Bila Dakwah, Berlabel Negara
Jumat, 12 April 20130 komentar
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah…negaraku adalah lahan subur, tempat tumbuh dan pesatnya gerakan dakwah Islam. Gelombang kebaikan itu muncul membersamai situasi kondusif Indonesia, tempat berkumpulnya Elit kebenaran dan Elit kebathilan. Saya kemudian berfikir, mungkin ini pula di antara keberkahan demokrasi yang semua orang rasakan, semua ingin tampil laksana ingin dikenal walaupun tanpa esensi yang menjadi landasan paradigma. Saya lihat ini peluang dan sekaligus jembatan dakwah menjelma dalam bentuk negara.
Dakwah harus mengalami metamorfosa tanpa harus meninggalkan orisinalitasnya, paradigma ini harus tertancap di nurani dan tekad setiap Du’at, Da’i harus punya obsesi kekuasaan, obsesi politik dan obsesi peradaban. Ketiga hal tersebut harus menjelma dalam suatu bentuk yang dinamakan NEGARA, dakwah seperti ini yang dahulu kita lihat dari napak tilas aktivitas politik dakwah Rasulullah dan para sahabat, Rasulullah mengirim surat-suratnya ke Persia, Romawi, Yaman, dll, serta spirit nabawi yang terlihat ketika Rasulullah dan para sahabat menggali parit sebagai pertahanan menghadapi musuh dalam perang Khandaq, Romawi akan ditaklukkan, sebaik-baik panglima dan tentara yang menaklukkannya. Dan terbukti Impian Nubuwwah itupun diejawantahkan oleh pemuda yang berumur 17 tahun yang bernama Muhammad Al-Fatih.
Pada hari ini, adalah Era kemandirian dakwah, (bukan berarti tanpa ada pertolongan dari Allah), Representasi dari dakwahnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, Era di mana dakwah menjelma dalam bentuk negara, Sesungguhnya (surat itu) dari Sulaiman yang isinya “dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Janganlah engkau berlaku sombong datanglah kepadaku sebagai orang yang berserah diri. (An-Naml: 30-31), ini adalah tarbiyah Al Qur’an kepada kita bahwa, dakwah itu harus berorientasi kekuasaan, karena fungsi esensial negara dalam Islam adalah sebagai hirosatud din (menjaga Agama) dan siyasatud dunya (mengelola Bumi).
Kita pada hari ini harus merubah atau mentransformasikan mindset kita agar jangan berlama-lama berdakwah, pada fase Nabi Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun, “Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”. (Thaha: 43-44), hal demikian adalah gambaran dakwahnya orang tertindas karena kezhaliman nyata para penguasa. Kita hari ini bukan dalam kondisi tertindas, kita adalah orang yang merdeka berpendapat, demokrasi menjanjikan itu. Maka hal yang paling mungkin kita lakukan adalah membersamai Era demokrasi ini sebagai langkah awal dakwah menjelma sebagai sebuah negara.
Maka Negara adalah manifestasi dari doktrin agama atau ideologi yang berkembang, kita melihat tidak satu pun dari negara adi daya berideologi sosialis seperti Rusia dan Kapitalis seperti Amerika melainkan telah terjangkiti kanker yang mematikan dalam tubuh negara itu, maka tidak ada lagi alternatif yang paling mungkin untuk menggantikannya yaitu Al-Islam, tinggal bagaimana kita sebagai salah satu dari sekian batu bata kebangkitan itu untuk melakukan reformasi paradigma agar dakwah tampil lebih elegan dan diminati oleh semua golongan yang bukan hanya Muslim akan tetapi orang-orang non Muslin pun merasakan keberkahan di bawah panji pemerintah Islam.
Suatu hari kita akan melihat para pemimpin-pemimpin Islam akan menuliskan surat-surat dakwah kepada seluruh pemimpin Dunia sekalipun kepada negara adi daya, “dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, janganlah berlaku sombong, datanglah kepadaku dalam keadaan berserah diri (Muslim)”. Wallahu A’lam bish Shawab.