Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

Selasa, 26 Februari 20130 komentar





Thaharah

THAHARAH ATAU BERSUCI


Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman.




Pertanyaan.
Apa definisi thaharah ? Dan mengapa bab thaharah selalu didahulukan dalam pembasahan-pembahasan fiqh ?

Jawaban.
Thaharah secara bahasa artinya bersuci atau menghilangkan kotoran. Adapun secara syar’i yang dimaksud ialah menghilangkan najis atau kotoran dengan air dan debu (tanah) yang suci lagi menyucikan dengan tata cara yang telah ditentukan oleh syari’at.

Bab thaharah selalu didahulukan dalam pembahasan-pembahasan fiqih karena thaharah (bersuci) merupakan salah satu syarat syahnya shalat, padahal kita tahu shalat adalah rukun dari rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. Jadi, syarat (sahnya shalat) tentu harus didahulukan (pembahasannya) daripada yang disyaratkan (yaitu shalat).

Pertanyaan.
Apa dalil dari jawaban di atas ?

Jawaban.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abu Thalin Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah bersabda.

“Artinya : Kunci shalat adalah bersuci. Shalat diawali dengan membaca takbir dan diakhiri dengan membaca salam” [Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Lima Periwayat’ kecuali Nasa’i]


Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan air suci ? Tolong jelaskan dengan menyebutkan dalilnya !

Jawaban.
Air suci adalah air yang suci dzatnya dan bisa digunakan untuk menyucikan. Adapun dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Anfal ayat 11.

“Artinya : … dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu …”

Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 48.

“Artinya : … dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih (suci)”

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Air laut itu suci lagi halal bangkainya” [Hadits ini diriwayatkan oleh Empat Periwayatan’, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, dan At-Tirmidzi. Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad juga meriwayatkannya. Lafazh di atas adalah lafzh yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah]

Pertanyaan.
Kapan air yang suci itu menjadi tidak suci ? Tolong jelaskan dengan menyebutkan dalilnya !

Jawaban.
Air yang suci menjadi air yang tidak suci atau air najis apabila telah berubah warna, rasa, dan baunya dengan sebab kemasukan benda yang bernajis. Dalil tentang hal ini adalah hadits dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun, kecuali oleh benda yang mengubah bau, rasa, dan warnanya” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dinyatakan dha’if (lemah) oleh Abu Hatim.

Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dengan lafazh.

“Artinya : Semua air itu suci, kecuali apabila telah berubah bau, rasa, dan warnanya dengan sebab kemasukan benda bernajis”

Para ulama sepakat bahwa air, banyak atau sedikit, apabila tercampur dengan benda najis kemudian berubah warna, rasa, atau baunya, maka air itu menjadi najis. Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala Muhammad.

Pertanyaan.
Bagaimana cara menyucikan air yang telah menjadi air najis ?

Jawaban
Menyucikan air najis itu dengan tiga cara :

Pertama : Air yang najis itu hilang sendiri sifat-sifat kenajisannya.
Kedua : Dengan cara menguras atau membuang semua air yang kena najis, dan menyisakan air yang suci.
Ketiga : Dengan cara menambahkan air yang suci ke dalam air yang najis hingga hilang sifat-sifat air najis tersebut.

[Diterjemahkan dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 02/I/Syawwal 1423H -2002M]


Top of Form





Bottom of Form




Home
Adab Dan Perilaku
Ahkam
Akhlak
Aktual
Al-Ilmu
Al-Irhab = Terorisme
Al-Manhaj As-Salafy
Al-Masaa'il
Al-Qur'an
Al-Qur'an : Ilmu
Al-Qur'an : Tafsir
Al-Wala' Dan Al-Bara'
Al-Wasailu Al-Mufidah
Amalan Sunnah
Anak-Anak Muslim
Aqidah Ahlus Sunnah
Aqidah Al-Wasithiyah
Aqidah Empat Imam
Ar-Rasaa-il Hukum
As-Saa'ah : Ad-Dajjal
As-Saa'ah : Al-Mahdi
As-Saa'ah : Nabi Isa
As-Sunnah
As-Sunnah Dalam Islam
Bai'at
Bid'ah Dan Bahayanya
Birrul Walidain
Dakwah
Demokrasi Dan Politik
Do'a, Dzikir, Taubat
Fatawa 'Arkanil Islam
Fiqih Ibadah
Firaq
Fokus Utama
Gambar, Lagu, Permainan
Hadits
Hajji Dan Umrah
Hari Raya = Ied
Hizbiyyah Dan Harokah
Jenazah : Kematian, Mayit
Jihad Fii Sabilillah
Jual Beli
Keluarga & Masalahnya
Kesempurnaan Islam
Kurban Dan Aqiqah
Ma'ruf Nahi Mungkar
Mabhats
Makanan, Sembelihan
Manhaj
Media Dan Sarana
Mu'amalat Dan Riba
Mujmal Ahlissunnah
Nasehat
Nikah
Nikah : Talak - Rujuk
Pakaian Dan Perhiasan
Pengobatan Penyakit
Perpecahan Umat !
Prinsip Dasar Islam
Propaganda Sesat
Puasa
Puasa : Fiqih Puasa
Puasa : I'tikaaf
Qadha Dan Qadar
Rifqon Ahlassunnah
Rizqi, Harta, Nafkah
Shalat
Sihir, Jin, Perdukunan
Sikap Kepada Kafir
Siyasi Wal Fikri
Sumpah Dan Nadzar
Syarhu Ushulil Iman
Syubhat Dan Jawaban
Tauhid
Tauhid Prioritas Utama
Tazkiyatun Nufus
Toleransi
Ushul Ahlissunnah
Wanita : Darah Wanita
Wanita : Fiqih Shalat
Wanita : Muslimah
Wanita : Thaharah
Wanita : Wasiat
Waris, Hibah, Hadiah
Zakat




Bukti Dan Tanda Cinta Nabi Shallallahu Alaihi Wa Salam

Senin, 1 Maret 2010 23:00:35 WIB
Kategori : Aktual

Mencontoh, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berjalan di atas manhaj beliau, berpegang teguh serta mengikuti seluruh pernyataan dan perbuatan beliau n , merupakan awal tanda cinta Rasul. Seseorang yang benar mencintai Rasulullah ialah orang yang mengikuti Rasulullah secara lahiriyah dan batiniyah, selalu menyesuaikan perkataan dan perbuatannya dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Wahai, anakku! Jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari di hatimu tidak ada sifat khianat pada seorangpun, maka perbuatlah," kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku lagi: "Wahai, anakku! Itu termasuk sunnahku. Dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka aku bersamanya di Surga". Orang yang mencintai Rasulullah, ia harus membuktikan. Yaitu diwujudkan dengan semangat berpegang teguh dan menghidupkan Sunnah. Yakni mengamalkan sunnahnya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, mendahulukan itu semua dari hawa nafsunya.

Pengakuan Cinta Rasul

Minggu, 28 Februari 2010 16:27:50 WIB
Kategori : Aktual

Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ketahuilah, orang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar di dalam kecintaannya, dan dia (hanya) sebagai orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar di dalam kecintaannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Yang pertama dari tanda-tanda itu adalah, meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab dengan adab-adabnya, pada waktu kesusahan dan kemudahan, pada waktu senang dan benci”. Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah berkata: “Kecintaan yang benar mengharuskannya mengikuti dan mencocoki di dalam kecintaan apa-apa yang dicintai dan kebencian di dalam apa-apa yang dibenci... Maka barangsiapa mencintai Allah dan RasulNya dengan kecintaan yang benar dari hatinya, hal itu menyebabkan dia mencintai -dengan hatinya- apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan dia membenci apa yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya, murka terhadap yang dimurkai oleh Allah dan RasulNya, dan dia menunjukkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan anggota badannya”

Tidak Takut Celaan Para Pencela Dalam Berdakwah Di Jalan Allah

Sabtu, 27 Februari 2010 10:29:14 WIB
Kategori : Hadits

Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar. Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan kebenaran, dan ini merupakan akhlak Salafush-Shalih. Islam mencela sifat penakut. Hal ini dapat tercermin dari perintah untuk maju ke medan perang dan tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan dengan musuh. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur". Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan Sunnah) harus diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para dai yang menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut.

Memperbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata Illâ Billâh’

Jumat, 26 Februari 2010 08:26:24 WIB
Kategori : Hadits

Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh? Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan shalat, "Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita. "Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu" Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.

Menyambung Silaturahmi Meskipun Karib Kerabat Berlaku Kasar

Kamis, 25 Februari 2010 15:25:30 WIB
Kategori : Hadits

Bersilaturahmi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat, menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat telepon ataupun short massage service (sms). Bisa juga dilakukan dengan meminta mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita, memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya, mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya bila sakit, memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah, serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa dan maksiat. Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.

Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah Kedudukannya Dalam Hal Materi Dan Penghidupan

Rabu, 24 Februari 2010 16:23:55 WIB
Kategori : Hadits

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang Muslim melihat kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang mewah, rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur beratapkan langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya mendapat nafkah yang hanya cukup untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya kepada orang lain. Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang shalih.

First Prev 1 2 3 4 5 6 Next Last



ARSIP ARTIKEL

TAUHID

MUSLIMAH

REDAKSI


Bukti Dan Tanda Cinta Nabi Shallallahu Alaihi Wa Salam
Pengakuan Cinta Rasul
Tidak Takut Celaan Para Pencela Dalam Berdakwah Di Jalan Allah
Memperbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata Illâ Billâh’
Menyambung Silaturahmi Meskipun Karib Kerabat Berlaku Kasar
Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah Kedudukannya Dalam Hal Materi Dan Penghidupan
Mencintai Orang-Orang Miskin Dan Dekat Dengan Mereka.
Hukum Hanyalah Milik Allah
Kekeliruan Pembagian Hakikat Dan Syari'at Ala Tarikat Sufiyah
Meluruskan Pemahaman Al-Wala' Dan Al-Bara'
Sekilas Hibah, Wasiat Dan Warisan
Segeralah Bertaubat Kepada Allah !
Betapa Penting Menyambung Silaturahmi
Musuh-Musuh Manusia
Beruntunglah Orang Yang Dijauhkan Dari Fitnah
Keutamaan Dakwah Tauhid
Pembagian Tauhid
Kitab-Kitab Yang Ada Pada Ahli Kitab
Makna Syahadatain, Rukun, Syarat, Konsekuensi Dan Yang Membatalkannya
Tauhid Rububiyah Mengharuskan Adanya Tauhid Uluhiyah
Tauhid Rububiyah Dan Pengakuan Orang-Orang Musyrik Terhadapnya
Makna Tauhid Uluhiyah Dan Tauhid Adalah Inti Dakwah Para Rasul
Kecemburuan Hud-Hud Terhadap Penyelewengan Tauhid
Kufur Difinisi Dan Jenisnya
Orang Mati Dapat Memberi Manfaat?
Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ?
Apakah Orang Mati Dapat Mendengar Panggilan Orang Yang Memanggilnya ?
Istighatsah : Menabuh Rebana, Pergi Ke Kuburan Dan Menyembelih Kambing Serta Memasaknya
Istighatsah : Mendatangi Kuburan Orang-Orang Shalih
Tawasul Dengan Perantara Para Nabi Dan Orang-Orang Shalih
T a s y r i'
Wajib Atas Setiap Muslim Menerapkan Hukum Allah Dalam Segala Aspek Sesuai Dengan Kemampuannya
Tawassul
Siapakah Yang Berhak Berpolitik ? Dan Kapan ?
Asas Perubahan Kepada Perbaikan Adalah Manhaj Tasfiyah Dan Tarbiyah
Wanita Muslimah Juga Wajib Belajar Ilmu Syar'i
Islam Melindungi Kesucian Wanita, Kontradiksi Pemandangan Antara Kaum Pria Dan Wanita
Shalat Seseorang Batal Dikarenakan Ada Wanita Yang Melintas Di Hadapannya
Suami Isteri Wajib Mandi Setelah Jima Walaupun Tidak Orgasme, Mencampuri Isteri Setelah Melahirkan
Isteri Tidak Bersuci Dengan Baik, Hukum Bersuci Setelah Bercumbu, Tempat Tidur Yang Ternoda
Contoh Untuk Diteladani : Ummu Ibrahim Al-Bashariyyah, Seorang Wanita Ahli Ibadah
Contoh Untuk Diteladani : Ummu 'Uqail Seorang Wanita Yang Mengajarkan Kaum Pria Untuk Bersabar
Contoh Untuk Diteladani : Al-Ghumaisha' Binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘Anha
Contoh Untuk Diteladani : Syuraih Al-Qadhi, Badr Al-Maghazili, Riyah Al-Qaisi Dan Isteri-Isterinya
Kedudukan Wanita Dalam Islam
Mencari Ilmu Bagi Kaum Wanita
Berangkatnya Wanita Muslimah Ke Masjid
Seorang Pria Menyetubuhi Isterinya Setelah Haidh Dan Nifas Sebelum Bersuci (Mandi Wajib)
Pesan-Pesan Untuk Isteri
Kesetiaan Isteri Kepada Suami



Bismillaahirrahmaanirrahiim



Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga

dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan

shahabatnya.

Amma ba'du.



Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat

ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah

(membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang

merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan

ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah

berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.



Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya

dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari

syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami

masih hidup ataupun ketika sudah mati.



Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah

dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan.

Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya.

Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima.



Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat

pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan

orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih.



Jazaakumullahu khairan







almanhaj.or.id

Abu Harits Abdillah - Redaktur

Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin







© copyleft almanhaj.or.id
seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan
Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.





Kitab Thaharah

Definisi thaharah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan bahwa thaharah secara istilah mempunyai dua makna:
1. Definisi asal yang bersifat maknawi, yaitu sucinya hati dari kesyirikan kepada Allah dan dari kebencian kepada kaum mukminin.
2. Definisi cabang yang bersifat zhahir -dan ini yang dimaksudkan dalam bab fiqhi-, yaitu semua perbuatan yang membolehkan orang yang berhadats untuk melakukan shalat, berupa pembersihan najis dan penghilangan hadats. (Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/19)
Ibnu Rusyd berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa thaharah syar’i ada dua jenis: Thaharah dari hadats dan thaharah dari khabats (najis). Dan mereka juga bersepakat bahwa bentuk thaharah dari hadats ada tiga bentuk: Wudhu, mandi (junub) dan pengganti dari keduanya yaitu tayammum.” (Bidayah Al-Mujtahid: 1/5)
Para ulama memulai pembahasan fiqhi dengan kitab thaharah karena rukun Islam terpenting setelah syahadatain adalah shalat, sedangkan shalat tidak bisa ditegakkan kecuali setelah adanya thaharah. Kemudian, thaharah asalnya dengan menggunakan air, makanya setelahnya diikuti dengan pembahasan seputar air.

Bab Air

Masalah pertama: Pembagian air
Mayoritas ulama membagi air menjadi tiga jenis (Al-Inshaf: 1/21-22):
1. Air yang thahur (suci dan menyucikan) atau air muthlaq, yaitu air yang masih berada pada sifat asal penciptaannya, baik yang turun dari langit maupun yang keluar dari bumi, baik yang panas maupun yang dingin, baik yang berwarna maupun yang tidak berwarna (bening). Contohnya: Air hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata air, salju, geyser, dll. Termasuk juga di dalamnya air yang sudah mengalami perunahan dari asal penciptaannya tapi belum keluar dari keberadaannya sebagai air, contohnya: Air mineral, air yang bercampur dengan sedikit kapur dan benda-benda suci lainnya dan tidak mendominasi air.
2. Air thahir (suci tapi tidak menyucikan) atau air muqayyad, yaitu air yang bercampur dengan zat suci lalu mendominasi air tersebut sehingga dia berubah dari sifat asalnya. Contohnya: Air teh dan yang semisalnya, air sabun dan semacamnya serta air kelapa dan yang keluar dari tumbuh-tumbuhan dan air yang sangat keruh karena bercampur dengan tanah.
3. Air najis, yaitu air yang kemasukan najis lalu merubah salah satu dari tiga sifatnya (baunya, rasanya, atau warnanya). Akan datang penjelasan tambahan pada masalah kelima.
Dalil dari pembagian ini adalah sabda Rasulullah -shallalahu alaihi wasallam- tatkala beliau ditanya tentang air laut, apakah dia boleh dipakai berwudhu, “Airnya adalah thahur (penyuci) dan bangkainya halal.” (HR. Ashhab As-Sunan dari Abu Hurairah)
Sisi pendalilannya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Muflih: “Seandainya yang beliau maksudkan dengan thahur (menyucikan) adalah thahir (suci tapi tidak menyucikan), niscaya air laut tidak mempunyai kelebihan dibandingkan air lainnya, karena semua orang sudah mengetahui bahwa air laut itu suci.” (Al-Mabda’: 1/32)

Masalah kedua: Yang boleh dipakai bersuci.
Yang boleh dipakai bersuci hanyalah air thahur atau air muthlaq. Ibnu Al-Mundzir berkata: “Semua ulama yang kami hafal pendapatnya telah bersepakat akan tidak bolehnya berwudhu dengan air ward (bunga), yang keluar dari pohon dan air ushfur (bunga yang bijinya dijadikan minyak). Mereka juga bersepakat akan tidak bolehnya bersuci kecuali dengan air muthlaq yang dinamakan sebagai air, karena tidak boleh bersuci kecuali dengan menggunakan air sedangkan ketiga perkara di atas tidaklah dikatakan sebagai air.” (lihat: Al-Mughni: 1/15-21 dan Al-Majmu’: 1/ 139-142)
Dari sini diketahui semua benda cair selain air lebih tidak boleh lagi dijadikan alat bersuci, seperti: Minyak tanah, bensin, minyak goreng dan semacamnya.

Masalah ketiga: Dalil-dalil akan bolehnya bersuci dengan air mutlaq di atas.
Adapun air hujan, maka Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia menurunkan untuk kalian air dari langit untuk menyucikan kalian.” (QS. Al-Anfal: 11). Adapun air laut, maka telah berlalu dalam hadits Abu Hurairah di atas. Adapun air sumur -dan termasuk di dalamnya mata air-, maka Nabi r bersabda tentang sumur budha’ah, “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang menajisinya.” (HR. Imam Tiga dari Abu Said). Adapun air salju, maka beliau -shallallahu alaihi wasallam- mengajari dalam doa istiftah, “Ya Allah cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju dan air yang dingin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Masalah keempat: Hukum beberapa air yang dibahas oleh para ulama.
1. Air al-ajin, yaitu air yang tinggal lama di suatu wadah (tong, bak yang tertutup dan semacamnya) sampai rasa dan baunya menjadi pahit dan berbau busuk tapi tidak ada najis yang masuk padanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata: “Adapun air yang tinggal lama di sebuah wadah maka dia tetap dalam sifat thahur (menycikan) berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Al-Fatawa: 21/36) dan Ibnu Al-Mundzir juga menukil ijma’ akan hal ini dalam Al-Ausath (1/258-259)
2. Air yang dihangatkan dengan sinar matahari.
Semua hadits-hadits yang menerangkan tentang makruhnya adalah hadits yang lemah sebagaimana bisa dilihat dalam Al-Irwa` karya Syaikh Al-Albani no. 18. Karenanya mayoritas ulama berpendapat bolehnya bersuci dengan air itu dan tidak dimakruhkan. Demikian pula tidak dimakruhkan berwudhu dengan air dihangatkan dengan api menurut mayoritas ulama (Lihat Al-Mughni: 1/27-29 dan Al-Majmu’: 1/132-137)
3. Air zam-zam
Tidak dimakruhkan berwudhu dan mandi dengan air zam-zam menurut mayoritas ulama, karena tidak adanya dalil yang melarang. (Lihat Al-Mughni: 1/29-30 dan Al-Majmu’: 1/137 )
4. Air musta’mal (yang telah digunakan bersuci dan ketiga sifatnya belum berubah).
Hukumnya tetap suci dan menyucikan, karena Ibnu Abbas (dalam riwayat Muslim) mengatakan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mandi dengan sisa air yang telah dipakai mandi oleh Maimunah -radhiallahu anha-, dan bisa dipastikan bahwa percikan air yang Maimunah siramkan ke badannya ada yang masuk kembali ke dalam bejana tersebut. Dan disebutkan dalam beberapa riwayat yang shahih bahwa para sahabat menadah bekas air wudhu Nabi r untuk mereka gunakan untuk berwudhu. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (1/182-184), Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (20/519) serta Asy-Syaukani dan Syaikh Siddiq Hasan Khan dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiah (1/100-102)

Masalah kelima: Kapan air menjadi najis.
Ibnu Al-Mundzir berkata dalam Al-Ijma’ (10): “Para ulama bersepakat bahwa air yang sedikit maupun yang banyak, kalau kemasukan najis yang merubah rasa atau warna atau bau dari air tersebut maka dia menjadi najis.” Ijma’ akan hal ini juga dinukil oleh Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (21/30) dan Ibnu Hubairah dalam Al-Ifshah (1/70).
Tidak ada perbedaan dalam hukum ini antara air yang banyak dengan air yang sedikit, baik yang lebih dari dua qullah (270 liter atau 200 kg) maupun yang kurang darinya, baik yang diam maupun yang mengalir (sungai dan semacamnya). Ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Al-Qayyim, Ibnu Rajab, Ash-Shan’ani, Asy-Syaukani, Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Muqbil Al-Wadi’i dan selain mereka -rahimahumullahu jami’an-.
Karenanya kalau ada air di kolam atau baskom atau timba yang kemasukan beberapa tetas kencing atau najis yang lainnya maka dia tidaklah menjadi najis dan tetap bisa dipakai bersuci, selama najis tersebut tidak merubah salah satu dari ketiga sifatnya. Demikian pula tidak dimakruhkan sama sekali untuk bersuci dengan air yang ada di wc umum selama salah satu dari ketiga sifatnya tidak berubah, dan tidak perlu diperhatikan was-was serta keraguan yang dimasukkan oleh setan bahwa mungkin airnya pernah terpercik kencing dan seterusnya.








Home
Cara Membersihkan Najis



Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.

1 – Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[2]

Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:

[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.

[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.

Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.

Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]

2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [7]

Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “سَبْع مَرَّات”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “سَبْع مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”

Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.[9]

3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh

Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ

“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ

“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]

Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ. قَالَ « فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى فِيهِ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ « يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »

“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”

Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[12]

Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِى الثَّوْبِ قَالَ « حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ».

“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.”[14]

4 – Menyucikan ujung pakaian wanita

Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,
إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.

“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”

Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[16] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.

Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[17]

Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.[18]

5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan

Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.”[19]

Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda.[20]

Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ قَالَتْ دَخَلْتُ بِابْنٍ لِى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.

“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[21]

Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).”[22]

6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi

Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,
كُنْتُ أَلْقَى مِنَ الْمَذْىِ شِدَّةً وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنْهُ الاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْبِى مِنْهُ قَالَ « يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تُرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ ».

“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’.” [23]

Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang ringan, sehingga diberi keringanan cara menyucikannya.”[24]

Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.

7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
« إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِى نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا »

“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.”[25]

Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal[26]. Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis (ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.”[27]

8 – Menyucikan tanah

Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »

“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.” [28]

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau berkata,
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut.”[29]

Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.

Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari Imam Asy Syafi’i[30], pendapat Ibnu Hazm[31], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[32] dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin[33] bahwa diperbolehkan menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan air. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.

Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:

Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.

Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tidak memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.

Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami sebutkan.

Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah dianggap hilang.

Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.[34]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika illah (sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan keduanya.”[35]

Demikian penjelasan kami mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis. Dalam tulisan selanjutnya kita akan mengupas beberapa hal yang dianggap najis padahal bukan. Semoga Allah memudahkan.

Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 27 Shofar 1431 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.

[2] HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[3] Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas.

[4] Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).

[5] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H.

[6] Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :

Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.

Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.

Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.

Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)

[7] HR. Muslim no. 279

[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[9] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95.

[10] Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/219.

[11] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291

[12] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[14] HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[15] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[16] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)

[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

[18] Idem.

[19] HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[20] Lihat Tawdhihul Ahkam, Syaikh Ali Basam, 1/176-177, Darul Atsar

[21] HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287.

[22] Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214.

[23] HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu Majah no. 506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[24] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, 1/35, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H.

[25] HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih.

[26] Dengan catatan, shalat dengan sandal boleh dilakukan jika memungkinkan disesuaikan dengan kondisi tempat shalat. Jika zaman sekarang ini, masjid dilengkapi dengan lantai keramik, maka sudah seharusnya tidak menggunakan sendal di dalam masjid. Sunnah ini bisa dilakukan ketika di luar masjid seperti ketika bersafar.

[27] Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/137, Maktabah Musthofa, cetakan keempat, tahun 1379.

[28] HR. Bukhari no. 220

[29] HR. Bukhari no. 174

[30] Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86.

[31] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 1/92, Mawqi’ Ya’sub.

[32] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/475, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[33] Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, hal. 176.

[34] Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87.

[35] Majmu’ Al Fatawa, 21/475
Aawa Barang Haram

Senin, 27/04/2009 10:22 WIB | email | print | share

Berita tentang MUI meminta pemerintah mengganti vaksin meningitis yang biasa digunakan untuk jama’ah haji dan umroh yang mengandung enzim porchine dari babi bisa jadi menghebohkan, namun kami tak lagi kaget sebab sudah lama dengar isyu seperti ini.

Astaghfirullah….

Babi dan segala unsurnya adalah HARAM bahkan NAJIS BERAT. Najis berat berarti jika menyentuhnya kita harus membersihkan bagian badan yang tersentuh tersebut dengan mencuci 7 kali dengan air bersih dan salah satunya dicampur tanah. Bayangkan kalau najis berat tertelan atau masuk ke dalam badan?



Belum lama ini juga ada berita tentang abon dan dendeng yang sudah dilabel halal, terbukti mengandung babi. Juga ada berita perihal daging sapi dijual di pasar tradisional dicampur dengan babi dan bangkai.

Masih banyak fakta seperti ini beredar di sekitar kita.

Di bidang sandang dan perabot, pernahkah kita pertanyakan dari kulit apakah sepatu, tas, ikat pinggang, jaket, dompet dan bahkan pelapis furnitur rumah kita?

Tahukah engkau Bunda, bahwa kulit babi amat populer sebagai bahan bagian dalam dari sepatu? Dengan bangganya produsen kulit tersebut menyatakan bahwa pilihan kulit babi adalah karena kulit babi mengandung khasiat mengalirkan udara dengan sangat baik sehingga membuat kaki lebih sehat.

Bunda, jika kaki kita tercemar najis berat dan kita tidak membasuhnya dengan tanah sebagaimana disyariatkan, maka pada hakekatnya kaki tersebut masih mengandung najis berat dan itu berarti wudlu kita tidak sempurna.

Jika wudlu tidak sempurna, akankah shalat dianggap sah?

Ini semua tentu memprihatinkan kita.

Urusan kehalalan makanan menentukan sikap kita di dunia ini. Keharaman makanan dan pakaian dapat membuat hidup kita tidak berkah, doa terhalang dari dikabulkan Allah SWT, bahkan dapat saja (na’dzubillah) menyebabkan kita dilempar ke dalam Neraka Jahannam.

Bunda, rumahtangga inilah benteng kita, dan kita adalah penjaga utamanya.

Urusan vaksin, urusan makanan, dan berbagai urusan lagi, semua merupakan wilayah tanggung jawab kita sebagai ibu rumah tangga. Keabsahan ibadah anggota keluarga, ke-halal-an makanan kita sekeluarga, serta keselamatan sampai ke akhirat, jika itu berkaitan dengan apa-apa yang kita sediakan, jelas merupakan tanggung jawab besar.

Setelah suami memastikan kehalal-an sumber mata pencahariannya, maka kemudian kitalah yang mengambil keputusan tentang apa yang dikonsumsi keluarga. Suami hanya memantau dari jauh atau bahkan menyerahkan sepenuhnya kepada kita.

Astaghfirlullah.

Impian ummat Islam Indonesia untuk mendapatkan jaminan kehalal-an barang-barang konsumsi di negeri mayoritas muslim ini tampaknya masih jauh. Bagimanakah lagi nasib saudara-saudara kita yang tinggal di negeri mayoritas non muslim yang memang wajar jika mereka sulit mencari barang-barang halal, sedangkan kita di sini merasa sudah aman padahal masih banyak sekali yang mengancam kehalalan makanan dan pakaian kita.

Jika topik seperti ini diangkat oleh media massa, maka tak lama kemudian ada sejumlah orang berkepentingan yang segera berusaha memadamkan gaungnya. Yang mengangkat topik ‘menyentil’ ini kemudian segera dicap sebagai orang yang tidak mau Indonesia maju, kadang dicap sebagai memiliki kepentingan sendiri.

Kepentingan. Sarat dengan persaingan dagang, intrik dan lain sebagainya yang tidak jarang berkaitan politik.

Karena sarat kepentingan, persaingan dan intrik, fakta dan data disembunyikan dan disimpangkan, berita diredam dan disensor, sehingga masyarakat menjadi semakin sulit mendapatkan fakta yang benar dari sumber berwenang.

Padahal masyarakat hanya ingin keamanan apa-apa yang mereka konsumsi, dan tentu terutama ke-halal-annya.

Mengapa kita tidak berusaha sendiri mengungkap kebohongan-kebohongan ini? Bukan untuk menjadi pahlawan, namun demi membebaskan diri dari kemarahan Allah karena kita bersikap cuek, masa bodoh, menutup mata dan telinga dari persoalan ini, bahkan jangan-jangan turut andil menjadi penganjur dan pendukung kejahatan terhadap ummat dan diri sendiri.

Tanyakan pertanyaan-pertanyaan ini:

Apakah benar vaksin tersebut sedemikian pentingnya jika kita tidak di suntik berarti kita pasti kena meningitis?

Apakah bahan makanan tertentu yang mengandung babi memang tak tergantikan?

Apakah kita memang harus (baca: darurat) mengkonsumsi barang-barang haram tersebut?

Para pakar lebih mampu menjawab dari sisi teknologi pembuatannya. Sedangkan tanggung jawab kita adalah saat memilihnya sebagai barang konsumsi.

Ternyata di dunia maya (internet) telah banyak situs bebas yang membahas berbagai fakta tentang vaksin, obat-obatan, alat kesehatan, makanan, pakaian, sepatu, bahan-bahan kulit dan lain-lain. (salah satu link yang bisa dilihat: http://www.malimkundang.com/2008/11/how-to-identify-pigskin.html )

Demi kita sendiri selamat dari pertanyaan-pertanyaan Allah di akhirat kelak, kita harus peduli, minimal untuk diri sendiri dan keluarga. Kita mungkin selama ini sudah banyak mengkonsumsi barang-barang haram tersebut tanpa sadar, tanpa tahu menahu. Ketika kita mengkonsumsinya saat belum tahu,Insya Allah waktu itu kita belum bisa disalahkan, namun apakah benar kita tidak terkena dampaknya?

Allah Menyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” QS 17:36

Dan setelah sedikit tahu, maka kita tak dapat mengelak lagi. Jangan lupa Allah SWT selalu tahu apa yang kita lakukan, bahkan tahu pula apa yang kita sembunyikan jauh di dalam hati, meskipun sekedar bersitan untuk mempertahankan kebohongan rasa aman kita.

Ya, kita bersikap pura-pura aman, padahal berita seperti berita di atas sebenarnya cukup sering muncul. Dari setiap kali berita seperti itu muncul sedikit informasi kejanggalan pasti ada. Pasti ada pertanyaan yang menggantung yang membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Bagaimana sikap kita?

Kadang karena malas kita bersikap masa bodoh, sebab kita tak mau direpotkan untuk meneliti produk saat belanja. Atau karena kita gemar dengan salah satu jenis makanan yang disebutkan dalam berita tersebut, kita menolak untuk meneliti lebih jauh atau menganggap berita tersebut meng-ada-ada. Lebih berat lagi bagi mereka yang tergantung terhadap jenis obat tertentu, jika ada berita yang mempertanyakan ke-halal-annya, bagaikan langsung menyerang pribadi si pemakai obat tersebut. Timbullah semacam perasan terancam oleh berita-berita seperti itu, dan akhirnya menolak.

Bagaimana sikap kita seharusnya? Apa yang dapat kita lakukan?

Kalaulah boleh usul mungkin hal-hal berikut bisa diterapkan bagi diri, keluarga maupun orang terdekat kita sebagai usaha manusiawi untuk membersihkan rezeki yang kita konsumsi:

1. Mulailah buka mata dan buka hati terhadap isyu halal haram. Jangan lagi bersikap masa bodoh maupun mengambil rasa aman palsu. Di negeri mayoritas muslim ini kita tidak sepenuhnya dilindungi oleh sistem yang ada, sebab selain negeri ini tidak berdasarkan syariat Islam, juga karena negeri ini sangat tergantung pada berbagai negara lain yang amat mempengaruhi kebijakan perdagangan kita. Selalu pertanyakan apakah apa yang kita konsumsi benar-benar sudah aman (halal).

2. Perluaslah wawasan. Teknologi pengolahan bahan pangan maupun sandang sudah sedemikian majunya sehingga bahan dasar (babi misalnya), sudah sangat sulit dikenali secara fisik. Kue yang terhidang di depan kita mungkin mengandung bahan pembuat maupun bahantambahan dari bahan dasar babi. Penampilan fisiknya mungkin tak berbeda dengan yang halal. Di internet ada informasi tentang bahan dasar makanan yang disebut daftar E atau kode E (salah satu link yang bisa dilihat, namun bukan yang terbaik: http://www.breakingtheviciouscycle.info/knowledge_base/kb/e_codes_for_food_additives_in_europe.htm ). Daftar ini menyebutkan apakah bahan tambahan makanan tertentu terbuat dari apa saja. Sebagian terbuat dari babi (tulang, daging, darah, enzim, hormon, kulit, bulu, organ dalam dll), selain dari binatang lain. Bahkan ada juga bahan tambahan makanan yang terbuat dari rambut manusia. Di bidang industri kulit, dengan teknik modern kulit babi atau sapi dapat dicetak (embossed) seperti motif kulit ular atau buaya. Pewarnaan juga sudah sedemikian maju sehingga bahan jadinya bagaikan warna plastik. Demikian juga industri mebel, pelapis mebel dari kulit asli boleh jadi terbuat dari babi. Kuas makanan, kuas lukis sering terbuat dari bulu babi. Pendek kata semakin banyak kita membuka mata kita, kita akan semakin faham betapa mengguritanya bahan dan barang haram maupun najis di sekitar kita.



3. Pelajari juga apa saja yang dilarang oleh Allah dan RasulNya. Dalam kaidah fiqih disebutkan untuk bidang selain ibadah khusus seperti shalat, maka pada dasarnya semua diperbolehkan (mubah) SELAIN yang dilarang. Yang haram jauh lebih sedikit dari yang halal, oleh karena itu kita cukup mempelajari apa saja yang haram. Perlu diketahui pula bahwa ke-haram-an tidak hanya pada hasil akhir, ke-haram-an bisa juga datang dari proses. Artinya, proses pembuatan sesuatu bisa menyebabkan barang tersebut haram, sehingga hasil akhirnya haram. Contoh, karena babi termasuk najis berat yang jika tersentuh sudah mengharuskan pencucian khusus, maka bahan makanan yang dalam proses pembuatannya berinteraksi dengan babi akan berubah menjadi haram, meskipun zat dari babi sama sekali tak terikut dalam hasil akhir produk. Contohnya adalah apa saja yang dibuat dengan memakai penyaring carbon dari tulang babi. Semua yang termasuk najis berat pasti haram, meskipun semua yang haram belum tentu najis. Contohnya alkohol (minuman keras) dan emas (bagi laki-laki) haram tapi tidak najis.

4. Bebaskanlah diri dari stereotip pencarian info hanya kepada ‘pihak-pihak berwenang’. Pihak berwenang hanyalah salah satu sumber informasi, dan bukan mustahil terkontaminasi oleh masalah politik dan kepentingan sehingga infonya menjadi tidak valid. Carilah sendiri karena sekarang era informasi bebas, tapi selalu pasanglah sikap kritis obyektif.

5. Dalam pencarian info, sertakan juga kredibilitas pemberi info: (1) Pemberi info bisa dari pihak mana saja, namun tingkat kredibilitasnya berbeda-beda, (2) info perlu selalu dicek ke sumber lain (cross check) agar tidak terjebak pada informasi menyimpang (biased information) yang mungkin terbawa dari sikap si pemberi info tentang hal tersebut, (3) Info tentang arahan agama dapat dicari dari berbagai sumber.Baik rujukan orang (ustadz) maupun buku, (4) makin banyak sumber yang anda ambil mungkin lebih baik untuk mengambil kesimpulan yang cukup kaya (elaborate). (5) Search engine (mesin pencari di internet) dapat dimanfaatkan untuk pecarian di lapangan ilmu kauniyah (ilmu yang di dapat manusia dari mempelajari sendiri di alam dunia ini), sedangkan untuk ilmu syar’I anda harus merujuk dahulu ke para ahli agama sebab search engine seringkali biased atau bahkan sama sekali tak mampu memberikan jawaban. Apalagi jika sudah masuk katagori fatwa, maka info tersebut harus diverifikasi oleh ahlinya.

6. Ambillah sikap pertengahan, jangan terlalu keras atau ketat sehingga terlalu menyulitkan diri dan terlalu curiga tanpa dasar, namun juga jangan terlalu gampang menyerah dan memudah-mudahkan sehingga menjadi teledor dalam mengambil keputusan. Patokannya, jika hati sudah mulai dihinggapi keraguan, maka itu saatnya segera mencari tahu. Tahan dulu pembelian barang selama masih ragu.

7. Jika terbukti ada barang atau makanan yang kita miliki ternyata mengandung barang haram, jangan ragu-ragu membuangnya dengan hati-hati. Jangan sampai makanan atau barang tersebut diambil oleh pemulung. Jangan ada perasaan sayang, sebab dosa harus dihindari sebelum berfikir mengambil manfaat.



8. Selalu berdoa pada Allah agar ditunjuki jalan lurus dan dijauhi dari yang bengkok. Minta diberi bimbingan oleh Allah SWT agar dimudahkan mengenali halal haram.

9. Selalu istighfar baik bagi kesalahan yang sudah disadari maupun yang selama ini di cuek-in , bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak mau tahu dan tidak mau cari tahu.

10. Jika mampu, beri peringatan ke orang lain terutama keluarga terdekat, jika tidak mampu, doakan dari jauh.

11. Lindungi diri dan keluarga terlebih dahulu, karena diri dan keluarga adalah tanggung jawab terdekat. Ajari anak-anak anda tentang hal-hal ini sehingga mereka memiliki ketrampilan yang sama dengan anda dalam bidang ini.

Jika kita hendak berbelanja:

Persiapkanlah dengan baik: (1) Telitilah barang-barang yang biasa dikonsumsi keluarga, mana-mana saja yang sudah termasuk dalam daftar halal dan mana yang belum. Daftar halal dapat anda peroleh dari lembaga resmi maupun internet. (2) Label halal juga mungkin diberikan oleh negeri lain. Jika tidak ada informasi yang memberikan penilaian negatif (sebaliknya), maka setiap lembaga milik umat Islam di manapun boleh kita ambil sebagai rujukan barang halal dari negerinya. Sebab standar halal seharusnya sama bagi seluruh ummat Islam seluruh dunia. (3) Telitilah setiap barang yang akan dibeli, jika tak ada label halal yang dapat dipercaya, sebaiknya jangan dibeli. Untuk bahan kulit kita akan mengalami kesulitan sebab di Indonesia tidak ada keharusan memberi label halal bagi barang bukan makanan dan obat. Namun ada yang pernah memberi info bagaimana mengenali kulit babi karena bentuk porinya berbeda. Wallahua’lam. (4) Jangan ragu-ragu bertanya pada sales yang menawarkan barang kepada kita tentang kehalal-an produk yang ditawarkan. Jangan ragu-ragu menolak jika sales-nya tak mampu menjawab dengan baik. Berikan masukan ke perusahaan produsen barang tersebut agar setiap perusahaan yang beroperasi di Indonesia menjadi yakin akan pentingnya berhati-hati soal kehalal-an produk. (5) Cari pengalaman atau skill/ ketrampilan mengenali bahan yang masih mungkin dikenali seperti bau Rhum (alkohol untuk esen kue). Tukang kue tahu bagaimana cara mengenalinya, belajarlah dari mereka yang jujur. (6) Bersabarlah dalam segala kerepotan dan kesulitan akibat sikap baru kita ini, Insya Allah mendapatkan ganjaran terbaik dari Allah SWT sebagai orang-orang yang berjihad untuk keluarga. Bersabarlah pula menghadapi berbagai tantangan yang mungkin melemahkan kita dalam menyusuri jalan menuju Allah SWT.

(SAN27042009)

“Seburuk makanan adalah makanan walimah yang dijemput orang kaya dan ditinggalkan orang miskin..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).




DUA PULUH EMPAT JAM DALAM KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM












DUA PULUH EMPAT JAM DALAM KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM MENURUT AJARAN AL QUR’AN

Bangun di Pagi Hari

Salah satu perbedaan mendasar antara seorang Islam yang menjalani hidupnya menurut ajaran Al Qur’an dengan mereka yang menolak Allah adalah: kearifan yang dikaruniakan Allah kepada orang yang menggunakan nurani dan teguh dalam kekuasaan Allah. (Untuk pembahasan lebih terperinci, bacalah karya Harun Yahya: True Wisdom Described in The Al Qur’an) Karena kearifannya, orang beriman segera menyadari alasan di balik berbagai peristiwa yang menurut orang tak bertuhan dan mereka yang tak mampu meraih kebenaran sebagai kejadian tak bermakna.

Sejak bangun di pagi hari, seorang beriman mengetahui bahwa ada (seperti yang disebut oleh Allah dalam Al Qur’an) sebuah “tanda” di setiap pengalaman yang dialaminya sepanjang hari. Kata “tanda” (atau ayat dalam bahasa Arab) diberikan untuk kejadian tersebut dalam wujudnya yang merupakan bukti nyata akan keberadaan, keesaan dan sifat-sifat Allah— ayat juga merupakan nama untuk bagian dari surat dalam Al Qur’an. Pendapat lain yang hampir sama dengan hal itu adalah “kenyataan yang menuntun kepada iman”. Hal ini dapat dijabarkan sebagai kenyataan yang membawa seseorang kepada iman, dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tumbuh, berkembang dan menjadi kuatnya iman. Namun hanya mereka yang dengan ikhlas kembali kepada Allah-lah yang dapat mengenali “tanda” tersebut dan kenyataan yang menuntunnya kepada iman. Ayat ke-190 Surat Ali ’Imran adalah contohnya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang berakal. (QS. Al 'Imran, 3:190)

Bagi mereka yang beriman dan hidup berdasarkan ajaran Al Qur’an, setiap hari baru penuh akan bukti keberadaan Allah dan kenyataan yang menuntun kepada iman. Sebagai contoh, membuka mata dan memulai hari merupakan salah satu nikmat Allah kepada manusia dan kenyataan yang menuntun kepada iman yang perlu direnungkan. Hal ini karena kita tidak sadarkan diri sepanjang malam dan semua yang dapat dia ingat dari tidur selama berjam-jam itu adalah beberapa mimpi yang tidak jelas selama 3-5 detik. Pada saat tersebut, seseorang tertidur tanpa berhubungan dengan dunia ini. Tubuh dan jiwanya terpisah. Saat ini, yang dia pikirkan sebagai tidur, sebenarnya adalah sejenis kematian. Allah menerangkan dalam Al Qur’an bahwa jiwa manusia diambil pada saat mereka tertidur.

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan (QS Az Zumar, 39:42)

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan (QS Al An'am, 6:60)

Dalam ayat-ayat tersebut, Allah berfirman bahwa jiwa manusia diambil pada saat tidur, namun dikembalikan lagi sampai waktu yang telah ditentukan untuk kematian datang. Selama tidur, seseorang setengah kehilangan kesadaran terhadap dunia luar. Untuk bangkit dari “kematian” tidur kepada kesadaran dan kondisi yang sama seperti pada hari sebelumnya, dan untuk dapat melihat, mendengar, dan merasakan dengan baik dan sempurna adalah sebuah keajaiban yang harus kita renungkan. Seseorang yang berangkat tidur di malam hari tidak dapat memastikan bahwa nikmat yang tiada bandingannya ini akan diberikan lagi kepadanya besok pagi. Dan kita tidak pernah dapat memastikan apakah kita akan mengalami bencana atau bangun dalam kondisi sehat.

Orang yang beriman memulai hari barunya dengan memikirkan kenyataan ini dan berterima kasih kepada Allah yang telah meliputinya dengan kasih sayang-Nya dan perlindungan-Nya. Dia menatap hari baru sebagai sebuah kesempatan yang diberikan kepadanya oleh Allah untuk meraih ridha-Nya dan mendapatkan Surga. Di saat dia membuka matanya di pagi dini hari, dia menujukan pikirannya kepada Allah dan memulai hari dengan sebuah sholat yang khusyuk, Sholat subuh.

Sepanjang hari, dia bertindak atas dasar pengetahuan bahwa Allah senantiasa mengawasinya, dan dengan seksama mencari ridha Allah dengan mematuhi perintah dan petunjuk-Nya. Dia menjalin hubungan erat dengan Allah dan memulai hari dengan sholat Subuh. Dengan cara ini, kemungkinan bahwa ia akan lupa pada nikmat Allah sepanjang hari atau tidak mempedulikan larangan-Nya menjadi kecil; dia akan berperilaku sepanjang hari dengan menyadari bahwa Allah sedang mengujinya di dunia ini.

Seseorang yang secara tulus mengarahkan pikirannya kepada Allah akan dituntun untuk melihat bahwa dia harus dengan seksama merenungkan nikmat Allah yang telah diterimanya dan tak ada yang lain selain Allah yang berkuasa memberikan itu semua kepadanya. Dalam Al Qur’an, Allah berfirman agar manusia merenungkan hal ini dalam-dalam:

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?" Perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga). (QS Al An'am, 6:46)

Pastilah Allah, Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui, yang menjadikan tidur sebagai waktu istirahat bagi manusia dan memberikan kembali nikmat-Nya pada mereka di pagi hari. Mereka yang mengetahui ini merasakan kedekatan Allah sejak saat mereka memulai hari mereka dan bergembira dengan karunia tiada tara yang mereka nikmati.

Mereka yang berpaling dari agama dan menolak untuk merenungkan kenyataan ini tidak akan pernah sepenuhnya menyadari nikmat yang mereka miliki atau mengetahui nikmat yang dirasakan oleh orang beriman. Pada umumnya, di pagi hari, mereka merasa sulit untuk beranjak dari tempat tidur hangat mereka dan tertekan dengan kekhawatiran untuk melangkah dalam memulai hari. Beberapa dari mereka merasa resah dan tertekan karena hal-hal yang harus mereka kerjakan setiap pagi. Mereka tidak mau bangun dari tempat tidur; ada perjuangan dalam diri mereka antara bangun dan tidur barang semenit lagi. Gangguan rohani yang sering dihadapi oleh orang-orang semacam ini adalah rasa terganggu, tertekan dan tidak senang saat mereka bangun tidur.

Orang tak bertuhan tidak dapat menikmati kesenangan dalam nikmat Allah; sejak mereka bangun tidur di pagi hari mereka kembali pada kebosanan karena melakukan hal-hal yang sama setiap hari. Ada lagi jenis lain orang yang tidak menyadari bahwa hari baru tersebut mungkin saja merupakan kesempatan terakhir yang Allah berikan kepada-Nya: dia mempersiapkan diri secepatnya untuk memulai hari dengan hasrat untuk mendapatkan lebih banyak uang, untuk pamer kepada orang lain dengan harta maupun penampilannya, untuk menarik perhatian orang dan disukai.

Orang yang tidak peduli pada kenyataan yang diwahyukan Allah dalam Al Qur’an akan memulai hari mereka dengan cara mereka sendiri. Umumnya, mereka kurang arif dalam cara berperilaku: mereka tidak mempertimbangkan bahwa Allah telah menciptakan mereka, bahwa mereka bertanggung jawab untuk mengabdi pada-Nya dan meraih ridha-Nya dan bahwa hari baru di depan mereka mungkin saja merupakan kesempatan terakhir yang mereka miliki untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada-Nya. Allah menerangkan keadaan mereka dalam ayat berikut:

Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (dari hal itu). (QS Al Anbiya', 21:1)

Jelas bahwa mereka yang hidup tenggelam dalam kekeliruan luar biasa ini telah melakukan kesalahan besar. Setiap orang tidak boleh lupa bahwa setiap pagi mungkin merupakan permulaan dari hari terakhir yang telah ditentukan bagi seseorang untuk hidup di dunia. Kematian dapat datang kapan saja, karena kecelakaan lalu-lintas, serangan penyakit mendadak dan penyebab lain yang tak terhitung jumlahnya. Untuk itu, seperti yang telah diungkapkan di atas, kita harus merenungkan apa yang harus kita kerjakan dalam pemanfaatan hari yang akan kita jalani, agar kita meraih ridha Allah.

Kebersihan



Ada beberapa hal yang menimbulkan perubahan di tubuh Anda pada saat bangun di pagi hari. Wajah Anda kusut, rambut Anda kotor, tubuh Anda berbau tak sedap dan ada aroma yang tidak menyenangkan dari mulut anda. Wajah kusut yang kita lihat di cermin dan penampilan yang tidak rapi menunjukkan ketidaksempurnaan kita. Setiap orang harus mencuci muka di pagi hari, menggosok gigi, dan merapikan diri. Hal ini mengingatkan orang yang telah dekat dengan ajaran Al Qur’an bahwa dia tidaklah berbeda dengan orang lain, dan hanya Allah yang tidak memiliki kekurangan.

Lebih dari itu, saat seseorang yang ikhlas kembali kepada Allah memandang ke cermin dan merasa tidak nyaman dengan apa yang dilihatnya, dia makin paham bahwa dia tidak dapat memiliki keindahan apa pun hjanya dengan kekuatan keinginannya semata.

Bisa dilihat bahwa Allah telah menciptakan dalam hamba-Nya kekurangan untuk mengingatkan mereka akan ketergantungan mereka kepada-Nya. Jelas bahwa menjadi kotornya tubuh seseorang dan lingkungan dalam waktu singkat merupakan contohnya. Tetapi Allah telah menunjukkan kepada manusia bagaimana cara untuk mengatasi kekurangan ini dan telah memberikan nikmat berupa tersedianya sabun mandi dan sabun cuci untuk kita. Allah memberitahu hal ini kepada kita dalam Al Qur’an:

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS Alam-Nasyrah, 94: 5-6)

Kemampuan untuk memperhatikan rahasia penciptaan nikmat dan bersyukur kepada Allah atas hal itu hanya dimiliki oleh orang beriman yang dikaruniai pemahaman.

Saat seseorang yang beriman sedang membersihkan dirinya, di pagi hari atau di waktu lain di hari tersebut, ia berterima kasih kepada Allah yang telah menyediakan alat-alat pembersih yang dia gunakan. Karena dia tahu bahwa Allah mencintai kebersihan dan orang yang bersih, dia memandang pembersihan diri sebagai ibadah kepada Allah dan berharap meraih ridha-Nya. Dia dengan senang hati mematuhi apa yang diperintahkan Allah dalam ayat 4 dan 5 Surat Al Muddatstsir:

… dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah. (QS Al Muddatstsir, 74: 4-5)

Dalam ayat berikut diterangkan peristiwa saat perang Badar. Allah berfirman bahwa Dia menurunkan hujan dari surga untuk manusia agar mereka membersihkan diri mereka dan untuk keperluan lainnya.

(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan darimu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (QS Al Anfal, 8:11)

Air merupakan kebutuhan mendasar yang dibutuhkan manusia untuk membersihkan diri, harta benda dan rumah mereka. Selain dapat membersihkan kotoran yang terlihat dan bakteri yang tak terlihat, air juga mampu membuat kita merasa tenang. Saat air membasuh tubuh, air akan menghilangkan elektron statis yang menyebabkan rasa lelah dan pegal. Kita tidak dapat melihat elektron statis di tubuh kita, tetapi elektron statis ini akan kita sadari karena adanya suara menghentak di saat kita membuka baju hangat. Ini adalah kejutan listrik kecil karena kita menyentuh sesuatu atau karena gerakan rambut kita. Saat kita membersihkan badan, kita menghilangkan elektron statis yang telah terkumpul sehingga badan terasa ringan dan nyaman. Sejuknya udara setelah hujan reda juga merupakan bukti bahwa air telah membersihkan elektron statis di udara.

Allah menyukai orang yang bersih dan berpenampilan rapi. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat Al Qur’an yang memuji kebersihan tubuh para penghuni Surga.

Allah berfirman "… Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. ." (QS At Tur, 52:24), dan dalam ayat lainnya Allah berfirman bahwa di sana terdapat “istri-istri (bidadari) yang terpelihara ” bagi mereka di Surga (QS Al Baqarah, 2:25; QS Ali 'Imran 3:15; QS An Nisa', 4:57)

Sebagian manusia mementingkan penampilan rapi hanya apabila mereka ingin disukai orang lain; mereka tidak peduli pada penampilan dan kebersihan mereka di saat orang lain tidak ada. Merasa tenang berjalan di dalam rumah hingga malam hari tanpa membersihkan diri, wajah yang kotor, dan bau napas tak sedap, tidak terurus, tempat tidur tidak tertata dan kamar yang tidak dirapikan disebabkan oleh pendapat yang keliru ini.

Padahal, Allah menyeru kaum Muslimin untuk menciptakan lingkungan yang terbaik dan terbersih bagi diri mereka sendiri dan memerintahkan setiap orang untuk menjaga kebersihan sebaik mungkin dalam segala hal mulai dari makanan dan pakaian sampai pada tempat tinggal mereka.

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS Al Baqarah, 2:168)

Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik …" (QS Al Ma'idah, 5:4)

… (Nabi) yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk … (QS Al A'raf, 7:157)

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat sholat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud." (QS Al Baqarah, 2:125)

Mereka menjawab, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain lagi), "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antaramu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, (QS Al Kahfi, 18:19)

… dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia (Yahya) adalah seorang yang bertakwa. (QS Maryam 19:13)

Sementara gaya hidup orang-orang jahiliah membuat mereka menciptakan lingkungan yang tidak nyaman dan tidak sehat untuk ditinggali dengan tangan mereka sendiri, kaum Muslimin, sesuai dengan ajaran Al Qur’an, menjalani hidup yang baik di dunia. Orang-orang jahiliah menciptakan lingkungan yang menyulitkan diri mereka sendiri dan orang lain di sekitarnya, sementara kaum muslimin menata hidup mereka di tempat yang sehat dan menumbuhkan semangat, tempat setiap orang dapat hidup dalam kenyamanan dan kedamaian pikiran.

Singkatnya, sesuai dengan ajaran Al Qur’an, orang beriman akan bersih diri dan berpenampilan baik, bukan untuk orang lain, tetapi karena demikianlah yang dikehendaki oleh Allah dan secara alami, karena cara inilah yang terasa paling nyaman. Dengan membersihkan tempat tinggal mereka, mereka merasakan kesenangan yang berlimpah karena menciptakan lingkungan yang membuat orang lain merasa nyaman di dalamnya; dalam hal kebersihan mereka tidak sedikit pun menunjukkan keengganan, dan mereka senantiasa berusaha sekuat tenaga agar bersih dan berpenampilan baik.

Berpakaian



Pada saat orang yang beriman memutuskan pakaian mana yang hendak dikenakannya sepanjang hari dan mengenakannya, dia menyadari sebuah kenyataan penting: bahwa pakaian adalah salah satu dari nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya dan ada kebaikan dalam adanya pakaian. Semua orang mengambil manfaat dari nikmat ini, tetapi hanya seorang muslim yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur’an yang mampu menghargai dengan baik bahwa pakaian yang indah adalah kasih sayang dari Allah dan bersyukur kepada-Nya atas berkah tersebut. Pakaian segera mengingatkan orang beriman bahwa makhluk hidup adalah sumber pakaian wol, kapas, dan sutra. Bahan pakaian yang kita pakai, hampir di setiap saat dalam hidup kita, diperoleh dari tumbuhan dan hewan yang merupakan ciptaan yang menakjubkan. Dengan kata lain, seandainya Allah tidak menciptakan makhluk hidup yang memiliki kemampuan menyediakan untuk manusia berbagai macam pakaian dari yang paling sederhana sampai yang paling mewah, maka bahan mentah tersebut tidak akan ada.

Meskipun mereka sebenarnya mengetahui ini, sebagian orang tidak peduli atau, karena kesesatannya, tidak menghargai nikmat yang mereka miliki. Karena mereka diberi pakaian yang mereka butuhkan sejak mereka lahir, berpakaian telah menjadi kebiasaan bagi mereka. Kebiasaan ini melalaikan mereka dari menyadari bahwa pakaian mereka merupakan nikmat. Mereka juga lalai untuk mensyukurinya. Padahal, salah satu alasan mengapa Allah menurunkan nikmat di dunia adalah agar manusia berterima kasih kepada-Nya atas semua nikmat tersebut. Oleh karena itu, marilah kita mempelajari alasan mengapa Allah menciptakan pakaian untuk kita. Mari kita mulai dari manfaat pakaian tersebut untuk kita.

Pakaian seolah sebuah tameng yang melindungi tubuh manusia dari dingin, sinar matahari yang berbahaya, dan bahaya ringan di sekitar kita seperti lecet dan cedera. Kalau kita tidak memiliki pakaian, kulit tipis yang menutupi tubuh manusia akan sering terluka oleh berbagai bahaya ringan tersebut. Tentu itu menyakitkan, mengancam kesehatan, dan kulit dapat mengalami kerusakan yang parah.

Allah berfirman dalam Al Qur’an tentang alasan lain penciptan pakaian pelindung:

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. (QS. Al A’raf, 7: 26)

Sebagaimana yang disampaikan ayat ini, pakaian memberi manusia penampilan yang lebih indah.

Jelaslah bahwa pakaian merupakan kebutuhan yang tak bisa dielakkan dan nikmat sangat penting yang telah Allah berikan kepada kita. Orang beriman yang menyadari ini akan sangat berhati-hati dan tidak sembarangan dalam mengenakan pakaian. Ini menunjukkan bahwa dia sangat bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya.

Sifat lain yang dikaruniakan kepada orang beriman berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Qur’an adalah kesederhanaan dalam membelanjakan uang yang juga diterapkan pada saat membeli pakaian. Dia membeli barang yang dia butuhkan, cocok dengannya, dan tidak berlebihan. Dia tidak menghamburkan uang dengan membelanjakan uang untuk barang yang tidak diperlukannya. Ayat berikut menunjukkan kenyataan tersebut:

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian. (QS Al Furqan, 25:67)

Kehatian-hatian dalam berpakaian bagi seseorang yang menjalani hidup sesuai Al Qur’an tidak hanya berhenti sampai di sini. Sebagai contoh, selain berpakaian dengan pakaian yang bersih, orang beriman yang menghargai keindahan akan berhati-hati dalam berpakaian dengan baik dan juga disesuaikan dengan situasi yang ada. Sebagaimana ditunjukkan oleh Al Qur’an, pakaian itu menyenangkan untuk dipandang mata (Surat al-A'raf: 26). Ada beberapa contoh mengenai bagaimana Nabi Muhammad, SAW berpakaian dan anjurannya mengenai hal ini dalam sabdanya kepada kita:

“Makanlah apa yang kamu suka, dan pakailah apa yang kamu suka dengan memperhatikan bahwa tidak terdapat dua hal: berlebih-lebihan dan kemewahan yang sia-sia.” (Maulana Muhammad Mansyur Nu'mani, Ma'ariful Hadith)

Berikut ini juga merupakan keterangan yang diberikan kepada kita mengenai bagaimana Nabi Muhammad, SAW berpakaian:

Setiap saat seorang utusan datang kepada Rasulullah. dia akan mengenakan pakaian terbaiknya dan memerintahkan sahabat-sahabat dekatnya untuk melakukan hal yang sama (Tabaqat Hadith, Volume 4, Nomor 346)

Ketika seorang sahabatnya tidak mempedulikan penampilannya dan terlihat tidak rapi, Nabi Muhammad, SAW. segera menegurnya. Contoh ini telah disampaikan kepada kita:

Rasulullah sedang berada di mesjid, di saat seseorang dengan rambut tidak disisir rapi dan janggut kusut datang. Nabi (SAW) menunjukkan jari kepadanya, seperti mengisyaratkan padanya bahwa dia harus merapikan rambut dan janggutnya. Orang tersebut pergi dan melakukan apa yang diisyaratkan, kemudian kembali. Nabi (SAW) berkata, “Tidakkah lebih baik jika setiap orang dari kalian datang dengan rambut terurus?" (Malik's Muwatta, Volume 2, Nomor 949)

Dalam Al Qur’an, Allah berfirman bahwa pakaian dan perhiasan merupakan bagian dari nikmat terbaik di Surga. Beberapa di antaranya disebutkan dalam ayat-ayat berikut:

Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. (QS Al Hajj, 22:23)

… mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. (QS Ad Dukhan, 44:53)

Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang yang terbuat dari perak … (QS Al Insan, 76:21)

Dalam ayat-ayat tersebut, Allah berfirman mengenai sutra halus dan sutra tebal, dan perhiasan yang terbuat dari emas, perak dan mutiara. Perhiasan yang kita miliki di dunia ini sama dengan yang ada di Surga. Bagi orang yang beriman, memandang perhiasan ini (mereka memilikinya atau tidak) merupakan sarana yang menuntunnya untuk merenungkan Surga dan keinginan yang lebih besar untuk mencapainya. Orang beriman merenungkan tujuan penciptaan semua itu dan menyadari bahwa segala nikmat di dunia ini tidaklah kekal. Satu-satunya nikmat sejati dan yang kekal terdapat di akhirat.

Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah. (QS Al Kahfi, 18:30-31)

Salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang menjalani hidup sesuai Al Qur’an dan Sunnah dalam hal pakaian adalah bahwa penampilan luar sangat penting dalam membangun hubungan dengan orang lain. Berdasarkan alasan ini, orang beriman akan memberikan perhatian lebih pada apa yang akan dia kenakan ketika mengajak orang lain menerima agama Al Qur’an. Dia akan sangat bersemangat memakai pakaian yang bersih, bersahaja, dan cocok dengannya. Ini menunjukkan pengabdiannya kepada perintah Allah dan penghormatannya kepada orang lain.

Hanya mereka yang hidup sesuai Al Qur’an saja yang sangat memperhatikan kondisi psikologis seseorang. Dia juga berhati-hati agar dapat seberhasil mungkin dalam menyampaikan jalan keselamatan yang abadi. Dia pun sangat teliti mengenai apa yang sedang dikenakannya.

Sebagai kesimpulan, orang beriman yang menjadikan Nabi Muhammad, SAW sebagai teladan, selalu berada dalam keadaan bersih, rapi, dan berpakaian menarik. Dia sangat menikmati hal ini karena mengharapkan meraih ridha Allah.

Sarapan Pagi

Setiap orang beriman yang dikaruniai oleh Allah dengan kemampuan untuk berpikir dan memiliki pemahaman, mengerti tentang suatu hal penting saat dia pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Hal penting itu adalah bahwa semua nikmat yang diciptakan dan diberikan dalam bentuk makanan dan minuman adalah bukti (penciptaan) yang menuntunnya pada keimanan.


Misalnya, api yang digunakannya untuk memasak makanan dapat menyebabkan bahaya besar baginya bahaya besar pula pada banyak makhluk lain. Api juga dapat menghancurkan. Namun panas merupakan kebutuhan dalam mengolah makanan agar dapat dimakan. Dan dari sudut pandang ini, api justru adalah nikmat yang sangat besar. Dengan kata lain, sebagaimana hal-hal lainnya di dunia, api telah ditundukkan untuk melayani manusia. Dalam Al Qur’an Allah berfirman:

Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya…. (QS Al Jatsiyah, 45:13)

Selain itu, api adalah peringatan bagi orang beriman dalam hidup ini akan pedihnya api Neraka. Dalam Al Qur’an, ketika menggambarkan orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka, Allah menyebut adanya api yang pedih. Dalam beberapa ayat, Dia menggambarkan pedihnya api yang telah diciptakan-Nya untuk orang-orang yang berpaling dari-Nya:

(Hari pembalasan itu) ialah hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (QS Adz Dzariyat, 51:13)

Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat. (QS Al Mu’minun, 23:104)

Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang bernyala-nyala. (QS AL Fath, 48:13)

Saat orang beriman memikirkan dengan imannya yang mendalam mengenai api yang bergejolak dalam Neraka tersebut, ketakutan kepada Allah pun muncul. Mereka berdoa kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya dari api Neraka. Dengan cara ini, hal keseharian yang sangat remeh pun dapat menjadi peringatan akan persoalan yang besar ini, dan ini merupakan ciri amal yang sangat penting bagi orang beriman.

Seseorang yang sungguh-sungguh merenung tanpa prasangka mengenai makanan yang dimakannya untuk sarapan akan memperoleh banyak petunjuk darinya. Rasa dan aroma roti, madu, keju, tomat, teh, sari buah, pentingnya makanan dan warna-warninya merupakan nikmat. Semuanya menyediakan protein, asam amino, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan cairan yang dibutuhkan tubuh. Untuk menjalani hidup sehat, kita harus makan secara teratur dan cukup. Yang menakjubkan, ini bukan pekerjaan yang sulit bagi kita. Ini malah merupakan sesuatu yang kita nikmati. Buah-buahan, sayuran, nasi, dan roti memenuhi kebutuhan makanan seseorang dan juga memberikan banyak kesenangan.

Sebenarnya, semua yang telah kita bahas tadi merupakan hal yang amat sepele dan diketahui dengan baik oleh setiap orang. Semua orang akrab dengan kegiatan itu dalam setiap 24 jam kesehariannya, sejak dia dilahirkan. Namun sebagian besar orang tidak merenungkan hal ini dengan benar. Dia tidak sadar bahwa semua itu telah dikaruniakan oleh Allah untuk kehidupan keseharian kita. Semuanya disepelekan begitu saja, tidak ada kesadaran tentang betapa berharganya itu semua.

Padahal, semua makanan dan minuman lezat tersebut mampu menyediakan berbagai manfaat bagi tubuh manusia, dan setiap makanan atau minuman itu merupakan ciptaan yang mengagumkan. Sebagai contoh, seekor lebah yang berbobot hanya beberapa gram menghasilkan madu. Karena vitamin dan mineral yang dikandungnya atau karena kekhasan struktur yang dimilikinya, madu berguna untuk kesehatan dan obat bagi manusia. Dalam Al Qur’an Allah berfirman bahwa Dia mengilhamkan sifat madu dan memberi ilham pada lebah madu saat bekerja:

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibangun oleh manusia," kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS An Nahl, 16:68-69)

Orang beriman yang merenungkan proses pembuatan madu menjadi sadar akan keajaiban penciptaan yang terkandung di dalamnya. Dia segera mengerti bahwa mekarnya pohon yang berbuah, yang menjadi bahan mentah dasar untuk madu, yang sari bunganya diubah oleh lebah menjadi madu, maupun madu yang menakjubkan itu sendiri, tidak dapat terjadi secara kebetulan. Hal ini mendekatkan dirinya kepada Allah.

Lebih lanjut, kepatuhan tanpa syarat dari seekor lebah kecil kepada Allah juga merupakan bukti lain yang menuntun kepada iman. Orang beriman akan mengerti bahwa berdasarkan petunjuk Allah-lah, seekor lebah madu yang tidak memiliki kecerdasan ataupun kesadaran sebagaimana yang telah kita pahami, bekerja tanpa henti dan dengan disiplin sempurna melaksanakan tugasnya yang menakjubkan itu.

Pentingnya daging, susu, keju, dan manfaat lain dari binatang sebagai nikmat bagi manusia dari Allah difirmankan dalam Al Qur’an:

Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagimu. Kami memberimu minum dari air susu yang ada dalam perutnya. Dan pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untukmu, sebagian darinya kamu makan. (QS Al Mu’minun, 23:21)

Ada keterangan tentang “apa yang ada dalam perutnya”, ketika ayat tersebut menerangkan kepada kita tentang manfaat yang kita ambil dari hewan. Misalnya, ada sesuatu yang tertinggal dalam proses pencernaan dari pakan yang dimakan oleh sapi, air yang diminum oleh sapi, darah yang mengalir dalam pembuluh darah, dan alat-alat tubuh sapi. Sungguh merupakan keajaiban bahwa aroma manis, bersih, campuran putih semacam susu yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, dapat dihasilkan dari campuran rumit semacam itu. Hebatnya lagi, susu dihasilkan dengan sifat paling menyehatkan, padahal jelas susu terletak pada bagian yang mengandung kotoran.

Petunjuk lain tentang pengetahuan Allah yang Mahaluas adalah kenyataan bahwa satu-satunya bahan mentah yang digunakan untuk menghasilkan susu adalah rumput hijau. Namun hewan yang menghasilkan susu ini dapat mengeluarkan cairan putih dari bahan hijau kaku tersebut berkat sistem mengagumkan yang Allah ciptakan dalam tubuh mereka. Dalam Al Qur’an, Allah menerangkan kepada kita tentang bagaimana susu dibuat:

Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagimu. Kami memberimu minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS An Nahl, 16:66)

Seperti kita ketahui, susu merupakan minuman yang sangat kaya akan beberapa bahan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Susu merupakan cairan yang berperan penting dalam pertumbuhan anak-anak dan orang dewasa.

Makanan lain yang berasal dari hewan, kecil bentuknya namun nilai gizinya sangat besar, adalah telur. Pembentukan gudang protein, vitamin, dan mineral ini merupakan keajaiban yang lain. Seekor ayam yang rendah tingkat kecerdasannya mampu menghasilkan telur setiap hari dan melindungi telur yang dihasilkannya dengan kemasan yang mengagumkan. Memperhatikan bagaimana kulit telur dibentuk secara menakjubkan mengelilingi cairan yang ada di dalam kulitnya, walaupun tanpa pelindung, meningkatkan kekaguman yang dirasakan oleh orang beriman terhadap seni penciptaan Allah.

Berbagai minuman, yang dianggap oleh sementara manusia harus tersedia dalam sarapan, berasal dari tumbuhan. Setelah daun-daun tumbuhan tersebut mengalami proses tertentu, daun tersebut menjadi cairan beraroma manis. Beribu-ribu macam tumbuhan yang tumbuh dari tanah yang sama menunjukkan kekuasaan, kekuatan, dan kasih sayang tak terbatas dari Allah yang telah menciptakannya. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al Qur’an:

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya)… (QS Al An'am, 6:141)

Allah memberi kita nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Dia menciptakannya banyak nikmat untuk kita makan. Dia menguji manusia dalam hidup di dunia ini dengan kekayaan dan kemiskinan. Dia menyukai orang yang menunjukkan akhlak terpuji di saat berhadapan dengan ujian ini. Dia menerangkan dalam Al Qur’an bahwa mereka akan menerima nikmat yang kekal di dalam Surga. Sebagai contoh, sementara sebagian orang menyantap sarapan yang lezat, orang lain hanya memiliki sedikit makanan. Namun orang beriman, kaya atau miskin, akan selalu bertingkah laku dengan cara diridhai oleh Allah dan bersyukur kepada-Nya dengan ikhlas. Apabila dia kaya, dia tidak akan sombong atau menjadi tinggi hati. Apabila dia miskin, dia tidak akan khawatir dan menyesali keadaannya.

Orang beriman menyadari bahwa Allah sedang mengujinya. Dia juga menyadari bahwa segala hal dalam hidup ini adalah tidak kekal. Al Qur’an menyatakan bahwa Allah akan menguji manusia melalui kebaikan dan keburukan. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS Al Anbiya', 21:35). Dengan alasan ini, orang yang hidup sesuai dengan Al Qur’an mengetahui bahwa bukanlah nikmat yang dia terima, melainkan sikapnya terhadap nikmat tersebutlah yang bernilai di hadapan Allah. Walaupun dia tidak kaya, orang beriman dengan ikhlas bersyukur kepada Allah. Dalam Al Qur’an Allah menerangkan bahwa Dia akan menambah nikmat kepada mereka yang bersyukur dengan ikhlas dan kesungguhan hati. Dia juga memperingatkan orang yang tidak bersyukur akan pedihnya siksa di Neraka:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim, 14:7)

Orang yang merenungkan bukti kesempurnaan ciptaan di sekililingnya, dan juga alasan di balik penciptaan makanan, juga akan melihat kehendak Yang Mahakuasa di dalam susunan dan cara kerja mulut yang diciptakan untuk memakan makanan dengan mudah. Agar manusia dapat makan, makanannya, bibirnya, gigi, lidah, rahang, kelenjar ludah, dan jutaan sel bekerja sama dalam keselarasan yang sempurna. Semua ini diatur sedemikian rupa sehingga beberapa fungsi dapat dilakukan pada waktu bersamaan tanpa menimbulkan gangguan. Gigi memotong makanan menjadi bagian-bagian kecil, dan lidah terus-menerus mendorong makanan di sela-sela gigi untuk dikunyah. Dengan otot yang kuat, rahang membantu gigi mengunyah ketika orang yang makan menggerakkan lidahnya dengan cara yang sesuai. Bibir berperan sebagai pintu yang tertutup dengan rapat untuk mencegah makanan keluar dari mulut.

Selain itu, bagian-bagian yang membentuk organ-organ tubuh ini bekerja sama dalam keselarasan yang sempurna. Misalnya, gigi, sesuai dengan tempat dan susunannya, menggigit makanan menjadi bagian-bagian kecil dan mengunyahnya. Seluruh gigi diatur dan disusun pada tempatnya sesuai dengan fungsinya masing-masing. Setiap gigi tumbuh dan tinggal dalam ukuran panjang tertentu agar dapat bekerja sama dengan baik dengan gigi yang ada di tempat yang berlawanan dengannya. Tentunya organ ini tidak memiliki kesadaran atau kecerdasan. Gigi tidak dapat menentukan sendiri bagaimana bekerja sama dengan gigi yang lain. Dan koordinasi luar biasa seperti yang telah dijelaskan tersebut tidak terjadi secara kebetulan. Setiap bagian dibuat sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak ada keraguan bahwa rancangan menakjubkan ini berasal dari Allah Yang “telah menciptakan segala sesuatu, dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS Al Furqan, 25:2). Allah telah menciptakan semua ini untuk memudahkan manusia memakan makanannya dan mengambil manfaat serta menikmatinya.

Hal penting lainnya yang direnungkan oleh orang beriman adalah kenyataan bahwa dia dapat mencium bau makanan di dapur dan mengecapnya tanpa susah payah. Hal ini dimungkinkan oleh indera yang dimilikinya. Indera pengecap dan penciumannya, yang tidak berhenti sepanjang hidupnya, bekerja dengan sempurna tanpa biaya apa pun; mereka tidak pernah berlatih untuk menggunakannya dengan cara yang benar, dan mereka pun tidak menyadari kegiatan indera tersebut.

Apabila seseorang tidak memiliki indera pengecap ini, berbagai macam rasa dari daging, ikan, sayuran, sup, selada, buah, minuman, dan selai tidak akan ada arti baginya. Selain itu, rasa makanan tersebut mungkan tidak akan lezat, hambar, tawar, atau tidak mengenakkan dan memualkan perut. Tidak diragukan lagi bahwa rasa dan indera yang menerimanya telah secara khusus diciptakan untuk manusia. Adalah kesalahan besar jika tidak menyadarinya karena kelalaian akibat kebiasaan. Al Qur’an menerangkan bahwa Allah menciptakan makanan yang baik dan bersih untuk manusia:

Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Ghafir, 40:64)

Sudah barang tentu, bagi orang-orang yang berpikir, setiap rasa merupakan sarana untuk bersyukur kepada Allah dengan sebaik-baiknya, mengingat-Nya dengan penuh rasa terima kasih, memuji-Nya, dan berterima kasih pada-Nya. Orang beriman yang mengetahui bahwa setiap jenis makanan lezat dan minuman datang dari Allah, memikirkannya saat dia duduk di meja makan, sehingga bersyukur kepada Allah. Allah berfirman dalam Al Qur’an:

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari itulah mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur? (QS Ya Sin, 36:33-35)

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka. Maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat dan minuman. Maka mengapa mereka tidak bersyukur? (QS. Ya Sin, 36: 71-73)

Sebagian orang tidak berpikir tentang pentingnya beberapa kenyataan yang sangat penting. Padahal, mereka telah menyantap makanan yang berasa dan beraroma lezat yang telah memenuhi kebutuhan mereka secara sempurna sepanjang hidup mereka. Kenyataan yang mereka abaikan tersebut adalah, bahwa Allah telah menciptakan nikmat yang tiada bandingannya ini bagi mereka, dan mereka harus bersyukur kepada Allah, Yang telah menyediakan itu semua. Jelas sebuah sikap yang keliru. Mereka seharusnya tidak melupakan bahwa mereka akan ditanya di akhirat, tentang apakah mereka telah bersyukur kepada Allah.

Orang beriman menyadari bahwa Allah telah memberikan tubuh sebagai amanat. Dia bertanggung jawab untuk menjaga nikmat tiada tara ini sebaik mungkin. Untuk itu dia harus memberi tubuh tersebut makanan dengan cara yang sehat. Dia tahu bahwa agar bekerja dengan baik, tubuh harus sehat, sehingga harus diberi makanan yang cukup dengan menu yang seimbang. Dia tahu bahwa tubuhnya harus mendapat semua makanan yang dibutuhkannya untuk pertumbuhan 100 triliun sel dan agar tubuh bisa pulih dan berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi, baik di saat sarapan, maupun pada waktu lainnya di hari tersebut, dia akan makan makanan sehat dan alami. Dia menghindari makanan yang berbahaya, walaupun terlihat menarik dan lezat. Dia tidak akan lalai atau ceroboh dalam masalah ini. Misalnya, dia tahu bahwa berfungsinya alat tubuhnya, kemampuan tubuhnya untuk membersihkan bahan beracun, dan kemampuan tubuhnya untuk menghilangkan sakit dan lelah, semuanya tergantung pada air (banyak orang mengabaikan untuk meminumnya secara teratur). Dia dengan seksama meminumnya dalam jumlah yang cukup sepanjang hari. Nabi kita, SAW dalam beberapa kesempatan menunjukkan kepada kita akan pentingnya air.

"All praise is due to Allah Who has made it delicious and sweet by His grace and has not made it either salty or unsavoury." (Imam Ghazali's Ihya Ulum ad-Din)

Sebagai contoh, dalam sebuah perjalanan dia duduk di suatu tempat dan meminta air dari orang yang berada di sebelahnya. Setelah membasuh tangan dan wajahnya dan meminum air, beliau bersabda pada pengikutnya, “Percikkan sebagian airnya pada wajah dan dadamu.” (Sahih al-Bukhari) Nabi Muhammad, SAW bersabda setelah meminum air:

“Segala puji bagi Allah Yang telah membuatnya lezat dan manis dengan kasih sayang-Nya dan tidak membuatnya asin atau membahayakan.” (Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin)

Dalam Perjalanan


Orang yang telah selesai makan pagi dan telah berbenah diri, siap menyambut berbagai tantangan di tempat kerja mereka, sekolah, atau tempat lainnya. Sebagian besar orang memperoleh yang mereka butuhkan sebelum hari itu berakhir. Allah menggambarkan keadaan ini dalam Al Qur’an:

Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (QS Al Muzzammil, 73:7)

… dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. (QS. al-Furqan, 25:47)

Orang beriman melihat hari di hadapannya sebagai kesempatan untuk meraih cinta dan ridha Allah serta untuk mendapatkan Surga. Untuk itu dia perlu bekerja keras melakukan pekerjaan yang baik. Bagaimanapun sibuknya, dia tetap waspada agar tidak lalai dari mencari ridha Allah. Dia meneladani doa Nabi Sulayman AS, sebagaimana difirmankan dalam ayat ke-19 Surat An Naml, dengan harapan bahwa Allah akan memberinya petunjuk dalam kegiatannya sepanjang hari:

"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS An Naml, 27:19)

Setiap orang yang meninggalkan rumah menuju ke sekolah atau bekerja, akan menghadapi banyak orang, hal, dan kejadian yang dapat direnungkan. Setiap hal yang dilihat oleh seorang manusia ada dalam pengetahuan Allah, muncul atas kehendak-Nya, dan terjadi dengan alasan tertentu. Maka, ketika orang beriman memandang ke langit dalam renungan ini, dia melihat bahwa semua itu telah diciptakan dengan cara yang menakjubkan. Dia memahami bahwa kebenaran ayat berikut berada di hadapannya: "Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara…" (QS Al Anbiya', 21:32)

Fungsi langit sebagai sebuah “atap yang terpelihara” disebabkan oleh atmosfernya. Atmosfer ini menutupi bola bumi dan melakukan tugas pentingnya agar manusia bertahan hidup. Atmosfer menolak sinar yang datang dari luar angkasa yang berbahaya bagi makhluk hidup. Atmosfer menghancurkan meteor besar dan kecil yang menuju ke bumi dan mencegah meteor agar tidak mengancam bumi dan makhluk di dalamnya. Atmosfer juga melindungi bumi dari suhu yang membekukan (sekitar minus 270 derajat Celcius) di luar angkasa. Walaupun sebagian orang tidak peduli akan hal ini sebagaimana mestinya, Allah telah menciptakan sebuah lingkungan yang cocok untuk kita dan melindungi kita dari ancaman yang mungkin datang dari langit.

Dalam Al Qur’an, Allah menerangkan bahwa orang beriman yang mengamati langit akan segera memahami bukti bahwa langit adalah ciptaan yang paling selaras dan sempurna.

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah. (QS Al Mulk, 67:3-4)

Allah berfirman dalam Al Qur’an bahwa terdapat tanda-tanda dalam penciptaan langit dan bumi bagi mereka yang mengamatinya dengan iman.

Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu, dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (mengingat Allah). (QS Qaf, 50:6-8)

Orang beriman yang dengan seksama melayangkan pandangannya dari langit ke bumi akan melihat bukti lain dari penciptaan-Nya. Di bawah bumi tempat dia berjalan di atasnya dengan percaya diri terdapat sebuah lapisan batu meleleh yang luar biasa panasnya disebut “magma”. Sebagai perbandingan dengannya, kerak bumi sangatlah tipis, yang artinya bahwa batu meleleh ini berada sangat dekat di bawah kaki kita. Jadi, ketebalan kerak bumi dibandingkan dengan bagian dalam bumi itu sendiri dapat diibaratkan dengan ketebalan kulit apel dibandingkan dengan keseluruhan apel. Orang beriman yang memikirkan hal ini akan sangat paham bahwa dunia dan seluruh makhluk hidup di dalamnya ada karena keseimbangan sempurna yang telah Allah ciptakan berdasarkan kehendak-Nya, dan setiap ciptaan dapat terus hidup dengan aman karena kehendak Allah.

Orang beriman yang melihat dengan mata yang penuh renungan akan memperhatikan keindahan di sekelilingnya dan ciptaan yang menakjubkan. Misalnya, karena merupakan nikmat Allah, burung di langit, buah-buahan yang menghiasi jendela pajang toko dengan warnanya yang menarik, dan bau sedap yang berasal dari toko roti punya makna bagi orang beriman. Makna ini tidak dapat dimengerti oleh orang lain.

Orang beriman yang merenungkan berbagai macam bukti yang tidak terhitung jumlahnya yang dia temui selagi berjalan di jalanan juga akan berhati-hati dalam berperilaku. Sebagai contoh, dia akan berjalan tanpa menyombongkan diri atau pamer karena Allah berfirman dalam sebuah ayat: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan…" (QS Luqman, 31:19). Orang yang rendah hati patuh pada perintah Allah dan, seperti dalam aktivitas-aktivitasnya yang lain, tidak berlebihan dalam cara berjalan. Hal ini dapat disukai dalam pandangan Allah maupun di mata orang beriman.

Orang beriman mengetahui bahwa Allah telah menciptakan manusia dan mengaruniai mereka dengan semua sifat-sifatnya. Namun orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Al Qur’an tidak akan peduli pada kenyataan ini dan menganggap bahwa sifat yang ada pada mereka merupakan milik mereka sendiri. Orang-orang yang berpikir bahwa kecantikan, kemakmuran, pengetahuan, dan kesuksesan mereka adalah milik mereka sendiri menjadi bangga dan sombong. Karena kesombongan tersebut, mereka ingin menunjukkan keunggulan mereka dengan menindas orang lain. Tingkah laku ini terlihat dari cara mereka berjalan sebagaimana cara mereka berbicara dan bertindak. Padahal, semua orang tidak ada artinya di hadapan ilmu dan kekuasaan Allah. Kita membutuhkan Allah di tiap saat dalam hidup kita. Dalam Al Qur’an, Allah memperingatkan kita mengenai hal ini dan melarang kita untuk bersikap sombong:

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman, 31:18)

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS Al Isra', 17:37)

Setiap orang yang hidup berdasarkan ajaran Al Qur’an selalu menyadari ketidakberdayaannya, dan dia hidup berdasarkan kehendak Allah. Hanya Tuhan Semesta Alam saja yang telah memberikan apa yang dia miliki. Dan karena dia hidup dalam kesadaran ini, dia memahami semua yang terjadi di sekitarnya berdasarkan Al Qur’an.

Jelaslah bahwa seseorang tidak dapat menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki dalam sehari. Mudah untuk menempuh jarak yang dekat. Kemampuan untuk berjalan memang merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah. Namun, manusia tidak mampu berkelana menempuh jarak yang sangat jauh dengan berjalan kaki. Tubuh mereka akan menjadi lelah dan dalam batas tertentu tidak mampu berjalan lebih jauh lagi. Allah mengetahui kelemahan hamba-hamba-Nya ini dan telah menciptakan binatang dan kendaraan untuk membawa mereka, dan telah membuat transportasi menjadi mudah. Berikut adalah beberapa ayat Al Qur’an yang terkait dengan nikmat Allah yang menunjukkan kemuliaan, kasih sayang, dan belas kasih-Nya kepada hamba-Nya:

Dan mereka (ternak-ternakmu) memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang menyulitkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (QS An Nahl, 16:7-8)

Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS Az Zukhruf, 43:12)

Apakah kamu tidak melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (QS Al Hajj, 22:65)

Dengan menggunakan akal, jelaslah bagi kita bahwa Allah-lah Yang telah menciptakan bahan-bahan seperti besi dan baja yang memiliki kemampuan tertentu, dan mengilhami manusia untuk memanfaatkannya dalam menciptakan bermacam-macam kendaraan. Dan dengan kehendak Allah pula orang membuat kendaraan seperti mobil, bus, kereta, kapal dan pesawat terbang. Ya, Allah telah mempermudah kita untuk menempuh perjalanan yang tidak mungkin kita lakukan seorang diri. Apa yang harus kita lakukan sebagai balasan atas nikmat ini adalah dengan mengingat Allah di saat kita naik ke atas kendaraan, memuji nama-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya. Allah berfirman kepada kita mengenai ini:

Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan: "Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya." (QS Az Zukhruf, 43:13)

Berjalan jauh masa kini jauh lebih cepat, mudah dan nyaman daripada masa lalu. Bagi orang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur’an, merenungkan hal ini merupakan cara penting untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya dengan ikhlas atas segala nikmat-Nya.

Orang beriman juga mengingat Allah ketika dia berada dalam perjalanan. Dia merenungkan orang di sampingnya yang mengemudikan mobil, model dan warna mobil tersebut, mobil lain dan orang di sekelilingnya, pergerakan mereka, tulisan di jendela belakang mobil yang ada di depannya, barisan bangunan sepanjang jalan, bentuknya, jendelanya, papan reklame, dan tulisan yang ada padanya. Semuanya telah diciptakan oleh Allah atas perintah-Nya. Allah menyampaikan ini kepada manusia dalam ayat berikut:

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS Al Qamar, 54:49)

Allah menciptakan benda-benda yang kita temui setiap saat dalam hidup kita, bukan hanya untuk orang tertentu, tetapi juga untuk miliaran manusia di bumi. Bagi seseorang yang hidup mengikuti ajaran Al Qur’an, memikirkan hal ini adalah sebuah jalan baginya untuk mengetahui bahwa Allah senantiasa berada di sisinya, dan Dia melihat setiap gerak-gerik dan perbuatannya. Karena kesadaran akan kenyataan ini senantiasa bersamanya sepanjang hari, kemacetan, atau kendaraan yang mengambil jalurnya, atau kesulitan lain yang dia alami tidak akan mengubah sikap berserah dirinya kepada Allah.

Sebagian orang memandang ketidakberuntungan kecil saja sebagai sebuah hambatan besar. Mereka menjadi tidak sabar dan terkadang kehilangan kendali atas diri sendiri, bertingkah laku secara tidak masuk akal. Mereka mungkin mulai menggerutu sendiri atau berteriak. Mereka tidak memiliki kesabaran saat mereka terjebak dalam kemacetan dan mereka menunjukkannya dengan membunyikan klakson terus-menerus dan mengganggu orang lain. Semua itu adalah karena mereka telah lupa bahwa segalanya berada dalam kendali Allah.

Bagi orang yang berpaling dari Allah, transportasi bukanlah sebuah nikmat, melainkan sebuah gangguan dan hal yang menjengkelkan. Misalnya, lubang di jalan, kemacetan lalu-lintas, hujan angin tiba-tiba dan banyak hal lainnya memenuhi pikirannya sepanjang hari. Padahal, pikiran yang tak berguna ini tidaklah bermanfaat baginya, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang. Sebagian orang mengaku bahwa hal utama yang mencegah mereka dari berpikir terlalu dalam mengenai masalah ini adalah perjuangan yang mereka lakukan di dunia. Karena waktu yang harus mereka korbankan untuk memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal dan kesehatan, mereka mengaku tidak punya waktu untuk berpikir mengenai keberadaan Allah atau bukti-bukti yang menuntun kepada iman. Namun ini tak lain hanyalah tindakan menghindari tanggung jawab. Tugas seseorang sebagai kepala keluarga dan jabatannya tidak ada hubungannya dengan berpikir. Seseorang yang, dalam rangka meraih ridha Allah, memikirkan bukti-bukti yang menuntun kepada iman, perintah Allah, akhirat, kematian, dan merenungkan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dalam kehidupan ini, akan mendapatkan pertolongan Allah bagi dirinya. Dia akan melihat bahwa banyak permasalahannya dapat dengan mudah diselesaikan dan dia akan mampu meluangkan waktu dan istirahat untuk merenung.

Orang beriman tidak pernah lupa bahwa Allah telah menciptakan setiap situasi yang dialaminya sepanjang hari. Tujuan dari penciptaan tersebut adalah agar kita bersabar atau menggunakan pikiran kita untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang paling disukai Allah. Apabila ada masalah yang tidak mampu diselesaikan seorang diri, maka yang harus dilakukan adalah bersabar. Marah, berteriak, dan menghujat seperti yang dilakukan sebagian orang, adalah keliru dan tidak ada artinya karena dapat membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain.

Salah jika ada orang yang menganggap bahwa cobaan hanya muncul dalam bentuk kepedihan yang luar biasa dan tragedi sebagai ujian bagi kesabaran kita. Allah menguji manusia sepanjang hari dengan berbagai cobaan, baik yang besar maupun kecil. Jadi, hal yang menjengkelkan seperti terjebak kemacetan atau terlambat menuju suatu tempat dan kecelakaan kecil adalah ujian bagi manusia. Namun, dalam situasi ini, mereka yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur’an tidak merasa jengkel dan tetap bersabar tanpa berkeluh-kesah. dalam Al Qur’an, Allah menerangkan bahwa salah satu sifat orang beriman adalah tetap bersabar dengan cobaan yang datang kepada mereka:

(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka. (QS Al-Hajj, 22:35)

Dalam menghadapi kecelakaan lalu lintas yang mungkin mereka alami, orang beriman menjaga ketenangan mereka dan berserah diri kepada takdir, tidak dalam arti diam saja, tetapi secara realistis menerima apa yang telah Allah tentukan pada mereka. Dalam situasi tersebut mereka bertindak arif dengan menyadari bahwa Allah telah menciptakan apa yang terjadi kepada mereka dan mereka mencoba melakukan sesuatu untuk mengobati lukanya, mencari bantuan, dan menghentikan kerusakan. Mereka tahu bahwa mereka bertanggung jawab setiap saat dalam kehidupan duniawi ini untuk bertindak dengan apa yang disukai oleh Allah.

Dalam Surat Al-Mulk, Allah menerangkan tujuan penciptaan manusia dan tanggung jawab yang diberikan kepada kita:

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia mengujimu, siapa di antaramu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Al Mulk, 67:2)

Orang beriman yang menjalani setiap saat dalam kehidupan dunianya sesuai dengan ajaran Al Qur’an tidak akan membiarkan pikirannya dikuasai oleh pikiran yang tidak berguna dan tidak masuk akal selama perjalanan. Dia mengarahkan perhatiannya pada hal dan peristiwa yang dapat dia renungkan dengan mendalam. Misalnya, mereka yang telah jauh dari ajaran Al Qur’an, ketika memperhatikan burung yang terbang di udara akan melihatnya sebagai kejadian biasa. Namun demikian, bagi orang beriman, burung yang jelas tidak menempel pada suatu apa pun, tetapi tetap melayang di udara yang renggang dan melakukan gerakan manuver dengan sayapnya yang lemah; dan sayap mereka yang dirancang agar mereka dapat terbang, bergerak cepat dan melakukan manuver ini; dan paruh mereka mereka dengan susunan yang diciptakan khusus agar mereka dapat makan dengan baik; cara terbang mereka, susungan rangka tulang yang khusus, dan sistem pernapasan, syaraf dan lainnya; susunan aerodinamis dan rumit dari bulu-bulu mereka; cara pembuatan sarang mereka; alat penginderaan mereka, cara berburu dan memberi makan, tingkah laku mereka, suara yang mereka buat di saat kawin dan waktu-waktu lainnya; kenyataan bahwa sistem yang mereka amati pada burung jelas adalah rancangan yang menakjubkan, adalah bukti keberadaan Allah, kekuatan, dan ilmu-Nya. Allah menuntun kita untuk memperhatikan hal ini dalam Al Qur’an: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu" (QS Al Mulk, 67:19).

Di saat orang beriman berada dalam perjalanan mereka, mereka mengamati ciptaan yang menakjubkan seperti yang ada di sekeliling mereka. Mereka menjadi saksi setiap saat akan kekuasaan Allah yang tidak terbatas.

Di Tempat Kerja


Pada umumnya orang dewasa menghabiskan sebagian besar hari mereka untuk bekerja. Namun mereka yang bertindak sesuai dengan ajaran Al Qur’an sangat berbeda dengan rekan-rekan kerjanya, yang memiliki kesamaan nilai moral. Bagi orang beriman, tidak peduli betapa penting urusannya di hari itu, melakukan pengabdian dan menyembah Allah adalah lebih penting daripada apa pun. Allah menerangkan hal ini dalam Al Qur’an:

Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan," dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki." (QS Al Jumu'ah, 62:11)

Orang beriman menyadari hal ini, dan tidak ada pekerjaan yang akan mencegahnya dari mengingat nama Allah atau melakukan sholat. Dia tidak akan mengabaikan atau menunda kewajiban agama apa pun demi meraih materi. Allah mengajak kita untuk memperhatikan ini dalam sebuah ayat Al Qur’an:

Bertasbih kepada Allah di mesjid-mesjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS An Nur, 24:36-37)

Alasan di balik memberikan perhatian pada perniagaan dalam ayat ini adalah karena keinginan yang besar akan keuntungan materi merupakan salah satu kelemahan terbesar pada manusia. Sebagian orang rela mengabaikan ajaran agama demi mendapatkan uang lebih banyak, memperoleh harta lebih banyak, dan meraih kekuasaan lebih besar. Misalnya, mereka tidak melaksanakan sholat atau menunaikan kewajiban lainnya, dan mereka tidak menunjukkan watak terpuji, walaupun mereka mampu melakukannya.

Ada beberapa hal yang mereka harap dapat diraih dari pekerjaan mereka. Mereka menginginkan kehidupan yang baik di dunia ini, menjadi kaya-raya, mendapat jabatan dan penghormatan dan dimuliakan masyarakat, memiliki perkawinan yang baik dan anak-anak yang terpuji.. Hal-hal inilah yang memisahkan manusia dari nilai-nilai Al Qur’an, bahkan tersesat lebih jauh dengan mengutamakannya daripada kehidupan setelah mati. Memang benar, semua itu adalah nikmat yang boleh kita tuju untuk meraih ridha Allah dan menggapai akhirat sebagai cita-cita. Orang beriman juga ingin mendapatkan nikmat yang sama: pekerjaan yang berguna, mendapatkan uang dan harta milik sendiri. Namun mereka memiliki beberapa sifat yang membedakan mereka dari orang lain: mereka melakukan semua pekerjaan mereka demi ridha Allah, membelanjakan uang mereka di jalan yang dituntun oleh Allah. Dan dalam perniagaan mereka, sebagaimana dalam hal lainnya, mereka sangat berhati-hati mematuhi perintah Allah.

Di dalam ayat Al Qur’an, Allah mengajak kita memperhatikan bahaya karena mengutamakan perniagaan di atas agama:

Katakanlah, "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS At Taubah, 9:24)

Orang beriman dengan iman yang sangat mendalam akan berbuat sekuat tenaga untuk menghindar dari terjebak dalam nafsu semacam ini. Ada sebuah sifat mulia yang dikehendaki oleh Allah dari orang beriman, dan yang akan mereka tunjukkan, dalam pekerjaan apa pun yang mereka lakukan. Dalam melakukan pekerjaan mereka jujur, ikhlas, rela berkorban, bekerja keras, adil, dan sederhana. Seluruh perhatian mereka diarahkan untuk meraih ridha Allah dan menjaga batasan yang telah ditetapkan antara yang benar dan yang salah. Allah telah memerintahkan orang beriman bahwa dalam bekerja mereka dilarang melanggar hak orang lain, mereka harus memberikan takaran dan berat yang sempurna berdasarkan keadilan, dan tidak mengurangi hak milik orang lain. (Surah Hud: 85).

Dalam beberapa ayat Allah menerangkan pentingnya kejujuran dalam bekerja, memperlakukan orang dengan adil dan, dalam melakukan itu, menunjukkan sikap mencari ridha Allah:

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS Al Isra', 17:35)

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS Ar Rahman, 55:9)

Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bagaimana seharusnya kita melakukan perdagangan dan perniagaan. Pertama-tama, Allah dengan jelas melarang riba: ".. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. " (QS Al Baqarah, 2:275)

Hal lain yang diterangkan oleh Allah adalah bagaimana mengatur perdagangan dan utang-piutang. Allah memerintahkan bahwa, dalam bekerja, saat berutang (yang akan dibayar di kemudian hari pada waktu yang telah ditentukan), dia harus menuliskannya. Apabila orang yang berutang tersebut tidak mampu atau lemah atau tidak mampu menyebutkannya, maka walinya harus menyebutkan untuknya dengan adil. Dan dua orang dari golongan mereka harus harus menjadi saksi. (QS Al Baqarah, 2:282)

Hal lain yang harus dilakukan dengan seksama oleh orang beriman dalam pekerjaan mereka adalah membahas pandangan orang lain saat mengambil keputusan, memulai usaha baru, dan memajukan kegiatan mereka. Allah berfirman dalam Al Qur’an bahwa hal ini adalah sifat dari orang beriman.

Seperti halnya dalam setiap segi kehidupan, begitu pula dalam perdagangan dan perniagaan, Al Qur’an membawa hal terbaik, termudah, dan paling benar ke dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, Al Qur’an membantu manusia keluar stress dan tekanan batin dan memungkinkan mereka bekerja dalam lingkungan yang sehat dan damai, tempat mereka dapat berserah diri kepada Allah, mengambil keputusan yang tepat, dan berunding dengan orang lain saat mengambil keputusan.

Di samping itu, orang beriman sangat berpikiran terbuka dalam kehidupan kerjanya, dalam menyusun rencana, baik jangka panjang maupun jangka pendek dan merancang berbagai tahapannya. Dan setelah dia mulai bekerja, dia akan benar-benar memperhitungkan tahapan selanjutnya, tindakan apa yang akan memastikan kesuksesan baginya untuk waktu yang lama dan kemungkinan jalan lain. Dan dia akan memperhatikan segala peringatan yang telah diberikan Allah dalam Al Qur’an untuk memastikan bahwa langkah yang menurutnya bermanfaat untuk dilakukan tidak akan merugikannya di tahapan berikutnya. Selagi terlibat dalam pekerjaannya, dia akan berdoa terus-menerus kepada Allah di dalam hati, meminta Allah untuk memudahkannya dan dia akan memahami bahwa tidak ada perusahaan yang berhasil, kecuali Allah menghendaki. Dia berharap agar pekerjaan yang dia kerjakan menjadi sarana untuk meraih ridha Allah.

Di masa kita hidup saat ini, penemuan baru dan perkembangan ilmu pengetahuan telah terjadi. Orang-orang di masa lampau bahkan tidak pernah dapat membayangkannya. Ajaran Al Qur’an mewajibkan kita untuk berterima kasih atas kesempatan yang tidak ada bandingannya ini. Misalnya, ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi canggih, dan komunikasi telah mencapai tingkatan kemajuan seperti saat ini. Berkat komputer dan teknologi internet, orang dari seluruh dunia dapat saling berkomunikasi dalam hitungan detik, berbagi informasi, dan menjalin hubungan. Tentu saja, semuanya adalah nikmat yang harus direnungkan dalam-dalam. Para nabi yang telah dijadikan sebagai contoh oleh Allah dalam Al Qur’an senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, dan senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepada-Nya di saat menjalani pekerjaan mereka. Dalam Surat Saba’, Allah berfirman:

Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya (dalam bentuk) gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung serta piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah, Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS Saba', 34:13)

Berbelanja


Saat ini berbelanja merupakan kegiatan penting bagi banyak orang. Misalnya, banyak orang menghabiskan berjam-jam, bahkan berhari-hari mendatangi toko demi mendapatkan busana untuk dipamerkan kepada teman-teman mereka. Mereka menghabiskan banyak uang untuk pakaian yang akan dikenakan beberapa saat saja dalam hidup mereka. Tanpa peduli dengan keadaan lemari mereka yang sudah penuh, mereka mungkin akan membeli pakaian baru dengan hasrat yang tidak berkurang. Bagi orang ini, berbelanja lebih dari sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Inilah sifat orang yang lupa diri saat berbelanja dan seringkali membeli barang kemudian mereka sesali telah membelinya.

Sudah barang tentu, berbelanja adalah penting bagi setiap orang dan bahkan bisa menjadi sebuah kegiatan sehari-hari yang menyenangkan. Namun yang salah adalah jika belanja dapat menimbulkan hasrat duniawi dalam diri manusia dan membuat mereka sepenuhnya lalai akan kehidupan setelah mati. Mereka mencurahkan seluruh hidup, pikiran, dan kegiatan untuk kegiatan ini. Bukan mencari jalan yang diridhai oleh Allah Yang telah menciptakan mereka, mereka malah mencoba mencari kepuasan dalam pekerjaan sepele seperti berbelanja.

Seperti dalam bagian lain dari kehidupan, seseorang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur’an pun akan mencoba memandang kegiatan berbelanja sebagai kebaikan yang telah diciptakan oleh Allah serta makna di balik peristiwa yang terjadi. Baginya, berbelanja bukan sekadar berjalan-jalan tanpa tujuan, melainkan kesempatan untuk mencukupi dirinya dan keluarganya dengan barang yang dia butuhkan. Berbelanja sudah pasti tidak akan menjauhkannya dari melakukan kewajibannya kepada Allah. Allah memerintahkan orang beriman di dalam Al Qur’an:

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap ridha-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya; dan adalah keadaan (mereka itu) melewati batas. (QS Al Kahfi, 18:28)

Orang beriman yang pergi berbelanja akan selalu ingat: Allah telah menciptakan berbagai macam makanan, pakaian, dan nikmat-nikmat lainnya bagi orang beriman. Namun di banyak negara, karena pengangguran, kemiskinan atau konflik, orang tidak dapat menemukan apa pun untuk dimakan. Walaupun tinggal di negara yang kaya akan sumber daya alam, ada orang yang terlalu miskin untuk dapat membeli kebutuhan mereka. Semua ini berada di bawah kekuasaan Allah. Jumlah rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diberikan kepada manusia memiliki alasan tersendiri. Allah mengingatkan kita akan hal ini dalam Al Qur’an:

Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. (QS Az Zumar, 39:52)

Allah telah menciptakan berbagai macam keadaan untuk menguji manusia. Dan orang beriman tidak akan berhenti bersyukur atas apa yang diterimanya, dalam keadaan apa pun dia berada. Dia menyadari bahwa ujian dan keadaan dirinya hanyalah bersifat sementara. Untuk itu, dia berkemauan keras untuk bertindak setiap saat dengan cara yang disukai Allah. Dia mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah atas nikmat-Nya di dalam hati, dalam ucapannya, dan dalam tindakannya. Dia membelanjakan karunia yang dimilikinya pada amal saleh, dan jika Allah membatasi nikmat yang diterimanya, dia akan bersabar dan tetap bersyukur dengan ikhlas kepada-Nya. Dia tahu bahwa dia sedang diuji dengan kemiskinan dan berdoa agar Allah memberinya kesabaran. Dalam segala keadaan, orang beriman ridha atas keputusan Allah dan berharap agar Allah merasa ridha dengannya.

Namun manusia yang mengikuti tradisi, kebiasaan, dan norma masyarakat yang tidak hidup berdasarkan ajaran Al Qur'an, segera kehilangan rasa bersyukur mereka di saat berhadapan dengan ketidaknyamanan yang paling kecil sekalipun. Allah melaknat mereka dalam Al Qur'an, sebagai kehinaan karena tidak mampu melihat bahwa kekayaan dan kemakmuran mereka adalah sebuah cobaan yang sama dengan pengalaman mereka akan kemiskinan dan kekurangan:

Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, "Tuhanku telah memuliakanku." Adapun bila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, "Tuhanku menghinakanku." (QS Al Fajr, 89:15-16)

Allah telah menciptakan nikmat yang tidak terhitung jumlahnya di bumi ini. Namun, orang yang tidak menyadari hal ini lupa bahwa hanya atas kehendak Allah dan izin-Nya sajalah mereka dapat membeli makanan dan pakaian mereka. Mereka tidak berterima kasih kepada Allah. Mereka justru terus-menerus bertindak di bawah kendali hawa nafsu. Semua yang mereka pikirkan di saat berbelanja adalah pakaian mana yang akan dikagumi teman-teman mereka. Apa yang memenuhi pikiran mereka seringkali adalah: di mana mereka dapat membeli pakaian dengan model terbaru dan paling menarik dalam hal warna dan mutu yang mereka inginkan. Mereka selalu menaruh perhatian kepada apa yang dimiliki orang lain. Mereka iri akan semua itu. Mereka tidak sanggup hidup tanpa harta benda maupun materi. Mereka sangat menginginkan memiliki kekayaan dan harta benda. Mereka membandingkan apa yang telah mereka terima dengan apa yang diterima oleh orang lain. Mereka menjadi tidak sabar. Mereka berpikir bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan mereka tidak bersyukur. Dalam Al Qur'an, Allah menerangkan sikap tidak bersyukur orang yang tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan selalu menginginkan lebih banyak lagi:

Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya). (QS An Naml, 27:73)

Orang beriman yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an mengetahui bahwa nikmat yang ada di sekelilingnya merupakan pemberian dari Allah. Mereka berhati-hati untuk tidak membelanjakan uang dengan tergesa-gesa. Di saat sedang berbelanja, dia berusaha sekuat tenaga untuk menghindari buang-buang uang dan waktu. Dia bertindak sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur'an:

“.. makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al A’raf, 7:27).

Dia tidak pernah lupa bahwa Allah menyebut orang yang menghambur-hamburkan uang secara berlebihan sebagai “saudara-saudara setan” (QS Al Isra’, 17:27).

Al Qur'an menuntut kita untuk tidak menghamburkan uang dalam berbelanja atau membeli barang lainnya. Seperti itu pula kita dituntut untuk bersifat dermawan. Allah menerangkan hal ini di dalam Surat al-Furqan: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian (QS. al-Furqan, 25:67)”. Ayat ini meningkatkan kearifan yang ditunjukkan oleh orang-orang beriman dalam cara mereka berbelanja.

Olahraga dan Latihan Fisik



Setiap orang beriman mengetahui bahwa tubuhnya telah diamanahkan kepadanya untuk digunakan dalam waktu yang singkat di kehidupan dunia ini. Dia bertanggung jawab untuk memeliharanya sebaik mungkin. Oleh karena itu dia berhati-hati menjaga kesehatannya. Untuk itu, dia menyediakan waktu dengan sungguh-sungguh dalam kegiatannya sehari-hari untuk melakukan olahraga atau latihan fisik. Olahraga dan latihan fisik membantu menguatkan tubuh, memberikannya daya tahan, dan membuat tubuh mampu berfungsi teratur dan sehat. Olahraga memungkinkan orang beriman untuk bekerja lebih baik lagi untuk mendapatkan ridha Allah dan beramal saleh.

Metabolisme (kerja tubuh) manusia tidak akan baik jika kita tidak melakukan kegiatan. Metabolisme diciptakan untuk mendukung pergerakan. Saat ini diketahui bahwa olahraga memiliki banyak manfaat: olahraga memperkuat kekebalan tubuh, peredaran darah, pernapasan, dan sistem saraf.Olahraga membuat tubuh memiliki daya tahan lebih terhadap kumandan penyakit. Olahragamenjamin keteraturan fungsi sistem hormon, hati dan pembuluhdarah. Olahraga memperkuat otot, sendi, dan urat otot. Olahraga meningkatkan kondisi tubuh dan kekuatan. Olahraga membantu memelihara keseimbangan dalam gula darah, mengurangi tingkat kolesterol “jahat”, dan menambah tingkat kolesterol “baik”.

Alasan lain mengapa orang beriman berusaha berolahraga dengan baik, adalah karena kesehatan fisik adalah ciri yang disorot oleh Allah dalam Al Qur'an, untuk kita perhatikan. Misalnya, dapat dilihat pada ayat 144 Surat al-A’raf, ketika Allah berkata kepada Musa AS dan memilihnya untuk memimpin Bani Israil. Kisah tersebut menceritakan tentang kekuatan fisiknya. Ayat lain menceritakan kekuatan fisik Talut AS yang diutus untuk memimpin kaumnya:

Nabi mereka berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab, "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah, 2:247)

Ada alasan lain, mengapa orang beriman harus dengan seksama memperhatikan kebutuhan olahraga: apabila orang yang menyampaikan ajaran Al Qur'an berpenampilan fisik yang kuat dan menarik, dia akan memiliki pengaruh terhadap orang lain. Penampilan luar orang tersebut yang terhormat dan menarik akan memberi kesan yang baik bagi mereka yang sedang diajaknya berbicara.

Oleh karena itu, orang beriman harus selalu berusaha untuk memelihara tubuh yang kuat dan sehat. Mereka tidak boleh malas, teledor, atau ceroboh dalam hal ini.

Berdoa

Ayat ke-56 Surat Adz Dzariyat yang berbunyi: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” menyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Dengan kata lain, tujuan diciptakannya manusia adalah, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an, untuk mengabdi kepada Allah yang telah menciptakan segalanya. Untuk itu, orang yang menerima Al Qur'an sebagai pedoman hidup mereka akan menempatkan pengabdian kepada Allah di atas segalanya. Mereka menggunakan kehidupan singkat mereka (sekitar 70 tahun bila Allah menghendakinya) dengan memperhatikan kehidupan akhirat dan meraih ridha Allah. Hal ini terlihat dengan sendirinya dalam setiap saat di kehidupan duniawi mereka.

Orang beriman selalu menyadari bahwa ajaran Al Qur'an berlaku tidak hanya pada sebagian saja dari hidupnya di dunia ini, atau pada saat atau tahapan tertentu di dalamnya, melainkan pada seluruh hidupnya. Dia mematuhi semua perintah Allah dengan sepenuh kemampuannya dan melakukan sebanyak mungkin kebajikan yang dapat dia lakukan, Dia menghabiskan waktunya dengan amal ibadah sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al Qur'an. Di saat dia telah menyelesaikan pekerjaannya, dia melanjutkan ke pekerjaan berikutnya. Karena Allah berfirman dalam ayat 162 Surat Al An’am, (6:162): “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” dia mengejar apa yang baik dan bermanfaat, dan tidak ada kata henti, tunggu, atau batasan dalam usahanya tersebut. Bagi orang beriman, memulai pekerjaan baru setelah yang sebelumnya diselesaikan adalah penting karena dia tahu bahwa dia harus menghabiskan setiap detik yang diberikan kepadanya di dunia ini dengan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah. Dia akan memberi perhatian kepada hidup setelah mati dalam setiap saat yang telah dilewatinya di dunia ini. Untuk itu, dia menghabiskan setiap menit dengan hanya mengharapkan ridha Allah, dan mengerjakan semua yang dia harapkan paling diridhai oleh Allah. Dalam Al Qur'an, Allah menyampaikan kepada orang beriman untuk mencurahkan usahanya menuju ke arah tersebut:

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (QS Alam-Nasyrah, 94:7)

Perbuatan orang beriman untuk mendapatkan ridha Allah tidak berhenti dari hari ke hari. Hal ini ditunjukkan dalam ayat ke-76 Surat Maryam: “Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” Dan dalam ayat yang lain, Allah menerangkan bahwa Dia menginginkan agar manusia tekun dalam ibadah mereka:

Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (QS Maryam, 19:65)

Jalan pemikiran sesat dari sebagian kaum jahiliyah dalam persoalan ini, menjerumuskan mereka ke dalam keragu-raguan akan keberadaan kehidupan setelah mati dan hanya melakukan beberapa kegiatan peribadatan dari waktu ke waktu saja.

Sebagian orang membuat kekeliruan yang sangat besar ketika berusaha memperoleh nikmat di dunia ini, yang mereka jadikan sebagai tujuan. Mereka melakukan apa saja untuk menjadi kaya, mendapat jabatan, dan mendapatkan hal lain yang mereka inginkan. Dalam waktu yang sangat singkat mereka terlibat dalam sebuah perlombaan yang besar demi “harga yang sedikit” (QS. At-Taubah, 9:9) yang akan segera lenyap dari mereka. Namun orang beriman yang mengejar ridha Allah dan jalan menuju Surga, berjuang hanya demi Allah. Al Qur'an menggambarkan sifat orang beriman ini:

Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS Al Isra’, 17:19)

Orang beriman yang menghabiskan seluruh harinya dengan mencari ridha Allah giat dan bersemangat dalam menunaikan sholatnya. Dia mengingat Allah sepanjang hari di dalam hatinya dan dalam kegiatannya dan merenungi dalam-dalam kekuasaan-Nya, kecerdasan-Nya, pengetahuan-Nya, karya seni-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang lain. Sikap ini merupakan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dari perintah yang ada dalam ayat-ayat berikut:

“…Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari." (QS Ali ‘Imran, 3:41)

Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang. (QS Al A’raf, 7:205)

Dalam ayat 28 Surat ar-Ra’d, Allah berfirman bahwa hati hanya akan merasa damai jika mengingat Allah:

… (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah… (QS. ar-Ra’d, 13:28)

Seseorang yang menjadikan Al Qur'an sebagai petunjuknya akan sangat berhati-hati dalam melakukan ibadah seperti sholat lima waktu, berpuasa, dan berwudhu, sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Misalnya, sholat tepat waktu adalah hal yang penting. Dia tidak membiarkan urusan dunia menghalanginya dalam menunaikan sholat. Setiap dia sholat, dia melakukannya dengan rendah hati, suka-cita dan bersemangat, berharap bahwa hal itu akan membawanya semakin dekat kepada Allah.

Namun demikian, orang yang tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan semangat yang benar, melainkan untuk pamer atau takut akan pendapat orang lain, tidak dapat merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah. Saat mereka melakukan sholat, mereka tidak tahu bahwa itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Pikiran mereka terlalu tenggelam dalam urusan sehari-hari sehingga sulit untuk dapat mengingat Allah dan memuji-Nya. Dalam Al Qur'an, Allah memperingatkan orang-orang yang lalai dalam sholatnya:

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS Al Ma’un, 107:6)

Ini berarti, mereka menunda sholat dari waktu yang telah ditentukan dan bahkan tidak melaksanakannya sama sekali. Sekalipun demikian, meski Surat tersebut tidak merujuk pada hal itu, orang yang cerdas akan melihat peringatan akan kelalaian dalam sholat.

Orang yang lalai keliru ketika berpikir bahwa mereka melakukan sesuatu untuk Allah tanpa takut kepada-Nya, memikirkan-Nya dan tanpa merasakan kehadiran atau kedekatan-Nya. Perilaku yang akan membawa seseorang lebih dekat kepada Allah meliputi keiklasan dalam mendirikan sholat, takut kepada Allah dan kepatuhan serta merendahkan-diri di hadapan-Nya.

Sebagian orang memiliki pandangan yang sangat sempit tentang sholat, menganggap bahwa cukuplah mematuhi beberapa perintah Allah saja dalam sehari. Padahal, menurut Al Qur'an, ibadah tidak hanya terbatas pada perintah agama seperti sholat, berpuasa, haji, dan bersedekah.

Ibadah berarti melayani. Jadi, ibadah meliputi tingkah laku seseorang dan pikirannya serta segala hal yang dilakukan dan diucapkan sebagai hamba Allah. Sepenting apa pun sebuah kewajiban sholat sebagai sebuah amal ibadah pribadi, begitu pula halnya mengalahkan kemarahan, menggunakan tutur kata yang sopan, melakukan kebaikan dan melarang kejahatan, memberikan kepercayaan kepada muslim yang lain dan tidak bersikap menang sendiri; semua ini juga termasuk perbuatan ibadah. (Untuk lebih lengkapnya bacalah karya Harun Yahya Commonly Disregarded Rulings of the Qur'an (dalam Bahasa Indonesia berarti, Aturan Al Qur’an yang Sering Diabaikan). Karena itu, perilaku baik termasuk hal yang harus dilaksanakan dan diterapkan dengan cara yang sama dalam hal semangat dan kekhusyukan dengan amal ibadah. Tentu, sejalan dengan itu, seorang Muslim harus mengetahui berbagai hubungan muamalah di dunia, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, dan perceraian yang dapat diterima, serta cara yang benar untuk melakukan hal-hal tersebut. Singkatnya, orang beriman menunjukkan kepedulian yang sangat besar di setiap saat dalam hidupnya pada perintah Allah dalam Al Qur'an serta terhadap perintah, larangan, dan tuntunan Rasulullah SAW.

Salah satu amal ibadah yang paling penting yang dapat dilaksanakan oleh orang beriman sepanjang hari adalah berdakwah, yaitu mengajak manusia mengikuti jalan yang benar, menyampaikan kebaikan kepada mereka, dan memperingatkan mereka akan kejahatan, serta mengajak mereka untuk meningkatkan pengetahuan mereka mengenai Islam, Iman, dan Ihsan serta membaca Al Qur'an. Ibadah ini merupakan bagian penting dalam kegiatan mereka sehari-hari. Orang beriman bertanggung jawab setiap saat sebagai wakil Allah di antara makhluk-Nya dan menyerukan agama Allah melalui perkataannya, perilakunya, dan keberadaan dirinya sendiri. Tanggung jawab ini tidak semata-mata terbatas pada kegiatan ibadah. Orang beriman akan berusaha menjadi teladan bagi orang di sekitarnya dengan bertindak dengan cara sebaik mungkin. Allah berfirman mengenai hal ini dalam Al Qur'an:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS At Taubah, 9:71).

Orang beriman bersemangat untuk melakukan semua yang bisa dia lakukan untuk mengajak orang lain kepada Allah dan kepada jalan-Nya. Dia akan menyampaikan kepada mereka mengenai Allah, Keesaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya, tujuan penciptaan mereka, perilaku, dan perbuatan baik serta bentuk kehidupan yang disukai oleh Allah. Mereka juga menyampaikan kebaikan, kejahatan, kebenaran, dan kekeliruan yang difirmankan dalam Al Qur'an, Hari pembalasan, Neraka dan Surga, dan pembahasan lain semacam itu. Dia akan menyampaikan kepada mereka mengenai Nabi Muhammad SAW dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat mereka tertarik kepadanya, untuk mengikuti dan meneladaninya.

Perbincangan antar-orang beriman benar-benar menjadi peringatan bersama. Mereka saling mengajak untuk mematuhi perintah Allah dan hidup berdasarkan Sunnah Rasul-Nya SAW dan untuk menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam. Singkatnya, jalan yang lazim ditempuh oleh orang beriman adalah saling mengingatkan dan memberi peringatan.

Orang beriman menggunakan cara lisan maupun tulisan sebagai peringatan, dan mereka dapat memanfaatkan sarana komunikasi massa yang sangat maju saat ini. Dalam memanggil orang kepada ajaran Al Qur'an, mereka dapat memanfaatkan televisi, radio, buku, majalah, surat kabar, internet, atau media lainnya.

Sama pentingnya dengan dakwah harian kepada Islam oleh orang beriman yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, ada waktu yang mereka sediakan untuk mempersiapkan dakwah tersebut. Dalam Al Qur'an, Allah menunjukkan bahwa orang yang ingin melaksanakan perjuangan pemikiran di jalan-Nya, pertama-tama harus melakukan persiapan untuk itu. Untuk itu, sangatlah penting agar seseorang mempersiapkan diri dengan berbagai cara untuk pekerjaan ini. Allah berfirman: “Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu.” (QS At Taubah, 9:46)

Untuk menyampaikan pesan Allah, salah satu hal yang harus dilakukan oleh orang beriman yang memenuhi syarat untuk berdakwah adalah mengembangkan dirinya sendiri dan mempelajari berbagai macam pengetahuan yang berguna untuk dapat menyampaikan agama Allah. Yaitu, dia harus mendidik dirinya sendiri, baik dalam hal agama maupun kecerdasan. Dia harus melakukan segala usaha untuk berbicara dan menulis dengan tepat, langsung pada pokok masalah dan tepat sasaran, mampu meyakinkan orang lain, tepat guna, dan memuaskan pendengarnya dengan kearifan yang dipelajarinya dari agama Allah. Syarat utamanya adalah orang beriman mempelajari agama Islam, makna ayat-ayat Al Qur'an, dan memahami perbuatan dan perkataan Nabi kita Muhammad SAW. Jadi, semua persiapan dan usaha ini mendapat tempat istimewa dalam kehidupan sehari-hari orang beriman yang mampu dan berhak untuk menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya.

Berangkat Tidur di Malam Hari

Bagi semua orang yang berpikir, ada banyak hal untuk direnungkan dalam penciptaan malam. Allah mengemukakan ini kepada manusia dalam ayat Al Qur'an berikut: “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta-merta mereka berada dalam kegelapan” (QS Ya Sin, 36:37). Salah satu hal penting dalam penciptaan itu tersimpan dalam hilangnya cahaya secara perlahan-lahan dan semakin gelapnya langit. Karena peralihan yang lambat ini, makhluk hidup dengan mudah menjadi terbiasa dengan perbedaan cahaya dan suhu antara siang dan malam dan tidak menghadapi bahaya karena perbedaan tersebut. Allah, dengan ilmu dan kekuasaan-Nya Yang Mahatinggi, memiliki belas kasih kepada hamba-Nya dan semua makhluk hidup, dan dia memberikan nikmat tersebut kepada semua orang. Namun sebagian besar manusia tidak memikirkannya walau hanya sekali saja dalam kehidupan mereka.

Ketika seseorang yang menjalani hidup menurut nilai-nilai Al Qur'an memikirkan hal ini, dia melihat bukti lain dari apa yang difirmankan Allah dalam ayat ke-92 Surat Yusuf: “… dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." Tidak ada keraguan bahwa bergantinya siang dan malam merupakan salah satu dari nikmat yang tidak terhitung jumlahnya yang diciptakan Allah untuk manusia. Supaya dapat memahami ini dengan lebih baik, Allah mengajak kita memperhatikan akan hal ini di dalam Al Qur'an:

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam terus-menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?" Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang terus-menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu agar kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS Al Qashash, 28:71-72)

Allah menciptakan keadaan, keseimbangan, dan sistem yang diperlukan untuk siang dan malam. Hanya Allah yang mampu menolong jika salah satu dari semua hal ini tidak ada. Apabila Allah menghendaki, dia dapat menciptakan siang terus-menerus atau malam terus-menerus. Akan tetapi, makhluk hidup tidak mampu bertahan hidup dalam keadaan semacam itu. Jika keadaan semacam itu terjadi, kehidupan di bumi akan berakhir. Tidak ada keraguan bahwa Allah menciptakan siang dan malam dalam keteraturan yang sempurna, yang menyediakan lingkungan tempat makhluk hidup mampu bertahan. Ini adalah tanda kasih sayang dan belas kasihan-Nya. Dalam ayat yang mengikuti ayat sebelumnya, Allah berfirman sebagai berikut:

Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya. (QS Al Qasas, 28:73)

Orang yang merenungkan alasan di balik bergantinya siang dan malam hanyalah orang yang menggunakan akal pikiran untuk memikirkan penciptaan tersebut, dan mereka yang takut kepada Allah, yaitu, yang menjalani hidup sesuai dengan Al Qur'an. Allah menerangkan ini dalam beberapa ayat:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS Ali ‘Imran, 3:190)

Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa. (QS Yunus, 10:6)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS Al Baqarah, 2:164)

Allah menciptakan metabolisme manusia yang membutuhkan istirahat di malam hari. Dia menerangkan hal ini dalam ayat-ayat berikut:

Dialah yang menjadikan malam bagimu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang-benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar (QS Yunus, 10:67).

Allah-lah yang menjadikan malam untukmu supaya kamu beristirahat padanya; dan menjadikan siang terang-benderang. Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Al Mukmin, 40:61).

Selain sebagai waktu beristirahat, malam memiliki sifat lain yang sangat istimewa. Salah satu alasan diciptakannya malam adalah karena waktu yang penuh kedamaian dan ketenangan di seluruh penjuru dunia ini sangat bernilai untuk kegiatan ibadah tertentu. Dibandingkan dengan siang hari, malam hari lebih memberikan kemudahan untuk berpikir, membaca, dan berdoa. Allah menerangkan ini di dalam Al Qur'an:

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (QS Al Muzzammil, 73:8)

Adalah lebih mudah bagi kita untuk memusatkan pikiran di malam hari untuk memikirkan keajaiban ciptaan Allah, membaca Al Qur'an dan berdoa. Orang beriman yang menyadari hal ini tidak akan menghabiskan seluruh malam hanya dengan tidur atau beristirahat. Diam-diam dia akan menghadap Allah untuk menyampaikan kebutuhannya dan memohon pengampunan atas segala kekeliruan dan kesalahannya. Dia akan menilai hari yang telah berlalu, meninjau ulang kekeliruan yang telah dibuatnya, menyesali kesalahannnya, dan memohon ampun. Dia akan menjalani waktunya di jalan yang disukai Allah, mengingat-Nya, dan mencoba untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dia akan memikirkan banyak hal seperti keberadaan Allah dan kemuliaan-Nya, Al Qur'an, rancangan alam semesta yang luar biasa, makhluk hidup di bumi dengan sistem yang tanpa cacat, nikmat yang terus-menerus diciptakan Allah, Surga, Neraka, dan keabadian. Perilaku orang beriman yang mengabdikan sebagian malam untuk beribadah dipuji oleh Allah dalam beberapa ayat Al Qur'an:

(Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah)… orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS Al Furqan, 25:64)

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo'a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap. (QS As Sajdah, 32:16)

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az Zumar, 39:9)

Dengan jalan ini, orang beriman melaksanakan Sunnah Nabi kita SAW yang menghabiskan sebagian waktu setiap malam dengan berdoa, renungan, dan dengan ibadah. Hal ini disebutkan dalam satu ayat:

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu… (QS Al Muzzammil, 73:20)

Sebuah hadis telah disampaikan kepada kita, bahwa Nabi kita SAW berdoa agar Allah memberinya watak dan perbuatan yang baik. Diriwayatkan bahwa beliau berdoa sebagai berikut:

“ Ya Allah, jadikanlah jalan dan perbuatanku menjadi baik. Ya Allah, selamatkanlah aku dari sifat dan perbuatan yang buruk.” (Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin)

Tidak boleh dilupakan bahwa, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, tidur adalah layaknya kematian. Bila Allah menghendaki, seseorang tidak akan bangun lagi. Dengan alasan ini, menit terakhir sebelum tidur bisa jadi merupakan kesempatan terakhir bagi seseorang untuk memohon ampun. Allah menerangkan ini dalam Al Qur'an:

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS Az Zumar, 39:42)

Orang beriman yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an mengetahui nilai dari kesempatan yang diberikan oleh Allah kepadanya ini (mungkin yang terakhir baginya) sebelum tidur. Dia menyimpannya dalam ingatan dan dengan ikhlas mendekatkan diri kepada Allah; dia memohon ampun atas tindakannya yang salah, memohon pertolongan Allah dalam segala hal, dan berdoa hanya kepada-Nya dalam larutnya malam.





DUA PULUH EMPAT JAM DALAM KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM












Pola Pikir Qur'ani Seorang Beriman

Sikap terhadap Keluarga dan Teman

Orang beriman bersyukur kepada Allah di saat dia memikirkan penciptaan orang tuanya yang telah menghabiskan begitu banyak waktu dan jerih payah untuk menjaganya selama bertahun-tahun semenjak dia pertama kali membuka matanya di dunia ini. Orang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an akan senantiasa berusaha untuk menyadari bahwa Allah menciptakan orang tuanya dan memberikan mereka kasih sayang dan belas kasih-Nya dan menganugerahi mereka dengan cinta kepada anak mereka. Allah menciptakan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak yang mereka besarkan dari masa kecil, dari tanpa daya sampai mereka mandiri di saat dewasa. Dalam ikatan kasih sayang ini, orang tua tak pernah lelah dalam kebahagiaan merawat anak mereka dan melihat mereka tumbuh dewasa. Allah menekankan pentingnya keluarga dalam kehidupan manusia:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS Luqman, 31:14)

Katakanlah, "Mari kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa. (QS Al An’am, 6:151)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, (QS Al Ahqaf, 46:15)

Jadi, berdasarkan ayat-ayat tersebut, orang beriman akan menunjukkan perhatian kepada orang tuanya dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat, menanamkan kasih sayang bagi mereka, memperlakukan mereka dengan baik, dan berusaha menyenangkan hati mereka dengan ucapan yang baik dan bijaksana. Sekali lagi dalam Al Qur'an, Allah menunjukkan kepada kita bagaimana caranya bersikap peka terhadap orang tua kita:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS Al Israa’, 17:23)

Di dalam ayat ini, Allah menunjukkan kepada kita ukuran belas kasihan yang harus ditunjukkan kepada orang tua. Dengan kata-kata “janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, Allah telah melarang orang beriman dari melakukan perbuatan tidak hormat yang paling kecil sekalipun, atau mengabaikan mereka. Untuk itu, orang beriman senantiasa berbuat dengan penuh perhatian terhadap orang tua mereka dan dengan rasa hormat dan tenggang rasa yang sangat besar.

Mereka akan melakukan apa saja yang mungkin untuk membuat orang tua mereka nyaman dan tidak akan berusaha mengurangi rasa hormat dan perhatian. Mereka akan terus ingat akan kesulitan dan kegelisahan di hari tua dan akan melakukan setiap usaha untuk memberikan semua kebutuhan mereka, bahkan sebelum mereka mengutarakannya dengan pengertian yang penuh kasih sayang. Mereka akan melakukan apa saja yang mereka mampu untuk memastikan bahwa orang tua mereka merasa nyaman dan tidak kekurangan, baik secara rohani maupun jasmani. Dan, tidak peduli apa pun yang terjadi, mereka tidak akan berhenti memperlakukan mereka dengan rasa hormat yang mendalam.

Ada keadaan lain yang mungkin dihadapi oleh orang beriman dalam hubungan mereka dengan orang tua. Orang yang beriman mungkin memiliki orang tua yang memilih jalan kafir. Dalam kasus seperti perbedaan iman, orang beriman akan mengajak mereka dengan sikap yang sama sopan dan hormatnya untuk mengikuti jalan yang benar. Perkataan Ibrahim AS kepada ayahnya yang menyembah berhala, menunjukkan kepada kita pendekatan seperti apa yang harus kita tempuh dalam keadaan semacam itu:

Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (QS Maryam, 19:43-44)

Kembali, ketika sebagian orang melihat orang tua mereka semakin menua dan kehilangan kekuatan, mereka berpaling di saat orang tuanya membutuhkan pertolongan dan perhatian. Tidak sulit melihat tersebar luasnya sikap semacam itu saat ini. Kita seringkali bertemu orang tua, yang berada dalam keadaan yang sangat buruk secara jasmani dan rohani, ditinggalkan berdiam di rumah mereka sendirian. Bila kita memikirkan keadaan ini kita akan melihat bahwa akar dari persoalan ini terdapat pada tidak dijalaninya hidup sesuai ajaran Al Qur'an.

Seseorang yang menerima Al Qur'an sebagai tuntunannya, bertindak terhadap orang tuanya, anggota keluarganya yang lain, dan setiap orang yang ada di sekitarnya dengan kasih sayang dan belas kasih. Dia akan mengajak kerabat, teman, dan kenalannya yang lain untuk hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, karena Allah memerintahkan orang beriman untuk mulai mendakwahkan Islam kepada orang yang dekat dengan mereka.

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS As Syu’ara’, 26:214)


Selalu ada kebahagiaan dan keceriaan di dalam sebuah keluarga yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, sebagaimana diwujudkan di dalam Sunnah Rasulullah SAW. Keadaan seperti teriakan, percekcokan, dan sikap tidak hormat yang kita lihat dalam keluarga yang terpecah saat ini tidak mungkin pernah terjadi dalam masyarakat orang-orang beriman. Dalam masyarakat seperti itu, setiap orang merasa sangat bahagia bersama keluarganya. Anak memperlakukan orang tua mereka dengan hormat dan mencintai mereka sepenuh hati. Keluarga memandang anak sebagai amanat dari Allah dan menjaga mereka. Ketika kita mengucapkan kata “keluarga”, kehangatan, cinta, rasa aman, dan saling menolong muncul dalam benak kita. Namun adalah bermanfaat untuk kembali menyorot, bahwa keadaan yang istimewa ini hanya dapat diraih melalui menjalani hidup dengan penuh iman dan sepenuhnya dalam Islam serta melalui takut dan cinta kepada Allah.

Sikap terhadap Nikmat

Orang beriman yang mengesampingkan pandangan kebiasaan mereka dan mengamati lingkungan mereka akan mengerti bahwa, semua yang dia lihat adalah nikmat dari Allah. Mereka akan mengerti bahwa semuanya—mata, telinga, tubuh, semua makanan yang mereka makan, udara bersih yang mereka hirup, rumah, benda dan harta, apa yang mereka miliki dan bahkan makhluk hidup renik dan bintang-bintang—dijadikan untuk kepentingan mereka. Dan semua nikmat ini terlalu banyak jumlahnya untuk dihitung. Sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut, bahkan tidak mungkin untuk mengelompokkan dan menghitung semua nikmat ini:

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An Nahl, 16:18)

Orang beriman diperkenankan menggunakan semua nikmat yang diberikan kepadanya di dunia ini, namun dia tidak akan tertipu oleh itu semua sehingga lupa dan hidup tanpa memikirkan Allah, kehidupan setelah mati, atau ajaran Al Qur'an. Tidak peduli berapa pun banyaknya harta yang dia miliki, kekayaan, uang atau kekuasaan dan sebagainya, itu semua tidak akan meyebabkannya menjadi terperosok atau sombong. Singkatnya, itu semua tidak akan menjerumuskannya untuk meninggalkan ajaran Al Qur'an. Dia sadar bahwa semua ini adalah nikmat dari Allah dan jika Dia menghendaki, Dia dapat mengambilnya kembali. Dia selalu sadar bahwa nikmat di dunia ini hanya sementara dan terbatas. Semuanya adalah ujian untuknya, dan semua itu hanyalah bayangan dari nikmat yang sesungguhnya di dalam Surga.

Bagi seseorang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, nikmat di dunia ini seperti harta benda, hak milik, dan jabatan hanyalah sarana untuk mendekatkan diri dan bersyukur kepada Allah. Oleh karena itu, tidaklah pernah menjadi tujuannya untuk memiliki nikmat di dunia ini, yang dia tahu hanya akan dia nikmati untuk waktu yang sesaat. Misalnya, salah satu nikmat paling tahan lama yang dapat digunakan manusia sepanjang hidupnya adalah rumah. Namun rumah hanya bermanfaat bagi seseorang untuk waktu dua puluh tahun atau paling lama sepanjang hidupnya. Ketika hidupnya di dunia berakhir, dia akan pergi jauh meninggalkan rumah yang dicintainya, dihargainya, dan telah dimilikinya dengan bekerja sangat keras sepanjang hidupnya. Tidak ada keraguan bahwa kematian menandai perpisahan mutlak antara seseorang dengan nikmat dunianya.

Orang beriman tahu bahwa Allah adalah pemilik sesungguhnya dari nikmat yang diberikan kepadanya dan semua itu berasal hanya dari-Nya. Orang beriman melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk berterima kasih kepada Allah Yang telah menciptakan nikmat ini dan untuk menunjukkan penghargaan dan syukurnya. Sebagai balasan dari nikmat yang tak terhitung jumlahnya dari Allah, dia akan senantiasa melakukan setiap usaha untuk bersyukur melalui apa yang dia ucapkan dan kerjakan, untuk memikirkan nikmat Allah dan mengingat semuanya dan untuk berdakwah tentang hal itu kepada orang lain. Berikut ini adalah beberapa ayat yang berkaitan dengan hal itu:

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu ? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (QS Ad Duha, 93:5-11)

Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah olehmu sekalian di waktu Allah menjadikanmu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Al A’raf, 7:69)

Sebagian orang, sebelum bersyukur menunggu dulu turnunya nikmat tertentu atau selesainya masalah besar. Padahal, jika mereka berpikir barang sejenak, mereka akan melihat bahwa setiap saat dalam kehidupan seseorang penuh dengan nikmat. Secara berkesinambungan, pada setiap saat, nikmat yang tidak terhitung jumlahnya diberikan kepada kita seperti kehidupan, kesehatan, kecerdasan, kesadaran, pancaindera, dan udara yang kita hirup. Sudah seharusnya kita bersyukur atas setiap nikmat tersebut, satu demi satu. Orang yang lalai dalam mengingat Allah dan merenungkan bukti-bukti penciptaan-Nya tidak menyadari nilai nikmat mereka di saat mereka memilikinya. Mereka tidak bersyukur dan mereka hanya mengerti nilai nikmat-nikmat itu ketika semua diambil dari mereka.

Namun orang beriman merenungkan betapa tidak berdayanya mereka dan betapa besar kebutuhan mereka akan semua nikmat ini, sehingga mereka senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Orang beriman tidak hanya bersyukur kepada Allah atas kesejahteraan, kekayaan, dan harta benda. Mereka mengetahui bahwa Allah adalah Pemilik dan Penguasa segala hal. Mereka bersyukur kepada Allah atas kesehatan, penampilan yang cantik, pengetahuan, kecerdasan mereka, atas kecintaan mereka akan iman dan kebencian mereka kepada kekafiran, atas kenyataan bahwa mereka berada di jalan yang benar, atas keterlibatan mereka bersama orang-orang beriman dengan sepenuhnya, atas pengertian, pemahaman dan pandangan mereka, dan atas kekuatan fisik dan rohani mereka. Mereka segera bersyukur kepada Allah saat mereka melihat pemandangan indah atau saat mereka mengatur pekerjaan mereka dengan baik, saat mereka menerima sesuatu yang mereka inginkan, mendengar ucapan yang baik, menyaksikan perbuatan kasih sayang dan rasa hormat, dan segala macam nikmat yang terlalu banyak untuk disebutkan. Mereka mengingat-Nya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Jika orang beriman menunjukkan dalam perbuatan baiknya bahwa nikmat yang telah dia terima tidak akan membuatnya rakus, sombong dan tinggi hati, Allah akan memberikan untuknya nikmat yang lebih banyak lagi. Pernyataan Allah dalam Al Qur'an berbicara mengenai hal ini:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim, 14:7)

Pada saat yang bersamaan, semua nikmat adalah bagian dari ujian duniawi bagi manusia. Karena itu, orang-orang beriman, selain bersyukur, juga menggunakan nikmat yang diberikan kepada mereka sebanyak mungkin dalam melakukan pekerjaan yang baik. Mereka tidak mau menjadi kikir dan menimbun kekayaan. Hal ini karena mengumpulkan dan menimbun harta adalah sifat penghuni Neraka. Allah mengajak kita memperhatikan hal ini di dalam Al Qur'an:

Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS Al Ma’arij, 70:15-21)

Sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai apa yang harus diinfakkan oleh manusia, Allah menganjurkan agar kita memberikan “Yang lebih dari keperluan” (QS Al Baqarah, 2:219). Merupakan tuntutan ajaran Al Qur'an agar orang beriman menggunakan sebagian pendapatan mereka di luar kebutuhan mereka sendiri untuk pekerjaan baik yang dituntun oleh Allah. Batas minimal secara hukum dari pemberian itu adalah kewajiban zakat, yang ditagih oleh penguasa atau pemimpin masyarakat untuk dibagikan kepada orang miskin dan yang membutuhkan dan orang lainnya sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam ayat mengenai zakat. Memberikan lebih daripada itu bukanlah merupakan kewajiban, namun sangat dianjurkan.

Ungkapan syukur orang beriman akan nikmat mereka dengan menggunakan nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada mereka pastilah demi meraih ridha-Nya. Orang beriman bertanggung jawab atas penggunaan apa yang telah diberikan kepadanya dalam melakukan amal saleh yang telah diperintahkan oleh Allah. Bersamaan dengan sarana materi yang telah Allah berikan kepada mereka, orang beriman menggunakan raganya untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk bekerja di jalan-Nya. Dengan demikian ia berharap meraih ridha dan ampunan Allah dan menggapai nikmat yang tiada akhir di Surga:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka... (QS At Taubah, 9:111)

Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW melalui pembayaran zakat dan tindakan memberi dengan ikhlas akan mengentaskan kekerasan, perselisihan, pencurian, dan tindakan kriminal buruk lainnya yang disebabkan oleh kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan persoalan lain semacam itu. Dengan jalan ini dan kehendak Allah, kedamaian pikiran dan kesejahteraan akan mencapai tingkatan tertinggi.

Sikap terhadap Keindahan

Karena kesejahteraan, keindahan, dan kecantikan adalah sifat dari Surga, tiruan hal tersebut di dunia akan mengingatkan manusia akan Surga. Hal tersebut meningkatkan hasrat dan keinginan besar orang beriman untuk meraihnya. Namun orang yang tidak beriman merasa cukup dengan hal itu di dunia, dan tidak tertarik dengan kehidupan setelah mati.

Segalanya—sungai yang mengalir tiada henti, tempat-tempat berpemandangan indah, taman-taman dengan warna yang menakjubkan, kecantikan manusia, perpaduan keindahan dan karya seni yang menakjubkan—semuanya adalah nikmat dan kesenangan dari Allah untuk manusia. Dalam tiap nikmat tersebut dalam kehidupan dunia ini terdapat petunjuk mengenai ciptaan Allah. Orang beriman akan memandang semua keindahan di dunia ini sebagai bayangan dari yang sejati (di Surga), dan sebagai contoh dan pengumuman kabar gembira.

Dan sampaikanlah kabar gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah, 2:25)







However much the blessings in the afterlife resemble those in the world, they are superior to earthly blessings in their reality and in being eternal. Allah has created a perfect Garden endowed with numerous blessings. A person with the values taught by the Qur'an will ponder the creation and excellence of the Garden in everything he sees. When he looks at the sky, he will think of "a Garden as wide as the heavens and the earth" (Surah Al 'Imran: 133); when he sees beautiful houses, he will think of "lofty chambers in the Garden, with rivers flowing under them", (Surat al-'Ankabut: 58); when he sees dazzling jewels, he will think of the adornments of Garden "gold bracelets and pearls" (Surah Fatir: 33); when he sees stylish and attractive clothing, he will think of the clothing of the Garden made of "the finest silk and rich brocade" (Surat al-Kahf: 31); when he tastes delicious food and drink, he will think of the "rivers of water which will never spoil and rivers of milk whose taste will never change and rivers of wine, delightful to all who drink it, and rivers of honey of undiluted purity" (Surah Muhammad: 15) in the Garden; when he sees attractive gardens, he will think of the Garden "of deep viridian green" (Surat ar-Rahman: 64); when he sees attractive furniture, he will think of the "sumptuous woven couches" (Surat al-Waqi'a:15) in the Garden.

Sekalipun begitu, banyak nikmat pada kehidupan di akhirat mempunyai kemiripan dengan yang ada di dunia. Nikmat tersebut jauh lebih besar daripada nikmat di dunia dalam hal kesejatian dan sifatnya yang kekal. Allah telah menciptakan Surga yang sempurna disertai dengan nikmat yang sangat banyak. Dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Qur'an, seseorang akan merenungkan penciptaan dan kehebatan Surga dalam segala hal yang dia lihat di dunia. Ketika melihat ke langit, dia akan berpikir “surga yang luasnya seluas langit dan bumi” (QS Ali ‘Imran, 3:133). Ketika dia melihat rumah yang indah, dia akan memikirkan “tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya” (QS Al ‘Ankabut, 29:58). Ketika dia melihat perhiasan yang berkilauan, dia akan memikirkan hiasan di Surga ”gelang-gelang dari emas, dan mutiara” (QS Fatir, 35:33). Ketika dia melihat pakaian yang indah dan menarik, dia akan memikirkan pakaian di Surga yang terbuat dari “sutera halus dan sutera tebal” (QS Al Kahfi, 18:31). Ketika dia merasakan makanan dan minuman yang lezat, dia akan memikirkan “sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring.” (QS Muhammad, 47:15) di Surga. Ketika dia melihat taman yang menarik, dia akan memikirkan Surga “(kelihatan) hijau tua warnanya” (QS Ar Rahman, 55:64). Ketika dia melihat perlengkapan rumah yang menarik, dia akan memikirkan “dipan yang bertahta emas dan permata” (QS Al Waqi’ah, 56:15) di Surga.

Alasan cara berpikir seperti ini adalah, bahwa semua hal yang indah di dunia ini bagi orang beriman merupakan sumber kebahagiaan yang sangat besar dan kesempatan untuk kebaikan, terlepas dari dia memiliki nikmat tersebut atau tidak. Pada saat yang bersamaan, nikmat itu merupakan sumber kebahagiaan penting yang akan meningkatkan kerinduan akan Surga dan usaha untuk meraihnya.

Orang beriman yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an tidak akan iri atau marah ketika melihat seseorang lebih kaya atau lebih menarik daripadanya. Sebagai contoh, tidak seperti kebanyakan orang, dia tidak akan menyesali bahwa dia tidak memiliki rumah yang indah, karena salah satu tujuan dasar dari kehidupan orang beriman adalah untuk meraih yang tidak sementara, melainkan keindahan yang abadi. Kampung halamannya yang sesungguhnya adalah Surga. Allah mengajak kita untuk memperhatikan hal ini dalam Al Qur'an:

Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, ridha dan surga; mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. (QS At Taubah, 9:21)

Orang yang menghindari ajaran Al Qur'an tidak menghiraukan kenyataan bahwa kampung halaman mereka sesungguhnya adalah Surga, sehingga mereka demikian bernafsu dan lekat dengan kesenangan yang tidak kekal di dunia ini. Tujuan mendasar mereka adalah: menjadi pusat perhatian dan kekaguman, dihormati dan dipentingkan karena kemampuan mereka, meningkatkan kekayaan materi mereka dan menjalani hidup yang indah. Sepanjang hidup mereka, mereka terus mengejar nilai-nilai dunia yang sifatnya sementara, tidak penting, dan menipu. Melihat hal-hal baik yang tidak mereka miliki hanya akan meningkatkan kedengkian, keserakahan, dan kesedihan mereka. Misalnya, mereka tidak senang berada di rumah yang indah yang bukan milik mereka. Benak mereka dipenuhi dengan pertanyaan semacam ini, “Mengapa aku tidak sekaya ini?” dan “Mengapa aku tidak memiliki rumah indah seperti ini?” Bagi orang-orang ini, hal-hal yang indah di dunia biasanya menjadi sumber kegelisahan, karena untuk bisa menikmati kesenangan dari hal-hal yang indah, mereka berpikir bahwa mereka harus memilikinya.

Sebaliknya, orang yang hidup sesuai ajaran Al Qur'an mengetahui bagaimana menghargai hal yang indah, terlepas dari mereka memilikinya atau tidak. Misalnya, seseorang yang memiliki kesadaran akan iman mungkin (sebagai bagian ujian untuknya dari Allah di dunia ini) tidak akan tinggal di lingkungan mewah, bahkan mungkin tidak pernah melihatnya sama sekali. Tetapi dia menyadari bahwa ada alasan yang jelas akan keadaannya. Orang beriman tahu bahwa dia tidak harus pergi ke tempat semacam itu untuk melihat keindahan ciptaan Allah. Dengan pandangan dan pemahamannya yang istimewa ini, orang beriman akan memperhatikan keindahan penciptaan Allah yang tiada tara di setiap tempat dan setiap saat. Keindahan bintang di malam hari dan keindahan tiada tara, warna dan rancangan setangkai mawar adalah dua contoh yang dapat dilihat dan dikagumi setiap orang setiap hari.

Seperti yang sudah kita bahas, kerinduan yang dirasakan oleh orang beriman akan Surga menyebabkan mereka mengubah lingkungan mereka menjadi tempat yang mengingatkan mereka akan Surga. Tentu saja Surga merupakan hasil pekerjaan seni yang jauh lebih besar daripada apa yang bisa dibayangkan manusia, dengan pemandangan sempurna dan keindahan yang tidak dapat dibayangkan oleh seorang pun di dunia ini. Namun seorang Muslim yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an akan menggunakan semua yang dimilikinya untuk memperindah lingkungan sekelilingnya. Kita mempelajari dari Al Qur'an bahwa halaman istana Nabi Sulaiman diberi ubin kaca (QS An Naml, 27:44) dan rumahnya dihiasi dengan ukiran dan patung-patung, perlengkapan dapur yang besar seperti penampung air dan kuali masak yang dibuat sangat besar (QS Saba’, 34:13). Dalam Al Qur'an, Allah juga berfirman bahwa keluarga Ibrahim AS diberikan sebuah kerajaan yang luas (QS An Nisa’, 4:54)

Dengan jabatan yang tinggi, dan terkadang kekayaan dan kekuasaan yang sangat besar yang telah diberikan kepada mereka, para rasul Allah menggunakan semua nikmat mereka sebagaimana yang dituntun oleh Allah dan sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, Allah memuji mereka dalam Al Qur'an. Orang beriman menjadikan semua nabi sebagai teladan dan berusaha—sebagaimana yang dilakukan oleh para wali (orang yang dekat dengan Allah)—untuk menggunakan nikmat yang datang kepada mereka untuk meraih ridha Allah.

Tanggapan terhadap Kejadian yang Tampak Buruk

Berbagai macam kesulitan dapat terjadi pada seseorang sepanjang hari. Namun apa pun kesulitan yang mungkin dia jumpai, orang beriman menempatkan dirinya dalam genggaman Allah dan berpikir, “Allah menguji kita dalam segala yang kita lakukan dan pikirkan di kehidupan dunia ini. Ini merupakan kenyataan penting yang tidak boleh lepas dari pandangan kita. Maka, ketika kita menghadapi kesulitan dalam apa pun yang kita kerjakan, atau berpikir bahwa keadaan tidak berjalan dengan baik, kita tidak boleh pernah lupa bahwa Allah menempatkan kesulitan di jalan kita dalam rangka menguji tanggapan kita.”

Dalam Al Qur'an, Allah berfirman bahwa setiap kesulitan yang ditemui seseorang berasal dari-Nya:

Katakanlah, "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS At Taubah, 9:51)

Semua yang kita jumpai dalam pengalaman kita telah ditetapkan oleh Allah dan bermanfaat bagi orang beriman di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Hal ini jelas bagi setiap orang yang memperhatikan dengan iman (Untuk lengkapnya, lihat Harun Yahya: Seeing Good in All (Melihat Kebaikan dalam Segala Hal), Islamic Book Service, 2003). Misalnya, ada banyak manfaat di saat orang beriman kehilangan harta yang dia cintai. Dari luar, hal ini tampak seperti kemalangan. Namun ini dapat menjadi sarana agar seorang beriman dapat melihat kesalahannya, meningkatkan kewaspadaannya, dan menyadari bahwa dia harus lebih berhati-hati di tempat-tempat tertentu. Manfaat lain dari kemalangan semacam ini adalah mengingatkan seseorang bahwa dia tidak memiliki apa pun; bahwa pemilik segala sesuatu adalah Allah.

Hal ini berlaku dalam setiap hal, besar atau kecil, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sebagai akibat kesalahpahaman atau kelalaian seseorang, pembayaran mungkin dilakukan secara keliru. Pekerjaan yang telah dengan susah payah dilakukan selama berjam-jam mungkin hilang dalam sekejap karena putusnya aliran listrik. Seorang pelajar sakit dan tidak bisa mengikuti ujian masuk universitas, padahal dia telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk mempersiapkan dirinya. Dokumen tidak pernah diselesaikan, sehingga menyebabkan penundaan. Seseorang yang memiliki janji penting di suatu tempat mungkin ketinggalan bis atau pesawat… Semua itu adalah macam peristiwa yang dapat terjadi dalam kehidupan seseorang dan itu tampak seolah kemunduran yang sulit diselesaikan.

Namun terdapat banyak keindahan dalam peristiwa-peristiwa ini dari sudut pandang orang yang beriman. Di atas itu semua, orang beriman menyimpan di benaknya bahwa Allah menguji perbuatan dan keteguhannya, bahwa dia akan mati dan adalah buang-buang waktu saja jika terus berdiam diri dalam kesulitan tersebut, karena perhatiannya adalah pada kehidupan setelah mati. Dia mengetahui bahwa ada benang merah dalam semua hal yang terjadi. Dia tidak pernah kehilangan semangat. Dia berdoa agar Allah membuat pekerjaannya menjadi mudah dan membuat segalanya berubah menjadi baik. Dan kemudahan datang setelah kesulitan, dia bersyukur kepada Allah bahwa Dia telah menerima dan mengabulkan doanya.

Seseorang yang memulai harinya dengan pikiran semacam itu tidak akan mudah kehilangan harapan walau apa pun yang terjadi atau menjadi khawatir, ketakutan, atau merasa putus asa. Jika dia lupa sesaat, dia akan segera ingat lagi dan kembali kepada Allah. Dia tahu bahwa Allah menciptakan semua ini untuk maksud yang baik dan bermanfaat. Dan dia tidak akan berpikir demikian hanya jika sesuatu yang gawat akan segera menimpanya. Sebaliknya, seperti yang telah kita bahas sebelumnya, dalam segala hal, baik besar maupun kecil yang terjadi kepada dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, pikirkanlah seseorang yang tidak membuat kemajuan seperti yang diinginkan dalam sebuah pekerjaan penting. Pada menit terakhir, tepat di saat dia akan segera menyelesaikannya, dia menemui sebuah masalah serius. Orang tersebut terbakar dalam kemarahan, menjadi gelisah dan menderita dan melakukan tanggapan buruk lainnya. Sebaliknya, seseorang yang percaya bahwa ada kebaikan dalam setiap hal, akan mencoba menemukan apa yang ditunjukkan oleh Allah kepadanya melalui peristiwa ini. Dia mungkin berpikir bahwa Allah mengajaknya memikirkan hal ini agar dia lebih berhati-hati dalam masalah ini. Dia akan melakukan semua tindakan pencegahan yang dibutuhkan dan dia akan bersyukur kepada Allah bahwa dia mungkin telah dihindarkan dari kerusakan yang lebih besar melalui tindakan ini.

Apabila dia ketinggalan bis dalam perjalanannya ke suatu tempat, dia akan berpikir bahwa dengan keterlambatan atau tidak naik ke dalam bis tersebut, dia mungkin terhindar dari kecelakaan atau malapetaka. Ini hanyalah beberapa contoh. Dia akan berpikir bahwa terdapat banyak alasan tersembunyi semacam ini lainnya. Contoh-contoh ini dapat berkali-kali ditemui dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Tetapi hal yang penting adalah: rencana seseorang mungkin tidak selalu terwujud sesuai dengan yang dia inginkan. Dia mungkin menemukan dirinya dalam lingkungan yang benar-benar berbeda dengan yang dia rencanakan. Namun hal itu justru bermanfaat bagi orang yang menempatkan dirinya dalam genggaman Allah, sehingga dia mencoba untuk menemukan tujuan Allah atas segala hal yang terjadi padanya. Dalam Al Qur'an, Allah menerangkan sebagai berikut:

…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al Baqarah, 2:216)

Seperti firman Allah, kita tidak tahu mana yang bermanfaat atau berbahaya; tetapi Allah tahu. Kita harus bersahabat dan berserah diri kepada Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Dalam kehidupan dunia ini, manusia dapat kehilangan semua yang dimilikinya dalam sekejap. Dia dapat kehilangan rumahnya dalam kebakaran, modal yang ditanamnya dalam krisis ekonomi, atau benda berharganya karena kecelakaan. Allah berfirman dalam Al Qur'an bahwa manusia akan mengalami ujian semacam ini:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS Al Baqarah, 2:155)

Allah memberitahu manusia bahwa mereka akan mengalami berbagai macam ujian dan mereka akan menerima balasan atas kesabaran mereka dalam keadaan sulit. Misalnya, seseorang kehilangan sesuatu yang dia miliki dan tidak dapat menemukannya. Kesabaran yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur'an adalah ketika seseorang menempatkan dirinya sepenuhnya dalam kuasa Allah dan berserah diri kepada kehendak-Nya, semenjak dia mengetahui bahwa harta bendanya, besar ataupun kecil, telah hilang. Dia tidak tergelincir dari kenyataan bahwa Allah telah menciptakan segalanya dan dia tidak membiarkan sikap dan tingkah lakunya menjadi kehilangan keseimbangan.

Seseorang mungkin menderita kehilangan yang bahkan lebih buruk lagi dalam satu hari. Misalnya jika seseorang kehilangan sumber nafkah tempat dia menghabiskan sebagian besar harinya untuk memenuhi kebutuhannya. Kehilangan seperti ini sangat serius bagi orang yang percaya bahwa masa depannya bergantung pada hal itu. Banyak orang yang dibesarkan dari masa kecil mereka dengan gagasan untuk meraih pekerjaan yang baik. Mereka menghabiskan setiap saat dalam hidup mereka menginginkan pekerjaan yang lebih baik atau kemajuan dan peningkatan jabatan dalam pekerjaan yang mereka miliki. Maka, jika mereka kehilangan pekerjaan mereka, hari-hari mereka akan dipenuhi dengan kemurungan dan kegelisahan, dan hidup mereka, seperti kata pepatah, sudah berada di bawah roda kehidupan.

Di lain pihak, orang beriman tahu bahwa adalah Allah-lah Yang memberinya keperluan sehari-harinya dan bahwa sumber nafkahnya adalah untuk tujuan ini semata-mata. Dengan kata lain, bagi orang beriman, nikmat yang Allah telah berikan kepadanya hanyalah sebuah sarana. Untuk itu, bila orang beriman kehilangan sumber nafkahnya, dia akan menerima kenyataan itu dengan kesabaran dan berserah diri. Dalam keadaan semacam itu, dia akan bersabar dan berdoa dan menempatkan dirinya dalam kuasa Allah. Dia tidak pernah lupa bahwa Allah memberikan keperluan sehari-harinya dan Dia dapat mencabutnya kapan saja Dia kehendaki.

Seseorang yang menjadikan Al Qur'an sebagai pedoman akan segera mengendalikan pikiran dan tindakannya jika dia kehilangan sumber nafkah, menderita kesakitan, tidak mampu belajar di sekolah pilihannya, atau keadaan serupa itu. Dia akan memikirkan apakah tingkah lakunya membuat Allah ridha dan pikiran sebagai berikut mungkin ada di dalam benaknya:

- Apakah saya telah cukup bersyukur atas benda, harta, dan kekayaan yang telah hilang?

- Apakah saya bersikap buruk dan tidak berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan?

- Apakah saya lupa akan Allah dan kehidupan setelah mati, terlalu lekat dengan harta benda dan kekayaan saya?

- Apakah saya tinggi hati dan sombong karena kekayaan saya dan apakah saya menjauhkan diri dari jalan Allah dan ajaran Al Qur'an?

- Apakah saya berusaha agar dikagumi oleh orang lain, bukannya mencari ridha Allah, atau mencari jalan untuk memuaskan harapan dan keinginan saya sendiri?

Orang yang beriman akan memberikan jawaban yang jujur dan ikhlas atas semua pertanyaan itu. Berdasarkan jawaban tersebut, dia akan mencoba memperbaiki tingkah laku yang tidak disenangi Allah dan berdoa agar Allah menolongnya untuk melakukan itu. Dia akan mendekatkan diri kepada Allah dengan segala keikhlasan. Dia akan berlindung kepada Allah dari segala kesalahan yang pernah dia perbuat, dari kelalaian dan kecerobohan. Dalam Al Qur'an, Allah menjelaskan cara orang yang beriman dalam berdoa:

"…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami pikul. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami..." (QS Al Baqarah, 2:286)

Pada saat sedang diuji, seseorang mungkin menderita banyak kehilangan secara beruntun. Namun orang yang kuat imannya mengetahui bahwa ada alasan dari apa yang dideritanya. Salah satu hal terpenting dari alasan itu adalah latihan rohani yang datang bersamaan dengan kesulitan:

…Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan terhadap apa yang menimpamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali ‘Imran, 3:153)

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al Hadid, 57:22-23)

Bagi orang beriman, keadaan sulit yang datang berturut-turut sepanjang hari itu adalah sarana baginya untuk ingat bahwa dia sedang dalam suatu tempat ujian untuk menjadi lebih dekat kepada Allah, untuk dewasa, dan untuk memeluk ajaran Al Qur'an. Dia sadar bahwa Allah sedang melatihnya dengan jalan ini dan mempersiapkannya untuk nikmat tiada akhir di kehidupan yang akan datang.

Sikap terhadap Penyakit

Seseorang yang sadar akan imannya akan bersabar dan menempatkan dirinya dalam kehendak Allah kapan pun dia sakit, karena dia menyadari bahwa penyakitnya adalah ujian dari Allah, seperti sadarnya dia bahwa kesehatannya adalah ujian dari Allah. Dia menyadari bahwa cobaan dan kesakitan adalah ujian dari Allah seperti halnya kesejahteraan, kemakmuran, dan kemudahan. Dan memang, kemudahan justru merupakan cobaan yang lebih serius dan sulit. Karena itu, bagaimanapun kesulitan yang dihadapinya, dia akan sabar dan terus berdoa dalam keikhlasan kepada Allah. Dia tahu bahwa adalah Allah Yang menciptakan penyakit dan dengan demikian adalah Allah Yang akan memberikan kesembuhan. Dalam Al Qur'an, Allah memuji kesabaran orang beriman selama sakit dan menempatkannya dalam sifat “pengabdian yang sebenarnya”

…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al Baqarah, 2:177)

Di samping bersabar, orang beriman juga menjalani perawatan yang diperlukan untuk membuatnya pulih kembali. Dia tidak akan membesar-besarkan apa yang dialaminya atau bersifat kekanak-kanakan untuk menarik perhatian orang di sekelilingnya. Dia akan secara sadar menjalani perawatan dan meminum obat yang disarankan untuk penyakitnya. Perilaku ini sesungguhnya menjadi doa kepada Allah. Pada saat yang bersamaan dan sebagai hasil dari hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, dia berdoa terus-menerus agar Allah akan menolong dan menyembuhkannya. Dalam Al Qur'an, Allah menjadikan Ayyub AS sebagai contoh atas sikap iman ini:

Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". (QS Al Anbiya’, 21:83)

Harus dikatakan bahwa semua obat yang diminum adalah sarana menuju kesembuhan. Jika Allah menghendaki, Dia akan menjadikan perawatan tersebut sebagai sarana penyembuhan. Adalah Allah Yang menciptakan sarana kesehatan yang digunakan dalam pengobatan—mikroorganisme, binatang, dan bahan tumbuhan—yang digunakan dalam campuran obat-obatan. Singkatnya, hanya Allah Yang menciptakan kesembuhan. Dalam Al Qur'an, Allah mengajak kita memperhatikan hal ini melalui apa yang dikatakan oleh Ibrahim AS:

“… dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS Ash Syu’ara’, 26:80)

Akan tetapi, anggota masyarakat kafir akan segera menentang Allah di saat mereka jatuh sakit. Mereka berperilaku berlawanan dengan kenyataan ayat tersebut saat mereka berkata, “Mengapa hal seperti ini terjadi padaku?” Orang yang berpikir dengan cara ini, tidak mungkin dapat menempatkan dirinya dalam kehendak Allah selama sakit atau menganggapnya sebagai sebuah manfaat.

Sebaliknya, orang yang beriman merenungkan alasan penyakit mereka dan menganggap itu sebagai sebuah kesempatan yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sekali lagi mereka menjadi mengerti akan besarnya nikmat kesehatan dan betapa tidak berdayanya manusia. Bahkan penyakit yang biasa seperti flu dapat membaringkan orang di atas tempat tidur. Dalam keadaan ini, bagaimanapun berkuasanya, terhormatnya, atau kayanya seseorang, tidak akan berdaya dan harus beristirahat dan meminum obat. Dalam keadaan ini, kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan Allah, dan penyakit adalah sarana bagi kita untuk mengingat nama Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dan bagi orang beriman, setiap penyakit adalah peringatan bahwa dunia adalah sementara dan kematian dan akhirat adalah sangat dekat.






Fiqh telah menetapkan makanan yang halāl dan yang harām. Makanan halal boleh dijelaskan dengan sesuatu bahan makanan yang suci dan baik di samping tidak melanggari syariat Islam sewaktu mendapatkan dan menggunakannya. Arak, khinzir serta anjing adalah contoh makanan yang telah ternyata tidak dihalalkan oleh syarak (haram) untuk memakannya. Ini adalah berdasarkan pada peraturan yang ditemui dalam al-Qur'an, kitab suci Islam. Peraturan lain ditambah kepada ini dalam fatwa oleh Mujtahid dengan berbagai peringkat ketegasan, tetapi mereka bukan sentiasa dipegang sebagai berautoritatif oleh semua. Menurut al-Qur'an, satu-satunya fokus yang secara jelas diharamkan adalah daging dari haiwan yang mati sendiri, darah, daging babi, dan haiwan yang didedikasikan selain untuk Tuhan.(Al-Qur'an 5:3).

Perkara berhubung Halal dan Haram telah diperjelaskan dengan begitu nyata dalam al-Quran. Setiap sumber makanan, sumber pendapatan, bahan keperluan harian dan sebagainya, wajib Halal. Dalam Islam tidak ada istilah ‘Separa Halal’, ‘Separuh Halal’ atau ‘Gred Halal dengan 3 Bintang’ atau sebagainya. Setiap bahan dan sumbernya perlulah 100% Halal malah suci dan baik dan tidak menimbulkan rasa was-was atau keraguan mengenai status Halalnya. Ini adalah kerana setiap sumber yang haram akan menjadi darah daging dan akan menjejaskan amalan, doa dan personaliti dalaman dan luaran seseorang.

Dalam kita membincangkan konsep Haram, ia bukan sahaja meliputi makanan yang tidak mengandungi khinzir, malah ia meliputi konsep yang lebih luas lagi seperti sumber pendapatan, cara hidup dan lain-lain lagi. Malah haram bagi umat Islam sesuatu barangan atau perkhidmatan itu, jika ia dicari dengan cara seperti mencuri dan menyalahi aturan penggunaannya dalam konsep undang-undang Islam.
[sunting] Sumber bahan makanan dan minuman

Sumber utama makanan dan minuman manusia adalah dari haiwan, tumbuh-tumbuhan, bahan semulajadi, bahan kimia dan mikro-organisma yang mana ada di antaranya yang dihalalkan dan ada yang diharamkan.

Haiwan

Haiwan boleh dibahagikan kepada dua kumpulan iaitu;
a) Haiwan Darat.
b) Haiwan Air.

2.1.1 Haiwan Darat

Semua haiwan darat(mamalia maun @ mamalia herbivor)seperti lembu,rusa,kambing dan sebagainya, serta keluarga burung yang tidak beracun dan muncung paruhnya tumpul dan bengkok seperti itik,ayam,burung puyuh dan sebagainya halal dimakan, kecuali;

i. Haiwan yang tidak disembelih mengikut hukum syarak.(Disembelih bukan kerana Allah).

ii. Babi.

iii. Anjing.

iv. Haiwan(mamalia maging @ mamalia karnivor) yang mempunyai taring atau gading yang digunakan untuk membunuh iaitu haiwan-haiwan buas seperti harimau, beruang, gajah, badak sumbu, kucing dan seumpamanya.

v. Burung yang mempunyai kuku pencakar, paruh tajam, makan menyambar (burung pemangsa) seperti burung helang, burung hantu dan seumpamanya(karnivor).

vi. Haiwan-haiwan yang disyariatkan oleh Islam untuk dibunuh seperti tikus, kala jengking, burung gagak, lipan,lipas,lalat, ular dan seumpamanya(reptilia).Namun begitu sejenis reptilia padang pasir itu biawak padang pasir(dhab) boleh dimakan dalam Islam.

vii. Haiwan yang dilarang oleh Islam membunuhnya seperti semut, lebah, burung belatuk, burung hud-hud dan labah-labah.Sejenis belalang daun yang darahnya tidak mengalir boleh dimakan menurut Islam.

viii. Haiwan yang dipandang jijik (keji)(al-Khabaith) oleh umum seperti kutu, lalat, ulat dan seumpamanya.

ix. Haiwan yang hidup di darat dan di air (dua alam) seperti katak, buaya, penyu, anjing laut,singa laut dan seumpamanya(amfibia).Ketam yang hidup dua alam seperti jenis Ketam Batu,Ketam Nipah dan Ketam Hijau adalah haram dimakan(sila lihat penjelasan di rencana di bawah).

x. Semua jenis haiwan dan tumbuh-tumbuhan yang dihasilkan oleh bioteknologi DNA adalah halal,namun haram dimakan yang berasal dari haiwan yang lahir dari salah satu keturunan dari babi atau anjing.

2.1.2 Haiwan Air

Haiwan air ialah haiwan yang boleh hidup secara hakikinya di dalam air sahaja. Ia adalah halal dan boleh dimakan kecuali yang beracun, memabukkan dan membahayakan kesihatan manusia.Ikan Belacak halal dimakan.

2.1.3 Tumbuh-tumbuhan

Semua jenis tumbuh-tumbuhan dan hasilnya adalah halal dimakan kecuali yang berbisa, beracun, memabukkan, membahayakan kesihatan manusia serta yang dihasilkan oleh bioteknologi DNA yang bersumberkan dari bahan yang haram.

2.1.4 Minuman

Semua air adalah halal diminum kecuali yang beracun misalnya racun atau ubatan merbahaya, memabukkan dan membahayakan kesihatan manusia dan bercampur dengan benda-benda najis.Seperti arak,alkohol peminum dan berkaitan dengannya.

2.1.5 Bahan Semulajadi

Semua bahan semulajadi seperti air, mineral dan lain-lain adalah halal kecuali yang bercampur dengan najis, beracun, memabukkan dan membahayakan kesihatan.

2.1.6 Bahan Kimia

Semua bahan kimia adalah halal kecuali yang bercampur dengan najis, beracun, memabukkan dan membahayakan kesihatan.

2.1.7 Bahan Tambah

Bahan Tambah (Food Additives) seperti penstabil, pengemulsi, pewarna,perisa,pengawet dan seumpamanya adalah halal kecuali yang dihasilkan dari sumber haiwan atau tumbuh-tumbuhan yang diharamkan oleh hukum syarak.

Bahan Gunaan Orang Islam

Bahan gunaan orang Islam boleh dibahagikan kepada dua kategori iaitu;
a) Kosmetik
b) Pakaian dan peralatan.

3.1 Kosmetik

3.1.1 Kosmetik adalah bahan-bahan atau ramuan yang terdiri daripada pelbagai unsur untuk dimasukkan ke dalam tubuh, disapu, digosok, dibalut, ditempel, dipakai dengan tujuan untuk kecantikan seperti pewarna rambut, bedak, gincu, pewarna kuku,maskap muka,celak dan seumpamanya.

3.1.2 Bahan kosmetik yang diperbuat daripada tumbuh-tumbuhan dan bahan kimia adalah boleh digunakan kecuali yang beracun dan membahayakan kesihatan. Bahan kosmetik yang diperbuat daripada sumber haiwan halal yang disembelih menurut kehendak syarak adalah boleh digunakan.

Nota tamabahan:Islam melarang penggunaan perwarna hitam dengan tujuan untuk menghitamkan rambut,penggunaan warna lain seperti warna perang dan sebagainya adalah dibolehkan,namun penggunaannya mestilah bertempat dan tidak mendatangkan keburukan di kalangan masyarakat serta bahan yang digunakan perlulah suci,selamat,halal dan tidak menyekat pengaliran air masuk ke dalam kulit kepala.Pembuatan tatu pada tubuh manusia dengan apa cara sekali pun juga adalah haram disisi Islam.

3.2 Pakaian dan Peralatan

3.2.1 Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat dari tumbuh-tumbuhan boleh digunakan.

3.2.2 Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat daripada bulu haiwan boleh digunakan kecuali bulu babi dan anjing.

3.2.3 Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat daripada tulang, tanduk,kerang-kerangan, kuku dan gigi haiwan yang dagingnya halal dimakan melalui sembelihan mengikut hukum syarak boleh digunakan.

Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat daripada kulit haiwan (kecuali kulit babi dan anjing) yang telah disamak boleh digunakan.Menyambung rambut palsu bukan bermaksud menocang rambut sendiri adalah haram perbuatan itu.Wanita Islam yang sudah akhil baligh wajib baginya mengenakan tudung bagi menutup rambutnya dan kepalanya.Semua umat Islam samada lelaki ataupun wanita wajib baginya untuk menutupkan aurat nya seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.Islam juga melarang akan penganutnya untuk mencabut,memotong,mencukur bulu alis mata atau keningnya,kerana perbuatan itu adalah haram serta mengubah hak ciptaan Allah Taala.
[sunting] Membersihkan kulit haiwan dan manfaatnya

Membasuh Kulit Selepas Menyamak

Menurut pendapat yang ashah, ketika menyamak kulit binatang tidak wajib dibasuh dengan air. Oleh itu, sunat sahaja ketika menyamak kulit itu disertai dengan air. Dalam hal ini apabila kulit berkenaan selesai disamak maka harus ia diperjualbelikan, walaupun ia tidak dibersihkan dengan air.

Akan tetapi dalam masalah menggunakannya untuk kepentingan ibadat sembahyang, seperti dibuat pakaian untuk menutup aurat dan seumpamanya, ataupun untuk kegunaan menyimpan barang yang basuh seperti air dan seumpamanya, tidak harus menggunakan kulit yang telah siap disamak bagi tujuan-tujuan tersebut (untuk dibawa sembahyang dan menyimpan benda yang basah) melainkan setelah dicuci dengan air, walaupun ia disamak dengan bahan yang suci, apatah lagi jika kulit itu disamak dengan menggunakan bahan penyamak yang najis, kerana kulit yang telah disamak itu diumpamakan seperti pakaian yang terkena najis.

Adapun jika dibersihkan najis itu dengan air sebelum kulit itu disamak adalah tidak memadai. Sebagai contoh, jika kulit yang belum disamak itu terkena najis mughallazhah lalu disucikan dengan air sebanyak tujuh kali dimana salah satunya bercampur tanah, maka tidak diterima thaharah (penyucian) itu. (Nihayah al-Muhtaj, Kitab ath-Thaharah, Bab an-Najasah Wa Izalatuha : 1/251 , Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, Kitab al-Haid, Bab Thaharah Julud al-Maitah, Mughni al-Muntaj, Kitab ath-Thaharah, Bab an-Najasah).

Kesimpulannyaa, sungguhpun kulit yang sudah disamak dianggap suci dari segi di mana sebelumnya ia dianggap sebagai bangkai, akan tetapi ia belum boleh dimanfaatkan (kecuali dalam masalah jual beli) melainkan setelah dibersihkan terlebih dahulu dengan air setelah kulit berkenaan siap disamak. Adapun pembersihan kulit dengan menggunakan air sebelum atau semasa kulit disamak adalah tidak memadai.

Penggunaan Kulit Binatang

Penggunaan kulit binatang yang telah disamak adalah diharuskan dalam Islam sama ada dijadikan kasut, pakaian atau sebagainya. Walaubagaimanapun perlu diingat bahawa kulit anjing dan babi adalah tidak harus dimanfaatkan walaupun sesudah disamak.

Seperti yang sudah dimaklumi bahawa anjing dan babi itu keduanya adalah najis mughallazah (najis berat). Selain ditegah memakan daging babi dan anjing, ditegah juga memanfaatkan segala anggota binatang itu seperti kulit, bulu dan sebagainya, kerana babi dan anjing itu sendiri adalah najis al-‘ain.)

Sesuatu yang basah atau cecair yang datang daripada najis anjing, dan babi, seperti tahi, kencing, air liur, peluh dan darah adalah najis. Begitu juga sesuatu yang kering daripadanya seperti bulu dan kulit apabila disentuh dalam keadaan basah juga adalah najis. Cara menyucikan daripada najis ini, hendaklah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali. Salah satu daripadanya air yang bercampur tanah. (Mughni al-Muhtaj, Kitab ath-Thaharah, Bab an Najasah : 1/118).

Ada juga sebahagian ulama seperti al-Awza’ie dan ulama yang sependapat dengan beliau mengatakan bahawa binatang buas seperti harimau, serigala dan sebagainya, adalah ditegah menggunakannnya. Mereka berhujah dengan hadis daripada Usamah yang maksudnya :

“Bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam melarang daripada menggunakan kulit-kulit binatang buas. “(Hadis riwayat Abu Daud).

Dalam riwayat yang lain, daripada Usamah yang maksudnya :

“Sesungguhnya Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam melarang daripada menggunakan kulit-kulit binatang buas untuk dihamparkan sebagai alas.” (Hadis riwayat At-Taarmidzi).

Namun menurut ashab asy-Syafi’e, semua kulit bangkai itu termasuk kulit binatang buas adalah suci setelah disamak, melainkan kulit anjing dan babi. Mereka berhujah dengan beberapa dalil daripada hadis, di antaranya hadis yang diriwayatkan daripada Ibnu ‘Abbas, beliau berkata yang maksudnya :

“Aku pernah mendengar Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika kulit disamak maka ia menjadi bersih.” (Hadis riwayat Muslim).

Dalam hadis yang lain, daripada ‘Aisyah Radiallahuanha yang maksudnya :

“Sesungguhnya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mengizinkan untuk menggunakan kulit-kulit bangkai jika telah disamak.” (Hadis riwayat An-Nasa’i)

Hadis di atas menunjukkan bahawa kulit bangkai binatang adalah suci setelah disamak. Kulit bangkai di sini adalah umum termasuklah juga kulit binatang buas melainkan apa yang telah disepakati akan larangannya iaitu anjing dan babi.

Adapun hujjah daripada hadis yang dikemukakan oleh Al-Awza’ie sebelum ini boleh dimaksudkan kepada kulit binatang buas yang masih berbulu, kerana pada kebiasaanya kulit binatang buas itu digunakan dalam keadaannya yang masih berbulu. Oleh itu, kulit binatang buas itu tidaklah najis, namun yang dimaksudkan dalam hadis itu ialah bulu yang ada pada kulit tersebut. Ini kerana kulit bangkai yang masih nyata berbulu tidak akan suci walaupun setelah disamak, kerana samak itu tidak akan memberi kesan kepada bulu. (Al-Majmu’, Kitab Ath-Thaharah, Bab al-A’niah : 1/277-278).

Oleh itu, kulit yang telah disamak dan suci, harus digunakan samada untuk dijadikan pakaian, tempat menyimpan barang yang basah atau kering, dijual beli dan boleh dibawa ketika sembahyang. Adapun memakan kulit bangkai yang disamak, menurut qaul qadim dan pendapat yang ashah adalah haram sama ada ia binatang ma’kul (yang boleh dimakan) atau ghair al-ma’kul (tidak boleh dimakan). (Al-Majmu’, kitab ath-Thaharah, Bab al-A’niah : 1/287).

Memandangkan kepentingan penggunaan barangan yang diperbuat daripada kulit di mana setengahnya dianggap sebagai keperluan seharian, tidak hairanlah ia menjadi sumber ekonomi bagi sesetengah pihak. Banyak barang-barang yang diperbuat daripada kulit yang boleh kita lihat di pasaran seperti kasut, beg, dompet, baju, tali pinggang dan sebagainya dengan pelbagai jenama dan kualiti yang berbeza-beza. Sudah tentu juga ia diperbuat daripada kulit binatang yang berbeza. Malahan terdapat sesetengahnya diperbuat daripada kulit yang najis iaitu kulit anjing dan babi.

Oleh itu, setiap umat Islam perlu berhati-hati dalam meilih keperluan masing-masing. Pastikan pilihan kita bukan daripada kulit yang najis itu.
1. Tujuan menyamak ialah untuk menyucikan kulit yang najis (bangkai).
2. Hukum menyamak kulit adalah harus.
3. Menyamak tidak tertentu kepada orang Islam sahaja bahkan orang kafir pun boleh menyamak asalkan ia mengikut cara yang dilakukan oleh orang Islam.
4. Hubungan menyamak kulit dengan kehidupan manusia:

Untuk menambahkan ekonomi bagi mereka yang melakukannya. Untuk mengelakkan daripada pembaziran.
5. Hanya kulit sahaja yang boleh disamak, tidak boleh pada kuku, gigi dan tulang.
6. Takrif dan pengenalan bangkai :

Binatang yang halal dimakan yang mati tidak disembelih mengikut cara-cara Islam. Binatang yang haram dimakan yang mati sama ada disembelih atau tidak, tetap ia menjadi bangkai.
7. Binatang-binatang yang mati termasuk dalam jumlah bangkai:-

Binatang yang disembelih dengan menggunakan tulang. Binatang yang disembelih oleh orang Majusi (orang yang menyembah api) Sembelihan orang-orang yang berihram (Ihram haji atau umrah)
8. Binatang yang tidak suci kulitnya walaupun disamak:
Babi
Anjing
Anak yang dilahirkan daripada perkahwinan di antara anjing dan babi
Anak yang dilahirkan daripada perkahwinan binatang yang halal dengan anjing atau babi.
9. Alat-alat yang digunakan untuk menyamak kulit iaitu sesuatu yang tajam rasanya atau kelat seperti tawas, cuka, asam, limau dan sebagainya.
10. Cara menyamak kulit binatang :

Terlebih dahulu hendaklah disiat kulit binatang daripada anggota badan binatang (setelah disembelih). Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit. Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak seperti asid dan bahan kimia sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi. Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.
11. Kulit yang disamak itu haram dimakan kerana boleh mendatangkan mudarat pada anggota badan manusia.


12. Maksud perkataan suci zahir dan batin pada menyamak kulit binatang:

Suci pada zahir itu ialah ialah sebelah luar tempat tumbuh bulu yang telah dicukur dan kulit itu melekat pada daging. Suci pada batin ialah di sebelah dalam kulit yang bermakna kulit itu dibelah maka bekas belahan itu suci.
13. Bulu-bulu binatang yang telah disamak dan terlekat pada kulit kiranya sedikit adalah dimaafkan.
14. Hubungan menyamak kulit binatang dengan ilmu-ilmu yang lain:

Pada Ilmu Muamalat kulit yang telah disamak boleh dijualbeli. Pada Ilmu Jinayat kulit yang telah disamak boleh dipotong tangan apabila dicuri. Pada Ilmu Faraid kulit yang telah disamak boleh dipusakakan
15. Kesimpulan ialah menyamak kulit binatang adalah bertujuan menyucikan kulit.

( Kitab Matlaal Badrain - Syeikh Daud Fattani )
[sunting] Perbincangan berkaitan status makanan halal

Hukum memakan ketam batu dan seumpamanya

Apa yang ditanya adalah perihal binatang dua alam. Setakat pencarian dan perolehan awal, tidak terdapat sebarang dalil yang khusus mengatakan binatang dua alam itu haram dimakan. Persoalannya, bagaimana pula hukum ini boleh keluar apatah lagi ia merupakan qaul yang masyhur dalam mazhab syafi’I sepertimana dinukilkan oleh kitab-kitab an-Nawawi; Imam Rafi’iy dan al-Ghazali. Pendapat ini juga dipegang oleh mazhab Hanbali.

Mereka yang mengatakan binatang dua alam ini haram di makan berdasarkan hadis berikut:

Dari Abdur Rahman ibnu Uthman menerangkan, “Dihadapan Rasulullah S.A.W. seorang tabib memeperagakan semacam ubat dan dia menyebutkan tentang hal katak yang dimasukkan ke dalam ubat itu. Rasulullah S.A.W. melarang kita membunuh katak itu.”[HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’I]

Hukum ke atas katak ini, kemudian diqiaskan kepada yang hidup sepertimana katak.

Sabdanya lagi, “Airnya,(iaitu laut) menyucikan dan halal bangkainya.”

Hadis di atas merujuk kepada hidupan laut. Adapun binatang dua alam ini tidak termasuk dalam keterangan di atas kerana mereka juga hidup di darat. Maka berdasarkan firman allah di bawah, mereka membuat kesimpulan bahawa dua alam itu haram di makan.

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,…..”[5:3]

Di samping itu terdapat juga beberapa hadis yang menjelaskan ayat di atas iaitu:

Rasullullah S.A.W. bersabda, “Dihalalkan untuk kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah; ikan dan belalang, hati dan limpa.”

Ulama’ mengqiaskan ikan itu kepada segala jenis hidupan laut yang hanya tinggal di dalam laut/air. Oleh itu, binatang 2 alam tidak termasuk.

Walaupun begitu, perlu kita ketahui bahawa dalam Islam, Bahawa asal setiap sesuatu ciptaan Allah adalah harus. Ia tidak diharamkan melainkan jika ada nash yang sahih lagi sharih (jelas/tegas) dari syari’ yang mengharamkannya. Jika di sana tidak ada nash yang sahih – seperti ada nash tetapi dengan hadis dha’if – atau nash berkenaan sahih tetapi tidak sharih dalam menunjukkan keharamannya, maka hal ini akan kekal atas sifat asalnya sebagai hal yang diharuskan.

Daripada Abi Darda’, Rasulullah S.A.W. bersabda, “Apa yang Allah halalkan di dalam KitabNya, maka ia adalah halal. Dan, apa yang Allah haramkan, maka ia adalah haram. Manakala apa yang didiamkan olehNya, maka ia adalah dimaafkan. Oleh itu, terimalah kemaafan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah s.a.w. membaca ayat: “Dan Tuhanmu tidak pelupa.”(Maryam: 64) (HR Al-Hakim, dan dia mensahihkannya dan dikeluarkan oleh al-Bazzar, dia berkata: Sanad yang baik).

Maka, berdasarkan dalil yang dipakai oleh mereka yang mengatakan binatang dua alam itu haram, kita dapati tidak terdapat satupun yang khusus menunjukkan ke arah keharamannya. Dalil yang paling hampir ialah mengenai katak. Tetap berdasarkan kaedah yang telah diutarakan, kalau kita menerima hadis ini menunjukkan keharaman, keharaman itu hanyalah ditujukan kepada katak. Mengqiaskannya kepada semua yang hidup dua alam itu tidak tepat. Sekiranya kita menerima pendapat haramnya binatang dua alam, mengapa pula kita boleh memakan ketam/kerang yang pada biasanya dijual di pasar-pasar dalam keadaan hidup. Bukankah itu membuktikan binatang ini mampu hidup di atas darat?

Pendapat yang kuat ialah secara umumnya, binatang dua alam itu halal. Dia didiamkan syara’. Hanya saja kita perlu ingat, bahawa Islam juga ada menggariskan satu lagi kaedah dalam mengenal pasti halal atau haramnya sesuatu binatang itu, iaitu berdasarkan kepada firman Allah S.W.T.:

“Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang terang-terangan bagi kamu.” ( Surah Al-Baqarah: 16)

“Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi; karena sesungguhnya dia itu kotor (rijs), atau binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (Surah Al-An’am: 145)

Dari ayat di atas, illat kepada keharaman bangkai, darah yang mengalir, babi adalah kotor. Berdasarkan illat ini, kita boleh mengqiaskannya kepada apa-apa binatang yang mempunyai illat yang sama dengannya iaitu kotor. Sebagai contoh, sekiranya kita melihat sesuatu binatang itu sememangnya kotor dari segi gaya hidup dan seumpamanya, maka ia menjadi haram. Walaupun begitu, kita perlu ingat, kadang-kadang uruf dari satu tempat ke satu yang lain itu berlainan. Mungkin pada masyarakat negara Malaysia, binatang itu menjijikkan, tetapi pada masyarakat berbangsa China tidak pula.

Maka, kesimpulannya, setiap apa yang dinyatakan dalam nas yang mengatakan ia haram, itulah haram. Yang tidak dikatakan haram, maka ia didiamkan syara’. Namun Islam menitikberatkan kebersihan. Tinggalkanlah sesuatu perkara yang dianggap pada dirinya jijik dan kotor. Tetapi jangan pula kita menjadi pelik jika ada orang yang memakannya di negara lain.

Hukum makan Telur penyu, tuntung dan telur buaya dan menggunakan organ dalaman binatang buas untuk membuat Ubat

1a. Buaya - menurut pandangan yang sahih bahawa adalah haram memakannya, kerana ia juga duduk didarat dan mempunyai taring, walaupun ia menghabiskan masa yang lama didalam air, akan tetapi sebab yang awal tadi mendahului hukum (binatang darat yang bertaring). Ensaiklopedia Fiqh Kuwait mengatakan bahawa buaya diharamkan oleh Mazhab Syafie dan Hanbali:

وللاستخباث في التمساح ; ولأنه يتقوى بنابه ويأكل الناس .

“Kerana kotornya buaya dan sesungguhnya ia kuat pada taringnya dan buaya memakan orang”

Sudah tentu telur buaya juga haram dimakan.

1b. Penyu - Binatang yang memang tinggal di laut dan juga yang tinggal di darat, tiada khilaf dikalangan ulama’. Akan tetapi, binatang yang hidup didalam dua alam, wujudnya khilaf dikalangan ulama’, ternasuklah penyu. Berkata Dr Abdullah Faqih :-

أجاز العلماء أكل السلحفاة لعموم قوله تعالى : (كلوا مما في الأرض حلالاً طيباً ) وقوله أيضا (وقد فصل لكم ما حرم عليكم ) وقالوا عن تذكية السلحفاة: ما يعيش في البر يذكي بلا خلاف في ذلك ، وما يعيش في البر والبحر ككلب الماء والسلحفاة فاختلفوا فيه بين من قال بالتذكية، ومن لم يقل بها ، والأولى التذكية خروجا من الخلاف .

“Ulama; membenarkan memakan penyu atas umum perintah Allah S.W.T. :- (Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik 2:16 dan juga firmannya (padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa yang diharamkanNya atas kamu 6:119) dan mereka bercakap mengenai rekomendasi penyu : apa yang hidup di darat, tidak ada perselisihan mengenainya, dan apa di bumi dan laut seperti anjing air dan penyu tersedapat khilaf dikalangan mereka, mereka yang rekomen berkata : sesiapa yang tidak mempercayainya, dicadangkan mula-mula sekali keluar dari perselisihan”

Ibn Qudamah rh. didalam al-Mughni mengatakan bahawa penyu boleh dimakan sekiranya disembelih. Katanya :

كل ما يعيش في البر من دواب البحر , لا يحل بغير ذكاة , كطير الماء , والسلحفاة , وكلب الماء , إلا ما لا دم فيه , كالسرطان , فإنه يباح بغير ذكاة .

“Semua yang hidup didarat dari kalangan binatang laut, tidak halal tanpa disembelih, sebagaimana burung laut, penyu, anjing laut, melainkan ia tidak berdarah seperti ketam dihalalkan tanpa sembelih”

Dikalangan ulama’ yang berpegang kepada pandangan ini membenarkan memakan telur penyu.

2. Mengenai berubat dengan menggunakan barangan haram, disini saya mengambil petikan pandangan Syiekh Dr Yusuf al-Qaradhawi, didalam bab (ضرورة الدواء) dalurat kerana berubat, didalam buku halal dan haram (ms 49-50) (terjemahan Ustaz Zainys, al-ahkam) :-

وأما ضرورة الدواء -بأن يتوقف برؤه على تناول شيء من هذه المحرمات- فقد اختلف في اعتبارها الفقهاء.. فمنهم من لم يعتبر التداوي ضرورة قاهرة كالغذاء، واستند كذلك إلى حديث “إن الله لم يجعل شفائكم فيما حرم عليكم”. ومنهم من اعتبر هذه الضرورة وجعل الدواء كالغذاء، فكلاهما لازم للحياة في أصلها أو دوامها، وقد استدل هذا الفريق -على إباحة هذه المحرمات للتداوي- بأن النبي صلى الله عليه وسلم رخص في لبس الحرير لعبد الرحمن بن عوف والزبير بن العوام رضي الله عنهما لحكة -جرب- كانت بهما. مع نهيه عن لبس الحرير، ووعيده عليه. وربما كان هذا القول أقرب إلى روح الإسلام الذي يحافظ على الحياة الإنسانية في كل تشريعاته ووصاياه. ولكن الرخصة في تناول الدواء المشتمل على محرم مشروطة بشروط: أن يكون هناك خطر حقيقي على صحة الإنسان إذا لم يتناول هذا الدواء. ألا يوجد دواء غيره من الحلال يقوم مقامه أو يغني عنه. أن يصف ذلك طبيب مسلم ثقة في خبرته وفي دينه معا. على أنا نقول مما نعرفه من الواقع التطبيقي، ومن تقرير ثقات الأطباء: أن لا ضرورة طبية تحتم تناول شيء من هذه المحرمات -كدواء- ولكننا نقرر المبدأ احتياطا لمسلم قد يكون في مكان لا يوجد فيه إلا هذه المحرمات.

“Darurat kerana berubat ialah, kesembuhan suatu penyakit bergantung kepada makanan yang diharamkan. Mengenai hal ini, para fuqahak telah berselisih pendapat mengenainya. Sebahagian mereka tidak menganggap berubat dalam keadaan ini sebagai darurat yang memaksa sebagaimana dalam masalah makan. Pendapat ini bersandarkan kepada Hadis:

Ertinya: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu.” (Riwayat Bukhari)

Sebahagian fuqahak pula mengatakan bahawa ia dapat digolongkan di dalam keadaan darurat. Mereka menganggap masalah memakan ubat sama seperti masalah makan (boleh makan yang diharamkan ketika darurat). Dalil golongan yang membolehkan memakan yang haram kerana berubat ialah, Nabi Muhamad s.a.w. pernah memberi rukhsah (keringanan) memakai sutera kepada Abdul Rahman bin Auf dan al-Zubair bin al-Awam r.a. Ini disebabkan penyakit yang menimpa mereka berdua, sedangkan pemakaian sutera adalah dilarang dan pemakainya diancam.

Barangkali inilah pendapat yang lebih hampir kepada roh Islam yang bersifat sentiasa melindungi kehidupan manusia. Sifat ini boleh kita perolehi di dalam setiap pensyariatan dan pesan-pesannya.

Namun, rukhsah (keringanan) memakan ubat yang mengandungi bahan yang diharamkan ada beberapa syaratnya, iaitu:
Dapat benar-benar membahayakan kesihatan jika tidak memakan ubat berkenaan.
Tidak terdapat ubat lain yang halal sebagai penggantinya.
Hal ini disahkan oleh doktor yang dapat dipercayai dari sudut kepakaran dan agamanya.

Dapat kami katakan dari apa yang kami ketahui berdasarkan kepada kenyataan yang berlaku dan bersandarkan kepada kenyataan doktor-doktor yang dapat dipercayai: Bahawa tidak ada darurat perubatan yang sampai ke peringkat terpaksa memakan sesuatu yang diharamkan sebagai ubat. Cuma, kami di sini hanya menetapkan prinsipnya sahaja sebagai langkah berjaga-jaga (ihthiati) kepada orang Islam yang kadangkala berada di suatu situasi di mana tidak ada apa-apa melainkan yang diharamkan sahaja. ” -[tamat petikan].
[sunting] Rujukan
Markas Dr Abdullah Faqih. حكم أكل السلحفاة. url: http://www.islamonline.net/fatwa/arabic/FatwaDisplay.asp?hFatwaID=71513
Syiekh Dr Yusuf al-Qaradhawi. al-Halal wa al-Haram fi Islam. cet. 27. Kaherah : Maktabah Wahbah, 2002.
Syiekh Dr Yusuf al-Qaradhawi. al-Halal wa al-Haram fi Islam. terjemahan Ustaz Zain. URL : http://al-ahkam.net/forum2/viewtopic.php?t=7098
Fiqh & Perundangan Islam. Dr Wahbah Al-Zuhaily.
Koleksi Hadis-hadis Hukum. TM Hasbi.
Al-Halal wal-Haram fi Islam. Dr Yusuf Al-Qaradhawi.
Makan telur penyu dan buaya? April 21, 2007 — Mohd Masri.



PENGERTIAN NAJIS





* Dari segi bahasa, najis bererti benda kotor seperti darah, air kencing dan tahi.

* Dari segi syara`, najis bermaksud segala kekotoran yang menghalang sahnya solat.









PEMBAHAGIAN NAJIS





* Najis dari segi ‘ainnya terbahagi kepada dua:







1. Najis haqiqiyy, iaitu benda kotor sama ada beku atau cair dan sama ada dapat dilihat atau tidak. Ia terbahagi kepada tiga:





i. Mughallazah (berat), iaitu anjing, khinzir dan yang lahir daripada kedua-duanya atau salah satunya.





ii. Mukhaffafah (ringan), iaitu air kencing kanak-kanak lelaki yang tidak makan selain menyusu dan belum mencapai umur dua tahun.





iii. Mutawassitah (pertengahan), iaitu selain dari dua jenis di atas seperti darah, nanah, tahi dan sebagainya.





Semua bangkai binatang adalah najis kecuali ikan dan belalang. Kulit bangkai binatang menjadi suci apabila disamak kecuali kulit khinzir, anjing dan yang lahir daripada kedua-duanya atau salah satunya.





2. Najis hukmiyy, iaitu kekotoran yang ada pada bahagian tubuh badan iaitu hadath kecil yang dapat dihilangkan dengan berwudhu’ dan hadath besar (janabah) yang dapat dihilangkan dengan mandi, atau tayammum apabila ketiadaan air atau uzur daripada menggunakan air.





NAJIS YANG DIMAAFKAN





Tiada sebarang najis yang dimaafkan. Walaupun begitu, syara` memberi kemaafan terhadap kadar benda najis yang sedikit yang sulit untuk dielakkan, begitu juga untuk memudahkan dan bertolak ansur kepada umatnya. Oleh yang demikian, najis-najis berikut adalah dimaafkan:





1. Najis yang tidak dapat dilihat oleh pandangan sederhana seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing.





2. Darah jerawat, darah bisul, darah kudis atau kurap dan nanah.





3. Darah binatang yang tidak mengalir darahnya seperti kutu, nyamuk, agas dan pijat.





4. Tempat berbekam, najis lalat, kencing tidak lawas, darah istihadhah, air kurap atau kudis.







CARA MENYUCI NAJIS





* Cara menghilangkan najis ialah dengan beristinja’, membasuh dan menyamak.

* Cara menyucikan najis haqiqiyy pula adalah seperti berikut:







1. Najis mughallazah (berat)





Hendaklah dihilangkan ‘ain najis itu terlebih dahulu, kemudian barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu daripadanya bercampur dengan tanah sehingga hilang sifatnya (warna, bau dan rasa).





2. Najis mutawassitah (pertengahan)





Hendaklah dihilangkan ‘ain najis itu terlebih dahulu, kemudian barulah dibasuh tempat kena najis dengan air sehingga hilang sifatnya (warna, bau dan rasa).





3. Najis mukhaffafah (ringan)





Hendaklah dihilangkan `ain najis itu terlebih dahulu, kemudian cukup sekadar direnjiskan atau dialirkan air ke atasnya.





· Untuk menyucikan najis hukmiyy iaitu yang tiada warna, bau dan rasa ialah dengan mengalirkan air ke atas tempat yang terkena najis tersebut.







Bab 5: Menyamak Kulit

Tuesday, April 15, 2008 11:30 PM



1. Tujuan menyamak ialah untuk menyucikan kulit yang najis (bangkai).





2. Hukum menyamak kulit adalah harus.





3. Menyamak tidak tertentu kepada orang Islam sahaja bahkan orang kafir pun boleh menyamak asalkan ia mengikut cara yang dilakukan oleh orang Islam.





4. Hubungan menyamak kulit dengan kehidupan manusia:





* Untuk menambahkan ekonomi bagi mereka yang melakukannya.

* Untuk mengelakkan daripada pembaziran.







5. Hanya kulit sahaja yang boleh disamak, tidak boleh pada kuku, gigi dan tulang.





6. Takrif dan pengenalan bangkai :





* Binatang yang halal dimakan yang mati tidak disembelih mengikut cara-cara Islam.

* Binatang yang haram dimakan yang mati sama ada disembelih atau tidak, tetap ia menjadi bangkai.







7. Binatang-binatang yang mati termasuk dalam jumlah bangkai:-





* Binatang yang disembelih dengan menggunakan tulang.

* Binatang yang disembelih oleh orang Majusi (orang yang menyembah api)

* Sembelihan orang-orang yang berihram (Ihram haji atau umrah)







8. Binatang yang tidak suci kulitnya walaupun disamak:





* Babi

* Anjing

* Anak yang dilahirkan daripada perkahwinan di antara anjing dan babi

* Anak yang dilahirkan daripada perkahwinan binatang yang halal dengan anjing atau babi.







9. Alat-alat yang digunakan untuk menyamak kulit iaitu sesuatu yang tajam rasanya atau kelat seperti tawas, cuka, asam, limau dan sebagainya.





10. Cara menyamak kulit binatang :





* Terlebih dahulu hendaklah disiat kulit binatang daripada anggota badan binatang (setelah disembelih)

* Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit.

* Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi.

* Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.







11. Kulit yang disamak itu haram dimakan kerna boleh mendatangkan mudarat pada anggota badan manusia.







12. Maksud perkataan suci zahir dan batin pada menyamak kulit binatang:





* Suci pada zahir itu ialah ialah sebelah luar tempat tumbuh bulu yang telah dicukur dan kulit itu melekat pada daging.

* Suci pada batin ialah di sebelah dalam kulit yang bermakna kulit itu dibelah maka bekas belahan itu suci.







13. Bulu-bulu binatang yang telah disamak dan terlekat pada kulit kiranya sedikit adalah dimaafkan.





14. Hubungan menyamak kulit binatang dengan ilmu-ilmu yang lain:





* Pada Ilmu Muamalat kulit yang telah disamak boleh dijualbeli.

* Pada Ilmu Jinayat kulit yang telah disamak boleh dipotong tangan apabila dicuri.

* Pada Ilmu Faraid kulit yang telah disamak boleh dipusakakan







15. Kesimpulan ialah menyamak kulit binatang adalah bertujuan menyucikan kulit.



( Kitab Matlaal Badrain - Syeikh Daud Fattani )

Bab 4 : Bijana Emas dan Perak

Tuesday, April 15, 2008 11:27 PM

1. Bijana bermaksud alat perkakas kegunaan kita setiap hari seperti pinggan, mangkuk, gelas, sudu, pisau dan lain-lain lagi .



2. Penggunaan bijana daripada emas dan perak hukumnya adalah haram.





3. Sebab dihukumkan haram adalah :





* kerana tegahan - Sebagaimana Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:



“ Jangan kamu minum pada segala bijana emas dan perak dan

janganlah kamu makan pada semua pinggannya “.

( Riwayat Al-Hakim ).



* kerana akan menjadi beku tidak dapat menambah atau mengembangkan ekonomi.

* kerana boleh menimbulkan rasa kecil hati dari kalangan fakir miskin.







4. Haram menggunakan bijana emas dan perak seperti pencelak mata bekas celak, sikat dan lain-lain.





5. Haram seseorang itu mengupah dan mengambil upah membuat sesuatu bijana daripada emas dan perak. Dan tidak wajib ganti apabila memecahkan alat permainan yang diperbuat daripada emas dan perak.





6. Hukum menyimpan bijana emas dan perak hukumnya adalah haram begitu juga hukum menyadurkan bijana besi atau tembaga dengan emas atau perak juga adalah haram.





7. Bijana emas dan perak yang disadurkan dengan tembaga atau sebagainya tidak haram.





8. Hukum bijana yang ditimpal dengan perak:-





* Jika besar tampalannya pada kebiasaan kerana perhiasan hukumnya adalah haram.

* Jika besar tampalannya pada kebiasaan kerana hajat atau keperluan hukumnya harus beserta makruh.

* Jika kecil tampalannya pada kebiasaannya kerana perhiasan hukumnya makruh.

* Jika kecil tampalannya kerana hajat hukumnya tidak makruh.







9. Hukum menampal bijana dengan emas hukumnya adalah haram.





10. Makanan atau minuman yang ada di dalam bijana emas atau perak hukumnya adalah halal di makan atau diminum kalau ia bukan daripada makanan yang haram, yang diharamkan hanyalah menggunakan bijana-bijana tersebut.





11. Dihukumkan haram menggunakan bijana itu adalah terhadap ke semua manusia sama ada lelaki atau perempuan.





12. Bersuci dengan menggunakan bijana emas atau perak itu hukumnya adalah sah.



Rujukan: (Kitab Matlaal Badrain – Syeikh Daud Fattani)

(Kitab Fiqh Syafi’I – Al-Ustaz Hj. Idris Ahmad S.H)

Bab 3 : Bersugi (Bersiwak)

Tuesday, April 15, 2008 11:24 PM



1. Bersugi atau bersiwak adalah suatu perbuatan bagi membersihkan mulut dan gigi.





2. Bersugi hukumnya adalah sunat dan masanya ialah bila-bila masa tetapi masa yang paling dituntut ialah setelah bangun dari tidur, ketika hendak mendirikan sembahyang , ketika hendak membaca Al-Quraan dan ketika berubah bau mulut.





3. Dihukumkan makruh bersugi apabila telah gelincir matahari ( masuk waktu Zohor ) bagi orang yang berpuasa , sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :









“ Dari Abu Hurairah r.a.h. dari Nabi s.a.w. sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu disisi Allah s.w.t. itu lebih harum daripada kasturi “.

( Riwayat Muslim )





- Pada pendapat Imam Nawawi r.a.h bahawa tidak makruh bersugi bagi orang yang berpuasa sama ada telah gelincir matahari atau belum gelincir matahari.









4. Alat untuk bersugi ialah tiap-tiap sesuatu yang suci dan kesat seperti berus gigi , kayu arak ( siwak ) , rotan manggar kelapa dan lain-lain.





5. Hadith Rasulullah s.a.w. tentang bersugi :









1) Dari Aisyah r.a.h. “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda bersugi itu membersihkan mulut dan mendapat redha dari Tuhannya “.

( Riwayat Baihaqi )





2) Dari Abu Hurairah r.a.h. dari Nabi s.a.w. telah bersabda :

“ Kalau tidaklah akan menyusahkan umatku akan aku suruh

mereka bersugi pada tiap-tiap waktu ketika berwuduk “.

( Riwayat Ahmad )









6. Cara perlaksanaan bersugi hendaklah dengan tangan kanan dan dimulakan dengan sebelah kanan mulut dan terus dilakukan atas langit-langit mulut dengan perlahan-lahan serta ke atas gusi dan gigi.









7. Di antara kelebihan bersugi ialah :



1) Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :





“ Dua rakaat sembahyang dengan bersugi itu terlebih

baik pahalanya daripada tujuh puluh rakaat sembahyang

dengan tidak bersugi “.

( Riwayat Muslim )



2) Dapat menambahkan akal.

3) Dapat mencerahkan mata.

4) Melambatkan tumbuh uban .

5) Dapat menggandakan pahala.

6) Dapat mengucapkan Syahadah tatkala hampir ajal .









7. Sekiranya tidak dapat bersugi pada tiap-tiap waktu yang dituntuti hendaklah ia bersugi sekali dalam sehari.





8. Di antara sebab-sebab sembahyang orang yang bersugi itu lebih afdhal dan lebih besar fadhilatnya kerana ia akan mendatangkan lebih khusyuk sembahyangnya serta dapat memelihara pergaulan yang baik di dalam jemaahnya semasa sembahyang dengan bau mulut yang bersih dan harum serta cahaya gigi yang segar .







( Rujukan Kitab - Kitab Matla’al Badraian – Syeikh Daud Fattani )

Bab 2 : Pembahagian jenis Air

Tuesday, April 15, 2008 11:21 PM

Air dari segi hukum terbahagi kepada tiga jenis, Iaitu:



1. Air yang suci dan boleh menyucikan benda lain. Ia terbahagi kepada dua:





a) Air Mutlaq:





* Air yang suci lagi menyucikan ialah air mutlaq yang kekal dengan sifat asal kejadiannya yang telah dijadikan oleh Allah s.w.t.

* Air tersebut masih dikatakan air mutlaq walaupun ia sudah berubah disebabkan lama terbiar , disebabkan tanah, lumut dan tempat bertakung atau tempat mengalirnya mengandungi belerang . Hal ini kerana air itu sukar untuk dielakkan daripada perkara tersebut .

* Dalil yang menunjukkan kesucian air mutlaq, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :



"Daripada Abu Hurairah r.a.h. katanya , seorang Badwi berdiri lalu terkencing di dalam masjid, kemudian para sahabat pergi mencegahnya . Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda, biarkan dia dan curahkanlah di atas air kencingnya setimba air . Sesungguhnya kamu disuruh untuk mempermudahkan bukan menyusahkan" .

* Perintah Rasulullah s.a.w. supaya menjiruskan air ke tempat air kencing tersebut adalah dalil yang menunjukkan bahawa air tersebut mempunyai sifat menyucikan.







b) Air Musyammas:





* iaitu air yang suci lagi menyucikan tetapi makruh menggunakannya.

* Air yang suci lagi menyucikan yang lain tetapi makruh digunakan pada tubuh badan tidak pada pakaian.

* Air Musyammas bermaksud air yang panas yang terdedah kepada cahaya matahari iaitu pada negeri-negeri yang beriklim panas yang mana ia boleh mendatangkan karat seperti besi, tin dan lain-lain yang mana ia memberi mudharat apabila terkena kulit atau tubuih badan menyebabkan ianya sopak, kusta dan sebagainya. Sebagaimana Sabda Rasullah s.a.w. yang bermaksud :-



"Dari Aisyah sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari maka telah bersabda Rasullah s.a.w kepadanya janganlah engkau berbuat demikian wahai Aisyah sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak." (Riwayat Baihaqi)







2. Air yang suci tetapi tidak boleh menyucikan benda lain. Ia terbahagi kepada dua:





a) Air Musta'amal:





Iaitu air yang suci pada dirinya tetapi tidak menyucikan yang lain yang mana maksudnya dengan perkataan air itu boleh diminum tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu.





* Yang dikatakan air Musta'amal pada mengangkatkan hadas ialah basuh kali yang pertama pada mandi atau wudhu' yang wajib dan sudah bercerai daripada anggota.

* Yang dikatakan air Musta'amal pada menghilangkan najis iaitu jika air itu tidak berubah dan tidak bertambah.

* Air daripada pokok-pokok dan air buah-buahan seperti daripada pucuk kelapa yang dibuat nira atau akar-akar kayu.







Air yang berubah ada dua cara :-





* Berubah dengan Taqdiri - Air yang berubah dengan Taqdiri iaitu air yang berubah hanya pada Taqdir sahaja yang tidak dapat dilihat akan perubahannya.

* Berubah dengan Hissi - Air yang berubah pada Hissi iaitu berubah air itu dengan sesuatu yang dapat dilihat akan perubahannya.







- Cara mentaqdirkan hukum air yang bercampur dengan sesuatu yang sama rupanya dengan seperti air mawar yang telah hilang bau, rasa dan warnanya.





- pada bau hendaklah ditaqdirkan dengan bau kemenyan Arab.

- pada rasa hendaklah ditaqdirkan dengan rasa delima.

- pada warna hendaklah ditaqdirkan dengan warna anggur.





Jika berubah dengan taqdir ini maka hukumnya air musta'amal dan jika tidak berubah dengan taqdir ini maka hukumnya air mutlak.





Air yang bercampur itu ada dua cara :-





* Majawir

Bercampur dengan cara Mujawir iaitu air yang berubah dengan sebab termasuk di dalamnya dengan sesuatu yang dapat dipisahkan daripada air, contohnya sebuah baldi yang penuh dengan air termasuk di dalamnya sebatang kayu cendana dan kayu itu boleh dipisahkan daripada air tersebut, maka hukum air itu ialah air mutlak.

* Mukhalit

Bercampur dengan cara Mukhalit iaitu benda yang masuk ke dalam air itu tidak dapat dipisahkan daripada air, contohnya sebuah baldi yang penuh dengan air maka termasuk ke dalamnya nila maka dihukumnya air Musta'amal.







b) Air Muqayyad:





* Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci yang mengubah salah satu sifatnya (warna, rasa dan bau) menyebabkan ia tidak dipanggil air mutlaq lagi seperti air yang dicampur dengan madu, sirap dan lain-lain.







3. Air yang najis atau mutanajjis, iaitu air yang terkena benda najis. Ia terbahagi kepada dua:







a) Air yang sukatannya kurang dari dua kolah dan terkena benda najis kecuali yang dimaafkan, sama ada berubah sifat (warna, rasa dan bau) atau tidak.





b) Air yang sukatannya lebih dari dua kolah dan berubah sifat (warna, rasa dan bau) sama ada perubahan itu sedikit atau banyak.





* Ukuran air dua kolah itu ialah sebagai berikut :-

1. Kalau dikira dengan tin minyak tanah, maka air dua kolah itu adalah sebanyak 9 2/3 tin

2. Kalau dikira dengan timbangan, maka berat air dua kolah itu adalah seberat 162.72 kg.

3. Kalau dikira dengan ukuran tempat empat persegi, maka air dua kolah itu memerlukan tempat yang berukuran 60 x 60 cm.









Bab 1 : Taharah / Bersuci

Tuesday, April 15, 2008 11:08 PM

1. Definisi :



i) Dari segi bahasa : Suci dan bersih

ii) Dari segi istilah syarak : Suci dan bersih daripada najis atau hadas.





2. Taharah ialah anak kunci dan syarat sah salat.





3. Hukum taharah ialah WAJIB di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan.





4. Dalil naqli tentang suruhan bersuci adalah sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam Surah al-Anfal, ayat 11 yang bermaksud :





" Dan (ingatlah ketika) Dia menurunkan kepada kamu hujan daripada langit untuk mensucikan kamu dengannya... "





Rasulullah s.a.w. pernah bersabda yang bermaksud :





" Agama islam itu diasaskan di atas kebersihan "





5. Tujuan taharah ialah bagi membolehkan seseorang itu menunaikan solat dan ibadah-ibadah yang lain.





6. Hikmah disuruh melakukan taharah ialah kerana semua ibadah khusus yang kita lakukan itu adalah perbuatan mengadap dan menyembah Allah Ta'ala. Oleh itu untuk melakukannya, maka wajiblah berada di dalam keadaan suci sebagai mengagungkan kebesaran Allah s.w.t. .





7. Faedah melakukan taharah ialah supaya badan menjadi bersih, sihat dan terjauh daripada penyakit serta mendatangkan kegembiraan kepada orang yang melaksanakannya.





8. Syarat wajib taharah ialah :





* Islam

* Berakal

* Baligh

* Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat fardhu ).

* Tidak lupa

* Tidak dipaksa

* Berhenti darah haid dan nifas

* Ada air atau debu tanah yang suci.

* Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.







9. Taharah adalah sebagai bukti bahawa Islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian.





10. Ahli fiqh bersepakat mengatakan harus bersuci dengan air yang suci (mutlaq) sebagaimana firman Allah:









Maksudnya :

"Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa khabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih "





11. Selain itu, harus menggunakan kertas atau batu ketika beristinja' dan tanah atau debu tanah sebagai ganti air bagi mengharuskan solat yang dikenali sebagai tayammum.





12. Jelasnya, alat–alat untuk bersuci itu ialah:





* Air mutlaq, iaitu air semata-mata tanpa disertakan dengan sesuatu tambahan atau sesuatu sifat. Air mutlaq ini terbahagi kepada beberapa bahagian:

o Air yang turun daripada langit. Ia terbahagi kepada tiga, iaitu air hujan, air salji yang menjadi cair dan air embun.

o Air yang terbit daripada bumi. Ia terbahagi kepada empat, iaitu air yang terbit daripada mata air, air perigi, air sungai dan air laut.

* Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu dan tidak bercampur dengan sesuatu. Firman Allah:

















“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”

(Surah Al-Nisa’, 4:43)





3. Samak, iaitu membuang bahan-bahan lebihan yang melekat pada kulit dan yang merosakkannya sekira-kira jika direndam atau dibasuh dengan air sesudah disamak, maka kulit itu tetap tidak busuk atau rosak.





4. Takhallul, iaitu arak bertukar menjadi cuka tanpa dimasukkan sesuatu bahan ke dalamnya.





Rujukan Kitab :





1) Kitab Mattlaal Badrain oleh Syeikh Muhammad bin Daud Al-Fatani

2) Ringkasan Ibadah oleh Ibnu Rahmat .

3) Kitab Minhajul Muslim oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi .

4) Fiqh Syafii oleh Hj.Idris Ahmad S.H.





Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger