Abu Muslim al-Khaulani(1): Jilatan Apipun Menjadi Dingin
Tgl. publikasi: 18/4/2001 11:34 WIB
eramuslim, Agak tergopoh-gopoh pemuda itu bertolak dari Yaman menuju kota Madinah. Gejolak kalbunya untuk bertemu Rasulullah semakin menguat, semenjak ia mendengar kabar tentang sakit keras yang diderita Rasul SAW. Pemuda itu bernama Abu Muslim al-Khaulani. Ia memang belum pernah melihat Rasulullah, namun keimanan pemuda ini terkenal teguh dan kuat. Masyarakat Yaman mengagumi keshalihan dan keta’atannya yang luar biasa.
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan siang malam, sampailah ia diperbatasan Yatsrib (Madinah), tiba-tiba ia mendengar berita yang sangat membuatnya sedih; Rasulullah SAW telah wafat. Dan kepemimpinan kaum muslimin saat itu telah beralih kepada Abu Bakar Shiddiq ra.
Abu Muslim menginjakkan kakinya di Madinah. Ia terus berlalu menuju masjid Rasulullah SAW, masjid Nabawi. Setelah menginkat ontanya di pelataran masjid, di depan pintu masjid ia mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah. Pemuda itu melakukan shalat dengan penuh khusyu’.
“Dari manakah anda wahai pemuda ?” Umar ra yang saat itu juga berada di dalam masjid menyapa Abu Muslim, setelah usai shalat. Abu Muslim menjawab: “Aku dari Yaman.” Agak terperanjat Umar mendengar jawaban Abu Muslim, lalu ia segera bertanya: “…Tolong segera ceritakan kepadaku bagaimana keadaan hamba Allah yang telah dibakar oleh musuh-Nya, kemudian ia diselamatkan dari jilatan api…?” Abu Muslim pun menjelaskan: “Alhamdulillah, saat ini dia berada dalam kebaikan dan karunia Allah.”
Sejak awal pertemuannya dengan pemuda Yaman ini, sebenarnya Umar telah menyimpan simpatik melihat sikap dan gerak-gerik Abu Muslim. Sekarang, dengan seksama Umar memandang wajah dan perawakan pemuda itu, dan akhirnya ia berkata: “Demi Allah, bukankah anda ini orangnya…?”. Abu Muslim pun menjawab: “Ya benar.” “Alhamdulillah yang telah memperkenankan diriku bertemu dengan salah seorang ummat Muhammad yang telah diberi karunia Allah sebagaimana karunia yang pernah diberikan kepada khalil-Nya Ibrahim as …”
Benar, karena keteguhan imannya, Allah SWT telah menunjukkan kekuasaannya atas pemuda Abu Muslim. Ia pernah dibakar oleh seorang musuh Allah yang mengaku nabi, namun jilatan api itu tak dapat membakar jasad Abu Muslim. Kisah tentang peristiwa ini adalah sebagai berikut:
Berita tentang jatuh sakitnya Rasulullah SAW sepulangnya dari haji wada’ menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab. Di tanah Yaman ada seorang yang berbadan kekar dan berperangai keji. Ia adalah salah seorang bekas dukun dan tukang tipu di masa jahiliyyah. Namanya Aswad al-‘Ansiy. Berita tentang sakit keras yang diderita Rasulullah itu kemudian dijadikan kesempatan untuk murtad dari agama Islam dan mengaku sebagai nabi. Aswad al-‘Ansiy terkenal sebagai yang pandai bicara, pintar diplomasi, otaknya cukup cerdas, pandai menarik perhatian, paling bisa mengutak-atik pikiran manusia dengan perkataan bathil serta mencari lobi orng-orang tertentu untuk kepentingan pribadinya. Dihadapan umum, ia selalu melindungi wajahnya dibalik selembar kain hitam. Itu sengaja dilakukan untuk menyamarkan jati dirinya dan menimbulkan wibawa dihadapan masyarakat.
Dengan cepat seruan da’wah Aswad al-‘Ansiy yang mengaku nabi telah terdengar kemudian memperoleh pendukung di Yaman. Da’wah Aswad al-‘Ansiy telah diikuti mayoritas penduduk Yaman yang memang berasal dari kabilahnya sendiri, yaitu qabilah Bani Madzhaj. Saat itu, qabilah Bani Madzhaj adalah kelompok yang paling berkuasa di Yaman. Aswad al-‘Ansiy mengeluarkan fatwa bahwa malaikat dari langit telah turun kepadanya memberi wahyu dan memberitakan hal-hal ghaib. Perkataan itu ia perkuat dengan segala cara untuk meyakinkan manusia. Ia juga menyebarkan anak buahnya disetiap tempat. Tugas mereka selain sebagai informan tentang keadaan dan kondisi masyarakat Yaman, juga menciptakan kekacauan dan kesulitan di kalangan masyarakat untuk kemudian menganjurkan mereka mengadukan permasalahannya kepada Aswad al-‘Ansiy. Masyarakat pun datang berbondong-bondong ke hadapan Aswad al-‘Ansiy, masing-masing mengadukan kesulitannya. Dan tentu saja, manusia durhaka itu dengan penampilan yang meyakinkan seolah-olah ia mengetahui segala permasalahan mereka. Praktek kekufuran ini telah merebak cepat dan luas, hingga Hadramaut dan Tha’if, bahkan sampai wilayah Bahrain dan ‘Adn.
Keimanan Mewariskan Keberanian
Dalam kondisi inilah terdengar berita keshalihan dan keteguhan seorang pemuda yang bernama Abu Muslim al-Khaulani. Seorang pemuda yang tetap yakin dengan keimanannya dan tetap berpegang teguh terhadap prinsip Islamnya. Bahkan dengan terang-terangan ia berani mencela dan membantah kelakuan Aswad al-‘Ansiy. Mendegar hal ini Aswad al-‘Ansiy segera mengumpulkan sesepuh aliran sesatnya dan mengatur makar untuk memaksa Abu Muslim melalui siksaan atau pembunuhan. Caranya adalah dengan mengadakan upacara peribadatan dan mengundang segenap masyarakat untuk mendatanginya. Ditengah lapangan upacara sudah tersedia tumpukan kayu yang telah dibakar. Ia mengumumkan kepada khalayak tentang pertobatan seorang faqih Yaman, yang selama ini telah dieluelukan oleh sebagian masyarakat; Abu Muslim al-Khaulani, untuk mengakui kenabiannya. Mendengar hal tersebut, Abu Muslim sama sekali tidak gentar, bahkan demi keimanannya ia berani mempertaruhkan nyawa jika memang dikehendaki Allah. Disamping itu ia juga merasa berkewajiban untuk menentang sekaligus menjatuhkan wibawa nabi palsu itu dihadapan masyarakat.
Aswad al-‘Ansiy duduk dengan congkak diatas singgasananya dihadapan kobaran api. Dan Abu Muslim dengan penuh tawakkal kepada Allah maju ke tengah lapangan. Mulailah dialog antara musuh Allah dengan hamba-Nya yang shalih. Aswad al-‘Ansiy bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah?,” “Ya, saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah, dia penghulu para Rasul dan Nabi terakhir…” dengan tegas Abu Muslim menjawab pertanyaan tersebut. Aswad al-‘Ansiy pun bertanya: “Apakah anda mengakui bahwa saya adalah utusan Allah?”. Dengan tenang dan tanpa sejumput rasa takut Abu Muslim berkata: “Aduh, sayang telingaku kurang jelas menangkap kata-katamu…” Tapi setelah berulang kali Aswad mengulang pertanyaannya, Abu Muslim tetap menjawab dengan kata-kata yang sama. Mendengar ejekan itu dan melihat ketenangan dan keteguhan Abu Muslim akhinya Aswad al-‘Ansiy naik pitam dan memvonis Abu Muslim untuk dibakar di tengah api yang telah menyala-nyala. Para sesepuh Nabi palsu itu semula telah membisiki kekhawatirannya kepada Aswad al-‘Ansiy: “Pemuda ini jiwanya bersih, dan do’anya pasti mustajab. Allah takkan melupakan seorang hamba-Nya yang tak melupakan-Nya disaat kesulitan. Ada beberapa kemungkinan jika engkau memasukkan dia ke dalam api. Bila ternyata ia diselamatkan oleh Allah dari jilatan api, kedok kita akan terbuka, berarti apa yang engkau upayakan selama ini akan hancur dan orang-orang pasti akan mengingkari kita. Dan bila ternyata api telah membakarnya, pasti orang-orang akan kagum terhadap sikapnya dan mereka akan mendudukkannya di deretan para syuhada. Karena itu biarkan saja dia …”. Namun rupanya kemarahan Aswad al-‘Ansiy sudah tak dapat terbendung sehingga hukuman pembakaran itu tetap dilaksanakan.
Maka terjadilah apa yang dikehendaki Allah, ternyata jilatan api tak dapat membakar jasad Abu Muslim al-Khaulani. Kejadian tersebut lalu membangkitkan keimanan penduduk Yaman dan serta merta mereka membunuh manusia terlaknat yang mengaku nabi itu.
Setelah peristiwa itu, Abu Muslim tinggal di Madinah dan bergaul bersama para sahabat yang mulia seperti Abu Ubaidah, Abu Dzar, ‘Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabbal dan lain-lain. Sampai suatu ketika ia turut serta pergi ke perbatasan Syam bersama pasukan kaum muslimin yang hendak berperang melawan Romawi.
Banyak kisah yang tercatat antara Abu Muslim dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan tatkala beliau memegang kekhalifahan. Kisah-kisah tersebut menunjukkan kemuliaan pribadi dan ketinggian jiwa kedua-duanya, baik Abu Muslim dan Mu’awiyah. Pernah suatu ketika ditengah majlis khalifah yang dikelilingi oleh para pengawal dan penjaga, Abu Muslim berkata kepada khalifah: “Assalaamu’alaika ya ajiral mu’minin (orang upahan kaum mu’minin)”.
Mendengar perkataan itu tentu saja para pengawal kaget dan mengingatkan Abu Muslim: “Amirul mu’minin ya Abu Muslim, bukan ajirul mu’minin.” Tapi lagi-lagi Abu Muslim mengucapkan hal yang sama “Assalaamu’alaika ya ajiral mu’minin.” Mereka kemudian menduga-duga apa yang akan dilakukan khalifah. Namun ternyata khalifah tidak marah, malah mempersilahkan Abu Muslim untuk menerangkan kata-katanya: “Biarkanlah Abu Muslim, insya Allah dia yang lebih tahu maksud kata-katanya.” Abu Muslim lalu menjelaskan: “Perumpamaan dirimu setelah diberi amanat oleh Allah untuk mengurus manusia adalah seperti seorang pemilik kambing yang menyewa orang lain untuk mengurus kambingnya. Pemilik kambing akan memberi upah atau balasan untuk orang itu bila ia dapat memelihara kambingnya dengan baik dan menjadikan susunya bertambah. Tapi jika ia teledor sehingga mengakibatkan kambing itu mati dan air susunya menyusut, tentu pemiliknya akan marah dan takkan memberi upah apa-apa terhadapnya. Pilihlah antara kedua hal ini yang baik untukmu…” Mu’awiyah yang semula menunduk kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, Terima kasih Ya Abu Muslim, kami memang mengenalmu sebagai penasihat bagi Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.”
Pernah pula tatkala Mu’awiyah menahan pemberian hak atas sebagian orang selama dua bulan, di tengah pidato khalifah, Abu Muslim berdiri dan berkata: “Wahai Mu’awiyah, sesungguhnya harta ini bukan hartamu, bukan pula harta ayah dan ibumu. Apa hakmu untuk menahan pemberian harta kepada manusia?” Air muka khalifah pun merah padam, ia marah mendengarkan perkataan Abu Muslim.
Dengan penuh khawatir orang-orang menunggu apa yang akan dilakukan Khalifah terhadap Abu Muslim. Tapi Mu’awiyah kemudian hanya memerintahkan masyarakat agar tidak bubar dan tetap dalam tempatnya. Mu’awiyah lalu turun dari mimbar dan berwudhu. Ia membasahi beberapa anggota tubuhnya dengan air. Setelah selesai ia kembali ke atas mimbar, mengucapkan hamdalah dan shalawat atas Rasulullah. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya Abu Muslim telah mengingatkan bahwa harta ini bukanlah hartaku, harta ibu atau ayahku. Perkataan Abu Muslim itu benar …. Dan aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dari api. Air dapat mematikan api. Jaka jika salah seorang kalian marah, hendaklah ia berwudhu…Wahai manusia ilahkan ambil hak hak kalian ….”
Semoga Allah membalas kebaikan Abu Muslim Al-Khaulani. Beliau adalah contoh ideal tentang keberanian menyuarakan kebenaran. Semoga pula Allah meridhai Mu’awiyah bin Abi Sofyan dengan ridha yang sempurna. Beliau adalah contoh terbaik tentang sikap rujuk (kembali) kepada kebenaran.
Homeprofile teladan