Aroma Cokelat pada Sajian Lebaran
Rabu, 20 Maret 20130 komentar
Ada sejumlah trik yang perlu Anda lakukan untuk membuat kue atau cake dari cokelat. Pastikan Anda menguasai trik itu.
Lebaran tak lama lagi tiba. Jika Anda termasuk orang yang hobi atau biasa membikin sendiri kue-kue Lebaran, kini saatnya menetapkan pilihan: kue seperti apa yang akan Anda buat. Kalau kebetulan Anda dan keluarga Anda menyukai cokelat, kenapa tak membuat aneka kue dan kudapan Lebaran dengan aroma dan cita rasa cokelat. Percayalah, kue buatan Anda itu akan menjadi rebutan.
Siapa sih yang meragukan kelezatan cokelat? Tak hanya anak-anak, remaja dan orang dewasa pun banyak yang tergila-gila pada aneka makanan dan minuman yang terbuat dari cokelat. Dan jika disurvei, dari sepuluh anak-anak, mungkin hanya dua atau tiga saja yang tidak menyukainya. Walau kelezatan dan penggemarnya mendunia, nyatanya tak banyak orang tahu mengenai sejarah dan asal muasal cokelat.
Pohon cokelat adalah tumbuhan asli dari Brasil. Biji cokelat (kakao) telah dimanfaatkan manusia sejak tujuh abad yang lalu. Kala itu, cokelat digunakan sebagai campuran minuman oleh suku Aztec, Maya, dan Inca. Tak hanya sebagai campuran minuman, biji cokelat juga dihargai sangat tinggi oleh mereka sehingga dijadikan sebagai alat tukar (mata uang).
Paul S Halim dalam bukunya berjudul Resep Cokelat menyebut Columbus adalah orang Eropa pertama yang memperkenalkan buah cokelat di Spanyol pada tahun 1502. Sekitar 20 tahun kemudian, Hernando Cortez mempopulerkan minuman cokelat pahit kepada Kaisar Spanyol, Montezuma. Begitu gandrungnya pada cokelat, sang kaisar kemudian menjadi chocoholic atau pecandu cokelat. Ia percaya, minuman dari cokelat akan menambah kekuatan tubuh.
Di Indonesia, cokelat pertama kali diperkenalkan di Batavia (Jakarta) pada awal abad ke-18. Pada tahun 1780-1790 sudah ada panen cokelat di Batavia, namun hasilnya tidak signifikan. Kemudian pada tahun 1822, cokelat mulai ada di Manado, lalu tahun 1830 sudah tumbuh di Ambon, tahun 1867 muncul di Halmahera, dan pada tahun 1880 cokelat dikembangkan oleh perusahaan swasta di Pulau Bacan.
Pada tahun 1960, jumlah produksi biji cokelat di Indonesia masih sangat sedikit yaitu hanya 2.000 ton/tahun. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh rendahnya minat petani Indonesia untuk bertanam cokelat. Minat itu mulai tumbuh pada sekitar tahun 1970. Dan akhir tahun 1980, produksi cokelat Indonesia mulai meningkat dan sebagian besar berasal dari perkebungan cokelat di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan kawasan Indonesia bagian timur. Sekitar tahun 1988, jumlah produksi cokelat Indonesia sudah mencapai 60 ribu ton per tahun. Kini Indonesia merupakan penghasil cokelat terbesar ketiga di dunia.
Jenis cokelat
Bila Anda perhatikan di pasaran, tersedia berbagai jenis cokelat. Lalu, jenis cokelat mana yang mesti Anda pilih? Agar tak salah pilih, simak sifat dan rasa aneka cokelat berikut ini:
* Cokelat bubuk
Cokelat jenis ini berbentuk tepung, mengandung sedikit lemak, dan rasanya pahit. Cukup banyak jenis kue yang diolah dengan campuran cokelat jenis ini.
* Cokelat pahit batangan
Rasa cokelat jenis ini sangat kuat. Para pembuat kue suka menggunakannya karena memudahnya mereka mengontrol rasa manis dan aroma cokelat pada produk. * Cokelat manis
Sesuai namanya, cokelat ini berasa manis karena mengandung sedikit gula. Sementara kandungan cokelatnya sekitar 50 persen. * Cokelat susu
Cokelat yang satu ini pasti disukai anak-anak karena bisa langsung disantap dengan rasa yang manis dan lembut karena mengandung susu. Jika Anda hendak membikin kue, cokelat jenis ini bukanlah pilihan yang baik. Selain kandungan cokelatnya relatif sedikit, cokelat ini mudah hangus bila dilelehkan. * Cokelat keping
Kalau Anda hendak membuat muffins, cokelat ini perlu Anda beli. Jangan khawatir, cokelat berbentuk butiran-butiran kecil ini akan tetap bagus walau dipanggang dalam oven. * Cokelat putih
Cokelat ini terbuat dari lemak cokelat, gula, dan vanili. Ia tak mengandung cokelat padat. Karena mudah hangus, masaklah dengan hati-hati.
Melelehkan cokelat
Cokelat memang lezat dan gampang didapat. Namun, mesti Anda pahami bahwa cokelat tergolong bahan yang agak 'rewel'. Karena sifatnya itu, Anda mesti memperlakukannya dengan hati-hati. Misalnya, saat melelehkan cokelat. Pastikan semua peralatan dalam keadaan kering. Mengapa? Sebab, kehadiran setetes saja cairan dingin saat cokelat tengah meleleh, bisa membuat cokelat menjadi kental dan berbulir. Suhu juga mesti Anda perhatikan. Sebab, cokelat akan hangus bila dilelehkan pada suhu terlalu tinggi.
Lebih rinci mengenai trik melelehkan cokelat, simak tips yang pernah diberikan oleh baker profesional, Oktavianus Sumeke. Untuk melelehkan cokelat, siapkan panci berisi air, lalu jerang di atas api. Setelah mendidih, rendam cokelat di dalamnya. Tentu cokelat tak langsung direndam di dalam air mendidih itu, melainkan ditempatkan dalam sebuah wadah stainless steel yang ukurannya lebih kecil dari panci tadi. Rendam terus sambil diaduk-aduk sampai semua cokelat meleleh. Ia bilang, proses pencairan cokelat seperti ini dinamakan bain marie.
Setelah dilelehkan, cokelat bisa dituangkan ke atas kue atau ke dalam cetakan. Jika akan disiramkan di atas cake, beberapa hal perlu diperhatikan. ''Sebelum disiram, cake harus diratakan dulu dengan krim, selai, atau campuran cokelat dengan mentega. Ini perlu dilakukan karena permukaan cake biasanya tidak rata,'' terang pria yang akrab disapa Okke ini. Apa jadinya bila permukaan cake yang masih 'asli' ini langsung disiram cokelat? Permukaan cake setelah disiram cokelat akan tampak bergelombang. Tentu kurang cantik, bukan? n nri
Malaysia Produsen Cokelat Terbesar di Asia
KUALA LUMPUR -- Malaysia mengukuhkan dirinya menjadi negara penghasil cokelat terbesar di kawasan Asia. Dengan total target produksi sebanyak 270 ribu ton pada tahun ini, negeri jiran itu bakal menjadi penghasil cokelat terbesar keempat di dunia.
Menurut Menteri Industri Pekebunan dan Komoditas, Peter Chin Fah Kui, kapasitas produksi cokelat Malaysia pada 2005 mencapai 285.647 ton. Total produksi cokelat sebanyak itu, setera dengan 7,6 persen produksi cokelat dunia.
"Pada 2010, Malaysia akan menduduki posisi nomor satu sebagai penghasil cokelat dunia,'' ujar Chin seperti yang dikutip surat kabar Star. Untuk menjadi penghasil cokelat nomor satu di seantero dunia, Malaysia menargetkan total produksi yang harus dicapai pada 2010 mencapai 360 ribu ton.
Chin optimistis target itu bisa tercapai. Untuk menjadi penghasil cokelat nomor wahid di dunia, Malaysia akan berupaya meningkatkan kapasitas produksi dengan melakukan ekspansi secara terus-menerus. Selain itu, pihaknya juga berjanji untuk meningkatkan fasilitas produksi serta efisiensi dalam proses pengolahan.
Angka pendapatan dari hasil ekspor biji cokelat dan produk-produk cokelat telah meningkat secara signifikan sepanjang lima tahun terakhir. Chin mengatakan, nilai ekspor biji cokelat dan produknya diharapkan dapat meningkat hingga mencapai 2 miliar ringgit, atau 548 juta dolar AS. Tahun lalu, nilai ekspor cokelat Malaysia mencapai 1,9 miliar ringgit.
Amerika Serikat (AS) merupakan pasar utama biji cokelat dan produknya yang dihasilkan Malysia. Menurut Chin, selain AS pasar cokelat yang paling potensial adalah Eropa dan Asia. Kini, China menjadi salah satu pasar yang juga menjanjikan.
Sebagai informasi, penanaman cokelat secara komersil di Malaysia bermula pada awal tahun 1950-an. Gara-gara harga cokelat kian melambung, maka penanaman cokelat di negara jiran itu terus berkembang pesat pada tahun 1970/80-an. Pada 1989, luas perkebunan cokelat Malaysia sudah mencapai 414.236 hektare.
Namun, pada 2005 kawasan tanaman cokelat Malaysia turun hingga 19 persen menjadi 33.313 hektare dari 41,612 hektare pada tahun 2004. Menyusutnya lahan perkebunan cokelat itu terjadi seiring dengan berkembangnya kawasan pemukiman. Berkurangnya lahan perkebunan cokelat terjadi hampir di berbagai wilayah penghasil cokelat di Malaysia.
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=272655&kat_id=&kat_id1=&kat_id2=
Tak Mau Repot dengan Fermentasi
KAKAO Indonesia dikenal di pasar dunia sebagai kakao kualitas asalan. Namun demikian, kakao tersebut tetap dibutuhkan sebagai bahan baku penting bagi industri makanan cokelat dan kosmetika. Hanya saja, harga kakao kita memang agak lebih murah dibanding produksi negara lain, seperti Afrika dan Amerika Selatan.
PREDIKAT kualitas asalan sering kali dikaitkan dengan cara pengolahan di tingkat petani yang masih serampangan. Setelah dikeluarkan dari kulit buahnya, biji kakao langsung dijemur tanpa difermentasi lebih dulu.
Cara kerja serampangan itu terkait pula dengan kondisi sosial ekonomi petani. Pengolahan dengan cara fermentasi membutuhkan proses waktu agak lama. Padahal, kebutuhan hidup petani sudah mendesak. Petani membutuhkan uang secepatnya. Di lain pihak, pedagang juga mau membeli kakao kualitas asalan tersebut.
Bukan hanya pedagang pengumpul, tetapi eksportir pun membeli kakao yang tidak difermentasi. Kakao asalan itu selama ini lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat. Dengan demikian, kesalahan memproduksi kakao asalan jangan ditimpakan kepada petani saja.
Para petani di Kolaka Utara, salah satu sentra produksi kakao di Sulawesi Tenggara (Sultra), malah lebih tegas menyalahkan pasar. "Kami memproduksi kakao sesuai permintaan pasar", kata H Sanusi (45), petani merangkap pedagang pengumpul kakao di Desa Lapai, 348 kilometer dari Kota Kendari, akhir April 2003.
Bagi para petani setempat, pengolahan dengan fermentasi memang dianggap merepotkan. Namun, bila pasar sudah tidak lagi menerima kakao nonfermentasi, mereka pun akan melakukan proses pemeraman itu. Sekarang, hal itu dianggap belum waktunya dilaksanakan, karena kakao nonfermentasi masih berjaya di pasar lokal dan dunia.
Kendati demikian, pemerintah dan pengusaha kakao sebetulnya tetap berupaya meningkatkan mutu kakao, sehingga predikat kakao asalan tidak mendominasi citra kakao Indonesia di pasar dunia.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) misalnya, beberapa tahun lalu membuat kebijakan yang memaksa petani melakukan fermentasi, dengan cara menetapkan harga kakao fermentasi lebih tinggi dari kakao nonfermentasi. Sejalan dengan itu, dilaksanakan pula program penyuluhan dan penyediaan fasilitas fermentasi di sentra-sentra kakao. Program serupa juga pernah dilaksanakan di Sultra.
Akan tetapi, upaya tersebut tidak berhasil. Pasalnya, kakao nonfermentasi masih laku. Lambat laun petani yang menjadi peserta program fermentasi pun kembali mengolah kakao tanpa proses fermentasi.
Harga kakao fermentasi hanya terpaut sekitar Rp 700 per kilogram, lebih mahal dari kakao nonfermentasi.
"Kelemahan lainnya, program itu tidak berjalan secara massal dan simultan", kata La Odi Mandong, Sekretaris Eksekutif Askindo Sulsel.
PROSES fermentasi sebetulnya pekerjaan mudah. Setelah dipetik dari pohonnya, buah kakao diperam selama kurang lebih sembilan hari. Setelah itu buah kakao dipecah dengan menggunakan batang kayu atau alat lain sehingga bijinya terlepas.
Biji yang berlendir itu lalu ditampung di kotak kayu mirip peti dan diperam selama lima hari. Bagian atas kotak tadi ditutup dengan daun pisang atau sobekan kain untuk menjebak aroma khas cokelat pada biji-bijian tersebut. Aroma khas itu tak bakal hilang kendati biji kakao telah diolah menjadi tepung, bubur, bahkan telah menjadi balok cokelat, permen, dan berbagai produk jadi lainnya.
Pada hari keenam, onggokan biji kakao dalam kotak dipindahkan ke lantai penjemuran (para-para) dalam rangka proses pengeringan. Pada saat itu biji kakao, yang sebelum difermentasi berwarna coklat pucat, berubah menjadi warna cokelat asli dengan aroma yang semerbak. Penjemuran biji kakao yang dianjurkan paling lama dua hari.
Setelah itu biji kakao siap ditimbang, dan berpindah tangan dari petani ke pedagang. Mutu kakao yang kini di tangan pedagang itu sudah terjamin bagus dengan indikator utama yaitu aroma cokelat yang sangat khas tadi. Pedagang selanjutnya menyempurnakan proses pengeringan biji kakao hingga batas toleransi tujuh persen sebelum dibeli eksportir atau pabrik pengolahan.
Proses pengeringan tambahan itu bisa menggunakan tungku dengan energi dari kayu bakar, dan ada juga sistem kompor dengan energi dari minyak tanah. Beberapa pedagang di Ladongi, sentra kakao lainnya di Kabupaten Kolaka, menggunakan kedua sistem itu.
Seperti dikemukakan Ketua Askindo Sulsel Halim A Razak, bila petani mau maju mereka harus meningkatkan mutu hasil perkebunannya dengan cara fermentasi. Proses pengolahan seperti itu pada hakikatnya juga mendidik petani untuk bekerja secara terstruktur dalam rangka mengembangkan perilaku disiplin dan profesionalisme.
"Jangan terus-menerus memegang prinsip bahwa tanpa fermentasi pun biji kakao tetap laku juga di pasaran. Itu namanya tidak mau maju", katanya.
Selanjutnya ia berkata, biji kakao fermentasi sudah jelas lebih mahal dari biji nonfermentasi. Selisihnya sekitar 200 dollar per ton. Selama ini yang secara konsisten melakukan fermentasi adalah PT perkebunan (PTP) yang bergerak di bidang tersebut. Itu dianggap wajar karena BUMN-BUMN itu telah memiliki mekanisme kerja yang baku serta dukungan dana yang memadai.
BUDAYA fermentasi memang perlu ditularkan kepada masyarakat petani kakao. Langkah yang lebih efektif barangkali adalah menumbuhkan motivasi di kalangan petani sendiri, seperti yang dilakukan secara bertahap oleh Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra.
Setelah penyuluhan direspons, langkah itu diikuti dengan pemberdayaan secara finansial. Para petani secara berkelompok dirangsang dengan penyediaan modal kerja melalui pinjaman lunak yang telah diprogramkan pemerintah sejak sebelum reformasi.
Kelompok tani Mukti Tani di Ladongi dengan anggota sebanyak 25 orang petani oleh Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra dijadikan kelompok sasaran pembinaan sebagai tahap permulaan.
Kelompok yang dikoordinasi H Selang Tiro (49) itu direkomendasikan untuk mendapatkan kredit lunak lima persen setahun dari Bank Mandiri. Dana tersebut bersumber dari Pertamina dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah dengan menyisihkan sebagian (2-5 persen) keuntungan BUMN untuk usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Dengan agunan kebun kakao seluas 52 hektar, Pertamina mengucurkan dana pinjaman sebesar Rp 520 juta terhitung sejak Februari 2003. Setiap anggota kelompok mendapat porsi sekitar Rp 20 juta.
Dana ini digunakan untuk pengadaan kotak fermentasi dan lantai jemuran, pengadaan pupuk, obat-obatan, pemangkasan, pemetikan dan pengolahan hasil, dan sebagainya. Total angsuran yang disetor kelompok tani tersebut setiap bulan adalah Rp 15.800.000.
Seperti diakui Selang Tiro, kelompoknya memiliki semangat untuk melakukan fermentasi karena adanya suntikan modal kerja. Dengan demikian, mereka tidak terburu-buru menjual biji kakao.
Anehnya, harga biji kakao hasil fermentasi di Ladongi yang berbatasan dengan Kabupaten Kendari, hanya sekitar Rp 12.000 per kg, sementara harga kakao asalan di Kolaka Utara pada minggu terakhir bulan April 2003 tercatat Rp 14.000 sampai Rp 15.000 per kg. "Biji kakao kami memang lebih besar dari Ladongi", ujar H Sanusi.
Tidak jelas apakah biji kakao hasil fermentasi tersebut sudah sama kualitasnya dengan produksi PTP. Yang sudah jelas ialah importir biji kakao Indonesia di Eropa dan Amerika selama ini mengenakan potongan harga dengan alasan mutu kakao kita rendah.
Mutu kakao Indonesia di mata pengusaha industri makanan cokelat memang tidak sebagus kakao Pantai Gading dan Gana.
"Biji dari Gana adalah yang terbaik di dunia, baik dari segi cita rasa maupun kebersihan", tutur Sari Nurlan, Humas PT Effem Indonesia Makassar.
Perusahaan asing tersebut merupakan anggota Kelom- pok Mars yang memiliki jaringan pabrik cokelat di AS, Australia, Cina, dan Medan (Sumatera Utara). Pabrik di Me- dan memproduksi makanan cokelat antara lain merek Snickers dan Milk Way. Selain cokelat untuk konsumsi manusia, kelompok tersebut juga memproduksi cokelat untuk makanan hewan seperti anjing dan kucing.
Jangan lekas berkecil hati jika dikatakan kakao kita kurang bermutu dibanding kakao Afrika maupun Amerika Selatan. Masalah yang sangat mendasar adalah faktor iklim, kondisi tanah, jenis bibit, dan juga teknik budidaya yang berbeda.
Kendati cita rasa tak sebagus Afrika, kakao Indonesia dinilai masih memiliki keunggulan lain sehingga tetap dianggap penting dan dibutuhkan sebagai bahan pencampur kakao bermutu tinggi dari negara lain. Butter kakao kita dibilang sangat keras, sehingga sangat bagus untuk meningkatkan stabilitas cokelat agar tidak mudah meleleh.
Keunggulan yang lain tentu saja soal aroma. Oleh karena itu, proses fermentasi nampaknya memang merupakan keharusan. (YAS)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/16/teropong/335025.htm
Sektor Agroindustri Potensi Besar, Dukungan Kurang
Sumber : Harian Kompas
Update : 15 Mei 2007, Jam : 11:16:24
Jakarta - Saat krisis moneter melanda 10 tahun lalu, pertanian termasuk sektor yang relatif aman. Ketika sektor lainnya, seperti properti dan keuangan, terkapar, pekerja di sektor perkebunan malah menikmati keuntungan. Namun, sayangnya, pemerintah masih saja melupakan peran sektor riil sebagai katup pengaman ekonomi nasional.
Ambil contoh saja di bidang pertanian. Daya dukung sektor pertanian yang diinginkan dari pemerintah meliputi infrastruktur, pengembangan industri off farm, akses pembiayaan yang berpihak kepada petani, jaminan pasar, kebijakan hukum yang memberikan kepastian investasi jangka panjang, dan ketersediaan sarana produksi.
Namun, semua kebijakan yang diharapkan memberi dukungan pada sektor riil ini diabaikan pemerintah. Pemerintah lebih gemar berkutat pada kebijakan-kebijakan ekonomi jangka pendek yang justru menghancurkan sektor pertanian.
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang juga pengusaha sapi, Siswono Yudo Husodo, mengatakan, jangankan berharap pada modal luar negeri masuk, pemodal dalam negeri pun kurang tertarik dengan sektor pertanian, kecuali investasi di perkebunan sawit dan cokelat.
Rendahnya minat investor melirik sektor pertanian karena dua alasan. Pertama, return of investment lambat. Kedua investasi di bidang pertanian, khususnya on farm, memiliki risiko yang tinggi karena sektor ini amat bergantung pada kondisi musim.
Padahal, prospek berinvestasi di bidang pertanian sangat besar. Untuk produk minyak sawit mentah (CPO), misalnya, Indonesia berada di urutan kedua setelah Malaysia. Produksi cokelat kita nomor tiga setelah Pantai Gading dan Ghana, sedangkan karet alam terbesar kedua setelah Thailand.
Minim perhatian
Namun, sayangnya, perhatian pemerintah pada ketiga komoditas ini dan umumnya hampir semua komoditas pertanian masih terfokus pada on farm, belum pada industri hilir off farm yang memberikan nilai tambah.
Siswono mencontohkan, produksi cokelat Indonesia setiap tahun mencapai sekitar 600.000 ton, tetapi kapasitas produksi pabrik di Indonesia hanya 160.000 ton. "Cokelat sebanyak 340.000 ton diolah di luar negeri sehingga tambahnya terserap juga ke sana," katanya.
Berbeda dengan Malaysia. Produksi cokelat Malaysia hanya 30.000 ton, tetapi kapasitas produksi pabriknya mencapai 10 kali lipatnya atau sekitar 300.000 ton. Singapura tidak memiliki ladang cokelat, tetapi memiliki pabrik yang kapasitas produksinya mencapai 160.000 ton. Indonesia yang menghasilkan, negara lain yang memperoleh nilai tambah.
Kondisi serupa juga terjadi pada industri hilir kelapa sawit. Dari produksi CPO sebanyak 16 juta ton tahun 2006, hanya 3,8 juta ton terserap untuk industri dalam negeri, selebihnya diekspor.
Kondisi ini terjadi akibat kemampuan industri hilir kelapa sawit kita jauh tertinggal dari Malaysia. Pemerintah Malaysia sangat serius mendukung investasi perkebunan. Di antaranya, pengembalian pajak ekspor untuk penelitian dan pengembangan produk. Selain itu, juga perbaikan infrastruktur dan membangun sistem hukum yang menjamin investor perkebunan, khususnya soal lahan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Akmaluddin Hasibuan mengatakan, selama pemerintah belum memberi jaminan hukum soal status lahan, maka investor masih enggan menanamkan modal di sektor perkebunan. Padahal, perkebunan kelapa sawit saat ini semakin prospektif karena meningkatnya permintaan CPO untuk bahan baku biodiesel.
Kenaikan harga CPO dari 600 dollar AS per ton sejak Januari 2007 menjadi 750 dollar AS per ton sampai akhir April 2007 tidak serta-merta mendorong pemilik dana di pasar modal beralih ke sektor perkebunan. Mereka lebih memilih mencari laba jangka pendek di pasar modal ketimbang masuk ke sektor riil dengan investasi langsung.
"Investasi langsung berarti mereka harus membangun kebun, infrastruktur, dan industri hilirnya. Tanpa jaminan hukum dari pemerintah, terutama soal status lahan, tentu investor akan tetap enggan masuk ke sektor perkebunan," kata Akmaluddin.
Direktur Utama PT Sumber Alam Sutera Babay Chalimi mengatakan, rendahnya minat investor menanamkan modal di bidang pertanian salah satunya karena tidak ada konsistensi kebijakan pemerintah. Investor kerap ragu mengambil keputusan sebab kebijakan pemerintah kerap berubah sewaktu-waktu.
Selain itu, masalah infrastruktur juga harus menjadi perhatian utama pemerintah. Babay mencontohkan, ketika pihaknya mengembangkan produksi padi hibrida di daerah rawa pasang surut di Lampung, infrastruktur amat tidak mendukung.
"Harga gabah kering panen yang idealnya minimal Rp 2.000 per kilogram hanya dibeli Rp 1.500 per kilogram. Minimnya margin yang didapat petani membuat ekonomi pedesaan kurang berkembang," kata Babay.
Terkait dengan kebijakan peningkatan produksi beras, misalnya, ada ketidakkonsistenan sikap pemerintah. Di satu sisi, peningkatan produksi diharapkan naik, tetapi, di sisi lain, masuknya benih untuk program itu dihambat. Upaya mengembangkan industri benih lokal tidak didukung penyerapan yang optimal oleh petani.
Peneliti studi pedesaan dan kawasan Universitas Gadjah Mada, M Maksum, mengatakan, investasi sektor pertanian akan terealisasi jika pemerintah serius mengarahkan kebijakan pembangunan ekonomi ke agrobisnis dan pedesaan.
Pengembangan industri on farm, off farm, dan nonpertanian akan memberikan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. Dampaknya, roda perekonomian di desa akan berputar dan mendorong konsumsi.
"Jika Indonesia mau bangkit, pembangunan harus diarahkan ke industri berbasis sumber daya pertanian. Karena, hanya di situ kita mampu dan lebih unggul dari negara lain," kata Maksum.
http://www.ptpn13.com/index.php?id=89
Selasa, 10 April 2007
Gapkasi desak pemerintah larang ekspor kakao asalan
PALU: Gabungan Petani Kakao Seluruh Indonesia (Gapkasi) mendesak pemerintah mengeluarkan regulasi larangan mengekspor kakao asalan (nonfermentasi). Ketua Gapkasi Ahwan Ahmad mengatakan regulasi pemerintah melarang ekspor kakao asalan akan menguntungkan petani yang selama ini kehilangan nilai tambah dari penjualan.
Sebenarnya, kata dia, petani akan mendapat nilai tambah jika menjual kakao fermentasi kepada pedagang pengumpul atau eksportir, namun pihak pedagang membeli kakao fermentasi dengan harga yang sama kakao asalan. "Petani tidak perlu diimbau melakukan fermentasi jika dibeli dengan harga lebih dibandingkan kakao asalan. Namun dengan kondisi seperti sekarang ini, posisi tawar petani lemah terhadap pedagang," katanya.
Menurut dia, pemerintah mesti mengambil kebijakan tegas dengan mengeluarkan regulasi larangan mengekspor kakao nonfermentasi, selain menguntungkan petani juga membantu industri pengolahan di Indonesia yang hingga saat ini masih mengimpor kakao fermentasi dari Ghana dan Pantai Gading. "Sangat ironis, Indonesia yang merupakan negara penghasil kakao terbesar di dunia, justru mengimpor kakao fermentasi dari negara lain," ujarnya.
Perbadingan produksi kakao Indonesia & Malaysia
Produksi kakao Indonesia 2006 470.000 ton
Kapasitas produksi pengolahan/tahun 100.000 ton
Produksi kakao Malaysia 2006 40.000 ton
Kapasitas produksi pengolahan/tahun 350.000 ton
Sumber : Gapkasi
Lebih lanjut, Ketua Yayasan Pemerhati Masyarakat Miskin Indonesia ini mengatakan, alternatif terburuk yang dapat ditempuh pemerintah dengan memberlakukan pajak yang tinggi terhadap ekspor kakao asalan dibandingkan kakao fermentasi. "Kebijakan ini akan mendorong eksportir lebih memilih kakao fermentasi," katanya menambahkan.
Bubarkan KKN
Pada kesempatan itu, dia juga meminta pemerintah membubarkan Komisi Kakao Nasional (KKN) karena sejak dibentuk dua tahun lalu belum memberikan kontribusi yang berarti terhadap kemajuan perkakaoan di tanah air.
"Komisi Kakao Nasional tidak berperan maksimal dalam membenahi berbagai persoalan yang melingkupi masyarakat kakao Indonesia karena lembaga bentukan pemerintah itu disusupi agen asing dari kalangan asosiasi pedagang."
Kelompok yang mendapat komisi dari pedagang di pasar internasional ini berupaya agar Indonesia hanya bisa mengekspor kakao asalan. "Jadi mafia perdagang internasional untuk komoditas kakao memiliki orang yang duduk di Komisi Kakao Nasional," katanya menegaskan.
Menurut Ahwan, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat kakao Indonesia yang belum tertangani dengan baik, mulai dari kualitas biji kakao kering hingga rendahnya produksi pengolahan.
Indonesia kehilangan nilai tambah sekitar US$300 dollar per ton karena mendapat potongan dari importir dan tidak memperoleh bonus dari pembeli di luar negeri akibat rendahnya kualitas. Indonesia juga mengimpor kakao fermentasi dari negara Ghana puluhan ribu ton tiap tahun untuk kepentingan industri di dalam negeri.
Penerapan standardisasi kakao Indonesia untuk menggenjot kualitas agar posisi tawar di pasar internasional lebih kuat, juga belum terealisasi. "Semua masalah ini sulit tertangani oleh Komisi Kakao Nasional karena kepentingan asing sangat kuat," ujar Ahwan. Antara.
http://www.londonsumatra.com/docs/clips/clips,id,20070410.htm#Gapkasi
KAKAO INDONESIA DIKANCAH PERKAKAOAN DUNIA
Herman
I. Pendahuluan
Setelah terpuruk ketitik terendah selama 30 tahun terakhir pada tahun 2000, harga biji kakao dunia mulai bangkit. Kebangkitan harga tersebut bersifat fundamental karena didukung oleh defisit produksi yang cukup tinggi. Namun pada awal tahun 2004 harga biji kakao dunia melemah atau terkoreksi karena produksi kakao tahun 2003/04 diperkirakan kembali menghasilkan surplus walaupun tidak besar. Harga kakao kembali sedikit menguat pada bulan Juli dan Agustur 2004, karena dipicu oleh peningkatan pengolahan biji kakao dunia.
Beberapa bulan ke depan harga kakao relatif tetap tinggi, karena produksi dan konsumsi biji kakao berada dalam keseimbangan dan rasio stok/pengolahan relatif rendah yaitu 41,9%. Rasio stok/pengolahan tersebut hanya sedikit diatas rasio stok/pengolahan dua tahun terakhir, tatapi masih jauh dibawah rasio stok/pengolahan kakao tahun 1988 hingga tahun 2000 yang biasanya berada pada kisaran 46%-66,5%.
Perbaikan harga tiga tahun terakhir tidak sepenuhnya bisa dinikmati petani kakao Indonesia karena petani menghadapi masalah hama penggerek buah kakao (PBK), sehingga produktivitas kebun mereka umumnya turun. Hama PBK telah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao Indonesia terutama di sentra produksi di Sulawesi. Oleh karena itu perlu upaya pengendalian hama PBK kalau kita tidak ingin mengikuti jejak Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya dapat dikatakan telah memasuki ambang kepunahan.
II. Perkembangan Produksi Kakao Dunia
Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2002/03, produksi kakao dunia tercatat sebesar 3.102 ribu ton. Wilayah Afrika memproduksi biji kakao sebesar 2.158 ribu ton atau 69,6% produksi dunia. Sementara Asia Oceania dan Amerika Latin masing masing memproduksi 528 ribu ton dan 416 ribu ton atau 17,0% dan 13,4% produksi dunia.
Produsen utama kakao di wilayah Afrika adalah Pantai Gading dengan total produksi 1.320 ribu ton. Negara produsen lainnya adalah Ghana , Nigeria dan Kameron dengan produksi masing-masing 497 ribu ton, 165 ribu ton dan 140 ribu ton. Di wilayah Asia Oceania, Indonesia merupakan produsen utama dengan total produksi 425 ribu ton, diikuti oleh Papua New Guinea dan Malaysia . Sementara produsen utama kakao di wilayah Amerika Latin adalah Brazil dengan total produksi 165 ribu ton, diikuti oleh Ekuador, Dominika , Colombia dan Mexiko.
Secara regional, pangsa produksi selama lima tahun terakhir (1996/97-2001/02) mengalami sedikit perubahan. Wilayah Afrika sebagai produsen utama kakao dunia mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 3,5% dari 64,6% menjadi 68,1%. Sementara itu, di wilayah Asia Oceania juga mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 1,5% dari 17,4% menjadi 18,9%. Sedangkan wilayah Amerika Latin mengalami penyusutan pangsa produksi dari 18,0% menjadi 13,0%.
Pangsa produksi masing-masing wilayah kembali bergeser pada tahun 2002/03, karena terjadi peningkatan produksi yang cukup tajam di Pantai gading dan Ghana dan penurunan produksi di Indonesia. Produksi kakao Pantai Gading kembali meningkat menjadi 1320 ribu ton, sedikit dibawah rekor produksi tahun 1999/00. Sementara itu, Ghana mampu meningkatkan produksi kakaonya menjadi 497 ribu ton, sehingga melampaui produksi kakao Indonesia yang turun menjadi 425 ribu ton (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Produksi Kakao Dunia (ribu ton)
Tahun
P. Gading
Indonesia
Ghana
Negeria
Brazil
Lainnya
Total
1998/99
1.163
390
397
198
138
522
2.808
1999/00
1.404
422
437
165
124
526
3.078
2000/01
1.212
392
395
177
163
514
2.853
2001/02
1.265
455
341
185
124
491
2.861
2002/03
1.320
425
497
165
163
532
3.102
Sumber: International Cocoa Organization (ICCO), 2003a.
Peningkatan produksi kakao di Pantai Gading terjadi karena kondisi politik di negara tersebut makin telah membaik. Sementara peningkatan produksi kakao yang cukup tajam di Ghana merupakan buah keberhasilan para pekebun mengatasi serangan penyakit dan keberhasilan pemerintahnya mengatasi penyeludupan biji kakao. Sedangkan penurunan produksi kakao Indonesia terutama disebabkan oleh makin meningkatnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK)di hampir seluruh sentra produksi kakao Indonesia .
III. Perkembangan Konsumsi Kakao Dunia.
Konsumsi kakao dapat dibedakan antara konsumsi biji kakao dan konsumsi cokelat. Konsumsi biji kakao dihitung berdasarkan kapasitas pengolahan atau grinding capacity , sedangkan konsumsi cokelat dihitung berdasarkan indeks per kapita.
Dalam perdagangan kakao, konsumsi biji kakaolah yang berkaitan langsung dengan produksi dan interaksi keduanya menentukan harga kakao dunia. Harga kakao bergerak naik jika konsumsi biji kakao lebih besar dari produksinya dan sebaliknya harga kakao akan merosot apabila konsumsi biji kakao lebih kecil dari produksi.
Konsumsi biji kakao dunia sedikit berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Negara konsumen utama biji kakao dunia adalah Belanda yang mengkonsumsi 452 ribu ton pada tahun 2000/01. Konsumsi negara ini diperkirakan menurun menjadi 418 ribu ton tahun 2001/02 dan 440 ribu ton tahun 2002/03.
Konsumen besar lainnya adalah Amerika Serikat, diikuti Pantai Gading, Jerman dan Brazil yang masing masing mengkonsumsi 456 ribu ton, 285 ribu ton, 227 ribu ton dan 195 ribu ton pada tahun 2000/01. Diperkirakan pada tahun 2001/02 dan 2002/03 konsumsi negara-negara konsumen utama kakao dunia ini relatif stabil, kecuali Amerika Serikat dan Jerman yang sedikit mengalami penurunan (International Cocoa Organization, 2003).
Sementara itu konsumsi cokelat dunia masih didominasi oleh negara-negara maju terutama masyarakat Eropa yang tingkat konsumsi rata-ratanya sudah lebih dari 1,87kg per kapita per tahun. Konsumsi per kapita tertinggi ditempati oleh Belgia dengan tingkat konsumsi 5,34 kg/kapita/tahun, diikuti Eslandia, Irlandia, Luxembur, dan Austria masing-masing 4,88 kg, 4,77 kg, 4,36 kg dan 4,05 kg/kapita/tahun.
Selanjutnya jika dilihat total konsumsi, maka konsumen terbesar cokelat adalah Amerika serikat dengan total konsumsi 653 ribu ton atau rata-rata 2,25 ka/kapita/tahun pada tahun 2001/02. Negara konsumen besar lainnya adalah Jerman, Prancis, Inggris, Rusia dan Jepang dengan konsumsi masing-masing 283 ribu ton, 215 ribu ton, 208 ribu ton, 180 ribu ton dan 145 ribu ton.
Pada kelompok negara produsen, hanya Brazil yang dapat dikategorikan sebagai konsumen cokelat utama dengan total konsumsi sebesar 105,2 ribu ton atau rata-rata 0,6 kg/kapita. Sedangkan, konsumsi negara produsen lainnya masih sangat rendah. Pantai Gading hanya mengkonsumsi 8,5 ribu ton, Ghana 10 ribu ton, Nigeria 14 ribu ton dan Indonesia 12 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003).
IV. Perdagangan Kakao Dunia
Perdagangan kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan produk akhir (cokelat), sedangkan produk antara (cacao butter, cocoa powder dan cocoa paste) volumenya relatif kecil. Pada tahun 2001/02, volume ekspor biji kakao mencapai 2,12 juta ton, dan re-ekspor 235 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003 ).
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir (cokelat) mencapai 2,9 juta ton. Sementara volume ekspor kakao butter, kakao powder dan kakao paste masing-masing sebesar 528 ribu ton, 594 ribu ton dan 341 ribu ton.
Eksportir utama biji kakao dunia tahun 2001/02 ditempati oleh Pantai Gading dengan total ekspor 1 juta ton. Eksportir terbesar berikutnya adalah Indonesia, Ghana dan Nigeria dengan volume masing-masing 365 ribu ton, 285 ribu ton dan 160 ribu ton.
Di sisi lain, importir terbesar biji kakao dunia adalah Belanda dengan volume 493 ribu ton, diikuti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Malaysia dan Inggris dengan volume impor masing-masing 397 ribu ton, 212 ribu ton, 143 ribu ton, 114 ribu ton, dan 107 ribu ton. Belanda sebagai importir terbesar biji kakao sekaligus berperan sebagai re-ekspor terbesar biji kakao dunia dengan volume 78,2 ribu ton.
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir kakao (cokelat) terbesar ditempati oleh Jerman dengan total ekspor 405 ribu ton, disusul Belgia, Kanada, Prancis dan Belanda dengan volume ekspor masing-masing 332 ribu ton, 266 ribu ton, 228 ribu ton dan 215 ribu ton. Sementara itu, importir terbesar produk akhir kakao adalah Amerika Serikat dengan volume 382 ribu ton, diikuti Prancis dan Jerman masing-masing 308 ribu ton dan 270 ribu ton.
V. Perkembangan Harga
Setelah terpuruk ketitik terendah US $c 36,33/lb selama 30 tahun terakhir pada bulan Nopember 2000, harga kakao merambat naik menembus US $c 50/lb pada bulan Februari 2001, kemudian sedikit berfluktuasi hingga mencapai tingkat tertinggi US $c 60,64/lb pada bulan Desember 2001.
Kenaikan harga kakao dunia terus berlanjut hingga menembus US $ 100/lb pada bulan Oktober 2002 dan merupakan puncak harga tertinggi selama 16 tahun terakhir. Selanjutnya harga kakao dunia sedikit melemah pada bulan Nopember dan kembali menguat pada bulan Desember 2002 hingga Februari 2003 dan kembali melemah hingga Juni 2004, kemudian sedikit menguat hingga Agustus 2004. Harga kakao rata-rata tahun 2002 dan 2003 tercatat masing-masing US $c 80,65/lb dan US $c 79,6/lb (Gambar 1).
Gambar 1. Perkembangan Harga Kakao Dunia (Indikator ICCO)
Peningkatan harga kakao yang sangat tajam sepanjang tahun 2002 terutama dipicu oleh perkiraan defisit produksi kakao dunia yang berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Setelah mencapai tingkat harga yang cukup tinggi, harga kakao berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat sejak September 2002 hingga Pebruari 2003.
Penguatan harga tersebut diwarnai oleh perkiraan defisit produksi sebesar 120 ribu ton pada tahun 2002/03 yang dipublikasi oleh International Cocoa Organization (ICCO) awal tahun 2003. Selanjutnya harga kakao mulai melemah karena ICCO melakukan revisi terhadap perkiraan defisit produksi menjadi hanya sebesar 10 ribu ton. Sepanjang tahun 2004, harga kakao dunia berfluktuasi antara US $c 63,86-78,44/lb.
Beberapa bulan ke depan diperkirakan harga kakao dunia relatif tetap tinggi, karena produksi dan konsumsi biji kakao berada dalam keseimbangan dan rasio stok/pengolahan relatif rendah yaitu 41,9%. Rasio stok/pengolahan tersebut hanya sedikit diatas rasio stok/pengolahan dua tahun terakhir, tatapi masih jauh dibawah rasio stok/pengolahan kakao tahun 1988 hingga tahun 2000 yang biasanya berada pada kisaran 46%-66,5%.
VI. Prospek Kakao Indonesia
Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulsel, Sulteng, Sultra, Sumut, Kaltim, NTT dan Jatim. Sebagian besar (>90%) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktort Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Perbaikan harga kakao dunia akhir-akhir ini tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh para pekebun karena ada beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain: makin mengganasnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk yang relatif rendah dan fluktuasi harga yang cukup tajam.
Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang, Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan kakao di Jawa (Roesmanto, 1991).
Keseriusan ancaman serangan hama PBK sudah terbukti di negara tetangga kita Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya berada diambang kepunahan. Akibat mengganasnya serangan hama PBK, produksi kakao Malaysia menurun dari 247 ribu ton tahun 1990 menjadi 200 ribu ton tahun 1993. Penurunan produksi kakao terus berlanjut hingga tinggal 25 ribu ton pada tahun 2002 atau 10% dari produksi tahun 1990 (Sulistyowati, Prawoto, Wardani, dan Winarno, 1995 dan ICCO, 2003).
Belajar dari pengalaman kita dimasa lalu dan pengalaman Malaysia beberapa tahun terakhir, maka diperlukan upaya untuk meyelamatkan perkebunan kakao dari ancaman hama PBK, sehingga keberlanjutan agribisnis kakao dapat dipertahankan dan peranan perkebunan kakao bagi perekonomian dapat ditingkatkan. Upaya penanggulangan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan gerakan pengendalian hama terpadu secara luas dan menyeluruh.
Lebih lanjut, produksi kakao rakyat dikenal bermutu rendah dan hingga kini masih dikenakan diskon harga ( automatic detention ) yang besarnya antara US $ 90-150/ton khususnya untuk pasar Amerika Serikat. Diskon harga tersebut cukup memberatkan pekebun kakao. Karena itu perbaikan mutu menjadi suatu keharusan disamping lobi untuk mengurangi atau menghapuskan diskon harga tersebut.
Harga kakao berfluktuasi cukup tajam dan sangat tergantung pasar internasional. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku pekebun, khususnya terkait dengan pengelolaan kebun dan perbaikan mutu produk. Pada saat harga berfluktuasi tajam, pekebun pada umumnya ingin cepat menjual hasil kebunnya tanpa melakukan pengolahan yang memadai, sehingga mutunya rendah. Untuk mengatasi hal ini, percepatan pengembangan industri pengolahan biji kakao menjadi sangat strategis untuk meraih nilai tambah dan meredam fluktuasi harga, sekaligus mengurangi ketergantungan biji kakao terhadap pasar internasional.
Tanpa upaya yang memadai, terarah dan terprogram, maka perkebunan kakao Indonesia menghadapi masa suram dan tidak mustahil sejarah kehancuran perkebunan kakao Indonesia akan terulang kembali.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2001-2003, Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.
International Cocoa Organization (ICCO), 2003. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol: XXIX (2)
International Cocoa Organization (ICCO), 2003a. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol: XXIX (4)
Roesmanto, J., 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta , 165p.
Sulistyowati, E. A.A. Prawoto, S. Wardani , dan H. Winarno. 1995. Laporan Kunjungan Kaji Banding Pengendalian Hama Penggerek Buah kakao di Malaysia . Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 11, No. 1: 45-51.
http://www.ipard.com/art_perkebun/nov5-04_her-I.asp