Saudaraku,
Adalah lumrah, bila seorang musafir
harus tahu benar karakter perjalanan yang akan dilaluinya. Salah satu karakter perjalanan
itu adalah munculnya fitnah dan ujian. Bila tak disikapi dengan benar, bisa
jadi arahnya akan menyimpang.
Kemunculan fitnah merupakan
sunnatullah. Maka ia sangat tergantung lemah atau kuatnya iman sang musafir.
Bila imannya prima, hubungan dengan Allah kuat, ujian apapun takkan dapat
menjerumuskan. Beda halnya ketika iman melemah. Sedikit saja ujian menerpa,
dapat membuatnya terjungkal.
Allah telah menakdirkan terjadinya
fluktuasi iman. Tinggi dan rendahnya keimanan, adalah fenomena yang pasti dialami
setiap orang. "Iman itu bertambah dan berkurang," demikian
sabda Rasulullah SAW. Karena itu, satu satunya cara -di samping senantiasa,
berusaha memperbarui iman-, adalah harus tetap waspada menghadapi berbagai
gejala munculnya fitnah.
Saudaraku,
Syaikh Adil Abdullah al-Laili dalam
kitab Musafir fi Qithari Da’wah, menguraikan, salah satu fitnah besar yang
menghadang seorang mukmin adalah fitnah syahwat. Fitnah inilah yang pertama
kali menerpa ayah kita Adam ‘alaihissalam. Terdorong melayani rongrongan
syahwat fisik perut, setelah tertipu iblis, ia memakan buah yang dilarang
Allah.
Allah menyebutkan, manusia tercipta
dari tanah yang gosong (hama’in masnun). Tanah yang gosong, logikanya
memiliki anasir tanah dan api yang menjadikannya gosong. Maka manusia memiliki
sifat tanah (ardh), dan sifat api (naar). Syahwat manusia
berputar di antara keduanya. Yang tekait dengan materi tanah, akan membawanya
condong pada segala hal yang bersifat keduniaan. Keinginan memiliki harta,
kekayaan, kecintaan pada anak dan istri, dan sebagainya. Dalam taraf tertentu,
potensi syahwat ini dapat menggiring manusia terjerembab dalam perbuatan keji,
seperti mencuri atau berzina. Adapun syahwat api (syahwat nariyah),
wujudnya gejolak jiwa yang meletupkan kemarahan, rasa sombong, membangkitkan
ambisi untuk dihormati, cinta jabatan, dan semisalnya.
Saudaraku,
Fitnah paling dahsyat -menurut
Rasulullah-dalam hal syahwat, adalah fitnah yang pertama kali menyesatkan Bani
Israil, yakni wanita. Syahwat wanita dapat menjadikan orang terjerumus dalam
berbagai perilaku dosa.
Para juru dakwah, bukan tak mungkin
terjerumus dalam fitnah wanita. Apalagi hidup di zaman seperti saat ini. Allah
juga telah menjelaskan, "Allah menghiasi manusia dengan cinta syahwat
pada wanita." (Ali Imran : 14). Rasulullah sendiri mewanti-wanti
kepada umatnya tentang hal ini, "Aku tidak meninggalkan fitnah yang
lebih berat kepada kaum lelaki dari pada fitnah wanita." (Muttafaq
Alaih). Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, "Fitnah wanita
lebih dahsyat ketimbang fitnah anak. Sebab, wanita memiliki dua fitnah,
sedangkan anak memiliki satu fitnah. Dua fitnah yang ada pada wanita: Pertama,
ia dapat memunculkan rusaknya hubungan antara dua orang bila dalam suatu
perkara wanita menuntut suaminya melakukan hal itu. Kedua, fitnah ambisi
mengumpulkan harta, dengan cara halal maupun haram. Sedang fitnah anak hanya
satu, mendorong orang mengumpulkan harta." (Tafsir Qurthubi, 4/29)
Saudaraku,
Cinta kepada istri itu halal dan
harus. Tapi adakalanya kecintaan dan kedekatan itu menjadi penghalang dari
perbuatan ma’ruf. Indikasinya, terlalu takut bahaya menimpa keluarga, ingin
selalu dekat dengan istri, lebih mengutamakan syahwat dunia dari amal akhirat.
Kondisi ini bahkan bisa berlanjut pada pemutusan silaturahim, atau menyakitkan
orang tua, enggan berinfaq.
Fitnah ini sering datang
sembunyi-sembunyi, nyaris tak terasakan. "Yang pertama kali memakan
buah itu adalah Hawa, akibat tipu daya iblis kepadanya. Pertama kali iblis
berkata kepada Hawa, karena dialah yang mudah ditipu. Itulah fitnah pertama
yang menimpa lakilaki dari wanita. Iblis pun lalu mengatakan, ‘Apa yang
menghalangi kalian berdua dari pohon yang akan membawa keabadian ini.’ Iblis
datang kepada mereka dari pintu yang mereka sukai. ‘Cintamu pada sesuatu, akan
membuatmu buta dan tuli."’ (Tafsir Al-Qurthubi: 1/308)
Renungkanlah,
Iblis lantaran tahu, tipu daya dari
sisi wanita lebih efektif dan mudah sampai pada seorang pria. Ketika itu,
telinga dapat tertutup dari kebaikan. Mata jadi buta dari yang ma’ruf. Mungkin
ada pengalaman hidup yang bisa jadi pelajaran kita. Ketika banyak da’i rela
meninggalkan amal shalih, demi istrinya. Melanggar maksiat, karena terlalu
banyak mendengarkan apa yang diinginkan istrinya. Atau, mungkin yang lebih
rendah dan lebih bahaya dari itu, ada suami yang cenderung merendahkan orang
lain hanya karena mendengar apa yang dikatakan istrinya. Akhirnya, seorang
suami jadi merasa nikmat membicarakan -dengan istrinya- aib-aib saudaranya,
membuang waktu, menghilangkan pahala, dan menambah dosa …., naudzubillah..
Saudaraku,
Seorang da’i, betapapun kuat
kepribadiannya, tajam pikirannya, harus waspada dari fitnah wanita. Jauhi
segala kondisi yang dapat memunculkan fitnah itu. Hindari segala keadaan yang
menjadi prolog untuk dosa dan kesalahan, apapun alasannya. Para ulama telah
mengingatkan laki-laki dari wanita, hatta dengan alasan mengajarkannya
kalamullah Al- Qur’anul karim. Ulama zuhud, seperti Maimu’ bin Mahran,
mengatakan, "Tiga hal yang jangan sampai dirimu melakukannya, antar
lain, …. jangan engkau mendatangi wanita meskipun engkau beralasan: "Aku
ingin mengajarkannya kitabullah." (Siyar A’lal Nubala, 5/17)
Jaga jarak dengan kerabat yang bukan
mahram, betapapun urf atau adat yang berlaku menganggapnya wajar dan
biasa saja. Waspadai terhadap fitnah yang datang dari pihak istri, termasuk
dalam kerangka kerjasama dakwah. Sebab, laki-laki memang lemah di hadapan
wanita. "Dan manusia diciptakan dalam kondisi lemah". Imam
al-Qurthubi meriwayatkan bahwa Thawus berkata, "Ayat ini khusus dalam
masalah wanita." Juga diriwayatkan dari Ibnu Abas bahwa ia membaca ayat
tersebut, lalu kata lemah disana beliau artikan sebagai tidak sabar menghadapi
wanita. (Tafsir Qurthubi, 5/149)
Saudaraku,
Kita tak memungkiri janji
Rasulullah, "Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihat. Namun,
mendidik wanita agar jadi shalihat, sama beratnya dengan menjauhi fitnah
mereka.
Wallahu a’lam bisshawab