Ibnu Abid Dunia menjelaskan beberapa alasan tentang mengapa kita semua
diperintahkan untuk menjadi kaya dalam Islam itu. Alasan pertama, karena
harta itu tulang punggung kehidupan. Makanya orang kalau punya harta
punggungnya tegak. Kalau tidak punya harta, punggungnya rada bungkuk
sedikit. Antum lihat orang-orang Amerika kalau datang ke sini
tegap-tegap semua kan, karena punya duit. Pejabat-pejabat keuangan kita
kumpul di CGI tunduk-tunduk semua, karena mau pinjam duit.
Allah
SWT mengatakan “Janganlah kamu berikan harta-harta kamu kepada
orang-orang bodoh (orang-orang yang tidak sehat akalnya) yaitu harta
yang telah Allah jadikan kamu sebagai yang membuat punggung tegap. Jadi,
hidup kita tidak normal begitu kita tidak punya uang. Kita pasti punya
banyak masalah begitu kita tidak punya uang.
Alasan kedua,
peredaran uang itu adalah indikator keshalehan atau keburukan
masyarakat. Apabila uang itu beredar lebih banyak di tangan orang-orang
jahat maka itu indikasi bahwa masyarakat itu rusak. Apabila uang itu
beredar di tangan orang-orang shaleh maka itu indikasi bahwa masyarakat
itu sehat. Masyarakat Indonesia ini rusak salah satu indikasinya karena
orang-orang shalehnya sebagian besar adalah para fuqara wa masakin.
Ahlul masjid di negeri ini terdiri atas fuqara dan masakin. Bahkan
sebagian besar orang mungkin mengunjungi masjid bukan karena benar-benar
ingin ke masjid melainkan karena tidak punya tempat untuk dipakai
mengaktualisasikan diri.
Antum lihat orang-orang tua yang datang
ke masjid biasanya orang yang kalah dalam pergulatan sosial. Kalau dia
tentara, biasa setelah pensiun baru dia ke masjid. Kalau dia pedagang,
biasanya setelah dia bangkrut baru dia ke masjid. Rasulullah SAW
mengatakan “Sebaik-baik uang itu adalah uang yang beredar di tangan
orang-orang shaleh”. Jadi, apabila kita yang ada disini tidak
mengendalikan uang yang ada di Riau, itu adalah tanda-tanda yang tidak
bagus. Kenapa? Karena kalau uang itu berada di tangan orang shaleh maka
uang itu akan mengalir di saluran-saluran yang baik. Kalau ibu-ibu di
sini dibagikan Rp 1 Milyar, kira-kira uang itu akan diapakan. Buat
daftar belanjanya. Antum bisa lihat semuanya itu belanja kebaikan.
Pertama, pasti akan dipakai untuk potongan buat partai. Coba lihat
anggota DPR, begitu jadi anggota Dewan, yang pertama potongan buat
partai.
Waktu itu ada teman dari Golkar dan PPP, “Itu dana
konstituen diapakan?” Kita jawab itu tidak lewat kita, melainkan
langsung ke Dapil (Daerah Pemilihan). Uang yang masuk ke tangan orang
shaleh pasti mengalirnya di kebaikan juga. “Kalau gajinya berapa
dipotong? Kalau kita di Golkar cuma 2,5 juta per-bulan dipotong.” Kalau
di PKS itu bisa 50 sampai 60% di potong. Jadi, antum lihat daftar
belanjanya orang shaleh.
Kedua, untuk rihlah, kemungkinan itu
pergi umrah atau menghajikan keluarga atau naik haji sendiri.
Bapak-bapaknya pun kalau punya uang 1 Milyar, tidak jauh-jauh dari situ
juga: infaq buat partai, menyenangkan keluarga, dan operasional pribadi
untuk dakwah pribadinya juga. Semuanya di jalur kebaikan. Bila ada
kenikmatan, tidak mungkin dia pergi judi. Tidak mungkin juga dia pergi
ke tempat prostitusi. Paling-paling dia cari jalur halal. Tapi coba
sebaliknya, kalau uang itu beredar di tangan orang jahat, larinya juga
kepada kejahatan. Salah seorang saudara saya cerita, waktu itu ada
seorang kaya sangat kaya di daerah Indonesia. Orangnya masih hidup
sekarang. Dia punya private jet. Saking kayanya, dia suka main judi ke
London. Pesawat private jet itu berjenis Boeing. Jadi, kalau pergi dia
itu membawa rombongan, biasanya dia parkir di sana 1 minggu atau 2
minggu. Itu kalau parkir, kan bayar. Selama dia main judi, dia
persilahkan teman-temannya yang ingin pakai pesawatnya, seperti layaknya
meminjamkan mobil.
Sekali main, dia biasanya bisa rugi sampai 5
juta dollar, meskipun kadang-kadang untung 8 juta dollar. Sekali waktu
mereka main ke sana, sudah beberapa hari kangen dengan Nasi Padang. Dia
bilang ke pilotnya tolong ke Singapore beli Nasi Padang terus balik lagi
ke London. Begitulah cara mereka menggunakan uang. Kalaupun orang kaya
itu muslim, tidak berjudi, tapi dia tidak punya visi dakwah dan tidak
hidup untuk satu misi besar dalam hidupnya, dia pasti akan menggunakan
uangnya untuk kesenangan pribadi, seperti perhiasan dan seterusnya.
Saya
punya kawan, kalau dia pakai seluruh perhiasannya kira-kira sekitar 2
juta dollar di badannya, cincinnya 1 juta dollar. Mobilnya 1/2 juta
dollar, jam tangannya bisa sampai 2 milyar. Adalagi temannya kira-kira
punya 200-an jam tangan. Sebuah jam tangan itu harganya kira-kira 2
milyar.
Lebih buruk lagi, kadang-kadang orang kaya yang tidak
baik memakai uangnya untuk memerangi kebaikan. Itulah yang terjadi
ketika orang-orang Yahudi memegang kendali keuangan dunia. Maka dari
itu, menjadi kaya itu bagi kita adalah satu keharusan, untuk
mengembalikan keseimbangan sosial, kehidupan di tengah-tengah kita.
Ketiga,
terlalu banyak perintah syariah yang hanya bisa dilaksanakan dengan
uang. Antum lihat 5 rukun Islam. Syahadat tidak pakai uang, sholat tidak
pakai uang, puasa tidak pakai uang tapi zakat dan haji pakai uang.
Kalau 200 ribu orang umat Islam Indonesia tiap tahun pergi haji.
Rata-rata mengeluarkan 5000 dollar, coba antum kalikan berapa banyaknya
uang yang beredar untuk melaksanakan satu ibadah. Belum lagi jihad.
Jadi, kita tidak bisa berjihad kecuali dengan uang. Misalnya kita di
lndonesia sekarang mau pergi ke Palestina untuk pergi perang, tenaga
kita tidak diperlukan karena tenaga sudah cukup dengan ada yang disana.
Rasul mengatakan, “Siapa yang menyiapkan seorang bertempur maka dia juga
sudah dapat pahala perang”.
Jadi, banyak sekali
perintah-perintah Islam yang memerlukan uang. Waktu Rasulullah SAW
hijrah ke Madinah, di antara hadits-hadits pertama yang beliau sampaikan
pada waktu itu adalah “Afsussalam wa ath’imu tho’am”. Jadi mentraktir
itu tradisi nabawiyah. Sering-seringlah mentraktir karena itu perintah
Nabi, dan ini turunnya di Madinah pada saat menjelang mihwar daulah.
Kira-kira di jaman kita inilah, di mihwar dakwah kita sekarang.
Washilul
arham dan sambung tali shilaturahim. Antum akan melihat nanti di akhir
penjelasan saya nanti bahwa ciri-ciri orang maju itu salah satunya
adalah kalau belanjanya dalam 3 hal lebih besar daripada belanja
kebutuhan lauk-pauknya, salah satunya belanja komunikasi. Jadi, kalau
biaya pulsa kita tinggi itu indikator yang baik, itu artinya silaturahim
kita jalan. Jangan missed call, suruh orang telpon balik.
Keempat,
karena harta itu adalah hal-hal yang dibangga-banggakan oleh manusia
sehingga menentukan strata sosial. Antum akan lebih berwibawa dan
didengar orang kalau punya uang. Apabila tidak punya uang, biasanya kita
juga biasanya jarang didengar oleh orang. Misalnya dalam keluarga.
Antum bersaudara ada 7 orang. Kalau kontribusi finansial antum dalam
keluarga itu tidak banyak dan bila antum satu-satunya da’i dalam
keluarga, dakwah antum juga kurang didengar oleh keluarga. Karena di
samping ingin mendengarkan nasihat yang baik orang juga ingin
mendapatkan uang yang banyak. Hadiah-hadiah pada hari lebaran,
infaq-infaq dan seterusnya dan itu biasanya melancarkan dakwah kita.
Saya
hadir pada suatu waktu di sidang Ikatan Anggota Parlemen Negara-negara
OKI. Setiap kali ada waktu bertanya, yang paling pertama diberi
kesempatan bertanya itu utusan dari Arab Saudi, sedangkan utusan dari
negara miskin seperti Maroko atau Tunisia biasanya tidak dapat giliran,
kalau bukan sendiri yang angkat tangan. Masalah harta ternyata juga
berpengaruh pada hal-hal seperti itu. Pada tahun 1994 saya ke Jerman.
Dua tahun baru selesai kuliah, di sana saya bertemu dengan salah seorang
ikhwah pengusaha yang punya beberapa supermarket di sana. Dia datang
menemui saya memakai Mercy. Saya protes kepada dia dengan semangat
dakwah dan jihad, antum itu tega pakai Mercy, saudara-saudara antum di
Palestina di sana masih berjuang, antum hidup di Jerman ini pakai Mercy
bagaimana ceritanya. Dia bilang nanti saya jelaskan, antum ikut saya
saja dulu. Saya diajak keliling supermarketnya dulu.
Orang itu
memang kaya. Sudah keliling dia bilang, di Jerman ini kalau kau ingin
ketemu seorang direktur, begitu kamu parkir mobil, nanti direktur itu
suruh sekretarisnya tengok dia itu pakai mobil apa. Jika kau tidak pakai
Mercy nanti sekretarisnya bilang direktur sedang tidak ada. Kalau kau
pakai Mercy kau disambut baik-baik oleh mereka. Mercy ini wajib di sini.
Itu
hal-hal yang dibangga-banggakan oleh manusia. Dan itu berkali-kali
disebutkan dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu sebagai Muslim saya ingin
didengarkan orang, apalagi kita sebagai da’i kita perlu punya wibawa di
depan orang. Sebagian dari wibawa itu juga dibentuk oleh kondisi
finansial kita.
Ulama-ulama kita juga meriwayatkan bahwa ternyata
di antara hal-hal yang disenangi oleh wanita kepada laki-laki salah
satunya adalah uangnya. Perempuan itu katanya menyenangi pada laki-laki
kalau dia lebih pintar daripada si perempuan, kalau dia lebih kaya
daripada perempuan, lebih kuat daripada perempuan. Dan kepemimpinan itu
kan diberikan kepada laki-laki salah satu sebabnya karena kewajiban
memberlkan nafkah itu. Kalau kita ingin berwibawa di depan istri tolong
kewajibannya ditunaikan dengan sempurna. Itu akan menaikkan wibawa kita
depan Istri.
Seorang istri itu tidak hanya membutuhkan seorang
suami yang romantis tapi juga seorang suami yang romantis realistis. Ada
seorang akhwat berkata kepada saya, saya sebenarnya tidak materialistis
tapi masalahnya kita realistis karena kita tidak bisa hidup tanpa
materi. Dan kalau materi kita sedikit maka hidup kita juga tidak akan
nyaman. Sedikit banyak itu juga penting.
Kelima, harta itu salah
satu sebab yang dapat membuat orang itu bisa bahagia di dunia. Jangan
lagi pernah bilang “biar miskin asal bahagia.” Sekarang perlu kita
balik, “biar kaya asal bahagia.”
Saya ingat guru saya waktu SD
selalu mencari kamuflase bahwa walaupun kita miskin tetap bisa bahagia.
Memang bisa, tapi susah. Adalagi yang bilang “Uang tidak bisa membeli
cinta”. Memang tidak bisa, tapi kalau kita jatuh cinta dan punya uang
itu lebih enak.
Rasulullah SAW realistis sekali ketika dia
mengatakan bahwa di antara yang membuat orang itu bahagia adalah
pertama, Istri yang sholehah. Kedua, rumah yang luas, dalam hadits lain
disebutkan kamar-kamarnya banyak. Menurut Syeikh Qordlowy yang disebut
kamar-kamar itu minimal enam kamar. Satu buah kamar untuk suami istri,
sebuah kamar untuk anak laki-laki, sebuah kamar untuk anak perempuan,
sebuah kamar untuk pembantu, dua buah kamar lainnya untuk kerabat suami
dan istri yang datang menginap di rumah. Itu 6 kamar tidak termasuk
dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, perpustakaan keluarga
dan musholla. Kelanjutan dari hadits itu, dan kendaraan yang nyaman.
Antum perhatikan Rasulullah mengatakan rumah dan kendaraan. Rumah itu
adalah indikator stabilias, kendaraan itu adalah indikator mobilitas.
Rasulullah
mengatakan kendaraan yang nyaman bukan sekadar kendaraan. Naik angkot
itu juga kendaraan tapi belum tentu nyaman, tapi kalau ada sedan yang
empuk sehingga kita bisa rehat, itu lebih bagus. Pulang mengisi Liqa’
kalau kendaraannya nyaman kan sedikit mengurangi kelelahan. Itu juga
perlu garasi. Jika suaminya pengurus DPW, istrinya pengurus DPW, maka
masing-masing perlu kendaraan juga. Kalau anaknya 7 siapa yang antar
anaknya sekolah, jadi minimal perlu 3 mobil.
Waktu saya tidak
punya mobil, saya punya motor. Anak saya sekolah di Al-Hikmah, jadi
kalau pulang diantar sama keponakan saya, anak saya diikat, takut kalau
tidur sewaktu-waktu bisa jatuh dari motor. Saya bilang saya dosa kalau
anak saya sampai meninggal. Akhirnya saya menelepon teman saya, "Tolong
sediakan mobil untuk saya." Itulah pertama kali saya punya mobil. Dosa
kita, kasihan anak itu jatuh dari motor. Setengah mati kita pupuk-pupuk,
kita lahirkan dengan baik, tapi mati karena kecelakaan begitu. Kalau
suaminya pengurus DPW dan istrinya aktif di Salimah atau di Pos Wanita
Keadilan, kan perlu mobilitas juga. Masa suaminya pergi pakai mobil,
sedangkan istrinya pergi rapat ke mana-mana sambil gendong anak. Dia
sudah hamil 9 bulan, merawat anak, malam tidak tidur. Kita zhalim juga
terhadap istri kalau kita tidak memberikan hal-hal
yang membuat dia nyaman dalam kehidupan. Untungnya waktu kita menikah dulu
banyak
akhwat kita yang tidak tahu hadits ini. Padahal dalam banyak pendapat
di berbagai mazhab misalnya di madzhab Imam Syafi'i, apalagi Imam Malik,
kewajiban wanita itu yang sebenarnya hanya melayani suami dan mendidik
anak, sedangkan pekerjaan rumah tangga, mencuci dan seterusnya, itu
tidak termasuk dalam kewajiban wanita.
Qiyadah- qiyadah akhwat
mengikuti daurah tingkat nasionat kemarin di Jakarta. Coba bayangkan
akhwat-akhwat kita sebagian besar sarjana. Waktu kuliah dia direkrut kan
salah satu alasannya karena dia anashirut taqyir dan otaknya brilian.
Banyak akhwat kita Indeks Prestasinya 4,1, begitu 10 tahun menikah, dia
sudah tidak nyambung lagi dengan suaminya kalau bicara, karena dia
mengalami stagnasi intelektual. Tiba-tiba dia mengerjakan semua
pekerjaan pembantu rumah tangga, dia melahirkan juga, melayani suami
juga, memasak juga, mencuci juga dan kadang-kadang kita terbawa oleh
romantika
perjuangan, rasanya heroik melihat istri mencuci, suami
pulang dakwah dalam keadaan lelah, istri di rumah mencuci, mengepel
lantai. Sepuluh tahun kemudian kita di elus-elus oleh istri, kita pikir
sedang di pijiit, padahal hanya di elus-elus karena tangannya dipakai
untuk mencuci, jadi tangannya sudah bukan tangan ratu. Sementara suami
pegang pulpen,
pegang kertas karena sibuk mengisi halaqah, sedangkan
pekerjaan yang kasar-kasar dikerjakan oleh istri. Sudah saatnya
pekerjaan-pekerjaan begitu kita delegasikan kepada mesin, jangan buang
waktu di dapur, di tempat mencuci, delegasikan kepada mesin. Kita ini
orang-orang pilihan dari umat kita. Berapa banyak orang yang sarjana di
negeri ini, sedikit. Makanya kalau Capres syaratnya S-2 calonnya juga
nanti sedikit. Saya tidak setuju kalau capres itu syaratnya S-1, tamat
SD pun bisalah. Sebagian besar orang ikut. Jadi yang bisa merasakan
pendidikan tinggi itu barang elit di negeri ini.
Jadi kalau
akhwat kita yang sarjana itu setelah nikah disuruh jadi pembantu rumah
tangga atas nama kesetiaan, ketaatan, cinta dan sejenisnya maka kita
telah berbuat zalim terhadap SDM kita sendiri. Mungkin akhwat kita itu
sabar-sabar, dia menerima keadaan. Tetapi walaupun dia menerima keadaan
kita kehilangan potensi, kita kehilangan umur-umur terbaik. Sebenarnya
kaiau dipacu untuk dakwah, untuk kepentingan lebih besar, lebih
strategis, faedah yang didapatkan pun akan jauh lebih besar. Waktu kita
ini tidak akan cukup mengerjakan hal-hal tersebut, maka belilah waktu
orang lain. Hitung-hitung kalau beli tenaga pembantu kita buka lapangan
kerja, kita bukan hanya mendelegasikan pekerjaaan kita juga buka
pekerjaan bagi orang lain. Kira-kira itulah 5 alasan mengapa kita itu
perlu kaya. Memang, walaupun kita miskin kita masih bisa bahagia, tapi
itu jauh lebih susah. Bahkan terkadang kekayaan itu lebih mendekatkan
orang kepada Allah SWT dibanding kemiskinan.
Home
ANIS MATTA
Mengapa Islam Menyuruh Kita Kaya (Ceramah Ustadz Anis Matta)