Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

PRIORITAS WALA' (LOYALITAS) KEPADA UMAT ATAS WALA' TERHADAP KABILAH DAN INDIVIDU

Sabtu, 09 Februari 20130 komentar


 MAKNA ungkapan tersebut ditegaskan dalam al-Qur'an dan  Sunnah
Nabi  saw  yang  menganjurkan  kepada  kita untuk mendahulukan
wala'  kepada  jamaah,  serta  memberikan   ikatan   emosional
terhadap  umat,  daripada memberikan wala' kepada kelompok dan
keluarga. Sesungguhnya dalam Islam tidak  ada  individualisme,
fanatisme kelompok, dan pemisahan dari jamaah Islam.
 
Dahulu  konsep kabilah/kelompok/suku pada masyarakat jahiliyah
merupakan dasar loyalitas dan  poros  pemberian  Perlindungan.
Wala'  yang  diberikan  oleh seseorang kepada kabilahnya harus
diberikan pada  saat  kabilahnya  melakukan  kebenaran  maupun
kesalahan; sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:
 
Mereka  tidak  bertanya  terlebih dahulu kepada saudara mereka
ketika mereka jatuh ke dalam  suatu  perkara,  dan  menjadikan
jawabannya sebagai bukti.
 
Motto   setiap   orang  di  antara  mereka  ialah:  "Tolonglah
saudaramu, baik dia zhalim atau dizhalimi,"  yang  benar-benar
mereka laksanakan.
 
Setelah  datang  Islam,  maka Islam menetapkan bahwa pembelaan
itu hanya milik Allah, RasulNya, dan kaum Muslimin, yakni Umat
Islam. Allah SWT berfirman:
 
   "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya,
   dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
   menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
   Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan
   orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
   sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti
   menang." (al-Ma'idah: 55-56)
 
Mereka kemudian dididik oleh al-Qur'an  dan  sunnah  Nabi  saw
untuk  menjadi  saksi  keadilan  bagi Allah, dengan melepaskan
ikatan emosional dan cinta kepada sanak kerabat,  serta  tidak
didasarkan  kepada  kebencian  kepada musuh-musuhnya. Keadilan
harus diletakkan di atas emosi  dan  ditujukan  kepada  Allah,
sehingga seseorang tidak melakukan pemihakan kepada orang yang
dicintai olehnya dan merugikan orang  yang  tidak  dia  sukai.
Allah SWT berfirman:
 
   "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
   benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
   biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
   Muslimin kerabatmu. . ." (an-Nisa': 135)
   
   "Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
   orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
   Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
   sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong
   kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena
   adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
   kepada Allah..." (al-Ma'idah: 8)
 
Rasulullah  saw  memakai   sebagian   ungkapan   yang   pernah
dipergunakan  pada  zaman  Jahiliyah, dan memberi muatan makna
yang baru pada ungkapan itu, yang belum pernah dilakukan  oleh
seseorang  sebelumnya.  Rasulullah  saw  bersabda,  "Tolonglah
saudara,  baik  dia  zhalim  atau  dizhalimi."  Para   sahabat
kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, kita boleh menolong kalau
dia  dizhalimi,  lalu  bagaimana   mungkin   kami   memberikan
pertolongan   kalau   dia   berlaku  zhalim?"  Rasulullah  saw
bersabda, "Cegahlah  dia  untuk  tidak  melakukan  kezhaliman,
karena  sesungguhaya hal itu merupakan pertolongan baginya."25
Dengan cara seperti  itu  benarlah  konsep  pemberian  bantuan
terhadap orang yang zhalim, sehingga yang perlu ditolong ialah
hawa  nafsunya,  menyingkirkan  setannya,   dan   kita   perlu
menggandeng  tangannya  sehingga  dia  tidak  jatuh  ke jurang
kezhaliman, yang menjadi malapetaka di dunia dan kegelapan  di
akhirat kelak.
 
Di samping itu, Rasulullah saw juga memperingatkan kepada kita
agar tidak menganjurkan fanatisme, atau  melakukan  peperangan
di  bawah  panji fanatisme. Barangsiapa yang terbunuh di bawah
bendera   fanatisme   itu,   dia   dianggap   terbunuh   dalam
kejahiliyahan.
 
Dalam   sebuah  hadits  shahih  diriwayatkan  bahwa  Nabi  saw
bersabda,
 
   "Barangsiapa terbunuh di bawah bendera kebutaan (perkara
   yang tidak jelas hukumnya), menganjurkan fanatisme, dan
   mendukung fanatisme, maka dia mati dalam
   kejahiliyahan."26
 
Dalam hadits yang lain disebutkan,
 
   "Barangsiapa memisahkan diri dari ketaatan dan
   meninggalkan jamaah, kemudian dia meninggal dunia, maka
   dia mati dalam kejahiliyahan. Dan barangsiapa berperang
   di bawah bendera kebutaan, marah karena rasa fanatik,
   atau menganjurkan orang untuk fanatik, dan mendukung
   fanatisme, kemudian dia terbunuh, maka dia terbunuh
   dalam keadaan jahiliyah."27
 
Dalam  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan   oleh   Abu   Dawud
dikatakan,   "Tidak   termasuk   golongan   kami   orang  yang
menganjurkan fanatisme, dan juga tidak termasuk golongan  kami
orang yang berperang karena fanatisme, dan juga tidak termasuk
golongan kami orang yang meninggal dunia dalam fanatisme."28
 
   "Diriwayatkan dari Watsilah bin al-Asqa', aku berkata,
   "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan
   fanatisme itu?" Beliau menjawab, "Memberikan
   pertolongan kepada kaummu yang melalaikan kezhaliman."
   79
 
Ibn Mas'ud meriwayatkan secara mauquf dan marfu',
 
   "Barangsiapa menolong kaumnya yang melakukan sesuatu
   yang tidak benar, maka dia bagaikan keledai yang
   digantung, dengan ikatan pada ekornya." 30
 
Imam al-Khattabi berkata, "Artinya, orang itu telah  jatuh  ke
dalam  dosa  dan  hancur, sebagaimana keledai yang terjatuh ke
dalam perigi kemudian ia diambil dengan ditarik ekornya,  yang
akhirnya tidak dapat diselamatkan."
 
Nabi  saw sangat membenci fanatisme dan berlepas diri darinya,
orang-orang yang menganjurkannya, orang-orang  yang  berperang
karenanya,  dan  orang yang meninggal dunia karena membelanya.
Beliau menganjurkan hidup berjamaah, dan menegaskannya  dengan
sabda,  perbuatan,  dan  ketetapannya. Dia memperingatkan agar
orang tidak memisahkan diri darinya, berselisih pendapat,  dan
menyimpang dari jamaah tersebut. Di antara sabda Nabi saw yang
berkaitan dengan perkara ini ialah:
 
   "Tangan Allah berada di atas jamaah." 31
   
   "Berjamaah itu adalah rahmat, dan berpecah-belah adalah
   azab." 32
 
Dalam lafaz yang lain disebutkan,
 
   "Berjamaah itu adalah berkah dan berpecah-belah adalah
   azab."33
   
   "Hendaklah kamu hidup berjamaah, dan janganlah kamu
   hidup berpecah-belah, karena sesungguhnya setan akan
   bersama orang yang sendirian, dan dia akan berada lebih
   jauh dari dua orang. Barangsiapa yang ingin merasakan
   hembusan angin surga, maka hendaklah dia melazimkan
   hidup berjamaah."34
 
MENANAMKAN SEMANGAT BERJAMAAH TERHADAP UMAT
 
Ketika kita berbicara  tentang  pemberian  wala'  kepada  kaum
Muslimin,  umat  Islam,  ada  baiknya kita juga melanjutkannya
dengan pembicaraan yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan
umat,   pemberian  prioritas  dalam  tangga  kemaslahatan  dan
tuntutannya.
 
Kalau kita mau memperhatikan, maka sesungguhnya syari'ah Islam
ini  sama sekali tidak melalaikan urusan masyarakat, dari segi
ibadah,  muamalah,  sopan  santun,  dan  segala   hukum   yang
berkaitan dengannya.
 
Semua  aturan  itu  tidak  lain adalah untuk menyiapkan setiap
individu agar menjadi 'bagian' dalam bangunan masyarakat, atau
'anggota tubuh' dalam struktur badan yang hidup.
 
Penggambaran  seorang  individu  yang  menjadi  'bagian'  dari
bangunan, atau 'anggota tubuh' dalam badan  manusia,  bukanlah
berasal  dari  pemikiran  saya.  Tetapi  gambaran  yang pernah
dikemukakan oleh Nabi saw dalam sebuah hadits yang shahih.
 
Diriwayatkan dari Abu  Musa  al-Asy'ari  bahwasanya  Nabi  saw
bersabda,
 
   "Orang mukmin dengan mukmin yang lainnya bagaikan satu
   bangunan yang saling menguatkan antara satu bagian
   dengan bagian yang lainnya." 35
 
Dari  Nu'man  bin  Basyir  diriwayatkan  bahwasanya  Nabi  saw
bersabda,
 
   "Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta dan kasih
   sayang mereka adalah bagaikan sebuah tubuh. Apabila ada
   salah satu anggota tubuhnya yang mengadu kesakitan, maka
   anggota tubuh yang lainnya ikut merasakannya, tidak
   dapat tidur dan merasa demam." 36
 
Sesungguhnya Islam, dengan al-Quran dan Sunnah Nabinya,  telah
menanamkan  dalam  jiwa  kaum  Muslimin  semangat  untuk hidup
berjamaah melalui setiap hukum dan ajarannya.
 
Dalam shalat, kita dianjurkan shalat berjamaah, shalat  Jumat,
shalat  Id.  Ada  adzan  dan  ada masjid-masjid yang dibangun.
Rasulullah tidak memberikan keringanan kepada orang buta untuk
shalat   di  rumahnya  selama  dia  masih  dapat  mendengarkan
panggilan adzan untuk melakukan shalat. Beliau  bahkan  pernah
hendak  membakar  rumah  suatu  kaum  Muslimin,  karena mereka
meninggalkan shalat berjamaah.
 
Di masjid, seorang Muslim  tidak  boleh  shalat  sendirian  di
belakang  barisan  orang  yang sedang shalat berjamaah, karena
hal itu menunjukkan bentuk  pemisahan  diri  dan  penyimpangan
dari jamaah; walaupun itu hanya bentuk yang tampak saja.
 
Diriwayatkan  dari Wabishah bin Mu'abbad bahwasanya Rasulullah
saw melihat seorang lelaki shalat sendiri di belakang  barisan
orang   yang   sedang   shalat   berjamaah,   kemudian  beliau
memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. 37
 
Diriwayatkan dari Ali bin Syaiban r.a. berkata,  "Kami  keluar
sehingga   kami   berjumpa   dengan  Nabi  saw  kemudian  kamj
menyatakan janji setia kepadanya. Kami shalat di  belakangnya,
kemudian kami shalat di belakangnya shalat yang lain. Kemudian
shalat itu selesai. Setelah itu beliau melihat seorang  lelaki
shalat  sendirian  di  belakang barisan. Lalu Nabi saw berdiri
ketika beliau  hendak  kembali  sambil  bersabda,    "Betulkan
shalatmu,  karena  sesungguhnya  tidak  ada shalat di belakang
barisan." 38
 
Oleh sebab itu, orang Muslim yang masuk masjid,  kemudian  dia
menemukan  ada suatu jamaah yang sedang melakukan shalat, maka
hendaklah  dia  mencari  celah-celah  di  antara  jamaah   itu
kemudian dia masuk ke dalamnya. Jika tidak ada, maka hendaklah
dia menarik salah seorang di antara  mereka  untuk  shalat  di
sampingnya.  Dia  tidak boleh shalat sendirian, dan orang yang
ditarik itu hendaklah mengikutinya; karena untuk kasus ini dia
akan mendapatkan pahala tersendiri.
 
Sebagian    imam    mazhab   mengambil   pengertian   lahiriah
hadits-hadits tersebut, sehingga mereka menganggap batal orang
yang  shalat sendirian; sedangkan imam yang lainnya menganggap
bahwa hal itu hukumnya makruh.
 
Arti dari apa yang telah kami sebutkan di  atas  ialah  betapa
gigihnya  Islam hendak mewujudkan persatuan dan kesatuan, baik
dari segi kandungannya  maupun  bentuknya,  dari  inti  maupun
penampakan luarnya.
 
Kalau  ada  seorang Muslim yang shalat sendirian, tidak sedang
berjamaah, maka dia  dianggap  mewakili  kaum  Muslimin  dalam
memanjatkan  doa  kepada Tuhannya. Dia menyebut dirinya dengan
mengatasnamakan jamaah (kesatuan kaum Muslimin)  sehingga  dia
membaca:
 
   "Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu
   kami memohon pertolongan. Berilah petunjuk kepada kami
   untuk meniti jalan yang lurus." (al-Fatihah: 5-6)
 
Dia tidak memohon pertolongan  untuk  dirinya  sendiri  bahkan
memohon untuk dirinya dan jamaahnya dalam saat yang sama.
 
Pada  bulan  puasa,  dia juga tidak berpuasa sendirian. Ketika
seseorang melihat bulan sabit pada akhir bulan  Ramadhan,  dia
juga  tidak  berbuka  sendiri; yaitu ketika dia melihat dengan
mata kepalanya sendiri bulan sabit yang menunjukkan kedatangan
bulan  Syawal  itu.  Dia  berpuasa  bersama orang-orang Muslim
lainnya, dan juga berbuka puasa  bersama-sama  dengan  mereka,
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih.
 
Begitu pula halnya dengan wukuf di Arafah. Dia melakukan wukuf
bersama jamah kaum Muslimin yang sangat banyak.
 
Ibn Taimiyah pernah ditanya oleh penduduk  desa  yang  melihat
bulan  sabit  Dzulhijjah,  tetapi  penguasa  di  Madinah tidak
melihatnya. Apakah mereka boleh melakukan puasa  9  Dzulhijjah
berdasarkan   perhitungan   orang   desa  itu,  walaupun  pada
hakikatnya hari itu  adalah  10  Dzulhijjah  menurut  pendapat
penguasa mereka. Dia menjawab, "Ya, mereka boleh berpuasa pada
9 Dzulhiljah berdasarkan penglihatan mereka, walaupun  menurut
penghitungan  penguasa  hari  itu  10  Dzulhijjah;  karena ada
hadits dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa  Nabi  saw
bersabda,
 
   "Puasa kamu adalah puasa ketika kamu semua berpuasa, dan
   hari raya kamu adalah ketika kamu semua berhari raya,
   dan Id al-Adha-mu adalah ketika kamu semua berhari raya
   Id al-Adha." 39
 
Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a. berkata  bahwa  Rasulullah  saw
bersabda,
 
   "Hari raya Id al-Fitri ialah ketika semua orang berhari
   raya Id al-Fitri, dan hari raya Id al-Adha ialah ketika
   semua orang berhari raya Id al-Adha." 40
 
Demikianlah amalan menurut pendapat para imam  kaum  Muslimin.
Karena   sesungguhaya,   apabila   semua   orang  tidak  tepat
tarikh-nya berada di Arafah pada tanggal  sepuluh  Dzulhijjah,
maka  semua imam sepakat bahwa mereka akan tetap diberi pahala
wuquf di Arafah. Dan itulah Hari Arafah menurut mereka. 41
 
Catatan kaki:
   
25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi dari Anas;
   dan juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir dengan makna
   hadits yang sama (lihat Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1501,
   1502)
   
26 Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Imarah, no. 1850,
   dari Jundub bin Abdullah al-Bajali.
   
27 Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. hadits
   no. 1848
   
28 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Adab min
   al-Sunan (5121)
   
29 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5119)
   
30 Hadits mauquf yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (5117) dan
   marfu' (5118)
   
31 Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibn Abbas, Ibn Ashim; dan
   Hakim dari Ibn Umar, Ibn Abi Ashim, dari Usamah bin Syarik,
   sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (8065)
   
32 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad; dan Ibn Abi Ashim
   dalam as-Sunnah dari Nu'man bin Basyir; sebagaimana disebutkan
   dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir.
   
33 Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman juga dari
   Nu'man; sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami'
   as-Shaghir (3014)
   
34 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dalam al-Jihad
   (2528). Ibn Majah (2782). di-shahihkan oleh Hakim. 4: 152-153,
   yang disepakati oleh adz-Dzahabi.
   
35 Muttafaq 'Alaih, dari Abu Musa. Lihat al-Lu'lu' wa
   al-Marjan (1670)
   
36 Muttafaq 'Alaih, dari Nu'man bin Basyir, lihat al-Lu'lu'
   wal-Marjan (1671)
   
37 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (682); Tirmidzi yang
   menganggapnya sebagai hadits hasan (230); dan Ibn Majah (1004)
   
38 Diriwayalkan olch Ibn Majah ( 1003), dan disebutkan dalam
   az-ZIwa tid bahwa isnad hadits ini shahih, danpara perawinya
   tsiqah (dapat dipercaya).
   
39 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan Tirmidzi yang
   men-shahih-kan hadits ini.
   
40 Diriwayatkan oleh Tirmidzi .
   
41 Syarh Ghayah al-Muntaha fi al-Fiqh al-Hanbali, 2: 217-218.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M
Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger