Itu ciri utamanya. Hirarki. Cinta misi berawal dan berujung pada satu dan hanya satu nama: Allah Subhanahu Wataala.
Tapi Allah yang awal dan akhir dari semua cinta berkata pada Nabi dan
kekasih-Nya, Muhammad saw: “Katakanlah pada mereka, jika kamu mencintai
Allah, maka ikutilah aku.” Maka cinta pada Allah harus turun pada cinta
kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. Tapi cinta pada manusia saw mengharuskan
kita mencintai semua manusia yang telah beriman kepadanya, khususnya
para anggota keluarga yang luhur dan sahabat-sahabatnya yang mulia, dan
kepada semua generasi yang datang sesudah mereka dari pada tabiin dan
pengikut para tabiin, serta siapapun yang mengikuti jalan hidup (manhaj)
mereka dari kaum salaf bersama seluruh generasi mukmin hingga hari
kiamat.
Cukup?
Belum! Masih ada lagi. Cinta pada orang beriman yang mengharuskan kita
mencintai semua 'pekerjaan' yang mendekatkan kita pada Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang beriman. Jadi cinta pada Allah harus turun pada orang
dan pekerjaan. Orang-orang itu terdiri dari Nabi dan semua orang
beriman. Pekerjaan itu terdiri dari semua amal shaleh.
Begitu
hirarkinya. Semua cinta kita yang lain hanya akan menjadi lurus kalau
ia menyesuaikan diri dengan hirarki ini. Cinta pada istri-istri dan
anak-anak dan sanak saudara dan handai taulan dan sahabat karib dan
rumah-rumah dan mobil-mobil dan harta-harta dan semua hanya akan menjadi
lurus jika ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta pada Allah
swt. Perasaan kita harus ditata dalam struktur cinta seperti itu.
Cinta
misi adalah sebuah ruang besar tanpa batas. Semua cinta yang lain harus
disusun secara proporsional dalam ruang besar itu. Tidak mudah, memang.
Tapi ini lah sumber keharmonisan jiwa manusia. Hanya ketika emosi
tertata secara apik dalam hararki cinta misi, kita menemukan pemaknaan
yang hakiki terhadap semua aliran emosi kita yang lain. Persis seperti
anak-anak sungai yang mengalir sendiri-sendiri: pada mulanya menyatu
dihulu, lalu tampak berpencar ditengah, tapi kemudian bertemu lagi
dimuara.
Dengan
cara itu Al Banna memaknai cintanya pada Allah dan dakwah. Suatu saat
anaknya terbaring sakit. Panasnya meninggi. Istrinya panik. Beliau
sendiri sedang melakukan aktivitas dakwah. Tapi sang istri memanggilnya
pulang. Ia tidak kuat sendiri menghadapinya. Ia khawatir terjadi sesuatu
pada anak mereka. Tapi sang dai menjawab enteng: “Ajalnya ada di tangan
Allah. Kedatanganku tidak akan menambah atau menguranginya.”