri menghadapinya. Ia khawatir terjadi sesuatu
pada anak mereka. Tapi sang dai menjawab enteng: “Ajalnya ada di tangan
Allah. Kedatanganku tidak akan menambah atau menguranginya.”
Kelezatan Akal Batin
Bukan
hanya kelezatan ruhani. Cinta misi juga memberikan kelezatan lain.
Kelezatam akal batin. Akal adalah kekuatan yang memberi kita kemampuan
memahami. Akal memproses semua informasi yang masuk kedalam otak kita
melalui panca indra dan penalaran. Hasil pemrosesan itulah yang kemudian
kita sebut pikiran. Tapi dalam diri manusia ada kemampuan akal yang
lebih tinggi. Yaitu kemampuan untuk memikirkan pikiran-pikiran yang
merupakan buah proses akal. Ini adalah pikiran di atas pikiran. Atau
akal kedua. Atau akal batin.
Seperti
ketika kita memandang awan dari bumi, ia akan tampak satu lapis gugus
awan. Tapi ketika kita naik pesawat, kita akan menemukan bahwa awan itu
ternyata adalah gugus berlapis. Kemampuan untuk memikirkan pikiran, baik
pikiran kita sendiri atau pikiran orang, akan memberi kita kelezatan
yang luar biasa. Bayangkanlah anda memandang sesosok tubuh dengan
pakaian lengkap. Tapi sorot mata anda mampu menembus kedalam tubuhya dan
menyaksikan semua yang ada disana. Seperti isi bagasi yang terlihat
jelas dalam X-Ray. Itu kelezatan; karena pengetahuan ini memberi kita
kesadaran yang berbeda.
Dan
kelezatan itulah yang kita rasakan dalam cinta misi. Ini sedikit
berbeda dengan kelezatan ruhani. Kelezatan ruhani bersifat vertikal dan
terkait dengan perasaan diterima di sisi Allah serta janji surga di
akhirat. Sedang kelezatan akal batin bersifat horizontal dan terkait
dengan kesadaran serta pemahaman yang mendalam tentang dunia batin anak
manusia, tentang pergolakan jiwanya dalam mewadahi pertarungan antara
sisi baik dan sisi buruknya, tentang peristiwa menang kalah dalam
pertarungan itu. Memahami itu semua ibarat menyerap air kehidupan
melalui pori-pori akal kita. Kelezatan akal batin terkait dengan
perasaan kebermaknaan... perasaan bahwa kita menyelamatkan orang lain...
perasaan bahwa sebagai peserta kehidupan di alam raya kita telah ikut
berpartisipasi menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik... perasaan
bahwa kita bermanfaat bagi orang banyak... perasaan bahwa dilaut
kehidupan yang luas ini kita telah ikut menyumbangkan beberapa tetes
air...
Kesadaran
itu menyatukan diri kita dengan orang lain di sekililing kita dan
dengan alam yang mengitari kita. Sebab cinta misi lahir untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Sebab cinta misi
tumbuh untuk membuat bumi jadi sepotong surga yang nyaman dihuni. Kita
menyatu sebagai manusia: pada asal usul, pada jalan hidup, pada tujuan
akhir. Ini kesatuan manusia yang membuat space of human entity kita terbentang begitu luas dijagat raya dan dialam batin.
Perasaan
itu mengalirkan kelezatan dalam akal batin kita. Seperti kelezatan raga
yang kita rasakan saat kita menghirup udara bersih musim semi. Atau
angin sepoi di penghujung senja. Kelezatan akal batin itulah terangkum
dalam sabda Sang Rasul: “Bahwa Allah memberi hidayah kepada seorang
manusia melalui usahamu adalah lebih baik bagimu dari seluruh dunia ini
dan isinya.”
Cinta dari Darah dan Ruh
Lelaki
itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya
yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas
penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari
bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis
setelah perintah tauhid.
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar bin Khatab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab: “tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu”.
Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati sang ibu. Ia lalu keluar diantara darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.
Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubyngan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus di pertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhiat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat disurga berkat doa-doa sang anak.
Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil dihalaman depan buku monemetalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sabai, kupersembahkan pada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya? “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak”.
Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamnya terkabul! ~ Anis Matta ~
Sumber:
FUTUH.COM
Kelezatan Ruhani
Cinta
misi hany bersemi pada nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita
menemukan kehidupan? Dari cinta Allah dan cinta kebenaran. Inilah
cintanya cinta. Denyut kehidupan nurani adalah tanda-tandanya. Cinta
misi adalah buahnya.
Cerita-cerita keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan menampakan cinta misi dari waktu ke waktu. Ia mengejahwantah pada karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan air mata syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para duat, pada kelembutan para guru. Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang membuat cinta ini jadi teramat agung. Sekaligus rumit. Karena seluruh isinya adalah karya. Adalah kerja. Adalah memberi. Tanpa pernah terpengaruh oleh penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin menguatkannya. Tapi penolakan tidak mengendurkannya.
Pertanyaan kemudian muncul disini. Dari mana mereka menemukan energi itu? Apa yang membuat mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara kadang atau bahkan sering sekali mereka tidak dipahami atau terabaikan oleh orang-orang yang justru mereka cintai? Pasti ada rahasia hati yang mereka simpan dengan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?
Kelezatan ruhani. Itu rahasianya. Yang mereka cinta sesungguhnya adalah Allah, adalah kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk apapun. Yang mereka rindukan adalah surga yang abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allah. Bukan pujian dan penerimaan manusia. Manusia hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Kelelahan-kelelahan itu melahirkan kegembiraan ruhani, kelezatan yang melahirkan energi baru untuk terus mengejawantahkan cinta. Seperti orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan mengajak kita untuk mengulangi dan mengulangi, seperti itulah Allah memberi kelezatan ruhani setiap kali cinta pada-Nya mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta yang vertikal itu mengejahwantah pada horizon kehidupan manusia. Kelezatan ruhani itulah sumber energinya. Disana makna-makna penerimaan, keberartian, keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke serat-serat jiwa dan melapangkan serta meluaskannya sampai ia tampak sebagai karpet merah nan empuk ditengah gurun luas yang tersambung dengan kaki langit.
Itulah kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid dari kecamuk perang, atau Utsman saat berinfak, atau Umar saat mengantar gandum ditengah malam pada rakyat miskin, atau Sayyid Quthub menjelang digantung. Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di cakrawala kedaran batin kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan penampakannya. Maka seorang ahli ibadah mengatakan: “Seandainya para raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam ibadah ini mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas kelezatan itu.” ~ Anis Matta ~
Sumber:
FUTUH.COM
Cinta Misi
Sang
Khalifah termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau
kelaparan yang melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang
meninggal sudah. Ditingkat teknis operasional rasanya semua upaya sudah
dilakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia lakukan?
Tidak jelas betul hubungannya. Tapi Sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya pada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih berlangsung, Umar bin Khatab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya. Tidak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin Umar telah menyatakan tanggung jawab dan kepeduliannya pada rakyatnya. Karena ia terlibat. Sangat terlibat.
Itu sebagian penampakan dari cinta misi. Ini sebuah keluhuran jiwa dan keyakinan yang kuat terhadap sebuah misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan pekerjaan yang ada disepanjang jalan menuju misi itu. Semua orang. Semua pekerjaan. Disini cinta bekerja seperti mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui.
Keluhuran misi menguasai jiwa sang pencipta dan membuat perasaan pada orang yang kita cintai jadi beda. Kita tidak sedang mencintai sebuah “bentuk” disini. Yang kita cintai adalah “gerak” yang lahir dari bentuk itu: gerak dari “manusia” sebagai sebuah “entity” di alam raya. Karena itu beda warna adalah variasi yang indah. Beda karakter juga kekayaan hidup. Semua nicaya. Karena kita memerlukan untuk melukis misi diatas kanvas kehidupan kita.
Hubungan yang terbentuk dair cinta ini adalah penyatuan pada orbit pikiran. Perasaan kita bergerak mengitari orbit itu. Perasaan adalah fungsi pikiran. Ia lahir, bergerak dan meliuk seperti seorang penari mengikuti alur lagu. Orang yang kita cintai tidak harus memiliki perasaan yang sama. Para pecinta hanya berpikir bagaimana mencintai. Mereka tida terganggu jika kemudian mereka tidak dicintai. Sebab mereka tidak mencintai “orangnya”. Mereka mencintai “entity”-nya. Sebab entity itu merupakan fungsi pencapaian misi.
Cinta inilah yang ada dan harus ada misalnya dikalangan para duat, ulama, mujahidin, guru, pekerja sosial, pemimpin politik, seniman, wartawan dan lainnya. Karena cinta itu tertuju pada gerak, bukan bentuk, maka semua pekerjaan yang terkait sengan pencapaian misi, juga jadi niscaya.
Misalnya Kahalid bin Walid. Ia mencintai “jihad”. Ia bukannya menikmati “saat-sat membunuh orang”. Ia mencintai “pekerjaannya”. Karena itu niscaya untuk mencapai misi dakwah. Maka ia menikmati kesulitan-kesulitan di jalan itu. Lebih dari apapun juga. “Berada pada suatu malam yang dingin membeku, dalam sebuah pertempuran, lebih aku sukai daripada tidur barsama seorang gadis, dimalam pengantin,” katanya. ~ Anis Matta ~
Sumber:
FUTUH.COM
Pelajaran Cinta
Memang
tidak mudah. Sebab tidak karena kamu mencintai, lalu hendak memberi,
atau kamu menebar pesona kematanganmu melalui itu, maka cintamu
berbalas. Fakta itu mungkin pahit. Tapi begitulah adanya: kadang-kadang
kamu harus belajar menepuk angin, bukan tangan lain yang melahirkan
suara cinta.
Sebabnya sederhana saja. Cinta itu banyak macamnya. Ada cinta misi: cinta yang memang kita rencanakan sejak awal. Cinta ini lahir dari misi yang suci, didorong oleh emosi kebijakan dan didukung dengan kemampuan memberi. Misalnya cinta para Nabi kepada umatnya, atau guru kepada muridnya, atau pemimpin pada rakyatnya, atau ibu kepada anaknya. Jiwamu dan jiwa orang yang kamu cintai tidak mesti bersatu. Cinta ini sering tidak berbalas. Bahkan sering berkembang jadi permusuhan. Lihatlah bagaimana nabi-nabi itu dimusuhi umatnya, atau pemimpin yang baik dibunuh rakyatnya, atau guru yang dilupakan murid-muridnya.
Inilah cinta yang paling luhur. Paling suci. Sebagian besar kebaikan yang kita saksikan dalam kehiupan kita, bahkan dalam sejarah umat manusia, sebenarnya merupakan buah dari cinta yang lain. Ambilah contoh: 1,3 milyar umat islam saat ini adalah hasil perjuangan berdarah-darah sang Nabi berserta para sahabat-sahabatnya. Itu cinta misi.
Tapi ada jenis cinta yang lain. Cinta jiwa. Cinta ini lahir dari kesamaan atau kegenapan watak jiwa. Jiwa yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan saling mencintai. Cinta ini yang lazim ada dalam hubungan persahabatan dan perkawinan atau keluarga. Cinta ini mengharuskan adanya respon yang sama: cinta tidak boleh bertepuk sebelah tangan disini.
Inilah cinta yang paling rumit. Serumit kimia jiwa manusia. Suatu saat, misalnya, Umar bin Khatab hendak melamar Ummu Kultsum binti Abu Bakar, adiknya Aisyah ra. Gadis itu sangat belia dan tumbuh diantara jiwa-jiwa lembut nan penyayang. Aisyah ra jadi gusar. Wataknya tidak bertemu dengan watak Umar. Tapi siapa berani menolak lamaran manusia paling shalih dimuka bumi ketika itu? Namun dengan diplomasi yang sangat halus, melalui kepiawaian Amr bin Ash, Aisyah menolak lamaran itu sembari menawarkan kepada sang Khalifah menikahi Ummu Kultsum binti Ali bin Thalib, adik Hasan bin Husain. Kali ini lamarannya diterima: Ali dan Umar memiliki watak yang sama. “Tidak ada alasan menolak lamaran manusia terbaik dimuka bumi,” kata Ali ra.
Ada cinta ketiga. Cinta maslahat. Cinta ini dipertemukan oleh kesamaan kepentingan. Mereka bisa berbeda watak atau misi. Tapi kepentingan mereka sama maka mereka saling mencintai. Misalnya hubungan baik yang lazim berkembang didunia bisnis. Suara ramah dari penjawab telepon, atau senyum manis seorang pramugari, atau layanan sempurna seorang resepsionis hotel: semua berkembang dari kepentingan tapi efektif menciptakan kenyamanan jiwa (confortability). Anda adalah bagian dari pekerjaannya. Bukan jiwanya. Anda adalah kepentingannya. Bukan jiwanya. ~ Anis Matta ~
Sumber:
FUTUH.COM