Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

PERSOALAN IMPOR BERAS

Senin, 01 April 20130 komentar















Akhir-akhir ini impor beras ramai dipersoalkan. Persoalan ini disulut oleh keputusan Pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 250 ribu ton dalam waktu dekat. Alasan dilakukannya impor tersebut adalah agar harga beras tidak terlalu tinggi saat harga BBM dinaikkan. Cukup kuatkah alasan Pemerintah ini?

Logika ekonomi menyatakan bahwa bila suatu negara memproduksi komoditas tertentu lebih banyak dari yang dikonsumsinya, maka surplus produksi tersebut umumnya akan diekspor. Kalau pun ada yang diimpor, impor tersebut hanyalah sebagian kecil, untuk memenuhi permintaan konsumen domestik terhadap kualitas (atau jenis yang agak) berbeda dengan yang diproduksi di dalam negeri. Pasar beras Indonesia tidak mengikuti logika ini.

Impor Beras Menguras Devisa dan Menekan Pendapatan Petani

Terlihat pada Tabel bahwa dalam lima tahun terakhir, produksi beras Indonesia senantiasa melebihi konsumsi total beras. Namun impor jalan terus. Pada periode 2000-2003, impor beras berkisar antara 0.7 hingga 1.8 juta ton, dengan rata-rata 1.3 juta ton per tahun. Rasio impor terhadap produksi beras tampaknya memang “tidak terlalu besar”, yaitu berkisar 2.2 hingga 6.1 persen, atau rata-rata 4.4 persen. Akan tetapi, jumlah impor tersebut ternyata cukup menguras devisa negara. Setelah memperhitungkan penerimaan dari ekspor beras (yang jumlah rata-ratanya hanya 5600 ton per tahun), impor tersebut bernilai antara 144 hingga 344 juta US$, atau rata-rata 276 juta US$ per tahun. Dengan kurs rata-rata periode tersebut Rp 9400/US$, ini setara dengan Rp 2.6 triliun per tahun!

Selain menguras devisa negara, impor beras yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dengan baik waktu panen, tentu menekan harga yang diterima petani. Teori ekonomi menyatakan bahwa komoditas pangan pokok seperti beras memiliki permintaan yang inelastik. Konsekuensi sifat yang inelastik ini ialah penurunan harga (misalnya karena penawaran yang bertambah disebabkan impor), akan menurunkan pendapatan petani. Dengan demikian, jelaslah bahwa impor beras lebih menguntungkan konsumen, namun merugikan petani.

Memang benar bahwa sejumlah petani bersifat net-consumers, dalam arti total konsumsi berasnya melebihi jumlah beras yang dihasilkannya. Tapi ini tidak berarti bahwa harga beras harus dibuat murah sepanjang waktu. Harga beras yang murah harus diupayakan pada saat-saat paceklik. Sedangkan pada saat-saat panen, semestinya diupayakan agar harga beras atau gabah yang diterima petani cukup tinggi. Pemerintah melalui BULOG dan instansi terkait hendaknya mewujudkan hal ini. Justeru di sinilah letaknya keberpihakan Pemerintah terhadap petani, tanpa mengenyampingkan pilar keadilan terhadap konsumen.


Tabel Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia, 2000-2004




Produksi

Kons. Lang-

Kons. Total**

Impor

Neraca Impor –

Rasio Impor


Tahun

(Juta Ton)

sung (Juta Ton)

(Juta Ton)

(Juta Ton)

Ekspor (Juta US$)

thd Produksi




(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(4)/(1)x100%


2000

30.16

23.09

27.16

1.37

319.21

4.6%


2001

29.32

23.92

28.14

0.65

144.36

2.2%


2002

29.93

24.08

28.32

1.82

343.67

6.1%


2003

30.27

24.45

28.75

1.44

295.30

4.8%


2004*

31.43

24.84

29.21

0.17

42.41

0.5%


Keterangan: * Produksi dan Konsumsi = angka sementara; Impor dan neracanya = data s/d Juli 2004.




** (3) = (2) + Kons.Industri. Asumsi: Konsumsi Industri = 15% dari Konsumsi Total.


Sumber : (1), (2), (4) dan (5) dari Ditjen Bina Pengolahan & Pemasaran Hasil Pertanian, Deptan (2005).


Impor Beras Harus Memperhatikan Timing

Dengan pertimbangan timing seperti itu, cukup tepatkah impor beras dilakukan pada sekitar bulan Oktober? Data bulanan harga beras Bulog selama sembilan tahun (bersumber dari BULOG), yang diindekskan oleh penulis, menunjukkan bahwa hal itu tidak tepat. Terlihat pada Gambar, indeks harga beras broken 25% asal Bangkok untuk bulan September atau Oktober bukanlah yang terendah. Artinya mengimpor beras pada bulan-bulan ini tidak ekonomis atau relatif cukup mahal. Harga beras di Thailand yang relatif rendah justeru terjadi pada bulan April atau Mei. Pada bulan-bulan inilah impor beras dari sana seharusnya dilakukan.

Indeks harga beras medium Indonesia pada bulan September atau Oktober bahkan mencapai posisi relatif paling tinggi. Indeks harga ini sampai batas tertentu dapat mewakili tingkat harga beras yang diterima petani. Oleh sebab itu, pada bulan September atau Oktober, para petani yang masih memiliki cadangan beras untuk dijual justeru sedang menikmati pendapatan yang relatif tinggi. Mengimpor beras pada bulan-bulan ini jelaslah akan merugikan para petani tersebut.

Kembali ke pasar beras internasional, kondisi harga beras internasional akhir-akhir ini sebenarnya relatif tinggi. Sebagaimana dikemukakan pada Rice Outlook yang diterbitkan oleh USDA (United States Department of Agriculture) September 2005, harga beras di Thailand dan Vietnam belakangan ini stabil pada tingkatan yang relatif tinggi. Dua negara ini adalah sumber utama impor beras Indonesia, masing-masing dengan pangsa 29 dan 30 persen. Di Thailand misalnya, di awal bulan September ini, harga beras kualitas menengah mencapai $ 272 per ton, dan rata-rata harga beras berbagai kualitas 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi September 2004.

Tingginya harga beras internasional tersebut disebabkan oleh pembelian yang dilakukan Pemerintah Thailand, yang saat ini memegang stok sekitar 5 juta ton, serta cenderung rendahnya penawaran dan stok beras internasional. Untuk tahun 2005/06, USDA memperkirakan bahwa stok beras dunia sekitar 65.6 juta ton, atau 11 persen lebih rendah dibandingkan kondisi setahun yang lalu. Penurunan stok beras dunia ini telah berlangsung selama lima tahun terakhir! Bahkan rasio stok terhadap konsumsi beras untuk tahun 2005/06 diperkirakan hanya 15.9 persen, jauh lebih rendah dibandingkan kondisi setahun yang lalu (17.7 persen) dan berada pada posisi terendah sejak 1974/75. Jika Pemerintah Indonesia memahami dengan baik kondisi ini, impor beras seharusnya tidak dilakukan. Yang seharusnya dilakukan ialah memacu peningkatan produksi padi atau beras. Sampai batas tertentu, hal ini telah dicapai dengan cukup baik sebagaimana tercermin dari data produksi beras pada Tabel. Namun demikian, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita masyarakat, produksi tersebut perlu terus ditingkatkan.

Impor Beras dan Kenaikan Harga BBM: Double Squeeze terhadap Petani

Alasan Pemerintah melakukan impor beras, sebagaimana dikemukakan Menko Perekonomian pada media cetak tanggal 22 September 2005, ialan agar harga beras tidak terlalu tinggi saat harga BBM dinaikkan. Di atas telah dikemukakan bahwa impor beras cenderung menguntungkan konsumen dan merugikan para petani, dan waktu pelaksanaannya juga tidak tepat. Setelah beras impor masuk, harga beras, harga gabah, dan pendapatan para petani diperkirakan akan menurun. Ini merupakan tekanan berat (squeeze) yang akan dirasakan petani.

Squeeze kedua akan dialami petani dengan meningkatnya harga BBM. Di banyak tempat, Oktober dan November adalah awal masa tanam padi. Dengan dinaikkannya harga BBM pada awal Oktober, harga-harga secara umum akan mengalami kenaikan. Estimasi yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM rata-rata 29 persen pada 1 Maret 2005 meningkatkan inflasi 2.08 persen. Secara sederhana, dapat diperkirakan bahwa jika Pemerintah meningkatkan harga BBM rata-rata 50 persen, inflasi akan melonjak sekitar 3.59 persen. Diperkirakan komponen terbesar dari lonjakan ini terjadi pada sektor transportasi (termasuk tentunya pada penyewaan traktor tangan pengolah tanah). Akibatnya, biaya pembelian input-input pertanian, biaya pengolahan tanah, dan akhirnya biaya produksi usahataninya akan mengalami kenaikan.

Biaya inputnya sendiri kemungkinan juga akan mengalami kenaikan. Ini terutama bila pemerintah mengurangi subsidi harga gas, yang merupakan salah satu input penting dalam proses produksi pupuk. Pengurangan subsidi tersebut akan meningkatkan biaya produksi pupuk, sehingga akhirnya harga pupuk akan meningkat. Jika petani merespons hal ini dengan mengurangi penggunaan pupuk, produktivitas usahataninya akan menurun sehingga pendapatannya juga menurun. Bila penggunaan pupuknya tidak diturunkan, biaya produksi akan meningkat, sehingga akhirnya menurunkan pendapatan bersih.

Memperhatikan pemaparan di atas, apakah impor beras merupakan tindakan Pemerintah yang berkeadilan, terutama bagi para petani yang banyak di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan? Hati nurani kita semua mengetahui jawabannya.



Penulis adalah dosen dan peneliti IPB-Bogor serta scholar pada Brighten Institute. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.


Mengapa pemerintah tetap melakukan impor beras?



Pertama, Menurut Rizal Ramli adalah kepentingan sektoral. Bulog pada prakteknya di masa Orde Baru, setiap kali ada impor beras, pejabatnya akan mendapat komisi sekitar 20-30 dollar AS per ton. Kedua, motif perburuan rente. Dengan rente sekitar 20-30 Dolar perton, apabila dilakukan impor beras sebesar 110.000 ton pertahun, akan memberikan rente ekonomi yang cukup besar, yakni sekitar 2,2–3,3 juta. Keempat, dominasi "Partai IMF" yang saat ini menjadi penguasa, mereka sangat aktif mengkampanyekan bahwa impor beras harus dilakukan demi menekan laju inflasi. Meski sebenarnya partai IMF mengetahui benar bahwa impor beras sangat terkait dengan penyelewengan dan perburuan rente. Padahal inflasi setinggi 18 % terjadi akibat overdosis kenaikan harga BBM. Adalah sangat tidak adil bila untuk menekan iinflasi, kepentingan petani dikorbankan.

Belum lagi tentang indikasi yang membenarkan keberadaan sejumlah "mafia-mafia beras" yang bermain di balik polemik ini. sebagaimana yang diakui oleh Menteri Pertanian Anton Apriyanto. Beliau mengatakan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan beras. (Pikiran Rakyat, 14/01/2006). Para pelaku tidak hanya melakukan penimbunan beras yang menyebabkan kelangkaan beras di sejumlah daerah, mereka bahkan menjual beras-beras impor secara ilegal di pasar-pasar rakyat. Disinyalir para penjahat beras ini tidak bekerja sendiri, mereka justru dibantu oleh banyak pejabat pemerintah (?). Salah satu indikasinya adalah dalam APBN, selalu saja ada celah yang dibuat, yang memungkinkan terjadinya impor beras. Sebabnya adalah swasembada pangan yang kita tetapkan hanya 90%, sehingga ada celah untuk melakukan impor 10 % atau 3,2 juta ton. Selain itu setiap musim tanam, para petani dihadapkan dengan dilema kelangkaan pupuk sehingga setiap panen harganya turun drastis.


Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger