Jagung Potensi Gorontalo
Minggu, 24 Maret 20130 komentar
Jagung Potensi Gorontalo
BABI. PENDAHULUAN
Jagung berperan penting dalam perekonomian nasional dengan berkembangnya industri pangan yang ditunjang oleh teknologi budi daya dan varietas unggul. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, Indonesia mengimpor jagung hampir setiap tahun. Pada tahun 2000, impor jagung mencapai 1,26 juta ton (BPS 2005).
Selain untuk pengadaan pangan dan pakan, jagung juga banyak digunakan industri makanan, minuman, kimia, dan farmasi. Berdasarkan komposisi kimia dan kandungan nutrisi, jagung mempunyai prospek sebagai pangan dan bahan baku industri. Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku industri akan memberi nilai tambah bagi usahatani komoditas tersebut. Jagung merupakan bahan baku industri pakan dan pangan serta sebagai makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia. Dalam bentuk biji utuh, jagung dapat diolah misalnya menjadi tepung jagung, beras jagung, dan makanan ringan (pop corn dan jagung marning). Jagung dapat pula diproses menjadi minyak goreng, margarin, dan formula makanan. Pati jagung dapat digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan seperti es krim, kue, dan minuman.
LATAR BELAKANG PEMILIHAN JENIS BAHAN BAKU
Dalam upaya pengembangan produk pertanian diperlukan informasi tentang karakteristik bahan baku, meliputi sifat fisik, kimia, fisika-kimia, dan gizi. Berdasarkan karakteristik bahan baku dapat disusun kriteria mutu dari produk yang akan dihasilkan maupun teknik dan proses pembuatannya.
A. Karakteristik Pati Jagung
Biji jagung mengandung pati 54,1-71,7%, sedangkan kandungan gulanya 2,6-12,0%. Karbohidrat pada jagung sebagian besar merupakan komponen pati, sedangkan komponen lainnya adalah pentosan, serat kasar, dekstrin, sukrosa, dan gula pereduksi.
B. Bentuk dan Ukuran Granula Pati
Bentuk dan ukuran granula pati jagung dipengaruhi oleh sifat biokimia dari khloroplas atau amyloplasnya. Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. French (1984) menyatakan, warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif yang dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati.
Bentuk granula merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Juliano dan Kongseree (1968) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula pati, tetapi suhu gelatinisasi mempunyai hubungan dengan kekompakan granula, kadar amilosa, dan amilopektin.
Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen yaitu 1-7μm untuk yang kecil dan 15-20 μm untuk yang besar. Granula besar berbentuk oval polyhedral dengan diameter 6-30 μm. Granula pati yang lebih kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar.
Pengamatan dengan DSC pada berbagai ukuran granula memperlihatkan nilai entalpi dan kisaran suhu gelatinisasi yang lebih rendah dari ukuran granula yang lebih besar (Singh et al. 2005).
C. Amilosa dan Amilopektin Pati
Dibanding sumber pati lain, jagung mempunyai beragam jenis pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 74- 76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70% amilosa, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati. Jagung normal mengandung 15,3-25,1% amilosa, jagung jenis waxy hampir tidak beramilosa, jagung amilomize mengandung 42,6-67,8% amilosa, jagung manis mengandung 22,8% amilosa . Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dengan rantai lurus 1-4 α glukosida, sedangkan amilopektin memiliki 22 unit glukosa per molekul dengan ikatan rantai lurus 1-4 α glukosida dan rantai cabang 1,6- α glukosida.
Dengan proses penggilingan basah (wet milling) jenis waxy dan amilomaize menghasilkan pati yang khas. Pati jagung waxy dan pati termodifikasi banyak dimanfaatkan karena sifat-sifatnya yang khas (viskositas, stabilitas panas, dan pH) setelah hidrasi. Pati jenis amilomaize digunakan dalam industri tekstil, permen gum, dan perekat papan.
Tabel 1. Kandungan amilosa, daya pengembangan, dan nisbah kelarutan air.
Pati jagung A m i l o s a Daya absorbsi (g/g) Kelarutan (%)
( % ) ( oC) ( oC)
Jagung normal 15,3-25,1 14,9-17,9 (90) 12,5-20,3 (90)
Wa x y 0 30,2 (90) 10,5 (90)
A m i l o m i z e 42,6-67,8 6,3 (95) 12,4 (95)
Jagung manis 22,8 7,8 (90) 6,3(90)
Sumber: Singh et al. (2005)
D. Absorbsi dan Kelarutan Pati
Daya absorbsi air dari pati jagung perlu diketahui karena jumlah air yang ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat pati. Granula pati utuh tidak larut dalam air dingin. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak, tetapi tidak dapat kembali seperti semula (retrogradasi). Air yang terserap dalam molekul menyebabkan granula mengembang. Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen berperan mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian, semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air. Oleh karena itu, absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas (Tester and Karkalas 1996).
Kadar amilosa yang tinggi akan menurunkan daya absorbsi dan kelarutan. Pada amilomaize dengan kadar amilosa 42,6-67,8%, daya absorsi dan daya larut berturut-turut 6,3 (g/g)(oC) dan 12,4%.
Jika jumlah air dalam sistem dibatasi maka amilosa tidak dapat meninggalkan granula. Nisbah penyerapan air dan minyak juga dipengaruhi oleh serat yang mudah menyerap air.
E. Amilograf Pati
Sifat amilograf pati diukur berdasarkan peningkatan viskositas pati pada proses pemanasan dengan menggunakan Brabender Amylograph. Selama pemanasan terjadi peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati yang irreversible dalam air. Energi kinetik molekul air lebih kuat daripada daya tarik molekul pati sehingga air dapat masuk ke dalam granula pati. Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Suhu gelatinisasi merupakan fenomena sifat fisik pati yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul amilosa, amilopektin, dan keadaan media pemanasan. Kadar lemak atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa, sehingga membentuk endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian, diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi.
Jagung beramilopektin tinggi mempunyai rantai 1-4 a-glukosidase yang lebih pendek dibanding jagung beramilosa tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Pati dengan amilosa tinggi menyebabkan suhu gelatinisasi lebih tinggi. Suhu gelatinisasi pati bahan baku juga berpengaruh terhadap efisiensi produksi. Semakin rendah suhu gelatinisasi semakin singkat waktu gelatinisasi, yaitu 20 menit untuk tapioka dan 22 menit untuk pati jagung. Suhu puncak granula pecah pati jagung adalah 95oC dan tapioka 80oC, dengan waktu yang dibutuhkan berturut-turut 30 dan 21 menit. Sifat ini berkaitan dengan energi dan biaya yang dibutuhkan dalam proses produksi. Pati akan terhidrolisis bila telah melewati suhu gelatinisasi.
Kadar amilopektin yang tinggi (99%) akan meningkatkan suhu awal (70,8oC), maupun suhu puncak gelatinisasi, yang diikuti oleh peningkatan energi (Tabel 2). Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Suhu viskositas maksimum disebut suhu akhir gelatinisasi.
Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringence-nya dan granula sudah tidak mempunyai kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat kristal dan birefringence adalah amilopektin.
Dengan demikian, amilopektin sangat berpengaruh terhadap viskositas. Viskositas puncak pati waxy (1524 BU), lebih tinggi dibanding pati jagung normal (975 BU), sedangkan jagung manis mempunyai viskositas puncak yang sangat rendah (85,2 BU). Pati jagung normal lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan dengan pati jagung lainnya, seperti ditunjukkan oleh viskositas dingin yang tinggi. Fenomena ini bisa terjadi karena pada waktu gelatinisasi, granula pati tidak mengembang secara maksimal. Akibatnya energi untuk memutus ikatan hidrogen intermolekul berkurang. Pada saat pendinginan terjadi, amilosa dapat bergabung dengan cepat membentuk kristal tidak larut. Sebaliknya, untuk jenis tepung yang lain, amilosa memiliki kemampuan bersatu yang rendah, karena energi untuk melepas ikatan hidrogennya juga rendah.
Tabel 2. Sifat amilograf pati beberapa jenis jagung.
Suhu Suhu Enthalpy Viskositas (BU)
Pati jagung a w a l puncak (J/g)
( oC) ( oC) Puncak T = 5 0oC B a l i k
Jagung normal 64,0-68,9 68,9-72,1 8,0-11,2 9 7 5 1030 3 8 0
Wa x y 70,8 75,1 13,6 1524 1251 2 1 6
Jagung manis 66,5 72,8 7 , 5 85,2 9 6 28,8
Sumber: Singh et al. (2005)
F. Karakteristik Protein Jagung
Protein jagung dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu albumin, globulin, glutelin, dan prolamin, yang masing-masing mengandung asam amino yang berlainan. Prolamin merupakan kadar tertinggi pada protein jagung, mencapai 47%. Prolamin sedikit larut dalam air dan sangat larut dalam 70% etanol.
Dalam pemanfaatannya untuk pakan, prolamin jagung kurang mendorong pertumbuhan ternak karena sedikit mengandung lisin dan triptopan, namun mengandung asam amino nonpolar yang tinggi.
Dengan berkembangnya ilmu genetika dan pemuliaan telah dihasilkan beberapa varietas jagung yang mengandung triptofan cukup tinggi. Gluten jagung dapat digunakan sebagai bahan pembuatan asam glutamat, meskipun gluten terigu lebih disukai karena kandungan asam glutamatnya lebih tinggi. Kekurangan gluten jagung biasa adalah protein yang tidak seimbang, karena kekurangan lisin dan triptofan (Winarno 1986). Balitsereal telah merakit jagung QPM (Quality Protein Maize) varietas Srikandi Putih dan Srikandi Kuning dengan kandungan asam amino lisin 0,43% dan triptofan 0,13%, jauh lebih tinggi dibanding jagung biasa hanya mengandung lisin 0,20%, dan triptofan 0,04% (Suarni dan Firmansyah 2006).
G. Karakteristik Minyak Jagung
Bagian jagung yang mengandung minyak adalah lembaga (germ). Minyak jagung dapat diekstrak dari hasil proses penggilingan kering maupun basah, proses penggilingan yang berbeda akan menghasilkan rendemen minyak yang berbeda pula. Pada penggilingan kering (dry-milled), minyak jagung dapat diekstrak dengan pengepresan maupun ekstraksi hexan. Kandungan minyak pada tepung jagung adalah18%.
Untuk penggilingan basah (wetmilling), sebelumnya dapat dilakukan pemisahan lembaga, kemudian baru dilakukan ekstraksi minyak. Pada lembaga, kandungan minyak yang bisa diekstrak rata-rata 52%. Kandungan minyak hasil ekstraksi kurang dari 1,2%. Minyak kasar masih mengandung bahan terlarut, yaitu fosfatida, asam lemak bebas, pigmen, waxes, dan sejumlah kecil bahan flavor dan odor
BAB II. KEMANFAATAN JAGUNG
Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Di Indonesia, jagung merupakan komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah
padi. Berdasarkan urutan bahan makanan pokok di dunia, jagung menduduki urutan
ke 3 setelah gandum dan padi.
Di Provinsi Gorontalo, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok. Akhir-akhir ini tanaman jagung semakin meningkat penggunaannya. Tanaman jagung banyak sekali gunanya, sebab hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan antara lain:
a) Batang dan daun muda: pakan ternak
b) Batang dan daun tua (setelah panen): pupuk hijau atau kompos
c) Batang dan daun kering: kayu bakar
d) Batang jagung: lanjaran (turus)
e) Batang jagung: pulp (bahan kertas)
f) Buah jagung muda (putren, Jw): sayuran, bergedel, bakwan, sambel goreng
g) Biji jagung tua: pengganti nasi, marning, brondong, roti jagung, tepung, bihun, bahan campuran kopi bubuk, biskuit, kue kering, pakan ternak, bahan baku industri bir, industri farmasi, dextrin, perekat, industri textil.
A. PEMANFAATAN JAGUNG MENJADI PRODUK INSTAN JAGUNG
1. Beras Jagung Instan
Beras jagung instan merupakan produk pangan instan berbentuk granulat. Meskipun berpenampilan seperti beras padi, proses pemasakan beras jagung tidak sama dengan beras padi. Pemasakannya cukup direbus dengan air atau susu dalam waktu singkat. Cara pembuatannya, jagung pipilan digiling kasar, lalu diayak menggunakan ayak dengan ukuran lubang 1,4 mm. Fraksi yang lolos ayakan adalah
dedak, kemudian ditampi untuk menghilangkan kotoran, lalu dicuci, dan direndam selama dua jam, seterusnya ditiriskan, dikeringkan hingga permukaan kering.
Rebus hingga terbentuk bubur, ditandai oleh mengentalnya adonan. Kemudian bubur jagung didinginkan, lalu dikemas dalam plastik. Masukkan kemasan tersebut ke dalam freezer (Suhu -20oC). Setelah pembekuan selama 24 jam lalu produk dilunakkan (thawing) dengan perendaman air yang diganti setiap lima menit. Kemudian bubur jagung dikeringkan pada suhu 60-70oC selama tiga jam. Kemas beras jagung instan dengan kemasan plastik.
Dengan sentuhan teknologi, pengolahan jagung menjadi jagung instan (bahan baku bassang) akan mempersingkat waktu penyiapan dari 15-18 jam menjadi 1/2 jam. Produk jagung instan cepat mengalami kerusakan, maka diperlukan upaya untuk memperpanjang masa simpan, yaitu dengan cara pemberian kemasan yang sesuai.
Proses instanisasi pada beras padi dapat diterapkan pada beras jagung. Pada proses instanisasi beras jagung (bahan bassang) dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut: perendaman, pengeluaran kulit, pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Perendaman bertujuan untuk memperoleh absorbsi yang cepat dan seragam dari air (Tawali et al. 2003).
2. Pati Jagung untuk Gula
Indonesia adalah pengimpor gula nomor dua terbesar di dunia. Kebutuhan gula nasional mencapai 3,3 juta ton per tahun, sementara produksi hanya 1,7 juta ton atau hanya 51,5% dari kebutuhan. Harga gula impor lebih murah dibandingkan dengan harga produksi dalam negeri. Produktivitas gula di Indonesia masih rendah, sementara efisiensi sistem produksi juga rendah karena tingginya biaya produksi. Ditambah lagi dengan adanya dampak kenaikan BBM, sehingga harga gula makin tinggi. Gula alternatif yang sekarang sudah digunakan antara lain adalah gula siklamat, stearin, dan gula dari hidrolisa pati. Gula dari pati dapat berupa sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol, dan sorbitol. Gula pati tersebut mempunyai rasa dan tingkat kemanisan yang hampir sama dengan gula tebu (sukrosa), bahkan beberapa jenis lebih manis. Gula pati dibuat dari bahan berpati seperti tapioka, umbi-umbian, sagu, dan jagung. Di Indonesia, industri gula dengan bahan baku pati baru dimulai pada tahun 80-an.
3. Sirup Glukosa
Sirup glukosa atau gula cair mengandung D-glukosa, maltosa, dan polimer D-glukosa dibuat melalui proses hidrolisis pati. Bahan baku yang dapat digunakan adalah bahan berpati seperti tapioka, pati umbi-umbian, sagu, dan jagung. Sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asam atau secara enzimatis. Rendemen glukosa secara enzimatis dipengaruhi oleh tinggi dan panjang rantai amilosa, semakin panjang rantai amilosa, semakin tinggi rendemen. Hidrolisis enzimatis jagung jenis amylomaize menghasilkan rendemen hidrolisat pati lebih tinggi dibanding jagung jenis normal maupun pulut.
Glukosa telah dimanfaatkan oleh industri kembang gula, minuman, biskuit, dan sebagainya. Permasalahan pada industri glukosa saat ini adalah kontinuitas penyediaan bahan baku dan fluktuasi harga bahan baku. Pada pembuatan produk es krim, glukosa dapat meningkatkan kehalusan tekstur dan menekan titik beku dan untuk kue dapat menjaga kue tetap segar dalam waktu lama dan mengurangi keretakan. Untuk permen, glukosa lebih disenangi karena dapat mencegah kerusakan mikrobiologis, dan memperbaiki tekstur.
Dalam pembuatan sirup glukosa, pemilihan sumber pati harus mempertimbangkan kandungan amilosa dan amilopektinnya. Sumber pati yang mempunyai amilopektin tinggi lebih baik karena memiliki pati ISP (Insoluble Starch Particles) yang dapat dihidrolisis secara asam maupun enzimatik.
Rendemen sirup glukosa dipengaruhi oleh bahan baku. Richana et al. (1999) melaporkan bahwa rendemen sirup glukosa dari tapioka lebih tinggi dibanding pati garut atau sagu aren (Richana et al.1999). Di samping itu, pati juga harus berprotein dan lemak rendah karena menyebabkan adanya reaksi maillard yang dapat menyebabkan warna kecoklatan pada sirup. Pengecekan bahan baku pati dilakukan secara ketat karena sangat mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan.
Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan sirup glukosa adalah enzim alfa amilase, glukoamilase, karbon aktif, resin, bahan kimia NaOH dan HCl untuk pengatur pH dan NaHCO3 untuk menstabilkan pH.
Proses produksi sirup glukosa meliputi likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan, penetralan, dan evaporasi. Tahap likuifikasi adalah proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh a-amilase pada suhu di atas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas a-amilase, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim.
Proses liquifikasi berlangsung pada suhu 95oC (aktivitas enzim termofilik), karena itu suhu gelatinisasi pati yang akan dihidrolisis sebaiknya kurang dari 95oC. Di bawah suhu gelatinisasinya, pati tidak akan terurai atau terhidrolisis secara enzimatis maupun asam. Sesudah itu tangki diusahakan pada suhu 105oC dan pH 4,0-7,0 untuk pemasakan sirup sampai semua amilosa dapat terdegradasi menjadi dekstrin. Setiap dua jam, sirup pada tangki dianalisis kadar amilosanya dengan uji iod untuk mengetahui nilai DE (Dextrose Equivalen). Bila iod sudah menunjukkan warna coklat berarti amilosa sudah terdegradasi (nilai DE sekitar 8,0-14,0) maka proses likuifikasi sudah selesai.
Pada proses sakarifikasi, dekstrin didinginkan sampai 60oC, pH diatur pada angka 4,0-4,6. Proses ini biasanya berlangsung selama 72 jam dengan pengadukan secara terus-menerus. Proses sakarifikasi dianggap selesai bila sirup telah mencapai nilai DE minimal 94,5%, nilai warna 60%, transmiten dan Brix 30-36. Selanjutnya dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan penguapan. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan bau, warna, kotoran, dan menghentikan aktivitas enzim. Absorben yang digunakan adalah karbon aktif sebanyak 2% dari bobot pati. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan karbon aktif yang tertinggal dan kotoran yang belum terserap oleh karbon aktif. Proses penukar ion dilakukan untuk memisahkan ion-ion logam yang tak diinginkan, dan tahap penguapan dilakukan untuk mendapatkan sirup glukosa dengan kekentalan seperti yang dikehendaki, yaitu Brix 50-85.
4. Sirup Fruktosa
Sirup fruktosa dibuat dari glukosa melalui proses isomerisasi menggunakan enzim glukosa isomerase (Mercier and Colonna 1988). Fruktosa dan glukosa sama-sama mempunyai rumus molekul C6H12O6 yang hanya dibedakan jumlah ring dan posisi gugus hidroksil (-OH)nya. Dengan perubahan konfigurasi glukosa menjadi fruktosa menyebabkan sifat sirup stabil dan memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi. Sirup fruktosa memiliki tingkat kemanisan (relative sweetness) 2,5 kali lebih tinggi dibanding sirup glukosa dan 1,4-1,8 kali lebih tinggi dibanding gula sukrosa. Sirup fruktosa memiliki indeks glikemik lebih rendah (32+2) dibanding glukosa (138+4), sedangkan sukrosa memiliki indeks sebesar 87+2 Anonymous (2004).
Pati jagung a-amilase (1 ml/kg pati)
Air
Bubur pati (30%) Liquifikasi (90oC, 60 menit
Uji iod (sampai tidak ungu) Amiloglukosidae
Dekstrin Sakarifikasi (60oC, pH 4,0-4,6, 72 jam
Didinginkan Pemanasan
(+ karbon aktif 2%)
Saring + penukar ion
Penguapan
Glukosa cair
Gambar 1. Proses produksi glukosa cair dari pati jagung
Berdasarkan keunggulannya maka fruktosa tidak hanya dapat digunakan untuk penderita diabetes tetapi juga untuk produk soft drink, sirup, jelly, jam, coctail, dan sebagainya. Di Amerika pada tahun 1980 kebutuhan fruktosa dan sukrosa per kapita masing-masing adalah 39 lb dan 84 lb/ tahun. Pada tahun 1994 terjadi pergeseran konsumsi fruktosa menjadi 83 lb dan sukrosa 66 lb. Data tahun 2004 menunjukkan angka yang lebih besar, yaitu 149 lb fruktosa dan hanya 19% yang digunakan untuk diet (Bray et al. 2004). Sirup fruktosa dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu HFS-42, HFS-55, dan HFS-90 yang masing-masing mengandung 42, 55, dan 90% fruktosa.
Bahan baku utama fruktosa adalah sirup glukosa, dan bahan pembantu sama dengan produk sirup glukosa, kecuali enzimnya berupa enzim glukoisomerase. Tahapan pembuatan fruktosa meliputi isomerisasi, proses penukar ion, penguapan, dan pemisahan fruktosa dengan glukosa menggunakan F/G separator. Isomerisasi bertujuan untuk mengkonversi glukosa menjadi fruktosa dengan bantuan enzim glukoisomerase.
Proses ini berlangsung pada kolom isomerasi, suhu 60oC, dan pH 7,2-8,0. Untuk mencapai hasil optimal, sirup glukosa yang akan diproses harus sesuai dengan kondisi kerja enzim. Prinsip alat F/G separator sama dengan khromatografi, dengan resin sebagai medium pemisah. Dari proses pemisahan akan diperoleh sirup HFS dengan kandungan sekitar 85% sebagai hasil proses dan sirup glukosa yang akan dikembalikan lagi ke proses isolerasi.
5. Maltosa
Maltosa adalah disakarida yang terdiri atas ikatan glukosa dan glukosa. Sifat dan pemanfaatannya hampir sama dengan sirup glukosa. Pembuatan sirup maltosa hampir sama dengan glukosa, hanya jenis enzimnya yang berbeda. Maltosa memiliki karakteristik yang khas, mengatur viskositas, tidak mempengaruhi flavor, tekanan osmotik dan kelarutan tinggi, dan tidak mengubah tekstur produk.
6. Sorbitol
Sorbitol merupakan polihidrat, serupa dengan gliserin dan merupakan gula alkohol yang mudah larut dalam air. Sorbitol secara komersial dibuat dari glukosa dengan Brix 45-50, dihidrogenasi tekanan tinggi atau reduksi elektrolit melalui reaksi kimia atau dapat dengan teknik fermentasi. Bahan pembantu adalah katalis nikel untuk proses hidrogenasi, MgO sebagai aktivator, dan gas hidrogen untuk hidrogenasi dan gas nitrogen pada perlakuan purging, sebelum bahan masuk ke autoklaf. Konversi glukosa ke dalam bentuk sorbitol merupakan reaksi adisi dua unsur hidrogen terhadap aldosa (glukosa) melalui pemutusan ikatan rangkap C dan O pada gugus fungsional aldehid. Proses tersebut terjadi pada tahap hidrogenasi. Sebagai gula alkohol, sorbitol digunakan untuk bahan pemanis yang tidak meningkatkan kadar gula dalam darah, seperti halnya fruktosa.
Indonesia mempunyai sumber bahan baku gula alternatif yang melimpah. Seandainya sebagian produk sirup, jelly, soft drink, dan produk beverage lainnya sudah menggunakan gula pati maka akan ada pergeseran kebutuhan gula sukrosa ke gula pati. Jika hal tersebut terwujud maka pasokan gula tidak hanya dari gula sukrosa/gula pasir tapi juga dari gula fruktosa dan jenis gula pati lainnya.
Hal ini akan berdampak terhadap pemanfaatan sumber bahan berpati yang ketersediaannya melimpah. Dengan produksi yang meningkat akan menekan biaya produksi, sehingga harga dapat bersaing dengan gula pasir.
7. Bioetanol
Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan bahan baku hayati. Etanol adalah ethyl alkohol (C2H5OH) yang dapat dibuat dengan cara sintesis ethylen atau dengan fermentasi glukosa. Bioetanol dapat dibuat dari pati jagung yang telah diproses menjadi glukosa.
Di Amerika, kebutuhan jagung terus meningkat karena selain untuk pakan juga digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Etanol diproduksi melalui hidrasi katalitik dari etilen atau melalui proses fermentasi gula menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae. Beberapa bakteri seperti Zymomonas mobilis juga diketahui memiliki kemampuan untuk melakukan fermentasi dalam memproduksi etanol (Gokarn et al. 1997). Secara teoritis, hidrolisis glukosa akan menghasilkan etanol dan karbondioksida. Perbandingan mol antara glukosa dan etanol dapat dilihat pada reaksi berikut ini:
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2
Satu mol glukosa menghasilkan 2 mol ethanol dan 2 mol karbondioksida, atau dengan perbandingan bobot tiap 180 g glukosa akan menghasilkan 90 g etanol. Dengan melihat kondisi tersebut, perlu diupayakan penggunaan substrat yang murah untuk dapat menekan biaya produksi etanol sehingga harganya bisa lebih mudah. Penggunaan bioetanol di antaranya adalah sebagai bahan baku industri, minuman, farmasi, kosmetika, dan bahan bakar. Beberapa jenis etanol berdasarkan kandungan alkohol dan penggunaannya adalah:
(1) Industrial crude (90-94,9% v/v), rectified (95-96,5% v/v),
(2) jenis etanol yang netral, aman untuk bahan minuman dan farmasi
(96-99,5% v/v), dan
(3) etanol untuk bahan bakar, fuel grade etanol (99,5-100% v/v).
Keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi adalah tidak memberikan tambahan netto karbondioksida pada lingkungan karena CO2 yang dihasilkan dari pembakaran etanol diserap kembali oleh tumbuhan dan dengan bantuan sinar matahari CO2 digunakan dalam proses fotosintesis.
Di samping itu, bahan bakar bioetanol memiliki nilai oktan tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer) menggantikan senyawa eter dan logam berat seperti Pb sebagai anti-knocking agent yang memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Dengan nilai oktan yang tinggi, maka proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan emisi gas buang hasil pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor lebih baik. Bioetanol bisa digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran bahan bakar gasolin (bensin). Dibanding bensin, etanol lebih baik karena memiliki angka research octane 108,6 dan motor octane 89,7, angka tersebut melampaui nilai maksimum yang mungkin dicapai oleh gasolin, yaitu research octane 88.
B. PEMANFAATAN TANAMAN JAGUNG SEBAGAI PAKAN
Dalam lima tahun terakhir ini, industri pakan yang mengolah bahan baku berupa limbah pertanian dan limbah agroindustri di Provinsi Gorontalo berkembang cukup pesat. Perkembangan ini perlu terus didorong dan ditingkatkan serta dikembangkan terutama di daerah penghasil limbah pertanian dan limbah agroindustri serta di daerah sentra produksi ternak. Pengembangan industri pakan rakyat secara langsung akan memperpendek jalur dan jarak distribusi antara produsen pakan dengan konsumen yaitu para peternak. Hal ini sangat penting mengingat semakin mahalnya biaya transportasi dari pabrik ke konsumen. Dengan menyebarnya unit-unit prosesing pakan di beberapa daerah yang dekat dengan sumber bahan baku dan sekaligus dekat dengan lokasi peternak akan meningkatkan efisiensi baik efisiensi ekonomis maupun dalam pendistribusian produk.
Disamping itu, nilai tambah dari kegiatan prosesing bahan baku berada di daerah masing-masing kabupaten Provinsi Gorontalo sebagai bahan bakar, pupuk organik dan bahan baku industri. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian & perkebunan sebagai pakan ternak dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas limbah pertanian & perkebunan melalui teknologi fermentasi, suplementasi dan pembuatan pakan lengkap (complete feed).
Pakan lengkap merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian dan pakan non konvensional, yaitu dengan mencampurkan bahan-bahan pakan tersebut dan mempertimbangkan kebutuhan nutrisi ternak baik kebutuhan serat maupun zat gizi lainnya.
Selanjutnya dikembangkan untuk memproses pakan menjadi bentuk yang sederhana dan dikemas untuk memudahkan pemberiannya dan dapat menekan biaya operasional khususnya tenaga kerja. Bahan baku pakan secara umum terdiri dari sumber hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan merupakan sumber serat dan vitamin, sedangkan pakan konsentrat merupakan sumber protein, energi, lemak dan mineral. Apabila pakan sumber serat dicampurkan dengan pakan konsentrat, maka menjadi pakan komplit/ lengkap atau disebut complete feed. Di Provinsi Gorontalo salah satu bahan baku yang sangat potensial adalah jagung, baik sisa hasil tanamannya maupun butirannya.
Jagung merupakan sumber energi utama pakan, terutama untuk ternak monogastrik seperti ayam, itik, puyuh, dan babi karena kandungan energi, yang dinyatakan sebagai energi termetabolis (ME), relatif tinggi dibanding bahan pakan lainnya. Dalam ransum unggas, baik ayam broiler maupun petelur, jagung menyumbang lebih dari separuh energi yang dibutuhkan ayam. Tingginya kandungan energi jagung berkaitan dengan tingginya kandungan pati (>60%) biji jagung. Di samping itu, jagung mempunyai kandungan serat kasar yang relatif rendah sehingga cocok untuk pakan ayam.
Jagung mengandung >3% lemak yang terdapat dalam lembaga biji. Lemak umumnya mempunyai kandungan energi 9 kalori/g, lebih tinggi dibanding protein atau karbohidrat yang hanya mengandung energi 4,0 kalori/g. Meskipun kandungan lemak relatif rendah, jenis asam lemak jagung berupa asam lemak tidak jenuh, terutama asam linoleat (C18:2), berguna untuk ayam petelur.
Asam lemak ini dapat meningkatkan ukuran telur di samping bermanfaat dalam sintesis hormon reproduksi. Kandungan energi yang tinggi mendorong peneliti untuk mengembangkan jenis jagung berlemak tinggi seperti high oil corn yang mempunyai kandungan lemak >6%. Meningkatnya kandungan lemak akan meningkatkan kandungan energi jagung, tetapi jagung jenis ini mempunyai produktivitas yang relatif rendah.
Kadar protein jagung (8,5%) jauh lebih rendah dibanding kebutuhan ayam broiler yang mencapai >22% atau ayam petelur > 17%. Sebenarnya, ayam memerlukan asam amino yang terdapat dalam protein. Karena itu, untuk menilai kandungan gizi jagung perlu memperhatikan kandungan asam aminonya.
Kandungan lisin, metionin, dan triptofan jagung relatif rendah sehingga untuk membuat pakan ayam perlu ditambahkan sumber protein yang tinggi seperti bungkil
kedelai. Untuk melengkapi kandungan asam amino dalam ransum pakan ayam dapat ditambahkan asam amino sintetis seperti L Lisin, DL Metionin atau L Treonin.
Jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia, baik sapi maupun kambing/domba. Di Indonesia khususnya di daerah Provinsi Gorontalo, jagung digunakan untuk pakan sapi penggemukan. Untuk meningkatkan nilai gizinya, jagung dipanaskan dengan uap dan ditekan (roll). Teknik rolled kering juga dapat diaplikasikan tetapi hasilnya kurang memuaskan dibandingkan dengan pemenyetan cara basah dengan uap. Untuk pakan anak babi, pemberian jagung dengan cara digiling dapat menimbulkan diare sehingga dianjurkan untuk dimasak terlebih dahulu, agar kecernaannya meningkat. Pemasakan yang umum dilakukan adalah dengan cara ekstrusi menggunakan mesin ekstruder, baik cara kering maupun basah. Jagung yang dimasak dengan ekstruder akan menghasilkan produk seperti jagung berondong yang matang.
BAB III. PENYEDIAAN BAHAN BAKU DAN
VOLUME PRODUKSI
Hasil identifikasi cara budidaya jagung di Provinsi Gorontalo, pengolahan tanah dilakukan tiga kali. Pembajakan pertama dengan bajak piringan (disk plow) yang ditarik traktor roda 4 dan dilanjutkan pembajakan ke dua. Arah pembajakan ke dua menyilang arah pembajakan pertama. Varietas yang umum ditanam pada musim tanam November/Desember adalah hibrida Bisi-2. Pada musim tanam April/Mei, selain hibrida (F1), juga benih turunan hibrida (F2), dan beberapa varietas bersari bebas antara lain Sukmaraga. Penggunaan benih tersebut dimaksudkan untuk mengurangi resiko kegagalan akibat kekeringan. Penanaman pada musim tanam April/Mei umumnya sistem TOT (Tanpa Olah Tanah) dengan herbisida. Panen jagung pada akhir bulan Maret/April dilakukan dengan cara penebangan batang dekat permukaan tanah dengan sistem borongan. Tongkol kupas umumnya dihamparkan di atas permukaan tanah tanpa dialas terpal/tenda. Penempatan jagung di atas permukaan tanah pada kondisi kadar air biji masih tinggi (± 32%) berpeluang terinfeksi cendawan.
Pengeringan jagung pipilan berlangsung selama 9-10 jam per 2,5-30 ton sekali proses dengan kadar air 14%. Pembalikan dilakukan 9 kali dalam sekali proses.Efisiensi kerja pembalikan dapat diatasi dengan mesin pengering model PTP-4K-Balitsereal. Mesin pengering model ini, tidak memerlukan pembalikan, karena udara panas dari tungku pembakaran dapat dialirkan baik dari bawah maupun atas tumpukan. Hasil pengeringan tidak menyebabkan kusam warnanya karena asap pembakaran dikeluarkan melalui cerobong. Sedangkan mesin pengering yang di gunakan oleh pengumpul, sumber panasnya berasal dari minyak tanah yang dimodifikasi menjadi kayu bakar. Model PTP-4K-Balitsereal sumber panasnya dari pembakaran kayu atau tongkol jagung (janggel). Permasalahan yang dihadapi petani dan pedagang pengumpul adalah saat panen curah hujan masih tinggi sehingga terjadi penumpukan tongkol jagung dengan kadar air ± 32% di dalam karung selama beberapa hari. Kondisi demikian mendukung pertumbuhan cendawan Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoksin.
Untuk mengatasi agar tidak terjadi penumpukan tongkol jagung beberapa alternatif pemecahan masalah tersebut antara lain :
1. Menambah unit mesin pemipil dan pengering sesuai kelayakan ekonomi
2. Mengatur jadwal tanam agar panen jagungtidak serentak, dengan mempertimbangkan musin tanam berikutnya tidak terganggu.
Penurunan kualitas dan kuantitas hasil biji jagung di tingkat petani, pedagangpengumpul, peternak dan/industri di kalimantan Selatan Petani jagung di Provinsi Gorontalo tidak melakukan pemipilan dan pengeringan sendiri. Pemipilan dan pengeringan jagung dilakukan oleh pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul umumnya adalah petani atau ketua kelompok tani yang berperan serta dalam pembinaan anggota kelompok. Pedagang pengumpul berperan juga sebagai penyalur benih, pupuk, herbisida yang menjadi paket usahatani jagung (rekomendasi) Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Laut. Produk biji jagung dari petani dan pedagang pengumpul umumnya dinilai sebagai mutu I (SNI), namun oleh peternak ayam dinilai sebagai mutu III (SNI) karena banyaknya butir rusak. Rusaknya butir jagung tersebut karenaproses pemipilan dalam kondisi kadar air biji yang masih tinggi (+ 30%).
Cara penjemuran/pengeringan tongkol jagung di wilayah basah, Gorontalo Tujuh cara penjemuran dan pengeringan telah dicobakan di desa-desa. Dua cara penjemuran dan pengeringan yang mempunyai tingkat infeksi cendawan rendah (11 - 12%), adalah :
1) Panen - kupas kelobot - pipil - pengeringan dengan alsin pengering sampai kadar air 15 - 17%,
2) Panen & ndash; kupas kelobot – jemur (di lantai jemur atau beralaskan terpal) sampai kadar air biji 15-17% .
Hasil pengamatan setelah penurunan kadar air biji dari 15 – 17% menjadi 14%, kemudian disimpan selama 120 hari pada suhu kamar (+ 25oC) dalam wadah kantong plastik menunjukkan bahwa cara panen & ndash; pipil & ndash; pengeringan dengan alsin pengering, biji rusak mencapai 8,25% dan kehilangan bobot karena infestasi hama kumbang bubuk 0,031%. Sedangkan ambang batas biji rusak menurut SNI maksimum 8% (mutu IV).
Oleh karena itu untuk dapat memenuhi Standar Nasional (SNI) maka periode simpan harus dipersingkat (< 120 hari). Kecepatan putaran pemipil jagung dan kadar air biji terhadap mutu pipilan, tingkat infeksi cendawan dan infestasi hama kumbang bubuk. Putaran selinder perontok dan kadar air biji jagung adalah dua faktor yang mempengaruhi presentase biji pecah dan kapasitas kerja mesin pipil. Panen jagung pada bulan April umumnya intensitas hujan masih tinggi, sehingga kadar air biji jagung berkisar 32 - 37%. Dalam kondisi demikian pemipilan dengan kecepatan 800 RPM menyebabkan biji pecah 0,66%. Walaupun nilai biji pecah masih di golongkan dalam mutu I SNI (butir pecah maksimum 2%), namun setelah pengeringan sampai kadar air biji mencapai 14% dan disimpan 30 hari dalam kantong plastik, tingkat serangan cendawannya paling tinggi yaitu 44%. Oleh karena itu kecepatan putaran selinder pemipil perlu dikurangi agar biji pecah berkurang dan tingkat infeksi cendawan lebih rendah.
Empat perlakuan putaran silinder pemipil jagung milik petani (500 RPM, 650 RPM, 750 RPM, dan 800 RPM) dan lima kadar air biji dalam bentuk tongkol jagung (15 - 20%; 21 - 26%; 27 - 31%; 32 - 37%; dan > 37%) diujicobakan. Proses pemipilan dengan kadar air biji tinggi (> 37%) dan putaran selinder perontok tinggi (800 RPM), setelah kadar air diturunkan menjadi 14% dan disimpan pada suhu ruangan ± 25ºC dalam wadah plastik menyebabkan kerusakan biji tinggi (71%) setelah disimpan selama 120 hari.
Provinsi Gorontalo telah mencatat sejarah baru dalam ekspor jagung ke luar negeri. Untuk pertama kali daerah yang menjadikan jagung sebagai komoditas unggulan ini berhasil menembus pasar jagung Korea Selatan. Jagung Gorontalo yang diekspor ke Korea Selatan itu bukan untuk bahan baku pakan ternak, melainkan akan diolah menjadi bahan pangan manusia. Keberhasilan menembus pasar jagung Korea Selatan ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi Provinsi Gorontalo. Korea Selatan dikenal sangat mengutamakan dan ketat dalam hal mutu dan kualitas. Khusunya jagung minimal kadar air 14 persen dan Alfatoxin dibawah 10 ppb. “Ini sangat membanggakan Gorontalo karena merupakan ekspor perdana ke Korea Selatan yang terkenal dengan negara yang mengutamakan mutu dan kualitas. Sehingga kualitas jagung Gorontalo akan terkenal dimata dunia,”
BAB IV. STABILITAS TINGKAT PRODUKSI
Berdasarkan proyeksi Swastika et al. (2002), produksi dan penawaran jagung menunjukkan peningkatan dengan laju 1,22%/tahun. Peningkatan produktivitas memberikan kontribusi yang dominan (0,85%/tahun) sementara areal panen hanya meningkat 0,36%/tahun. Di lain pihak, permintaan jagung untuk industri pakan meningkat cukup pesat dengan laju 4%/tahun sehingga defisit meningkat 15%/tahun. Jika pada tahun 1999 defisit jagung mencapai 1,67 juta ton, maka pada tahun 2010 defisit diperkirakan mencapai -6,03 juta ton. Proyeksi produksi, penawaran dan permintaan jagung di Indonesia tahun 2004−2010 .Selain untuk mencukupi kebutuhan industri dalam negeri, peluang ekspor jagung terbuka luas. Berdasarkan data Balai Penelitian Tanaman Serealia (2002), pada periode 1997–2000 Provinsi Gorontalo sudah melakukan ekspor jagung dengan volume ekspor 16,10 juta t/tahun. Pada tahun-tahun berikutnya, Provinsi Gorontalo diperkirakan masih menjadi pengekspor jagung yang dominan dengan volume ekspor 15 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun yang sama mengekspor jagung ke Korea Selatan jagung 7,50 juta t/tahun, Provinsi Gorontalo pada tahun 2005 diprediksi akan menekspor jagung 1,80 juta ton (3,80 juta ton menurut Swastika et al. 2002) dan 2,20 juta ton (6 juta ton menurut Swastika et al. 2002) pada tahun 2010. Malaysia sebagai negara tujuan yang akan di ekspor oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dengan 2,70 juta ton jagung pada tahun 2005 dan 3,10 juta ton pada tahun 2010. Rata-rata produksi jagung Provinsi Gorontalo adalah 17.191 jt ton/tahun.
Secara biofisik, lahan yang berpotensi untuk pengembangan jagung di Provinsi Gorontalo relatif luas. Hasil delineasi zona agroekologi untuk membuat peta arahan penggunaan lahan Alternatif komoditas hanya didasarkan pada kesesuaian tanaman terhadap sumber daya lahan dan belum didasarkan pada analisis usaha tani. Sebagian besar lahan tersebut berupa lahan kering yang ditumbuhi tanaman hutan, semak belukar, padang rumput, dan perladangan berpindah. Dari total potensi lahan, baru sebagian kecil yang telah dimanfaatkan tanaman jagung. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah.
Posisi strategis ini didasarkan pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan kelembagaan. Penentuan ini penting karena ketersediaan dan kemampuan sumber daya alam, modal, dan manusia untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Di sisi lain pada era pasar bebas hanya komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang akan mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama dari wilayah lain (Rachman 2003).
Komoditas unggulan merupakan komoditas yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani dan pengusaha, baik secara biofisik, sosial, maupun ekonomi. Suatu komoditas dikatakan layak secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agroekologi; layak secara sosial jika mampu memberi peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja; dan layak secara ekonomi jika menguntungkan. Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian untuk menentukan komoditas unggulan adalah metode Location Quotient (LQ). Nilai LQ > 1 artinya sektor basis; komoditas ‘x’ di suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif (produksinya melebihi kebutuhannya sehingga dapat dijual ke luar wilayah); LQ = 1 artinya sektor nonbasis; komoditas ‘x’ di suatu wilayah tidak memiliki keunggulan (produksi hanya cukup untuk konsumsi sendiri); dan LQ < 1 artinya sektor nonbasis; komoditas ‘x’ pada suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar wilayah.
Hasil analisis komoditas unggulan dengan metode LQ tersebut selanjutnya disesuaikan dengan kelayakan biofisik sumber daya lahan yang ditentukan dengan pendekatan zona agroekologi. Kelayakan sosial dinilai secara tidak langsung, yaitu dengan asumsi bahwa jika jagung telah ditanam atau diusahakan masyarakat setempat, berarti jagung mampu memberi peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja serta pengembangan industri-industri kecil dan menengah. Penilaian kelayakan ekonomi usaha tani jagung berada pada masing-masing kecamatan yang ada di Privinsi Gorontalo.
BAB V. KONSISTENSI KUALITAS JAGUNG
A. Jagung Berkadar Minyak Tinggi (High Oil Corn)
Jagung berkadar minyak tinggi mempunyai kandungan energi metabolis yang lebih tinggi dari jagung biasa, masing-masing 3.560 kkal dan 3404 kkal/ kg (Optimum 1998). Hal ini terkait dengan kandungan minyaknya (6,33%) lebih tinggi dibanding jagung biasa (3,47%) (Tabel 3). Penggunaan jagung untuk pakan ternak bergantung pada harga jagung biasa dan minyak yang digunakan. Perhitungan (feed formulation program) menunjukkan harga sensitivitas (sensitivity price) jagung. Beberapa perusahaan pakan di Indonesia sudah ada yang mencoba untuk pakan unggas.
Tabel 3. Komposisi high oil corn dibanding jagung biasa.
Sumber: Optimum (1998).
B. Jagung Berkadar Fitat Rendah (Low Phytate Corn)
Salah satu permasalahan pada jagung untuk pakan adalah unsur P yang ada di dalamnya tidak dapat dicerna (tersedia) seluruhnya oleh ayam atau sapi. Unsur P dalam jagung berada dalam bentuk fitat yang berkaitan dengan inositol dan juga mengikat mineral lain. Akibatnya, ternak tidak dapat memanfaatkan P dengan baik dan dikeluarkan bersama kotoran. Apabila kotoran ternak digunakan untuk pupuk atau dibuang ke daerah pertanian, dalam keadaan tertentu dapat mencemari lingkungan. Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi pencemaran P terhadap lingkungan adalah menambahkan enzim fitase yang akan memecah senyawa fitat yang ada dalam jagung, sehingga P yang ada dapat tersedia bagi ternak. Beberapa peneliti telah merakit jagung berkadar fitrat rendah, sehingga P yang ada dapat dimanfaatkan oleh ternak monogastrik (berperut tunggal). Komposisi gizi jagung biasa dan berkadar P tinggi dapat disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan fosfor jagung.
Sumber: Raboy et al. (1994).
C. Jagung Bt
Tanaman jagung mudah diserang hama, serangan tidak hanya menurunkan produksi tetapi juga merusak biji jagung sehingga mudah pula ditumbuhi cendawan. Baru-baru ini dikenal jagung jenis baru yang disebut jagung Bt, singkatan dari Bacillus thuringiensis, suatu bakteri yang terdapat dalam tanah yang mempunyai gen pembawa sifat yang dapat mematikan serangga. Bakteri ini mengeluarkan senyawa kimia yang dapat mematikan serangga apabila dimakan. Para ahli bioteknologi tanaman di Amerika Serikat telah memindahkan gen dari bakteri tersebut ke dalam tanaman jagung, sehingga dihasilkan jenis jagung yang tahan terhadap serangan hama. Jagung jenis ini tidak hanya mampu berproduksi lebih tinggi, tetapi juga mengandung mikotoksin yang rendah karena biji jagung tidak banyak diserang hama dan lebih tahan terhadap cendawan. Di samping itu, penggunaan insektisida juga dapat ditekan, sehingga mengurangi pencemaran lingkungan. Jagung jenis ini termasuk Genetically Modified Organism (GMO) karena
diperoleh melalui rekayasa genetik, yang banyak dipermasalahkan oleh lembaga swadaya masyarakat tertentu. Hasil penelitian menunjukkan pemberian jagung Bt terhadap ayam tidak menimbulkan dampak negatif. Penampilan ayam yang diberikan jagung Bt sama dengan yang diberi jagung biasa (Tabel 5). Zat gizi yang terdapat dalam jagung Bt juga sama dengan jagung biasa
Tabel 5. Penampilan ayam broiler yang diberi jagung transgenik (Bt).
Sumber: Brake dan Vladras (1998).
BAB VI. TEKNOLOGI PENGOLAHAN
1. PENGOLAHAN INDUSTRI JAGUNG
A. Produk Jagung Primer (Bahan Baku)
Jagung merupakan sumber kalori pengganti atau suplemen bagi beras, terutama bagi sebagian masyarakat pedesaan di Provinsi Gorontalo. Dewasa ini, proporsi penggunaan jagung sebagai bahan pangan cenderung menurun, tetapi meningkat sebagai pakan dan bahan baku industri. Sebagai bahan pangan, jagung dikonsumsi dalam bentuk segar, kering, dan dalam bentuk tepung. Alternatif produk yang dapat dikembangkan dari jagung mencakup produk olahan segar, produk primer, produk siap santap, dan produk instan.
Tabel 6. Komposisi minyak jagung murni.
Karakterisasi kimia ( % ) Karakterisasi fisik
Trigliserida 98,8 Indeks refraksi 1,47
Kejenuhan: Angka Iod 125-128
- Saturates (S) 12,9 Titik padat -20 s/d -10
- Mono-unsaturates 24,8 Titik cair -16 s/d -11
- Polyunsaturation (P) 61,1 Smoke point 221 s/d 260
- Rasio P/S 4 , 8 Flash point 302 s/d 338
Profil asam lemak trigliserida Fire point 310 s/d 371
- Palmitat (16:0) 11,1-12,8 Spesific grafity 0,918-0,925
- Stearat (18:0) 1,4-2,2 Berat jenis (kg/l) 0,92
- Oleat(18:1) 22,6-36,1 Viskositas (cp) 15,6
- Linoleat(18:2) 49,0-61,9 Wa r n a -
- Linolenat(18:3) 0,4-1,6 - Kuning 20-35
- Arasidat(20:0) 0,0-0,2 - Merah 2,5-5,0
Fosfolipid 0,04 Panas pembakaran -
Asam lemak bebas (% oleat) 0,02-0,03 ( c a l / g ) 9,42
Wa x e s 0 - -
Kolesterol 0 - -
Fitosterol 1 , 1 - -
Tokoferol 0,09 - -
Karotenoid t d - -
B. Tepung dan Beras Jagung
Produk jagung yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga di perkotaan adalah dalam bentuk basah dengan kulit, sedang di pedesaan dalam bentuk pipilan. Jagung pipilan kering dapat diolah menjadi bahan setengah jadi (jagung sosoh, beras jagung, dan tepung). Pembuatan beras jagung dengan menggunakan alat proses disajikan pada Gambar 2. Jagung sosoh dapat diolah menjadi bassang, yaitu makanan tradisional Sulawesi Selatan, sedangkan beras jagung dapat ditanak seperti layaknya beras biasa. Tepung jagung dapat diolah menjadi berbagai makanan atau mensubstitusi terigu pada proporsi tertentu, sesuai dengan bentuk produk olahan yang diinginkan (Suarni dan Firmansyah 2005).
Biji jagung kering/pipilan
Sortasi
Biji bersih
Sosoh
Jagung sosoh
• Direndam 4 jam
• Ditiriskan Pemberasan
• Ditepungkan
Tepung jagung Beras jagung
Gambar 2. Proses pembuatan beras dan tepung jagung.
Tepung jagung bersifat fleksibel karena dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan relatif mudah diterima masyarakat, karena telah terbiasa menggunakan bahan tepung, seperti halnya tepung beras dan terigu. Kandungan nutrisi biji jagung mengalami penurunan setelah diolah menjadi bahan setengah jadi (Tabel 7).
Pemanfaatan tepung jagung komposit pada berbagai bahan dasar pangan antara lain untuk kue basah, kue kering, mie kering, dan roti-rotian.
Tepung jagung komposit dapat mensubstitusi 30-40% terigu untuk kue basah, 60-70% untuk kue kering, dan 10-15% untuk roti dan mie (Antarlina dan Utomo 1993, Munarso dan Mudjisihono 1993, Azman 2000, Suarni 2005a).
Pada proses pembuatan beras jagung terdapat hasil sampingan berupa bekatul yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat kasar yang sangat berguna bagi tubuh (dietary fiber). Bekatul dapat digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain dalam pembuatan kue kering berserat tinggi (Suarni 2005b).
C. Pati Jagung
Pati jagung dalam perdagangan disebut tepung maizena. Proses pembuatan pati meliputi perendaman, penggilingan kasar, pemisahan lembaga dan endosperm, pemisahan serat kasar dari pati dan gluten, pemisahan gluten dari pati, dan pengeringan pati (Gambar 3).
Tabel 7. Kandungan nutrisi biji, beras dan tepung jagung.
Serat Karbo-
Komposisi/ A i r A b u L e m a k Protein kasar h i d r a t
varietas ( % ) (% bb) (% bb) (% bb) (% bb) (% bb)
MS2
B i j i 10,72 1,89 5,56 9,91 2,05 71,98
Beras jagung 10,55 1,72 3,12 8,24 1,88 76,31
Tepung metode basah 10,15 0,98 1,99 6,70 1,05 79,98
Tepung metode kering 9,45 1,05 2,05 7,89 1,31 79,51
Srikandi Putih
B i j i 10,08 1,81 5,05 9,99 2,99 73,07
Beras jagung 10,08 1,64 4,25 8,22 2,05 75,89
Tepung metode basah 10,05 0,94 2,08 7,24 1,05 79,70
Tepung metode kering 9,24 1,08 2,38 7,89 1,29 79,45
Lokal pulut
B i j i 11,12 1,99 4,97 9,11 3,02 72,81
Beras jagung 10,45 1,89 3,25 7,22 1,88 77,23
Tepung metode basah 11,00 0,98 1,78 6,80 1,15 79,46
Tepung metode kering 9,86 1,15 2,25 7,45 1,62 79,28
Lokal nonpulut
B i j i 10,09 2,01 4,92 8,78 3,12 74,20
Beras jagung 10,45 1,78 3,87 7,99 2,19 75,99
Tepung metode basah 10,82 0,79 1,86 6,97 1,06 79,56
Tepung metode kering 9,59 1,08 2,17 7,54 1,89 79,75
Sumber: Suarni et al. (2005).
Biji jagung
Dari 100 kg jagung pipilan kering dapat diperoleh 3,4-4,0 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil, dan 64-67 kg pati, sedangkan 15-25 kg sisanya hilang terbuang dalam tahapan prosesing. Pati jagung dianggap baik mutunya untuk penggunaan normal biasanya mengandung 0,025-0,030% protein terlarut dengan protein total 0,35-0,45%. Pati jagung normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis pulut mengandung 95-99% amilopektin, sedangkan amilomaize hanya mengandung 20% amilopektin dan 80% amilosa. Penggunaan pati dalam makanan sangat terbatas, karena tidak tahan terhadap asam, suhu, dan shear. Ketiga faktor tersebut sangat berperan dalam proses suatu makanan. Masalah ini dapat diatasi dengan cara memodifikasi pati secara kimia atau enzimatik. Pengaruh modifikasi terhadap sifat fungsional pati bergantung kepada jenis pati dan pereaksi yang digunakan.
Pakan
Kulit
Tepung
jagung
Gluten
Isolat
protein
Pati jagung
Pati
Minyak jagung
Perendaman
Penggilingan
Sentrifugasi
Penepungan
Dan pengayakan
Penyaringan
Ekstrak minyak
Pengeringan
Penggilingan halus
Lembaga
Pelepasan lembaga
SO 2 0,1-0,5%
Pencucian dan
pengeringan
Gambar 3. Proses penggilingan jagung basah (wet milling).
Modifikasi pati secara ikatan silang dengan pereaksi fosfoklorida dapat meningkatkan kekentalan dan menurunkan suhu gelatinisasi. Bentuk dan ukuran granula serta densitas pati jagung termodifikasi tidak berubah, tetapi terjadi peningkatan daya serap air dan minyak.
Pati jagung termodifikasi masih menunjukkan penurunan kekentalan apabila disimpan pada suhu dingin. Pada derajat ikatan silang tertentu, kekentalan meningkat dengan turunnya pH media. Kekentalan pati tepung termodifikasi tersebut lebih stabil, karena itu dapat digunakan dalam pengisian kue pie dan pembuatan saos (Afdi 1989).
Modifikasi tepung jagung secara enzimatik menunjukkan perubahan sifat fisikokimia dan fungsional, kadar amilosa, dan derajat polimerisasi (DP) mengalami penurunan, gula reduksi dan dekstrosa eqivalent (DE) mengalami kenaikan. Tekstur tepung termodifikasi lebih halus dibanding tepung aslinya (Suarni 2006).
D. Marning Jagung
Jagung pipilan kering dapat diolah menjadi jagung marning dan emping jagung. Olahan tersebut sangat digemari masyarakat sehingga dapat menjadi produk industri rumah tangga. Jagung marning adalah sejenis makanan ringan (snack) yang dikonsumsi setelah melalui proses pengolahan sederhana. Pipilan jagung putih yang telah disortir direndam dengan air selama ± 15 jam, kemudian direbus selama ± 4 jam dengan air yang diberi soda dan air kapur, agar jagung cepat mengembang dan menjadi renyah setelah digoreng. Selanjutnya, jagung masak dicuci hingga lendir hilang dan bersih, ditiriskan, kemudian dijemur selama 2-3 hari, bergantung keadaan cuaca. Pembuatan jagung marning dan emping jagung disajikan pada Gambar 3. Aroma dan rasa dapat dperbaiki dengan cara menambahkan bumbu masak seperti garam, cabai, bawang putih, bawang merah, dan merica (sesuai selera konsumen). Bumbu masak dihaluskan dan ditumis, kemudian dicampurkan pada jagung yang sudah digoreng, diaduk hingga merata, dan dikemas dalam kantong plastik. Jagung pulut mengandung amilosa Gambar 3. rendah dan amilopektin tinggi, sehingga sesuai untuk olahan jagung marning dan emping (Suarni 2003).
Pipilan jagung putih pulut
Penirisan
Perendaman + 5 jam
Perebusan dengan air +
soda + air kapur + 4 jam
Penjemuran 2-4 hari
Penggorengan (A)
Penghalusan bumbu masak dan penumisan (B)
Pencampuran A dan B
Jagung marning
Gambar 4. Tahapan pembuatan jagung marning.
Aroma dan rasa dapat dperbaiki dengan cara menambahkan bumbu masak seperti garam, cabai, bawang putih, bawang merah, dan merica (sesuai selera konsumen). Bumbu masak dihaluskan dan ditumis, kemudian dicampurkan pada jagung yang sudah digoreng, diaduk hingga merata, dan dikemas dalam kantong plastik. Jagung pulut mengandung amilosa Gambar 4. rendah dan amilopektin tinggi, sehingga sesuai untuk olahan jagung marning dan emping (Suarni 2003).
Proses pembuatan emping jagung hampir sama dengan jagung marning, hanya pada emping ada proses pemipihan sebelum penjemuran, dan penggorengan (Suarni 2005a).
2. PENGOLAHAN TORTILA JAGUNG
Dalam era globalisasi, tuntutan terhadap variasi dan mutu pangan olahan makin meningkat. Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan dan inovasi teknologi pengolahan hasil pertanian di tingkat pedesaan guna meningkatkan mutu produk dan menganekaragamkan pangan lokal. Konsumen saat ini menuntut pangan yang bermutu dan terjamin keamanannya (Lukmanto 1996). Saat ini umumnya pedesaan masih berfungsi sebagai penyedia bahan mentah, sedangkan pengolahan dilakukan oleh masyarakat di perkotaan. Hal ini terjadi karena teknologi pengolahan hasil pertanian belum berkembang di pedesaan.
Penanganan dan pengolahan hasil pertanian penting untuk meningkatkan nilai tambah, terutama pada saat produksi melimpah dan harga produk rendah, juga untuk produk yang rusak atau bermutu rendah. Jagung dapat diolah menjadi berbagai produk olahan. Salah satu hasil olahan jagung yang disukai konsumen adalah tortila atau keripik jagung.
Proses pengolahan produk ini cukup sederhana sehingga berpeluang diadopsi oleh masyarakat pedesaan, terutama wanita tani sebagai industri rumah tangga (Mudjsihono et al. 1993). Untuk mengembangkan produk pangan olahan yang beragam dan terjamin mutunya serta memiliki daya saing di pedesaan, diperlukan teknologi pengolahan yang tepat guna (Soelistyani dan Kadir 1996). Teknologi tersebut tidak harus baru atau belum terdapat di masyarakat, tetapi dipilih dari berbagai teknologi yang ada dan disesuaikan dengan kemampuan wanita tani di pedesaan. Wanita tani merupakan komponen tenaga kerja yang potensial dalam keluarga tani, dan secara fungsional tidak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan pertanian (Pusat Penelitian Tanaman Pangan 1992). Wanita tani tidak hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga berperan dalam kegiatan usaha tani dan mencari tambahan pendapatan merupakan salah satu sentra produksi jagung. Jagung ditanam setiap musim sehingga selalu tersedia sepanjang tahun. Usaha pengolahan jagung menjadi tortila atau keripik jagung belum ada di daerah tersebut sehingga usaha tersebut mempunyai peluang untuk dikembangkan. Pengkajian bertujuan untuk memperoleh rakitan teknologi pengolahan tortila jagung yang efisien dan dapat diterima oleh pengrajin atau wanita tani sehingga mutu produk meningkat.
Mutu produk olahan yang baik dapat meningkatkan nilai jual dan memperluas pasar, yang pada akhirnya dapat menambah pendapatan petani. Pengkajian dilaksanakan pada kelompok wanita tani di Isimu, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo pada bulan Juni-Agustus 2004. Bahan yang digunakan adalah jagung varietas lokal yang dihasilkan petani setempat, kapur, garam, soda kue, bawang putih, dan air. Jagung yang digunakan memiliki kadar air 12,70%, protein 10,13%, lemak 4,29%, dan abu 1,49%. Alat yang digunakan adalah kompor, panci, timbangan, gunting, pisau, gilingan, pemipih, dan plastik.
Empat perlakuan pengolahan tortila jagung yang dicoba adalah:
(1) penambahan kapur 1%,
(2) penambahan kapur 2%,
(3) penambahan kapur 3%, dan
(4) penambahan soda kue 2%.
Jagung pipilan dibersihkan kemudian direbus dengan menambahkan kapur atau sode kue sesuai dengan perlakuan. Nisbah jagung dan air adalah 1:10. Perebusan dilakukan 1-2 jam. Selanjutnya, jagung direndam selama 22 jam lalu dicuci sampai bersih, ditambahkan bawang putih 2% dan garam 1,25%, kemudian digiling dan dibuat lempengan tipis lalu dipotong kecil-kecil dengan ukuran 2 cm x 3 cm dan dijemur 1-2 hari. Setelah kering lalu digoreng dan dikemas untuk dipasarkan.
Parameter yang diamati dan diukur adalah mutu bahan mentah, meliputi kadar air, protein, lemak, dan abu, serta mutu tortila mentah, yang meliputi kadar protein dan lemak. Selain itu dilakukan uji organoleptik terhadap warna, kerenyahan atau tekstur, dan rasa tortila goreng. Dikaji pula penerimaan pengrajin terhadap teknologi pembuatan tortila serta biaya produksi. Tingkat kesukaan panelis terhadap tortila diskor 1-5, dengan kriteria skor 5 = sangat suka dan skor 1 = sangat tidak suka. Hal yang sama juga dilakukan untuk penerimaan teknologi oleh wanita tani, yaitu skor 5 = sangat mudah dilaksanakan dan skor 1 = sangat sulit dilaksanakan.
Panelis yang berpartisipasi sebanyak 20 orang, terdiri atas anggota kelompok wanita tani. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna, tekstur, dan rasa keripik jagung yang disukai adalah yang dihasilkan dari perendaman dengan kapur 3%. Namun dari segi teknologi, wanita tani menyatakan tidak ada perbedaan; teknologi pengolahan tortila dinilai tidak mudah dan juga tidak sulit atau biasa saja (skor 3) (Tabel 8).
Tabel 8. Nilai skor rata-rata tingkat kesukaan dan penerimaan
teknologi organoleptik tortila atau keripik jagung
Menurut wanita tani, hal yang perlu diperhatikan dalam pengolahan keripik jagung adalah jagung harus direbus hingga matang. Selain itu, penggilingan membutuhkan banyak tenaga karena menggunakan alat penggiling manual. Hasil analisis produk olahan tortila menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada kadar protein dan kadar abu. Namun terdapat perbedaan antarperlakuan terhadap kadar air dan kadar lemak (Tabel 9). Hasil perhitungan ekonomi menunjukkan bahwa penggunaan soda kue memerlukan biaya produksi paling tinggi. Dengan asumsi bahwa harga antarperlakuan dianggap sama, maka pendapatan tertinggi pada pengolahan tortilla diperoleh dengan perendaman kapur 1%, yaitu Rp5.985/kg (Tabel 10).
Tabel 9. Hasil pengamatan sifat kimia tortila atau keripik jagung
Wanita tani peserta pengkajian aktif dalam kelompok tani serta memahami gender dengan baik. Mereka umumnya membantu suami dalam memperoleh pendapatan keluarga dengan menjual produk pertanian yang dihasilkan sendiri. Namun, mereka belum bergerak sebagai pengrajin industri pengolahan hasil pertanian.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka sangat berkeinginan untuk mengembangkan usaha pengolahan tortila karena produk tersebut mempunyai peluang pasar yang baik.
Tabel 10. Hasil perhitungan ekonomi pengolahan tortila atau keripik
jagung untuk tiap kilogram jagung
3. PENGOLAHAN LIMBAH JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI
Limbah jagung meliputi jerami dan tongkol. Penggunaan jerami jagung semakin populer untuk makanan ternak, sedangkan untuk tongkol belum ada pemanfaatan yang bernilai ekonomi. Limbah jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk pengembangan produk masa depan. Seringkali limbah yang tidak tertangani akan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya penanganan. Namun demikian, limbah lignoselulosa sebagai bahan organik memiliki potensi besar sebagai bahan baku industri pangan, minuman, pakan, kertas, tekstil, dan kompos. Di samping itu, fraksinasi limbah ini menjadi komponen penyusun yang akan meningkatkan daya gunanya dalam berbagai industri. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Dari ketiga komponen tersebut, selulosa merupakan komponen yang sudah dimanfaatkan untuk industri kertas, sedangkan hemiselulosa belum banyak dimanfaatkan.
Komponen penyusun hemiselulosa terbesar adalah xilan yang memiliki ikatan rantai b-1,4-xilosida, dan biasanya tersusun atas 150-200 monomer xilosa (Kulkarni et al. 1999). Rantai hemiselulosa dapat terdiri atas dua atau lebih jenis monomer penyusun (heteropolimer), seperti 4-O-metilglukoronoxilosa, dan dapat pula terdiri atas satu jenis monomer, seperti xilan yang merupakan polimer xilosa. Xilan dari serealia banyak mengandung Larabinosa dan arabinoxilan, sedangkan xilan dari tanaman keras mengandung glukuronoxilan yang dapat menghasilkan asam d-glukoromik. Xilan dapat larut dalam larutan alkali (NaOH atau KOH 2-15%) dan air. Xilan terdapat hampir pada semua tanaman, khususnya limbah tanaman pangan seperti tongkol jagung, bagas tebu, jerami padi, dedak gandum, dan biji kapas. Menurut Jaeggle (1975), bahan-bahan tersebut mengandung xilan 16-40%.
Tabel 11. Komposisi kimia limbah jagung.
Komponen Tongkol Jagung
Air (%) 7,68
Serat (%) 38,99 (crude fiber)
Selulosa (%) 19,49
Xilan (%) 12,4
Lignin (%) 9,1
Sumber: Richana et al. (2004).
Sebagai bahan baku industri, xilan dapat dimanfaatkan sebagai campuran bahan pembuatan nilon dan resin. Di samping itu, hidrolisa xilan menghasilkan furfural yang dapat digunakan sebagai bahan pelarut industri minyak bumi, pelarut reaktif untuk resin fenol, disinfektan, dan sebagai bahan awal untuk memproduksi berbagai bahan kimia dan polimer lainnya (Sjostrom 1995, Mansilla et al. 1998). Xilan juga dapat diproses menjadi gula xilitol, melalui proses hidrolisis xilan menjadi xilosa, kemudian dihidrogenasi menjadi xilitol.
Tongkol jagung memiliki kandungan xilan yang lebih tinggi dibanding sekam, bekatul, ampas pati garut, dan onggok (Richana et al. 2004). Demikian juga gula xilosa yang dibuat dari beberapa limbah pertanian, ternyata tongkol jagung mengandung xilan yang lebih tinggi (Tabel 12). Kandungan xilan atau pentosan pada tongkol jagung berkisar antara 12,4-12,9%.
Biji jagung jenis normal mengandung xilan 5,8-6,6% dan kandungan xilan pada dedak jagung 41%. Dengan demikian, ampas pembuatan pati masih memungkinkan untuk diekstrak xilannya.
Pengamatan terhadap kemurnian xilan menggunakan Khromatografi Cair Kinerja Tinggi menunjukkan bahwa puncak khromatogram tertinggi terdapat pada tongkol jagung tertinggi dan lebih murni dibanding limbah tanaman pangan lainnya. Hal ini mengindikasikan tongkol jagung mempunyai prospek sebagai bahan baku industri maupun pengolahan berbasis xilan, yaitu furfural dan xilitol. Pada dasarnya semua bahan yang mengandung xilan dapat dimanfaatkan untuk produk tersebut. Namun perlu mempertimbangkan efisiensi dan potensi bahan baku. Seperti halnya produk furfural menurut aturan UNCTAD/GATT (1979), bahan baku yang disarankan adalah yang mengandung minimal 12-20% xilan. Dengan demikian, tongkol jagung layak dikembangkan untuk produk furfural maupun xilitol.
Tabel 12. Kandungan xilan dari beberapa
limbah pertanian.
Bahan Xilan (%)
Bagas tebu 9 , 6
Oat hulls 12,3
Tongkol jagung 12,9
Sekam 6 , 3
Kulit kacang 6 , 3
Kulit biji kapas 10,2
Sumber: Richana et al. (2004).
A. Produk Furfural
Furfural selama ini diproduksi dari tongkol jagung. Produk furfural berkembang sejak perang dunia kedua. Proses furfural melalui distruksidestilasi menggunakan asam sulfat. Fraksi hemiselulosa (xilan) dari tongkol jagung dihidrolisis dan menghasilkan pentosa (gula xilosa).
Kemudian xilosa dihidrogenasi dengan panas tinggi dan menghasilkan furfural, yang kemudian dimurnikan menggunakan destilasi uap (Gambar 3). Furfural dipasarkan langsung atau dalam bentuk turunannya. Furfural digunakan sebagai pelarut, bahan pernis, atau campuran insektisida.
Pemanfaatan produk turunan furfural cukup beragam, antara lain asam adipat untuk bahan nilon, asam susinat untuk pernis, cat, bahan fotografi, butanediol untuk resin dan plastik. Secara teoritis, rendemen furfural dari tongkol jagung berkisar antara 21-23%, namun kenyataannya hanya berkisar 10%.
Tongkol jagung
Hidrolisis dan
hidrogenasi
Decolorisasi
Penyaringan/
penjernihan
Evaporasi
dan
kristalisasi
Separasi/
pemurnian
Furfural
B. X i l i t o l
Tongkol jagung dan limbah lignoselulosa lain dari jagung ternyata dapat digunakan untuk bahan baku produk furfural dan derivatifnya juga dapat digunakan sebagai produk gula xilitol. Xilitol termasuk gula alkohol dengan lima karbon (1,2,3,4,5 pentahydroxy pentane) dengan formulasi molekul C5H12O5. Sebetulnya beberapa jenis buah-buahan dan sayuran mengandung xilitol walaupun dalam jumlah kecil, misalnya strawberi. Namun demikian, untuk mengekstrak xilitol dari bahan tersebut tidak ekonomis karena kandungannya terlalu kecil (Kulkarniet al. 1999). Xilitol dapat diproduksi dengan menghidrogenasi xilosa (Gambar 4).
Gambar 4. Proses pembuatan gula xilitol fraksinasi selulosa.
Di Taiwan, produksi xilitol menggunakan bahan baku bagas tebu, di India menggunakan bagas tebu atau tongkol jagung (Biswas and Vashishtha 2004). Xilitol mempunyai kelebihan dibanding gula pasir (sukrosa), yaitu sebagai pemanis rendah kalori (4 kal/g), indeks glutemik jauh lebih rendah sehingga tidak meningkatkan gula darah dan metabolisme tanpa insulin, sehingga sangat baik untuk penderita diabetes.
Xilitol dapat digunakan tanpa campuran atau dikombinasikan dengan pemanis nonkariogenik (tidak menyebabkan diabetes) untuk membuat produk non-sugar sweetener seperti permen karet, Permen karet, coklat rendah gula, gelatin, pudding, jam, roti, dan ice cream (Anonymous 2004). Saat ini xilitol banyak digunakan untuk pasta gigi karena dapat menguatkan gusi. Xilitol merupakan gula alternatif yang mempunyai sifat nonkariogenik dan anti kariogenik, anti caries, dan prebiotik, sehingga baik untuk kesehatan dan dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans. Konsumsi manusia untuk xilitol adalah 15 g/bobot badan atau + 100 g/orang (Schmidl and Labuza 2000). Sejak tahun 1980 xilitol sudah banyak digunakan dan dikomersialkan di 28 negara.
Di awal tahun 1990 produksi xilitol dunia mencapai 5.000 ton. Finlandia merupakan produsen xilitol terbesar. Amerika Serikat tertarik untuk memproduksi xititol dalam skala besar. Sebagian besar xilitol gunakan untuk permen karet.
C. Silase
Silase dapat dibuat dari seluruh bagian tanaman jagung, termasuk buah muda (90 hari), buah yang sudah matang (100 hari), atau kulit jagung manis (Pasaribu et al. 1995). Bagian dari sisa panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan bahan dengan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, sisa panen tanaman jagung biasanya dikeringkan selama 2-3 hari. Dalam pembuatan silase, tanaman jagung dipotong-potong sampai kecil (chop), lalu dimasukkan sambil dipadatkan ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara. Bila kondisi kedap udara tidak 100% maka bagian permukaan silase akan ditumbuhi oleh bakteri seperti Clostridium tyrobutyricum yang mengubah asam laktat menjadi asam butirat (Driehuis and Giffel 2005).
Bila seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase, maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami atau kulit jagung, perlu ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut. Dalam pembuatan silase, juga dapat ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat proses pematangan. Mikroba yang ditambahkan biasanya adalah bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, L. casei, L. lactis, L. bucheneri, Pediocococcus acidilactici, dan Enterococcus faecium yang berperan menurunkan pH silase (Nusio 2005).
D. Amoniasi dan Fermentasi
Selain dibuat silase, limbah tanaman jagung juga dapat diamoniasi. Sebelum dibuat silase, limbah tanaman jagung diberi perlakuan terlebih dahulu, yaitu dengan menambahkan urea 34 g/kg limbah. Proses ini disebut proses amoniasi.
Proses fermentasi juga dapat dilakukan terhadap limbah tanaman jagung. Pamungkas et al. (2006) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung, sedangkan Rohaeni et al. (2006) menggunakan Trichoderma viridae untuk fermentasi tongkol jagung.
4. PRODUK SAMPING INDUSTRI JAGUNG
Industri pengolahan jagung umumnya terkait proses penggilingan, yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu industri pengolahan dengan penggilingan secara kering dan secara basah. Di Indonesia, industri pengolahan jagung yang masih berjalan umumnya dengan sistem penggilingan secara kering. Proses pengillingan masih sederhana, terutama ditujukan untuk menghasilkan jagung grit yang digunakan untuk pembuatan camilan (snack) yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Hasil samping penggilingan jagung ini berupa homini (hominy) atau disebut juga empok, merupakan hasil penumbukan jagung secara tradisional untuk menghasilkan beras jagung.
Di beberapa negara, pengolahan biji jagung sudah menerapkan teknologi maju, sehingga dihasilkan berbagai jenis produk dan hasil sampingnya. Meskipun Amerika Serikat bukan negara asal jagung, tetapi menjadi penghasil utama jagung di dunia dan teknologi pengolahan jagungnya sudah berkembang pesat. Jagung yang dihasilkan sebagian besar digunakan sebagai pakan atau diekspor ke negara lain, sekitar 20% jagung yang dihasilkan diolah lebih lanjut untuk pakan dan keperluan industri pengolahan jagung.
A. Produk Samping Penggilingan Kering:
Homini, Empok, dan Tumpi
Penggilingan cara kering ditujukan untuk mengubah dan memisahkan partikel jagung agar dapat diolah lebih lanjut. Industri penggilingan jagung di Provinsi Gorontalo mempunyai kapasitas 1.000-3.000 t/bulan. Industri tersebut umumnya menggunakan mesin impor untuk menggiling dan memisahkan partikel jagung sehingga dihasilkan berbagai produk, terutama grit jagung.
Hasil samping penggilingan dengan cara modern ini adalah berupa homini yang dapat dimanfaatkan untuk pakan unggas, sapi, maupun ternak ruminansia.
Homini mempunyai kandungan protein sedikit lebih tinggi dibanding jagung tetapi mempunyai serat yang lebih tinggi. Karena kandungan proteinnya lebih tinggi, kandungan asam amino homini relatif lebih tinggi pula. Homini akan lebih baik diberikan kepada ternak-ternak toleran terhadap kandungan serat yang lebih tinggi, seperti babi atau ayam petelur. Homini produksi dalam negeri banyak digunakan untuk pakan sapi. Pada saat proses penggilingan kering, kulit ari jagung juga dapat dipisahkan, termasuk fraksi lainnya, baik berupa kotoran halus maupun sebagian lembaga dan endosperma. Hasil samping ini disebut juga tumpi yang mempunyai kandungan serat kasar relatif tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir di Provinsi Gorontalo telah berkembang penggunaan jagung untuk etanol atau biofuel. Meningkatnya harga minyak bumi mendorong pemerintah Amerika untuk memanfaatkan sumber energi lain yang dapat diperbarui (renewable). Ada dua jenis biofuel yang dikembangkan, yaitu biodiesel yang berasal dari minyak kedelai untuk menggantikan minyak solar, dan etanol yang diperoleh dari proses fermentasi jagung. Proses pembuatan etanol dari jagung dikelompokkan ke dalam proses penggilingan secara kering dikombinasikan dengan proses fermentasi untuk mengkonversi pati jagung menjadi etanol (Gambar 5).
Dalam proses penggilingan kering yang dilanjutkan dengan fermentasi, jagung digiling terlebih dahulu setelah dibersihkan, kemudian dibuat adonan dengan menambahkan air, lalu dimasak atau disterilkan agar tidak terkontaminasi mikroba lain pada saat proses fermentasi. Untuk mempercepat fermentasi, larutan jagung diberi enzim yang mampu memecah pati menjadi gula yang dapat digunakan oleh kapang untuk dirombak menjadi alkohol dan CO2. Proses fermentasi dilakukan selama 48-72 jam dengan pengontrolan pH, suhu, dan oksigen. Setelah itu, alkohol yang dihasilkan dapat didestilasi untuk bahan bakar (biofuel) dan sisa fermentasi kemudian disentrifusi untuk memperoleh padatan yang dikenal distillers grain yang masih basah. Sisa cairan dapat diuapkan untuk menghasilkan “tetes” yang dikenal sebagai condensed distillers.
Apabila kedua jenis hasil samping ini dicampur kemudian dikeringkan maka diperoleh produk Distillers Dried Grains with Solubles (DDGS). Dari satu bagian jagung dapat diperoleh sepertiga bagian DDGS dan sekitar sepertiga CO2. Diperkirakan produksi DDGS di Provinsi Gorontalo pada tahun 2006 sudah mencapai 7 juta ton.
Gambar 5. Proses penggilingan jagung dengan cara kering.
Proses fermentasi adalah proses perubahan pati jagung menjadi etanol dan CO2, sehingga komponen bahan lainnya seperti protein, lemak, serat, dan mineral akan diperoleh kembali sebagai hasil samping DDGS. Oleh karena itu, kandunganprotein, lemak, dan serat DDGS lebih tinggi dibanding jagung asalnya. Kandungan protein DDGS 30% (bahan kering), tetapi kandungan lisin dan triptofan relatif rendah, karena jagung memang mengandung asam amino yang rendah.
Lemak yang tinggi dalam DDGS memberikan kontribusi terhadap energi metabolis ternak, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan monogastrik.
Di Provinsi Gorontalo, DDGS banyak digunakan sebagai pakan sapi perah maupun sapi pedaging, bahkan dalam bentuk basah (wet DDGS), terutama di kawasan peternakan sapi yang dekat dengan pabrik. Meningkatnya jumlah pabrik etanol akhir-akhir ini mengakibatkan pasokan DDGS meningkat tajam dan diekspor dalam bentuk kering. Di Amerika dan beberapa negara di Asia, Eropa, Meksiko, dan Kanada mulai memanfaatkan DDGS untuk pakan babi, unggas, dan ikan.
Pemanfaatan DDGS untuk pakan monogastrik adalah sebagai sumber protein, energi, dan P. Fosfor yang tersedia relatif tinggi sehingga dapat mengurangi penggunaan Di-kalsium Fosfat dalam pakan. Salah satu kelemahan DDGS sebagai pakan adalah kualitasnya yang bervariasi. Kandungan asam amino tercerna terutama lisin juga bervariasi. Untuk mengatasi hal ini disarankan untuk membeli DDGS berwarna kuning keemasan, yang mempunyai kecernaan asam amino yang lebih baik. DDGS berwarna coklat gelap sebaiknya diberikan kepada sapi atau kambing. Sudah umum diketahui bahwa jagung mudah ditumbuhi cendawan atau kapang yang dapat menghasilkan senyawa sekunder berupa racun. Senyawa racun ini akan ditemui dalam DDGS jika jagung yang digunakan terkontaminasi oleh mikotoksin. Umumnya, jagung yang terkontaminasi mikotoksin adalah yang kena stress atau rusak. Jagung rusak akan menghasilkan etanol dalam jumlah sedikit sehingga dihindari oleh pabrik etanol.
B. Produk Samping Penggilingan Basah:
CGM, CGF, dan Corn Germ Meal
Berbeda dengan penggilingan kering, penggilingan basah dilakukan karena fraksinasi jagung dilakukan secara basah menggunakan air atau pelarut. Umumnya, penggilingan basah ditujukan untuk menghasilkan pati jagung (Gambar 2). Jagung yang telah dibersihkan akan mengalami proses fraksinasi untuk memisahkan komponen kimia jagung. Jagung akan dipisahkan dari lembaganya (germ) dengan menggunakan air rendaman steep water (cairan yang digunakan dalam penggilingan basah dan dapat digunakan ulang). Setelah lembaga dipisahkan, sisa jagung kemudian mengalami proses penggilingan, penyaringan, dan sentrifugasi untuk memisahkan butir pati jagung dari bahan lainnya seperti protein dan serat.
Pati jagung selanjutnya dimurnikan dan dikeringkan untuk dijual sebagai bahan pangan yang dikenal sebagai tepung maizena untuk kue atau penganan lainnya. Pati jagung juga dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan gula yang dikonversikan menjadi high fructose corn syrup sebagai pemanis minuman ringan berkarbonat. Penggunaan sirup ini sudah meluas seiring dengan perkembangan industri minuman ringan. Dalam proses sentrifugasi untuk memisahkan pati akan dihasilkan produk samping corn gluten meal yang mengandung protein jagung, dapat mencapai lebih dari 60% yang berguna untuk pakan.
Pati jagung dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan baku industri lainnya, misalnya sirup berfruktosa tinggi (bahan pemanis) atau bahan fermentasi untuk menghasilkan vitamin, asam amino atau diolah untuk menghasilkan turunan gula seperti sorbitol.
Gambar 2. Proses penggilingan jagung dengan cara basah.
Hasil samping utama dari proses wet milling adalah corn gluten meal (CGM), corn gluten feed (CGF) dan corn germ meal. Corn gluten feed merupakan gabungan beberapa hasil samping yang kandungan seratnya tinggi tetapi masih relatif tinggi kandungan proteinnya (>20%).
Di samping itu, hasil samping yang mempunyai kandungan air relatif tinggi adalah steep liquor atau tetes jagung yang masuk kembali ke dalam proses penggilingan, kecuali jika difermentasi menjadi condensed fermentative extractives. Salah satu pertimbangan penggunaan hasil samping jagung untuk pakan adalah kandungan protein dan seratnya.
Hasil samping yang berkadar serat tinggi seperti CGF atau corn germ meal, dapat digunakan untuk pakan sapi, kambing, domba. Bahan yang mempunyai serat rendah dan protein tinggi dapat digunakan untuk pakan unggas dan sapi. Hasil samping yang berkadar serat rendah dan protein tinggi seperti CGM mempunyai kandungan energi metabolis yang relatif tinggi, sehingga bermanfaat digunakan pakan ayam broiler, yang membutuhkan energi dan protein tinggi. Meski demikian, kandungan asam amino hasil samping industri ini, terutama lisin dan triptofan, relatif rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan ayam atau sapi, sehingga perlu penambahan bungkil kedelai yang tinggi kandungan lisin dan triptofannya. Untuk melengkapi formula pakan dapat pula ditambahkan lisin murni.
Limbah jagung terutama CGM mengandung karotenoid (kelompok xantofil) yang relatif tinggi dan bermanfaat untuk sumber warna kuning pada telur atau warna kaki (shank) ayam broiler, sehingga banyak digunakan dalam ransum ayam. Seperti halnya DDGS, hasil samping CGM juga dapat terkontaminasi mikotoksin, karena itu perlu diawasi pada saat digunakan sebagai pakan ternak.
Penggunaan hasil samping jagung untuk pakan tidak hanya ditentukan oleh komposisi kimia tetapi juga oleh harga, dibanding dengan bahan baku lainnya. Pabrik pakan dapat menghitung sendiri kebutuhan bahan untuk ransum yang akan dipasarkan. Pakan yang akan diproduksi bergantung pada jenis pakan karena kebutuhan gizi ternak dewasa berbeda dengan ternak yang masih kecil. Jenis ternak yang satu berbeda pula kebutuhan gizinya dibanding jenis ternak yang lain.
BAB VII. POTENSI PENGEMBANGAN JAGUNG
Bagi Provinsi Gorontalo, perkembangan komoditi jagung merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis. Dalam beberapa tahun terakhir kebutuhan jagung terus meningkat, yang seharusnya dapat dipakai sebagai momentum untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Disamping sebagai makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia, jagung juga berfungsi sebagai bahan pakan ternak dan bahan baku industri makanan. Seiring dengan peningkatan aktivitas industri peternakan Indonesia, tentunya sebagai second round effect berimbas terhadap peningkatan permintaan jagung sebagai salah satu input dalam produksi ternak. Sampai dengan akhir tahun 2006, Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan untuk konsumsi jagung dalam negeri. Oleh karena itu Provinsi Gorontalo dengan potensi yang dimiliki dan prospek pasar yang menjanjikan, pengembangan komoditas jagung yang ditindaklanjuti dengan langkah-langkah strategis, yang sebelumnya perlu didahului dengan kajian. Melalui koordinasi dan kerjasama yang terarah dengan semua stakeholders, provinsi Gorontalo memiliki peluang untuk meningkatkan produksi jagung dengan tetap memperhatikan kualitas.
Berkenaan dengan hal tersebut maka Provinsi Gorontalo berhasil mengembangkan produksi jagung dengan melihat potensi Gorontalo yang mempunyai lahan pertanian seluas kurang lebih 12 ribu km2 yang sebagian besar terdiri lahan kering. Menurut data dari Pemprov Gorontalo, saat ini Gorontalo terdapat lahan kering seluas 126 ribu ha lebih sementara sawahnya hanya seluas 2,8 ribu ha. Beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pemilihan pengembangan jagung di Gorontalo antara lain tersedianya lahan yang sangat luas yang cocok untuk pengembangan tanaman jagung. Iklim Gorontalo juga mendukung upaya penanaman jagung. Air tanah di lahan datar cukup dangkal, dengan kedalaman berkisar antara 3-8 meter. Para petani jagung Gorontalo bisa panen 2-3 kali satu tahun. Air tanah di lahan datar cukup dangkal, dengan kedalaman berkisar antara 3-8 meter. Dan dua pelabuhan, Anggrek dan Gorontalo, sangat mendukung untuk perdagangan jagung ke luar Gorontalo.
BAB VIII. ANALISA EKONOMI
Analisis Usaha
Perkiraan analisis ekonomi dengan luas lahan penanaman 1 ha, jenis jagung Hibrida C1 pada tahun 2001 per musim tanam (3 bulan) di daerah Provinsi Gorontalo:
a) Biaya produksi
1. Sewa 1 hektar per musim tanam Rp. 375.000,-
2. Bibit: benih jagung 20 kg @ Rp. 15.000,- Rp. 300.000,-
3. Pupuk
- Urea: 300 kg @ Rp. 1.500,- Rp. 450.000,-
- SP 36: 100 kg @ Rp.1.900,- Rp. 190.000,-
- KCl: 50 kg @ Rp. 1.650,- Rp. 82.500,-
4. Pestisida
- Insektisida: 2 liter @ Rp. 50.000,- Rp. 100.000,-
5. Tenaga kerja
- Pengolahan lahan Rp. 450.000,-
- Penanaman: 20 OH @ Rp. 10.000,- Rp. 200.000,-
- Penyiangan dan pembumbunan (borongan) Rp. 50.000,-
- Pemupukan: 20 OH @ Rp. 10.000,- Rp. 200.000,-
- Pemeliharaan lain Rp. 50.000,-
6. Panen Rp. 150.000,-
7. Biaya lain-lain Rp. 100.000,-
Jumlah biaya produksi Rp. 2.697.500,-
b) Pendapatan: 5.500 kg.@ Rp. 650,- Rp. 3.575.000,-
c) Keuntungan bersih Rp. 877.500,-
d) Parameter kelayakan usaha
1. Rasio B/C = Rp.1,325
BAB IX. PENUTUP
Kandungan nutrisi jagung dalam bentuk sosoh, beras, dan tepung sangat memadai untuk bahan pangan. Jagung pipilan kering dapat dimanfaatkan untuk kripik jagung (tortilla chips), marning, emping, susu, dan tape.
Agroindustri pati jagung dan turunannya prospektif untuk meningkatkan nilai tambah jagung yang diharapkan dapat mendorong pengembangan industri gula pati yang menghasilkan sirup glukosa, fruktosa, gula alkohol lainnya, dan bahan baku bioetanol. Industri pati jagung mempunyai produk samping yang bernilai tinggi, yaitu minyak jagung dan gluten.
Peningkatan produksi jagung akan diikuti oleh peningkatan limbah atau biomas (tongkol, batang, dan daun jagung). Limbah tersebut prospektif dikembangkan menjadi produk furfural dan xilitol. Limbah tongkol jagung yang diproses menjadi tepung dapat digunakan sebagai bahan baku industri pakan ayam.
Pengembangan jagung di Provinsi Gorontalo prospektif dilakukan karena ketersediaan lahan kering yang relatif luas, secara sosial jagung telah diterima oleh masyarakat walaupun masih dalam luasan relatif kecil, dan secara ekonomi menguntungkan karena pangsa pasar dalam dan luar negeri masih besar. Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan produksi.
Limbah jagung yang biasanya hanya dibuang, namun dengan sedikit sentuhan teknologi, bahan yang semula hanya dianggap sampah itu dapat diubah menjadi pakan ternak yang bergizi, bahkan dapat mengatasi kelangkaan pakan pada musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Afdi, E. 1989. Modifikasi pati jagung (Zea mays L.). Tesis Fakultas Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. 79 hal. Tidak dipublikasi.
Anonymous. 2004. Alternative sweeteners: a balancing act. J. Asia Pacific
Food Industries. p. 51-54.
Antarlina, S.S. dan J. S. Utomo. 1993. Kue kering dari bahan tepung campuran
jagung, gude, dan kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian TanamanPangan 1992. Balittan Malang.
Azman, K.I. 2000. Kue kering dari tepung komposit terigu-jagung dan ubi kayu.
Sigma Vol. III (2). April-Juni.
BPS. 2005. Statistik Indonesia. Statistics Indonesia and Directorat General of
Foodcrops. Jakarta.
Biswas, S. and N. Vashishtha. 2004. Xylitol: technology and bussiness.
Bray, G.A., S.J. Nielsen, and B.M. Popkin. 2004. Commentary: Consumption
of high-fructose maize syrup in beverages may play a role in the
epidemic of obesity. America Journal of Clinical Nutrition 79(4):537-543.
French, D. 1984. Organization of starch granules. In: R.L. Whistler, J.N.
Bemmiler, dan E.F. Paschall (Eds.) Starch: chemistry and technology.
Academic Press.Inc. New York.
Gokarn, R.R., M.A. Eitman, and J. Sridhar. 1997.Production of succinate by
anaerobic microorganisms in fuels and chemicals from biomass. In: B.C.
Saha and J. Woodward (Eds.). American Chemical Society. Washington-DC.
p. 237-263.
Jaeggle, W. 1975. Integrated production of furfural and acetic acid from
fibrous residues in a continous process. Escher Wyss News 2:1-15.
Juliano, B.O and Kongseree. 1968. Physicochemical properties of rice grain and
starch from line differing in amylase content and gelatinization temperature.
J. Agr and Food Chem. 20:714-717.
Kulkarni, N., A. Shendye and M. Rao. 1999. Molecular and biotechnological
aspects of xylanases. FEMS Microbiol Rev. 23:411-456.
Mansilla HD, J. Baeza, S. Urzua, G. Maturana, J. Villasenor, and N. Duran.
1998. Acid-catalysed hydrolysis of rice hull: Evaluation of furfural
production. J. Bioresource Technol. 66:189-193.
Mercier, C. and P. Colonna. 1988. Starch and enzymes : Innovations in the
products, process and uses. Biofutur. Chimic. p. 55-60.
Munarso, J. dan R. Mudjisihono, 1993. Teknologi pengolahan jagung untuk
menunjang agroindustri pedesaan, Makalah Simposium Penelitian
Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Puslitbangtan,
Bogor.
Richana, N., P. Lestari, N. Chilmijati, dan S. Widowati. 1999. Karakterisasi bahan
berpati (tapioka, garut, dan sagu) dan pemanfaatannya menjadi glukosa cair.
Prosiding PATPI.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG PEMILIHAN JENIS
BAHAN BAKU........................................................................................1
BAB II. KEMANFAATAN JAGUNG.................................................................7
BAB III. PENYEDIAAN BAHAN BAKU DAN VOLUME PRODUKSI.......17
BAB IV. STABILITAS TINGKAT PRODUKSI............................................. 20
BAB V. KONSISTENSI KUALITAS JAGUNG...............................................22
BAB VI. TEKNOLOGI PENGOLAHAN.........................................................24
BAB VII. POTENSI PENGOLAHAN JAGUNG..............................................45
BAB VIII. ANALISA EKONOMI.....................................................................46
BAB IX. PENUTUP...........................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................48
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr. Wb.
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang atas kuasa-Nya sehingga kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Jagung Potensi Gorontalo”. Tugas Makalah ini merupakan kelengakapan Mata Kuliah Bahan Baku Industri yang dapat menambah wacana dan pengetahuan tentang bagaimana menggali potensi daerah Provinsi Gorontalo.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Heru Budi Utomo, M.T sebagai Dosen Bahan Baku Industri pada Magister Sistem Teknik Konsentrasi Teknologi Industri Kecil dan Menengah Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan petunjuk, bimbingan, arahan, motivasi dan dorongan kepada kami sehingga dapat membuat makalah dan mempelajari tentang potensi daerah yang bermanfaat bagi kami khususnya rekan – rekan mahasiswa TIKM angkatan 2008/2009.
Kami menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki banyak kekurangan oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga dapat menyempurnakan makalah ini dan sebelumnya diucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu`alaikum. Wr.Wb
Yogyakarta, Januari 2009
Penyusun