Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

Bangun Keshalihan Pribadi

Minggu, 11 Januari 20090 komentar

“Menjadi penting itu baik, tetapi menjadi baik itu lebih penting.”

“Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang melintas dalam benakmu dan kamu membencinya bila orang lain mengetahuinya.”
(HR. Muslim)

Tentu kita rindu surga bukan? Nah, surga pun merindukan kita, tapi ada syaratnya. Karena surga adalah tempat yang mulia, derajat yang mulia, tak akan bisa dimasuki kecuali oleh orang-orang yang menyamakan frekwensi surga dalam hidupnya. Merekalah orang-orang yang shalih. Lalu siapakah orang yang shalih itu?

Kunci sukses ada dalam diri kita masing-masing. Karena setiap kita lebih tahu apa yang ada dalam diri kita, kecenderungannya, bahkan apa-apa yang disimpan di hatinya. Rahasia ada di tangannya dan di file catatan Allah yang Maha Mngetahui segalanya. Maka hati-hati dengan gejolak hati yang kadang menggiring pada rencana buruk dan jahat, yang bisa menggelincirkan ke jalan sesat dan terlaknat.

Imam Ibnu Rajab berkata, “Sesungguhnya keinginan berbuat jahat yang tersembunyi di dalam hati akan mengantarkan seseorang pada su’ul khatimah.” Na’udzubillah.

“Dan jiwa dengan penyempurnaan, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy Syam: 7-10)

Kini mari kita selami lagi surat Al Ashr ini agar kita tak merugi. “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali…” Siapa yang dikecualikan oleh Allah? Siapakah yang tidak termasuk orang-orang yang merugi. Rugi bagi dirinya dan tentu bisa merugikan orang lain.

Pertama adalah orang yang beriman. Orang beriman menjadikan segalanya adalah sukses. “Sungguh beruntunglah (sukseslah) orang-orang yang beriman…” (Al Mukminun : 1) Sudah, tiket ini kita kantongi dulu agar kita optimis untuk mendapatkan satu bagian di surga. Besarnya? Tergantung episode selanjutnya.

Kedua, amal shalih. Amal shalih tak dapat dipisahkan dari iman. Amal shalih adalah buahnya, buah ilmu dan iman. Karena bila iman tak melahirkan amal shalih berarti iman yang hampa. Iman yang kosong. Iman yang salah, keliru, kesasar, hanya berputar-putar. Iman yang tak berdaya guna. Iman yang tidak berhasil guna. Tidak efektif dan tidak efisien. Seperti pohon tanpa buah. Seperti rumah tanpa cahaya. Gelap gulita

Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah iman itu berupa angan-angan dan khayalan belaka, tetapi sejatinya iman adalah keyakinan yang mengakar dalam hati dan terekspresi dalam amal shalih.”
(HR. Dailamy)

Bila ilmu, iman dan amal shalih menyatu, maka jadilah mukmin yang benar. Iman dan amal shalih itulah yang membangun kepribadian menjadi pribadi mukmin sejati. Itu adalah ranah minimal, karena “Barangsiapa bertambah ilmunya tetapi dia tidak bertambah keimanannya, maka tidaklah menambah kepada Allah kecuali semakin jauh…”
(HR. Muslim)
Ada empat pilar penting yang mesti ditegakkan untuk menggapai keshalihan itu;
1. Shalih dalam aqidah
Aqidah sebagai ruh ketegaran dan inti dalam kehidupan. Ini nyawanya. Bila ini tak ada jangan harap amal kita bisa disebut amal shalih, sebaik apapun amalnya. Maka menjadi orang penting itu memang baik,tetapi menjadi orang baik itu lebih penting. Ruh dari aqidah adalah keyakinan kepada Allah dan balasannya di hari akhir.
2. Shalih dalam ibadah
Ibadah bukan sekedar rutinitas ritual, tetapi ia wujud penghambaan total kepada yang Maha Dahsyat, yakni Allah Azza wa Jalla. Dimensi ibadah adalah rasa ketundukan dalam pengawasan sehingga jiwa selalu terkondisi dalam ketaatan, jauh dari maksiat, takut dan berharap hanya kepada Allah.
3. Shalih dalam akhlak
Akhlak adalah buah aqidah dan ibadah. Kata Nabi, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya.” Akhlak adalah bukti, arti, makna sehingga hidup berarti. Tanpa akhlak seperti orang mati. Coba bayangkan, orang yang tak mampu mengaitkan akhlak dengan iman dan ibadah, sehingga welcome terhadap masalah yang makruh, syubhat bahkan haram. Inilah kategori pecundang, orang yang “bangkrut dengan sukses”, al muflis, habis modal masih nombok juga, kasihan.
4. Shalih dalam keluarga
Keshalihan pribadi akan lebih berarti bila terefleksi dalam keluarga. Karena keluarga merupakan standar, ukuran, parameter, timbangan untuk melihat selaraskah ucapan dengan perbuatan. Sehingga para sahabat pun bertanya pada bunda Aisyah, “Bagaimana akhlak Nabi?” Aisyah pun menjawab, “Akhlak Nabi itu adalah Al Quran.” Apa yang ditampilkan Nabi di luar klop betul yang di rumah.
Potret Keshalihan Pribadi
Jadilah pemberi kebaikan
Menjadi shalih berarti memproduksi energi keshalihan tak pernah henti. Untuk bisa memberi kita harus memiliki, bukan sekedar ‘makelar’ amal, menyuruh orang lain melupakan diri sendiri. Allah berfirman, “Apakah kamu menyuruh orang lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu telah membaca Al Kitab. Apakah kamu tidak berpikir?”
(QS. Al Baqarah: 44)
Berorientasi untuk memberi kontribusi
Menjadi manusia itu pasti, tetapi menjadi shalih adalah pilihan. Memilih untuk memberi. Bukan berpikir untuk meminta. Padahal pada umumnya manusia cenderung mencari untung buat dirinya. Egois. Tapi ketahuilah, justru dengan memberi kita menjadi memiliki.
Imam Malik memberi kita Kitab Al Muwatha’. Imam Syafi’i mewariskan kitab Al Umm. Imam Bukhari menyumbangkan kitab Shahihnya. Ibnu Taimiyah menginfaqkan Majmu’ Fatawa. Sayyid Quthub mendokumentasikan jihad dan pemikirannya dalam Fi Zhilaal dan Ma’alim fith Thariq. Saudaraku, berikutnya adalah giliran kita!
Lapang dada menampung perbedaan
Tradisi Islam adalah berlomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat. Semangat ini kadang melahirkan adanya perbedaan. Hal itu karena mereka didorong untuk berprestasi yang terbaik. Munculnya shalat tarawih 20 rakaat yang dipelopori oleh Umar bin Khatab misalnya. Bagi kalangan sahabat itu berbeda tapi tidak menjadi bahan untuk pecah. Karena semangatnya adalah semangat memperbanyak amal, bukan dorongan mencari yang paling benar. Bukan. Mereka lapang terhadap perbedaan.
Respek terhadap keunikan orang lain
Rasulullah saw bersabda, “Setiap orang diciptakan menurut bakatnya masing-masing.” Disinilah kita menjadi shalih dengan berukhuwah, menerima keunikan orang lain. Caranya? ‘Ta’aruf’ saling mengenal, ‘tafahum’ saling memahami dan ‘takaful’ saling memikul beban. Disini kita menjadi shalih dengan bersinergi degan keunikan kita. Keunikan inilah yang membuat Islam kaya. Ada Abu Bakar yang lembut, Umar yang keras dan tegas, Utsman yang pemalu, Ali yang pemberani. Maka berikan respek pada keunikan orang lain. Ini akan mendewasakan kita.

Hidup itu unik. Lebih asyik, lebih indah dan lebih bahagia bila setiap hari kita terusik untuk menemukan keunikan-keunikan yang ada dalam diri kita maupun orang lain. Positif memandang anugerah. Dewasa melihat realitas. Cerdas menangkap inspirasi. Amanah mengusung aspirasi. Dunia yang begitu luas jangan dipersempit dengan cara-cara culas.

Bila pilar keshalihan ‘aqidah, ibadah, akhlak dan keluarga’ diintegrasikan dalam sikap yang tepat terbentuklah kepribadian muslim minimal. Yakni keshalihan tingkat dasar yang seharusnya ada. “Seorang mujahid adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya.” Ini perjuangan minimal menapaki tangga keshalihan.`
Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger