Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

Haruskah Impor Beras

Senin, 01 April 20130 komentar










Tanpa perdebatan alot dan berkepanjangan seperti tahun
lalu, didahului dengan rapat koordinasi nasional,
pemerintah akhirnya memutuskan mengimpor beras
sebanyak 210 ribu ton. Alasannya, cadangan beras
pemerintah yang dikelola Perum Bulog, BUMN pengelola
cadangan beras nasional, masuk katagori kritis: hanya
532 ribu ton. Jumlah ini jauh di bawah cadangan beras
yang aman sebesar 1 juta ton. Menurut Direktur Utama
Perum Bulog Widjanarko Puspoyo, stok saat ini
merupakan titik terendah sepanjang sejarah. Padahal,
stok itu masih mungkin berkurang lagi akibat
permintaan dari daerah yang terkena bencana atau untuk
keperluan operasi pasar.

Di sisi lain, harga beras saat ini 12 persen lebih
tinggi ketimbang tiga bulan lalu. Apabila dibandingkan
dengan harga Agustus 2005, kenaikannya mencapai 58,23
persen. Lonjakkan harga beras masih mungkin terjadi
pada September-Oktober, ketika memasuki bulan puasa
yang disusul Idul Fitri. Bagi rezim politik di negara
mana pun, lebih-lebih di Indonesia, stok pangan yang
menipis dan harganya yang tinggi, merupakan ancaman
destabilitas politik. Argumennya, pangan, terutama
beras, pendorong utama inflasi. Inflasi menyebabkan
naiknya suku bunga yang menghancurkan sektor riil.
Segala hal dilakukan untuk memperkuat cadangan dan
menurunkan harga pangan, termasuk impor. Tak peduli
apakah cara itu menyengsarakan petani atau tidak.

Perlukah?
Pertanyaannya, untuk memperkuat cadangan pangan
tersebut perlukah impor beras? Pertanyaan ini perlu
dikemukakan karena, pertama, Departemen Pertanian
yakin Indonesia tidak perlu impor beras. Alasannya,
produksi beras 2006, menurut Angka Ramalan II (Aram
II) BPS, mencapai 54,7 juta ton gabah kering giling
(GKG) atau meningkat 600 ribu ton (1,11 persen)
dibandingkan angka produksi padi 2005. Dengan tingkat
produksi sebesar itu, setelah dikurangi kebutuhan
konsumsi, kita surplus 120 ribu ton beras. Bagi
Departemen Pertanian, yang perlu dilakukan adalah
menekan harga beras pada harga wajar. Impor tidak
perlu karena bersifat disinsentif kepada petani.

Kedua, pengalaman selama 2002-2005 menunjukkan, impor
beras bukan karena suplai beras domestik tidak
mencukupi kebutuhan. Misalnya, tahun 2004 dan 2005
kita surplus beras masing-masing 459 ribu ton dan 49
ribu ton, tetapi kita mengimpor 632 ribu ton pada 2004
dan 304 ribu ton pada 2005.

Anehnya, impor beras rentang 2002-2005 bisa 4-6 kali
lipat dari yang seharusnya. Contohnya, impor tahun
2002 yang selisih produksi dan konsumsi beras domestik
cuma 651.467 ton, tapi beras yang diimpor mencapai 3,7
juta ton atau 5,69 kali dari impor yang seharusnya
(Irawan, 2006). Ini menunjukkan, kebijakan impor
pemerintah selama ini menjadi justifikasi importir
untuk memasukkan beras impor sebanyak-banyaknya,
terutama lewat jalur ilegal.

Bagi Indonesia yang 95 persen penduduknya bergantung
pada beras, impor merupakan fenomena biasa, terutama
saat produksi beras domestik tidak mampu mencukupi
kebutuhan konsumsi. Masalahnya, data yang menjadi
acuan dasar perlu-tidaknya impor beras selalu
mengundang kontroversi. Jantung persoalannya ada
keraguan validitas data. Ada kecurigaan, data dimuati
vested interest. Sepanjang datanya benar dan
validitasnya bisa dipertanggung- jawabkan, sebetulnya
impor beras adalah hal lumrah.

Sejauh ini usul impor ditopang dua alasan. Pertama,
sejumlah daerah sentra produksi padi dilanda bencana
yang berujung pusonya padi. Kedua, menipisnya cadangan
beras nasional di Perum Bulog. Kukuhkah dua alasan
ini? Soal kekeringan, data luas kekeringan sampai 24
Juli 2006 baru mencapai 134.378 hektare dengan luas
puso 10.632 hektare. Luasan lahan yang kekeringan
berikut yang puso ini tidak cukup signifikan. Kita
pernah mengalami tiga kali kekeringan ekstrem, tahun
1994, 1997 dan 2003.

Menurut perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), sebagian besar Pulau Jawa pada Agustus-November
tahun 2006 sedikit lebih kering dibanding 2005.
Desember baru memasuki fase puncak musim hujan.
Kendati kondisi cuaca sedikit lebih kering pada musim
kemarau, menurut BMG, wilayah Indonesia tidak akan
mengalami bencana El Nino seperti tahun 1997, karena
derajat terjadinya El Nino sangat kecil. Artinya,
hingga puncak musim kemarau, September-Oktober, luas
sawah yang puso tidak signifikan. Jika prediksi ini
benar, dari sisi ini, batu pijak untuk mengimpor beras
runtuh.

Setiap usaha tani, termasuk padi, memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap cuaca dan iklim.
Ketergantungan tersebut menghasilkan irama tanam dan
panen yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Produksi
beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya
(Februari-Mei) , yang mencapai 60-65 persen dari total
produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada
musim panen gadu pertama (Juni-September) dengan
produksi 25-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim
panen Oktober-Januari. Masalahnya, penyerapan beras
oleh Perum Bulog jauh dari memadai.

Jadi, rendahnya penyerapan beras oleh Perum Bulog
inilah sebenarnya pangkal rendahnya cadangan beras
nasional, bukan karena produksi domestik tidak
mencukupi. Karena itu, impor beras yang bagi Perum
Bulog merupakan keniscayaan, sebenarnya punya
kelemahan mendasar. Pemerintah memang tidak bisa
terlalu berharap kepada Perum Bulog untuk menyerap
beras petani. Sejak berubah jadi Perum atas tekanan
IMF, Mei 2003, berbagai privilege Bulog runtuh satu
per satu. Bulog kini berwajah ganda: sebagai perbisnis
yang harus profit juga pengemban tugas pelayanan
publik (PSO) yang berpotensi merugi.

Dari sisi bisnis, adalah pilihan yang rugi apabila
Perum Bulog membeli gabah dan beras petani di atas
HPP: Rp 1.730 per kilogram (kg) gabah kering panen
(GKP) dan Rp 3.550 per kg beras. Serta-merta solusi
impor dianggap paling layak secara bisnis. Padahal,
impor memiliki mata rantai negatif yang panjang:
larinya devisa, disinsentif terhadap petani,
mubazirnya sumberdaya domestik dan yang lain.
Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum
Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa
pun. Tapi karena dituntut untung, Perum Bulog lebih
mengedepankan aspek bisnis.



berbagai sumber



Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger