Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DI BIDANG PANGAN: SUATU KEBUTUHAN BAGI INDONESIA

Senin, 01 April 20130 komentar












MEMBANGUN KEMANDIRIAN DI BIDANG PANGAN:
SUATU KEBUTUHAN BAGI INDONESIA



Pada waktu ini, negara kita Indonesia menghadapi masalah yang sangat berat, antara lain :

- Pengangguran yang tinggi yang lebih dari 32 juta angkatan kerja

- Pertumbuhan ekonomi yang rendah yang hanya 2 – 3%/tahun, yang setiap 1% pertambahan ekonomi menyediakan lapangan kerja baru ± 400.000 tenaga kerja, sementara pertambahan angkatan kerja baru di Indonesia 2,5 juta orang setiap tahunnya.

- Merajalelanya korupsi di berbagai tingkatan dan di berbagai daerah.

- Terjadinya konspirasi antara pelanggar hukum dan penguasa di berbagai tempat, seperti antara penyelenggara judi dengan aparat hukum, antara terpidana dengan aparat penegak hukum.

- Besarnya energi Pemerintahan dan masyarakat yang terkuras untuk masalah politik.

- Maraknya money politic dalam berbagai proses politik.

- Meluasnya kriminalitas dan terorisme serta konflik-konflik horizontal.

- Berkembangnya etno-centrisme, fanatisme dan radikalisme.

- Kebutuhan pangan bagi rakyat yang semakin tergantung dari import dengan tingkat ketergantungan yang semakin tinggi.

Masalah-masalah yang dihadapi negara kita itu bukanlah yang pertama kali terjadi di dunia ini. Masalah-masalah yang terjadi di negara kita itu telah pernah dialami oleh banyak negara lain dan banyak yang dapat mengatasinya dengan sukses.

Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah tadi, dan sebagai bangsa dengan budaya paternalistik, masalahnya bisa menjadi lebih sederhana jika hadir pemimpin yang dapat memberi suri ketauladanan.

Saat di setiap pemukiman perlu tersedia, dalam jumlah yang cukup, dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, muncul kerisauan atas menurunnya kemampuan kita untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia. Dunia pun diliputi kekhawatiran itu, karena penduduk bertambah menurut deret ukur sedangkan produksi pangan bertambah menurut deret hitung. Menurut FAO, pada waktu ini di dunia terdapat ± 200 juta orang kekurangan pangan.

Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah menjadi 2 kali lipat dan jumlahnya sekarang, menjadi ± 400 juta jiwa. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula peningkatan konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali jumlah kebutuhan saat ini.

Penduduk Indonesia 1900 - 2035


Tahun

Jumlah


1900

1930

1960

1990

2000

2035

40 juta

60 juta

95 juta

180 juta

210 juta

400 juta


Diawal abad ke 20, selama 30 tahun penduduk Indonesia bertambah 20 juta jiwa, dan diawal abad 21, selama 30 tahun penduduk Indonesia bertambah hampir 200 juta jiwa. Penduduk Indonesia menjadi 5 kali lipat dalam waktu 100 tahun.

Pada waktu ini, rata-rata konsumsi pangan per kapita per tahun rakyat Indonesia untuk beberapa pangan penting adalah sebagai berikut:
Beras 133 kg (tertinggi di dunia)
Jagung 5,93 kg
Ikan 12,5 kg (rata-rata dunia 16 kg)
Ayam 3,8 kg (Malaysia 23 kg, Filipina 4 kg, Thailand 16,8 kg, Vietnam 1 kg) Indonesia berpotensi

bertambah 2 kg dalam waktu 5 tahun yang akan datang, yang berarti tambahan kebutuhan 400 juta kg/tahun.
Daging 7,10 kg
Telur 52 butir (Malaysia 300 butir, Filipina 70 butir, Thailand 100 butir, Vietnam 40 butir) Indonesia

berpotensi bertambah 10 butir dalam waktu 5 tahun yang akan datang, yang berarti tambahan kebutuhan 2 milyard butir/tahun
Susu 6,50 kg
Ketela pohon 9,93 kg
Buah-buahan 40,06 Kg (Jepang 120 kg, rekomendasi FAO 65,75 kg, Amerika 75 kg)
Gula 15,6 kg (rata-rata dunia 25,1 kg)
Kedelai 6,01 kg (rata-rata dunia 7 kg)
Sayur-sayuran 37,94 kg (rekomendasi FAO 65,75 kg, Amerika 95 kg)



Konsumsi Daging, Telur dan Susu beberapa Negara


No.



Negara

Konsumsi (Kg/Kap/Thn)


Daging

Telur

Susu


1

2

3

4

5

6

7

Indonesia

Bangladesh

China

Japan

Malaysia

Philippines

Thailand

7,10

3,08

39,00

25,97

46,87

24,96

25

3,48

0,68

10,1

20,54

17,62

4,51

9,15

6,50

31,55

2,96

10,72

3,82

0,25

2,04


(Sumber: HKTI, diolah dari berbagai sumber)



Kecuali beras, untuk pangan yang lain konsumsi/kapita/tahun rakyat Indonesia masih rendah, dan berpotensi meningkat dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan akan gizi dan kesejahteraan rakyat, yang akan menuntut peningkatan penyediaan pangan yang amat besar. Kedepan, akan terjadi lonjakan kebutuhan pangan yang amat besar. Pasar pangan amat besar yang kita miliki perlu kita gunakan untuk memperkuat pertanian kita, Jika salah penanganan, pasar pangan amat besar yang kita miliki itu, akan dimanfaatkan dengan baik sebagai pasar yang empuk oleh produser pangan dan luar.

Inilah hal pertama yang ingin saya sampaikan. Membahas masalah pangan bagi negara dengan penduduk yang demikian besar seperti negara kita, berarti membahas masalah sangat penting dari masa depan negara kita. Pada waktu ini, untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduk yang jumlahnya ± 200 juta jiwa, setiap tahunnya Indonesia sebaqai negara agraris, harus mengimpor, jagung lebih dari 1 juta ton, kacang tanah ± 0,8 juta ton, kacang hijau ± 0,3 juta ton, dan gaplek ± 0,9 juta ton.

Import beras di tahun 1998, sebesar 5,8 juta ton, dan 4 juta ton pada tahun 1999 serta rata-rata 2 juta ton/tahun, telah menjadikan Indonesia importir beras terbesar di dunia, padahal 14 tahun sebelumnya, kita telah mampu berswasembada beras. Impor biji kedelai pada lima tahun terakhir rata-rata 0,8 juta ton pertahun senilai US$ 226,838 juta setara Rp. 2,3 Triliun (1 US$ = Rp. 10.000,-) padahal hanya 15 tahun sebelumnya kita mampu berswasembada. Produksi kedelai dalam negeri terus menurun 0,81%/tahun, sementara kebutuhan terus meningkat 2,41%/tahun, dari 2.312.000 ton di tahun 1998, menjadi 2.737.000 ton di tahun 2005. Dengan import kedelai 1.156.058 ton di tahun 1999, senilai US$ 254 juta, menjadikan Indonesia importir kedele untuk pangan manusia terbesar di dunia. Luas areal tanaman kedelai tahun 1992 adalah 1,67 juta Ha, turun tinggal 0,8 juta Ha (separuhnya) di tahun 2000, karena membanjirnya kedelai import yang murah. Di tahun 2000 import kedelai meningkat menjadi Rp 4,7 Triliun.

Pada waktu ini, bea masuk kedelai 0%, dengan harga ± Rp. 1.500,- - Rp. 1.600,-/kg, sangat memukul petani karena biaya produksi kedelai dalam negeri Rp. 2.100,- - Rp. 2.200,-/kg. Sebaiknya, Pemerintah mengenakan bea masuk kedelai 50% agar terbentuk harga di pasar sekitar Rp. 2.500,-/kg. Harga komoditas pertanian yang rendah, disincentive bagi peningkatan produksi.

Produksi gabah/beras pada tahun 2001 = 50,18 juta ton GKG setana dengan 29,8 juta ton beras, turun sekitar 3,31 pensen dari produksi tahun sebelumnya (51,89 juta ton GKG). Selain gabah/beras dan kedelai, komoditas pangan lainnya (jagung, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu) dalam tahun 2001 mengalami penurunan. Hanya kacang hijau yang produksinya mengalami peningkatan dibanding tahun 2000.



Produksi Padi dan Palawija Tahun 2000 dan Perkiraan Tahun 2001 (Juta Ton)


Komoditas

2000

2001

Perubahan (%)


Padi (GKG)

51,89

50,18

-3,31


Jagung

9,67

9,29

-3,92


Kedelai

0,73

0,92

-9,27


Kacang tanah

1,01

0,70

-3,66


Kacang hijau

0,28

0,34

20,41


Ubi jalar

1,82

1,61

-11,90


Ubi kayu

16,08

15,60

-3,01


Sumber : BPS, Angka Ramalan II Tahun 2001



Penyebab utama penurunan produksi adalah karena tidak adanya rangsangan untuk meningkatkan produksi, karena rendahnya harga. Selama 6 kali panen sejak tahun 1998, harga beras juga kedelai terus tertekan amat rendah. Perlu pula kita cermati bahwa masyarakat kita akhir-akhir ini, dengan kecepatan yang meningkat semakin banyak mengkonsumsi roti dan mie, yang bahan bakunya gandum, bahan makanan yang belum dapat kita produksi sendiri. Jenis-jenis makanan Eropa/Amerika berupa roti, hamburger, serta makanan Jepang, kuat sekali merasuk ke masyarakat kita khususnya golongan berpenghasilan tinggi. Akibatnya, sejak tahun 1996 setiap tahun kita mengimport gandum 4,5 juta ton.

Selama 5 tahun terakhir, rata-rata setiap tahun kita mengimport gula 1,6 juta ton, menjadikan Indonesia importir gula no. 2 terbesar di dunia setelah Rusia, padahal semasa penjajahan Belanda kita adalah exportir gula terbesar No. 2 di dunia. Sekarang kita import sapi ± 400.000 ekor/tahun, merupakan negara tujuan export sapi Australia yang terbesar, padahal di tahun 70-an, kita masih menjadi exportir sapi. Di Western Australia sekarang ini sedang dipersiapkan peternakan kambing secara besar-besaran yang studinya menyebutkan untuk memenuhi kebutuhan pasar Indonesia.

Pada waktu ini, Indonesia merupakan negara pengimpor pangan yang amat besar. Di tahun 2000, impor Indonesia atas delapan komoditas pangan yaitu gandum, jagung, beras, biji dan bungkil kedelai, kacang tanah, gula pasir dan bawang putih, mencapai nilai Rp 16,62 triliun.

Volume dan Nilai Impor Delapan Komoditas Pangan Tahun 2000


No



Komoditas



Volume

(ton)

Nilai

(dolar AS)


1

Gandum

3.576.665

500.312.470


2

Jagung

1.236.764

150.012.707


3

Beras

550.514

131.132.613


4

Biji kedelai

1.277.685

275.481.226


5

Bungkil kedelai

1.262.040

268.746.270


6

Kacang tanah

111.284

35.601.776


7

Gula pasir

1.680.275

290.873.225


8

Bawang Putih

174.702

44.120.000


J u m l a h

9.869.929

1.696.280.287


Dengan kurs Rp 9,800,- per dolar AS, nilai komoditas itu setara dengan Rp 16,62 triliun.

Sumber: HKTI, diolah dari berbagai sumber


Disamping itu, menurut BPS, impor Indonesia tahun 2000 atas buah segar seperti: apel volume impornya 73.426 ton dengan nilai 42,42 juta dolar AS, jeruk 19.438 ton dengan nilai 10,8 juta dolar AS, jeruk mandarin 58.423 ton dengan nilai 30,04 juta dolar AS. Impor Indonesia atas sayuran seperti: bawang 13.358 ton dengan nilai 3,4 juta dolar AS, dan kentang 4.569 ton dengan nilai 1,4 juta dolar AS. Import pangan dirangsang oleh pertama, kebutuhan dalam negeri yang amat besar; kedua, harga di pasar international yang rendah, ketiga, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi; dan keempat, adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir.

Harga di pasar International yang rendah, terbentuk oleh hadirnya residual goods (bahan-bahan yang harganya sangat murah karena di negara produsernya tidak laku dijual, seperti paha ayam dari Amerika Serikat dan jerohan ternak dari Australia serta kelebihan produksi yang melimpah dari negara-negara produsen yang dilempar keluar negerinya, agar harga di dalam negerinya tetap tinggi, seperti gula dari Australia yang di pasar dalam negeri Australia harganya Rp. 5.000,-/kg; kelebihan produksinya di lempar ke Indonesia dengan harga Rp. 2.100,-/kg; juga gula India, beras Thailand, beras Vietnam, tembakau Cina, jeruk Cina dari Taiwan dan lain-lain) yang telah ikut rnenghancurkan pertanian Indonesia.

Pada tahun ini, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA - United State Departement of Agriculture) memberikan bantuan kredit melalui GSM-108, senilai 650 juta dollar AS dengan bunga yang sangat rendah kepada para importir Indonesia untuk mengimport produk pertanian Amerika Serikat terutama kedelai, jagung, gandum dan beras. Pengembalian kredit ini sangat ringan dan dalam jangka panjang. Para importir sangat menikmati fasilitas ini, karena sebelum kredit dikembalikan, para importir dapat memanfaatkannya terlebih dahulu. Kondisi ini juga membuat banyak pihak tidak ingin melihat kita membangun kemandirian di bidang pangan, dan telah ikut menjadi penyebab merosotnya produk-produk pertanian kita.

Negara-negara maju dalam membantu negara-negara berkembang, juga mementingkan kepentingan nasionalnya. Amerika memberi kredit pangan, membantu petaninya agar semakin kuat, Presiden George Bush baru saja mengesahkan Act baru yang memberi plafond subsidi untuk pertanian Amenika sebesar 82 milyard US$ dalam 10 tahun. Jepang membantu pembangunan jalan. Agar mobil-mobil Jepang lebih banyak terjual.

Tanpa perencanaan yang matang dan langkah-langkah strategis yang konsisten untuk meningkatkan produksi pangan, Indonesia sebagal negara agraris dalam anti mayoritas angkatan kerjanya bekerja di bidang pertanian, akan terus menjadi negara “nett importir” pangan yang sangat besar, yang akan terus semakin membesar, yang pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional kita.

Inilah hal kedua yang ingin saya nyatakan, yaitu bahwa negara-negara maju dalam membantu negara-negara berkembang, mengutamakan memperkuat basis perekonomiannya sendiri; antara lain memperkuat petaninya.

Kita memang hidup di dunia yang oleh banyak orang disebut “The Borderless World”, dunia yang tanpa batas, dengan arus barang, orang, modal dan uang serta teknologi dan budaya yang hampir-hampir tanpa hambatan, sehingga masalah import pangan bukanlah sesuatu yang harus ditabukan. Tetapi karena penduduk kita banyak dan potensinya ada, sebaiknyalah kita mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan kita. Kita harus semakin cerdik hidup di “ The Borderless World” ini.

Sampai dengan tahun 1970-an, banyak tulisan dari pakar memperkirakan bahwa masa depan pangan dunia akan dapat dipenuhi dari negara-negara dunia ketiga, di antaranya Brazilia, Argentina, India, China juga Australia dan Indonesia karena wilayahnya yang luas, sementara negara-negara maju akan lebih mengkonsentnasikan diri pada industri maju berteknologi tinggi, yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Tetapi sejak akhir tahun 1980-an, dengan ditemukannya teknologi kloning untuk ternak, bioteknologi rekayasa genetika (Organisme Hasil Modifikasi-OHM), dunia kembali berharap bahwa kebutuhan pangan masa depan dunia akan datang dari negara-negara maju.

Jika harga pangan di pasar dunia semakin murah (yang disebabkan oleh banjirnya residual goods, barang-barang kelebihan dari negara-negara produser yang dilempar ke pasar internasional seraya menjaga harga di dalam negerinya yang tinggi), negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia akan semakin tergantung pada pangan impor dan upaya membangun kemandirian pangan semakin sulit. Instrument yang tersedia dan diperbolehkan oleh aturan-aturan WTO untuk menghambat impor adalah tariff bea masuk. Sebagai contoh biaya produksi 1 Kg ayam hidup di Indonesia adalah ± Rp 6.500,- dan ini termurah di Asean. Ayam potong menjadi ± Rp 9.500,-/Kg sementara paha ayam Amerika di negerinya tidak dimakan orang, dijual di Jakarta Rp 4.500,-/Kg. Biaya produksi gula di Indonesia ± Rp 2.300,-/Kg. Sementara gula import ex Australia masuk Tanjung Priok dengan harag Rp 1.700,-/Kg, tetapi harga di pasar-pasar Canbera ± Rp 4.500,-Kg. Beras Thailand seharga US $ 160/ton atau ± Rp 1.550,-/Kg. Berhadapan dengan biaya produksi di Indonesia ± Rp 2.300,-/Kg, tetapi harga beras di Bangkok ± Rp 3.800,-/Kg. Thailand setiap tahun surplus beras ± 2 juta ton. Ini disebut residual trading.

Perlu disadari oleh semua pihak, petani, masyarakat luas, pemerintah dan Lembaga Legislatif bahwa :

- Kemampuan kita disbanding pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri, relatif telah dan sedang menurun dengan sangat besar.

- Pada waktu ini Indonesia berada dalam keadaan “Rawan Pangan” bukan karena tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari supply luar negeri, dan ketergantungannya semakin besar.

- Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan

Inilah kesimpulan yang ingin saya nyatakan mengenai kondisi pangan kita pada waktu ini. Bagian berikut menyangkut masa depan pangan kita.

Pada tahun 2035, dengan jumlah penduduk sebanyak ± 400 juta jiwa, kebutuhan beberapa jenis pangan untuk Indonesia setiap tahunnya diperkirakan :


No

Jenis

Konsumsi/Kapita/th

Tahun 2035

Kebutuhan Nasional Tahun 2035

Produksi dalam Negeri Tahun 2001

Keterangan


1

Beras

90 Kg (turun 30%)

36 juta ton

29 juta ton

+ 25%


2

Daging (ayam,sapi,dll)

15 Kg (naik 2 X)

6 juta ton

2,2 juta ton

3 Kali


3

Telur

90 Butir (naik 3 X, masih di bawah Malaysia

36 M butir

12,6 M butir

3 Kali


4

Susu

12 liter

4,8 M liter

1,2 M butir

4 Kali


5

Gula

25 Kg

10 juta ton

1,9 juta ton

5 Kali


6

Ayam

8 Kg

3,2 juta ton

750 ribu ton

4 Kali




Tampak bahwa kebutuhan beberapa jenis pangan untuk rakyat Indonesia di tahun 2035, sangat besar bila dibandingkan dengan kemampuan produksi kita pada waktu ini. Diperlukan perencanaan dan langkah-langkah yang memadai untuk memenuhi tuntutan produksi yang begitu besar itu, bila kita ingin mandiri di bidang pangan.

Pertanyaan awalnya adalah, apakah kita ingin dapat memenuhi sendiri kebutuhan pangan yang begitu besar itu. Kalau ingin apakah mampu dan caranya bagaimana ?

Mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia, dan karena tersedia lahan yang cukup luas dan tenaga kerja pertanian yang cukup banyak, serta begitu besarnya devisa yang terkuras untuk impor pangan, dan mengingat sangat terbatasnya devisa yang kita miliki, dan kebutuhan negara yang sangat besar untuk membayar bunga dan cicilan hutang (luar negeri) hampir 150M $ terbesar No. 4 di dunia, Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin MENCUKUPI KEBUTUHAN PANGANNYA SECARA MANDIRI, dalam waktu yang tidak terlalu tama (± 10 tahun). Hal ini sepatutnya menjadi keputusan politik negara. Diperlukan upaya khusus untuk sampai pada keputusan potitik ini.

Mandiri dalam bidang pangan dalam arti kita mampu memproduksi sendiri produk-produk pertanian/pangan yang kita butuhkan dengan dukungan unsur-unsur pendukungnya (benih, alsintan, pupuk, obat-obatan dan lain-lain) yang dapat kita sediakan sendiri. Selanjutnya menjadi negara exportir pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekedar swasembada yang dapat didukung oleh alsintan, pupuk dan obat-obatan import seperti yang telah pernah kita capai di tahun 1984, tetapi dengan dukungan traktor, pupuk, benih, obat-obatan made in Indonesia.

Bukan hanya di bidang pangan, secara umum bangsa yang berpenduduk sangat banyak, 210 juta jiwa, no 4 terbanyak di dunia ini, harus segera dapat membangun kemandirian ekonominya, agar Indonesia mampu memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi bangsa ini. Tap MPR RI No II/MPR/2002 dan Tap MPR RI No. VI/MPR/2002 telah juga mengamanatkan hal tersebut. UUD 1945 perubahan ke ernpat juga telah menetapkan kemandirian sebagai salah satu prinsip pembangunan ekonomi Indonesia. Proklamator kemerdekaan Indonesia Bung Karno, dalam semangat kemandirian itu menganjurkan kita melaksanakan Tri Sakti yaitu : berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Sementara itu, meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat membuat masyarakat menuntut kwalitas pangan yang lebih bergizi, lebih enak, lebih higienis dan lebih aman. Dunia juga menuntut pangan yang lebih berkwalitas.

Pada waktu ini, banyak export pangan kita yang ditolak FDA dari USA, dan menjadikan harga export produk-produk pertanian dan pangan kita harganya tertekan. Pada waktu yang akan datang, peningkatan kwalitas produk pertanian dan pangan perlu memperoleh perhatian yang memadai. Begitu besar tantangan yang dihadapi di bidang produksi pangan, yaitu peningkatan volume produksi, peningkatan kwalitas produk dan penganekaragaman produk serta meningkatkan daya saingnya.

Secara umum di bidang pertanian, juga peternakan dan perikanan diperlukan perubahan-perubahan yang mendasar, terutama dengan meningkatkan skala usaha petani, perikanan dan peternakan kita, menjadikan setiap usaha tani, usaha peternakan dan usaha perikanan mencapai skala ekonomi yang dapat membuat pelakunya sejahtera.

Hal ini adalah suatu keharusan, kalau kita ingin membuat petani, peternak dan nelayan kita sejahtera, membuat produksinya berdaya saing tinggi, serta ingin membangun kemandirian di bidang-bidang itu. Perluasan lahan usaha per KK petani merupakan persyaratan utama.

Ada beberapa permasalahan mendasar yang perlu memperoleh penanganan serius dalam upaya kila membangun kemandirian di bidang pangan:

Pertama, semakin mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian per KK petani, dari 0,93 hektar pada tahun 1983, menjadi 0,83 hektar pada tahun 1993. Di luar Pulau Jawa menurun dari 1,38 hektar menjadi 1,19 hektar, dan di Pulau Jawa menurun dari 0,58 hektar menjadi 0,47 hektar, sekarang diperkirakan 0,3 Ha. Sebagian besar (43 persen RTP) merupakan kelompok tunakisma atau petani yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 ha.



Struktur Penguasaan Tanah Pertanian di Indonesia (1993)


No



Kelompok Luasan

Penguasaan (Ha)



Rumah Tangga Petani


%



%

Kumulatif

% LuasTanah

Yang Dikuasai


1

Tunakisma dan

petani kurang 0,1

43

43



13




2

0,1 - 0,49

27

70

18




3

0,5 - 0,99

14

84


4

>1,0

16

100

69


Sumber : Sensus Pertanian Indonesia, Tahun 1993



Semakin mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian oleh RTP tersebut disebabkan oleh terjadinya fragmentasi pemilikan, bertambahnya jumlah petani dan karena alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Berdasarkan data dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) telah terjadi alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Pulau Jawa untuk permukiman dan industri antara tahun 1994 - 1999, seluas 81.176 hektar terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 hektar. Alih fungsi tanah pertanian tersebut yang terluas di Jawa Barat (79,41 persen), Jawa Timur (17,01 persen), Jawa Tengah (2,69 persen), cukup kecil dan Daerah Istimewa Yogyakanta (0,89 persen).

Teman saya seorang petani Belanda menyatakan bahwa sebelum PD II, rata-rata petani Belanda menggarap lahan seluas 14 Ha. Pada waktu ini, dengan berkurangnya jumlah petani (adanya perluasan areal pertanian di polder-polder baru, rata-rata petani Belanda menggarap 75 Ha, dengan mekanisasi yang semakin canggih, menjadikan Negeri Belanda yang tanahnya sempit itu, exportir hasil pertanian yang terbesar di Eropa. Di Negeri Belanda, lahan pertanian tidak boleh dibagi untuk diwariskan. Dia juga menyatakan bahwa daya saing sangat tinggi yang dimiliki petani Belanda terjadi karena lahan usaha petani yang terus semakin luas, yang telah mendorong meningkatkan mekanisasi yang semakin maju.

Kedua, semakin bertambahnya jumlah rumah tangga petani (RTP) yang menguasai lahan di bawah 0,5 hektar. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem 9,53 juta RTP, dan sepuluh tahun kemudia’ (1993) meningkat menjadi 10,94 juta RTP, di mana 74 persen di antaranya berada di PuIa Jawa. Angka statistik tersebut menunjukkan, bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun terdapat penambahan 1,41 juta RTP gurem.

Kedua hal ini, yaitu menyempitnya lahan pengusahaan petani dan meningkatnya jumlah petani gurem, merupakan hambatan besar bagi upaya peningkatan produktivitas dan kwalitas hasil pentanian serta peningkatan kesejahteraan petani. Membiarkan proses fragmentasi lahan berlangsung terus, akan membuahkan petani dan peternak yang semakin miskin, juga akan membuat produk-produk pertanian dan peternakan kita tidak memiliki daya saing yang tinggi baik dari segi kwalitas maupun harga. Dengan membiarkan hal itu, kita tidak akan pernah mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan kita.

Inilah hal pertama yang ingin saya nyatakan tentang masa depan pangan kita.

Ketiga, rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP) apabila dibandingkan dengan Nilai Tukar Industri atau lainnya. Hal itu semakin mempersulit kehidupan petani dan menurunkan motivasi petani dalam berusaha tani. Kebijakan harga pangan murah yang telah berlangsung lama, sangat merugikan petani. Dengan harga pangan yang murah, upah buruh menjadi murah dan inilah salah satu daya tarik investasi. Terkesan terjadi subsidi terselubung dari sektor pertanian kepada sektor industri.

Pemerintah Pusat dan Daerah perlu membantu upaya perluasan lahan pengusahaan per KK petani lengan memberi kemudahan bagi petani untuk memperoleh lahan-lahan negara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang wilayahnya luas perlu menyediakan anggaran yang memadai untuk perluasan areal pertanian di lahan kering. Perluasan areal pertanian di lahan kering relatif lebih murah, sekitar Rp 4 Juta/ha, dibanding dengan investasi lahan sawah beririgasi yang ± Rp 12 juta/Ha. Di era otonomi daerah ini kemampuan daerah-daerah untuk mewujudkan perluasan areal pertanian dan perluasan lahan pengusahaan petani tidaklah sama. Propinsi-Propinsi yang luas dan kaya seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Jambi, Sumatera Selatan dapat segera mengembangkan pertanian dan peternakan yang luas milik petani dengan mekanisasi. Jumlah petani juga perlu berkurang dengan alih profesi yang direncarakan dan dipersiapkan.

Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi beras, mengandung resiko bahwa kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian (ubi, ketela, garut, dll), tanaman pohon (sukun dan sagu), serta bahan pangan berbasis biji-bijian (beras, jagung, sorgum, dli), yang dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Di Thailand, makanan berbasis tepung singkong variasinya banyak sekali.

Masyarakat kita perlu mengembangkan makanan berbasis tepung, yang bisa tahan lebih lama, dapat diperkaya dengan mineral dan vitamin, serta lebih fleksibel pengolahannya. Mengembangkan bahan pangan tepung tidak harus berupa industri besar, sebab jagung atau beras dapat ditumbuk atau digiling dengan mesin giling tepung yang tersebar di desa-desa penghasilnya, sementara untuk membuat tepung sagu, teknologinya telah dikuasai masyarakat lokal. Sayangnya teknologi pemanfaatan tepung dan bahan yang dapat kita produksi sendiri seperti tepung tapioka, tepung beras, tepung jagung, tepung sagu belum berkembang dengan baik untuk menjadi bahan baku roti, pengganti gandum. Penggunaan yang umum baru pada produk kueh/makanan ringan.

Sekalipun potensi bahan pangan alternatif yang kita miliki cukup besar dan beragam, tetapi dalam pengembangannya bukanlah perkara mudah. Kita dihadapkan pada berbagai kendala yang cukup mendasar. Di samping kendala teknis dan pembiayaan, ada juga kendala budaya sosial dan psikoiogis berupa pandangan bahwa beras merupakan makanan bergengsi (superior food) sedang umbi-umbian, sagu, sukun, jagung, dll merupakan makanan inferior (inferior food), sementara gandum bukan makanan yang dapat kita produksi sendit.

Masyarakat luas bersama Pemerintah perlu pula terus menerus melaksanakan sosialisasi dan kampanye diversifikasi pangan, disertai bimbingan teknis dan insentive ekonomi dari pangan pokok beras kepada pangan pokok lokal lainnya, atau dengan campuran untuk mengurangi konsumsi beras antara lain dengan beras jagung, sagu, jagung, ubi dan lain-lain. Penggantian 10% kebutuhan pangan yang semula beras ( setara ± 3,1 juta ton/tahun) dengan pangan selain beras, akan membebaskan Indonesia dari ketergantungan impor beras.

FAO (Food and Agriculture Organization) melalui siaran persnya nomor 00/43, menyebutkan antara lain:

Dalam waktu 30 tahun yang akan datang, peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada pertambahan penduduk. Peningkatan produksi yang tinggi itu terjadi di negara maju. Kecukupan pangan dan kwalitas makanan akan membaik, tetapi jumlah penduduk dunia yang kekurangan pangan meningkat.

Produksi hasil-hasil pertanian dunia meningkat semakin melandai, dari 2,1%/tahun selama 20 tahun terakhir, menjadi 1,6%/tahun antara tahun 2000 - 2015 dan menjadi 1,3%/tahun antara tahun 2015 - 2030, sementara pertambahan penduduk dunia antara tahun 2000 - 2015 sebesar 1,2%/tahun dan 0,8% diantara tahun 2015 - 2030. Dengan jumlah penduduk mencapai 8 miliar di tahun 2030, kekurangan pangan tetap akan mengancam dunia. Di tahun 2015 diperkirakan 580 juta penduduk dunia akan mengalami kekurangan pangan. Makanan pokok penduduk tetap berasal dari biji-bijian, yang memasok setengah dari kalori makanan. Kebutuhan biji-bijian akan berkisar 50 persen untuk konsumsi manusia, 44 persen makanan ternak dan 6 persen industri. Negara-negara berkembang akan semakin tergantung pada bahan pangan impor.

Impor biji-bijian negara-negara berkembang akan meningkat hampir 2 kali lebih besar dalam waktu 35 tahun yang akan datang, dari 170 juta ton di tahun 1995 menjadi 270 juta ton di tahun 2030. Negara-negara yang secara tradisional merupakan exportir biji-bijian, seperti Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia perlu meningkatkan ekspor bahan pangannya dari 142 juta ton di tahun 1995 menjadi 280 juta ton di tahun 2030.

Bagi saya pribadi, sangatlah meresahkan membaca siaran pers FAO tersebut, di mana FAO justru mendorong sekaligus merekomendasikan negara-negara seperti Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia meningkatkan ekspor bahan pangannya. Mengapa FAO tidak menganjurkan membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia meningkatkan produksi pangannya. Sepatutnyalah kita menyadari bahwa negara-negara maju produsen pangan yang melimpah itu, tidak akan merelakan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.

Indonesia dengan jumlah penduduknya yang banyak, merupakan pasar pangan yang amat besar yang diincar oleh negara-negara produsen pangan. FAO dan banyak lembaga-lembaga International lain dalam membantu negara negara berkembang, sangat diwarnai oleh kepentingan negara-negara maju, sesuatu yang wajar dalam peradaban manusia yang semakin menjadi Homo Economicus.

Dengan kindisi daya saing pertanian Indonesia saat ini liberalisasi perdagangan ASEAN yang akan diwujudkan dalam Asean Free Trade Area (AFTA) tahun 2003 yang akan datang, harus dicermati sebagai bahaya besar bagi hidup matinya pertanian Indonesia. Di bidang pertanian untuk produk-produk tertentu Indonesia belum siap memasuki AFTA 2003, tanpa langkah-langkah yang tepat, belum siap menghadapi Pasar Bebas Asia Pacific 2010 dan Pasar Bebas Dunia 2020. Jika kita tidak mampu mengelola dengan baik pensaingan yang akan terjadi, maka kehancuran pertanian Indonesia akan menjadi kenyataan, yang berarti jutaan petani Indonesia akan kehilangan pekerjaan dan akibatnya pangan bagi rakyat Indonesia akan semakin tengantung dari import.

Tuntutan peradaban masyarakat dunia membawa kita pada kehidupan yang semakin liberal, semakin demokratis, dan manusia semakin menjadi homo economicus, yang menempatkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi sebagai pertimbangan utama dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Oleh karenanya, peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi agenda utama semua pemerintahan di muka bumi ini. Dan karena mayoritas rakyat Indonesia adalah petani, maka peningkatan kesejahteraan petani perlu memperoleh perhatian dari semua pihak, terutama Pemerintah. Peningkatan kesejahteraan yang terjadi atas dasar peningkatan produktivitasnya. Masyarakat menuntut kehidupan yang semakin nyaman, kwalitas hidup yang semakin baik, pelayanan yang semakin cepat; makanan yang semakin lezat, gizi yang semakin baik, keamanan pangan yang semakin tinggi, dan oleh karenanya bagi semua pelaku kegiatan ekonomi dituntut untuk menghasilkan roduk yang semakin banyak dan semakin baik, dengan pelayanan yang semakin cepat dan nyaman serta persaingan harga yang semakin ketat. Persaingan hidup antar bangsa, antar anggota masyarakat dan antar individu yang semakin tinggi tidak dapat dielakkan.

Dalam suasana yang seperti itu, yang harus kita lakukan sebagai suatu bangsa adalah terus-menerus melakukan peningkatan produktivitas dan kwalitas produk-produk kita, membangun daya saing yang semakin tinggi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Inilah hal ketiga yang ingin saya nyatakan tentang masa depan pangan kita. Gagasan pemerataan yang tidak didasari oleh semangat itu akan bertentangan dengan kecenderungan peradaban manusia, bertentangan dengan tuntutan kemajuan, yang akhirnya akan menyulitkan kita sendiri, menjerumuskan kita ke dalam lembah kemiskinan struktural yang sangat sulit untuk mengatasinya. Tersedia cara-cara untuk melakukri pemerataan sekaligus meningkatkan kwalitas dan produktivitas; walaupun hal itu tidaklah mudah.

Pengalaman masa lalu kita menunjukan bahwa sebagai suatu bangsa kita telah membiarkan berlangsungnya proses menyempitnya lahan pengusahaan petani kita, yang telah mengakibatkan para petani pnoduktivitasnya rendah dan menjadi miskin, sementara petani-petani di negara lain lahannya terus semakin meluas. Walaupun kita memiliki pakar yang cukup banyak di bidang gula dan memiliki pengalaman yang panjang sebagai produsen utama, kita telah membiarkan proses menurunnya tingkat produktivitas gula yang berlangsung bertahun-tahun secara bertahap. Di zaman Belanda, tingkat produktivitas gula kita 15 ton/Ha, dan sekarang tinggal 4,5 ton/Ha.

Penurunan tingkat produktivitas gula di Pulau Jawa tidak tenjadi secara mendadak, tetapi bertahap merosot terus, dan kita sekalian, Pemerintah, pabrik gula dan petani, seperti tak mampu mengerem kemerosotan itu. Zaman Belanda produksi gula 15 ton gula/ha, di akhir tahun 50 an =10 ton gula/ha, akhir tahun 60 an = 8 on gula/ha.

Selanjutnya di tahun 1975 diterbitkan Inpres IX/75, yang semakin memerosotkan produktivitas gula di P. Jawa, dan sekarang tinggal 4,5 ton gula/ha

Di waktu yang lalu, sewaktu ditemukan teknologi baru penangkapan ikan dengan trawl, kita bukannya membina nelayan untuk lebih produktf dengan menggunakan trawl, tetapi malah melarangnya dengan alasan pelestarian lingkungan. Sekarang trawl ini digunakan secara luas di Thailand, Jepang dan banyak negara lain di dunia, dan rnenjadikan nelayan kita tidak produktif mengais-ngais ikan di tepi pantai dengan peralatan yang kuno. Export ikan Thailand yang luas lautnya tidak lebih luas dari laut Jawa Tengah itu, lebih besar dari export Indonesia yang luas lautnya 5 juta Km2. Di Australia, tidak ada peternak s yang jumlah sapinya kurang dari 200 ekor.

Di Jepang orang tidak akan bertani kalau lahannya kurang dari 1 Ha. Dan lahan seluas itu digarap sangat intensif; banyak yang seluruhnya di dalam Green House. Di Belanda, lahan pertanian dilarang dibagi untuk diwariskan. Sebagai suatu egara, jangan ada kebijakan yang mendorong menurunkan prestasi produktivitas dan kwalitas. Juga di pendidikan seperti meluluskan semua peserta ujian SLTA, membiarkan tanpa hukuman siswa yang berantem dan lain-lain. Semua bangsa di negana-negara yang maju berlomba-lomba mensejahterakan warganya dengan bantuan negara, memenuhi tuntutan kemajuan peradaban manusia dengan cara-cara yang memenuhi kaidah-kaidah ekonomi, memperkuat basis ekonomi ekonomi warganya. Sangat besar subsidi negara untuk petani di Eropa. Dengan alasan yang sama, keluar pula kredit export oleh US DA untuk membantu petani Amerika. Walaupun luas laut kita 5 juta km2, dengan panjang pantai 88.000 km, no. 2 di dunia setelah Canada, dan air laut kita tetap asin, setiap tahun Indonesia mengimport garam lebih dari 1 juta ton, karena petani-petani garam tidak didorong untuk menggunakan teknologi modem, yang lebih produktif.

Agar penbangunan pertanian memiliki arah yang jelas, negara perlu menetapkan politik pertanian yaitu keputusan sangat mendasar dibidang pertanian pada tingkat negara, yang menjadi arah ke depan, untuk menjadi acuan semua pihak yang terlibat, dengan sasaran membangun kemandirian di bidang pangan. Menurut hemat saya, kalau kita ingin sukses dalam persaingan di bidang pertanian di “The Borderless World” ini, beberapa sasaran perlu ditetapkan untuk di upayakan oleh semua pihak, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, petani dan masyarakat luas.

Beberapa sasaran yang penting itu adalah :

1. Perluasan areal pertanian, khususnya di lahan kering yang besarnya perlu diteliti, paling tidak 200.000 Ha/tahun, dimana 40.000 Ha untuk menggantikan areal pertanian yang beralih fungsi menjadi non pertanian.

2. Peningkatan skala usaha petani, peternak dan nelayan; untuk petani, perluasan areal pengusahaan petani dari rata-rata 0,3 Ha/KK di tahun 2001, menjadi rata-rata 8 Ha di tahun 2030 dan mengembangkan mekanisasi.

3. Pengurangan jumlah petani baik prosentasenya terhadap angkatan kerja maupun nominalnya dari ± 48% di tahun 2001 (22,5 juta) menjadi ± 15% di tahun 2030 (15 juta). Pengurangan jumlah petani ini dapat berlangsung bila pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan penyalurannya direncanakan dan dipersiapkan dengan baik.

4. Menetapkan kebijakan yang dapat membuat harga produk pertanian di dalam negeri cukup baik, antara lain melalui tarif bea masuk, agar diperoleh rangsangan untuk peningkatan produksi. Arah kebijakan pertanian pada umumnya seharusnyalah mensejahterakan petani.

5. Menetapkan sasaran untuk dapat kembali berswasembasa beras di tahun 2006, daging sapi di tahun 2010 dan susu sapi tahun 2015.

6. Menetapkan sasaran untuk menjadi negara nett exportir pangan di tahun 2010, dengan idopsi teknologi.

7. Mengembangkan industri pertanian dan pangan yang berkwalitas tinggi, Membangun agro industri di desa.

8. Mengembangkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal.

Itulah hal-hal yang dapat saya sampaikan, dengan harapan semoga bermanfaat baqi pembangunan bangsa dan negara kita, khususnya dalam membangun kemandirian di bidang pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui pengembangar agroindustri yang memiliki daya saing yang tinggi.***







DAFTAR PUSTAKA :

1. “Sensus Pertanian 1993”, Jakarta : BPS, 1995

2. Tomich, Thomas P dan kawan-kawan, “Transforming Agrarian Economics: Opportunities Seized, Opportunities Missed”, Ithaca : Cornell University Press,1995

3. Mantra, Ida Bagus, “Mobilitas Penduduk Sekuler dari Desa ke Kota”, Yogyakarta Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1995

4. Faturochman, Marcelinus Malo “Kemiskinan dan Kependudukan di Pedesaan Jawa”, Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1995

5. Djojohadikusumo, Sumitro, “Pembangunan Ekonomi Indonesia”, Jakarta : Sinar Agape Press, 1995

6. Sayogyo, “Demokrasi dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia”, Jakarta Gramedia Widiasarana, 1996

7. Soegijoko, Sugiyanto, “Bunga Rampai Pembangunan di Indonesia” Jakarta Gramedia, 1997

8. Press Release FAO No. 00/43

9. Kliping koran HKTI berita-berita pertanian 1999, 2000, 2001, 2002


Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger