Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

tugas ekonomi regional rokan hilir

Kamis, 28 Maret 20130 komentar




Jumlah Penduduk Miskin Tiap daerah, (Kabupaten,kecamatan dan kelurahan).

Kemiskinan dapat diartikan sebagai situasi dimana penduduk hanya dapat memenuhi kebutuhan makan, pakaian dan perumahan dalam tingkat minimum yang sangat diperlukan untuk sekedar hidup. Untuk melihat dan mengukur angka kemiskinan dapat digunakan indikator ekonomi secara makro seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, distribusi pendapatan per kapita, indeks gini ratio. Namun indikator-indikator tersebut ternyata selama ini hanya memperlihatkan jumlahnya secara agregat menyeluruh saja, tanpa memperhatikan dimana kondisi lokasi penduduk miskin yang tercantum dalam angka kemiskinan tersebut.

Indeks kemiskinan manusia menggunakan indikator-indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan akses terhadap sumberdaya publik dan sumberdaya privat. Indeks ini berlandaskan pada konsep deprivasi dimana kemiskinan dipandang sebagai akibat dari tidak tersedianya kesempatan dan pilihan. Untuk pembuat kebijakan, kemiskinan dari sudut pandang tersedianya pilihan-pilihan dan kesempatan seringkali lebih relevan dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan karena perhatian lebih terfokus pada penyebab dari kemiskinan dan secara langsung terkait dengan strategi pemberdayaan dan upaya-upaya lainnya untuk meningkatkan kesempatan bagi semua orang.

Indeks kemiskinan di Provinsi Riau dan kabupaten/kota akhir-akhir ini sudah bisa diturunkan, hal ini terlihat dari urutan 24 tahun 1999, menjadi urutan 20 tahun 2002. Keberhasilan penurunan Indeks kemiskinan di Provinsi Riau tidak terlepas dari semakin membaiknya akses penduduk terhadap air bersih dan fasilitas kesehatan serta adanya perbaikan gizi balita. Keberhasilan menurunkan nilai Indeks kemiskinan di kabupaten/kota merupakan hasil dari peningkatan penyediaan pendidikan dasar, perbaikan akses terhadap air bersih dan perbaikan gizi balita. Namun yang lebih penting adalah bukan sekedar melihat dari angka-angka yang menjadi indikatornya, tetapi yang lebih penting adalah menurunnya angka kemiskinan tersebut benar-benar bisa dilapangan. Artinya, penduduk memang sudah meningkat taraf kehidupannya dari tahun-tahun sebelumnya. Banyaknya pandangan yang berbeda sekarang ini dalam melihat defenisi tentang kemisikinan itu sendiri, sehingga menyebabkan angka-angka yang dikeluarkanpun terjadi perbedaan.

Kemiskinan dari sudut pandang pendapatan tidak selalu sejalan dengan Indeks kemiskinan, karena kedua ukuran tersebut mengukur aspek kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (angka kemiskinan) mengukur deprivasi relatif pada standar kehidupan yang sudah tercapai, sedangkan indeks kemiskinan mengukur deprivasi yang dapat menghambat kesempatan yang dimiliki penduduk untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Meskipun demikian, penggabungan antara kedua ukuran ini akan menghasilkan gambaran menarik tentang kondisi kemiskinan. Data di kabupaten/kota memperlihatkan bahwa daerah dengan indeks kemiskinan rendah cenderung untuk mempunyai angka kemiskinan yang rendah pula, namun daerah dengan nilai indeks kemiskinan tinggi memiliki angka kemiskinan yang lebih bervariasi.

Untuk melihat jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau dari tahun 2002 sampai dengan 2006 dapat dilhat pada Grafik di bawah ini.



Jumlah Penduduk Miskin dari Tahun 2002 – 2006 di Provinsi Riau

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau relatif besar yang tersebar di kantong-kantong kemiskinan pada daerah pesisir, aliran sungai, kepulauan dan daerah pedalaman yang terisolir. Menurut data BPS yang diukur berdasarkan kebutuhan makanan sebesar 2.100 kalori per kapita per hari, pada tahun 2003 persentase penduduk miskin di Provinsi Riau sebanyak 660.700 jiwa atau 14,99 persen. Angka ini terus mengalami penurunan, dimana tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau sebanyak 658.600 jiwa atau 14.67 persen, tahun 2005 menjadi 600.400 jiwa atau 12.51 persen dan tahun 2006 menjadi 574.500 jiwa atau 11.20 persen. Dari data diatas terlihat bahwa kecendrungan penduduk miskin di Provinsi Riau dari tahun ke tahun selalu mengalami penurunan, hal ini seiring dengan berbagai program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut. Pada umumnya penduduk miskin bergerak di sektor pertanian, dimana sektor pertanian banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Riau. Dengan kondisi seperti ini diharapkan perhatian dari Pemerintah Provinsi Riau agar melalui berbagai paket program kebijakan ekonomi kerakyatan mampu mengangkat keterpurukan sosial ekonomi penduduk Riau umumnya dan khususnya mereka yang bekerja di sektor pertanian.

Salah satu upaya kongkrit dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau adalah melalui dana budget/sharing antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau dan kabupaten/kota. Dana ini cukup signifikan untuk mendongkrak jumlah rakyat miskin yang ada di Provinsi Riau. Dana budget/sharing ini dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, khususnya di prioritaskan kepada masalah isu pokok yang ada di Provinsi Riau yaitu, kemiskinan, sumberdaya manusia dan infrastruktur. Untuk tahun 2005, total dana budget/sharing antara provinsi dan kabupaten/kota yaitu sebesar Rp. 1.114.623 Milyar, dengan alokasi dana untuk penanggulangan kemiskinan sebesar Rp. 250.398 Milyar, dari provinsi sebesar Rp. 162.391 Milyar dan dari kabupaten/kota sebesar Rp. 88.007 Milyar. Pada tahun 2006 total keseluruhan dana budget sharing untuk penanggulangan kemiskinan yaitu sebesar Rp. 214.844 Milyar, dari provinsi sebesar Rp. 114.904 Milyar dan kabupaten/kota sebesar Rp. 99.940 Milyar. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan dana yaitu menjadi Rp. 323.763 Milyar, dari provinsi sebesar Rp. 172.318 Milyar dan kabupaten/kota sebesar Rp. 151.445 Milyar. Selain bantuan dana bergulir dari Pemerintah Provinsi Riau dan kabupaten/kota melalui program budget/sharing yang telah diberikan, tampaknya perlu juga melakukan pembinaan secara khusus dalam hal melakukan produksi barang dan jasa, karena ternyata dari penduduk miskin tersebut sekitar 80 persen hanya berpendidikan SD ke bawah.

Meskipun berbagai upaya kebijakan telah dilakukan untuk pengentasan kemiskinan di Provinsi Riau, seperti melalui Program atau kegiatan IDT, JPS, PPK,P3DT, P2D, subsidi BBM, raskin dan lain-lain, upaya tersebut sudah melihatkan perubahan yang signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan. Selain itu besarnya migrasi yang masuk ke Provinsi Riau, khususnya Kota Pekanbaru telah berdampak kepada bertambahnya masyarakat miskin yang menjadi beban baru bagi Pemerintah Provinsi Riau. Upaya pengentasan kemiskinan terkait erat dengan pendekatan wilayah didukung pendekatan sektor dan reorientasi peran institusi pemerintah daerah serta pengendalian migrasi yang masuk ke Provinsi Riau. Apalagi untuk beberapa tahun ke depan, dimana pembangunan di segala bidang yang terjadi di Kota Pekanbaru akan mengundang lebih banyak lagi migrasi untuk datang ke Kota Bertuah ini. Bagi penduduk lokal yang tidak mampu bersaing justru akan menjadi beban bagi Pemerintah Daerah Provinsi Riau untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Upaya pemerintah lainnya untuk membantu rakyat miskin adalah melalui pembangunan rumah sederhana layak huni. Sampai dengan tahun 2007, sudah 5.995 rumah sederhana layak huni yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin yang sudah dibangun. Dana pembangunan tersebut bersumber dari APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota. Untuk tahun 2006 total alokasi dana dari provinsi sebesar Rp. 16.425.000.000 dan kabupaten/kota sebesar Rp. 16.623.000.000. Dana budget/sharing tersebut pada tahun 2007 terjadi peningkatan dimana jumah budget/sharing dari provinsi sebesar Rp. 20.280.000.000 dan kabupaten/kota sebesar Rp. 25.700.000.000.

Untuk melihat jumlah dana dan rumah yang dibangun pada masing-masing kabupaten/kota tahun 2007, dapat dlihat pada Tabel. 49 dibawah ini.

Jumlah Rumah yang di Bangun dan Dana Budget Sharing Tahun 2007


No.

KABUPATEN/ KOTA

TAHUN 2007


PROVINSI

KAB/KOTA


Unit

Rp.

Unit

Rp.


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
Indragiri Hilir
Pelalawan
Siak
Kampar
Rokan Hulu
Bengkalis
Rokan Hilir
Pekanbaru
Dumai

115
100
175
100
150
85
117
200
175
35
100

1.725.000.000
1.500.000.000
2.625.000.000
1.500.000.000
2.250.000.000
1.275.000.000
1.755.000.000
3.000.000.000
2.625.000.000
525.000.000
1.500.000.000

40
123
122
100
185
150
25
300
120
30
90

800.000.000
2.460.000.000
2.440.000.000
2.000.000.000
3.700.000.000
3.000.000.000
500.000.000
6.000.000.000
2.400.000.000
600.000.000
1.800.000.000




J U M L A H

1.352

20.280.000.000

1.285

25.700.000.000


Sumber: Bappeda Provinsi Riau – 2007





2.PDRB Daerah dan PDRB Nasional

Display Ekonomi PDRB Kabupaten Rokan Hilir
Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah tahun 2005 dan 2006



Tahun

2005

2006




Rupiah (juta)

%

Rupiah (juta)

%


Pertanian

1,597,422

15.66

1,709,475

16.16


Pertambangan

7,380,106

72.34

7,532,260

71.19


Industri Pengolahan

282,614

2.77

307,774

2.91


Listrik dan Air Bersih

7,480

0.07

7,852

0.07


Bangunan

22,594

0.22

24,449

0.23


Perdagangan, Hotel, Restoran

609,565

5.98

671,674

6.35


Angkutan/Komunikasi

77,750

0.76

84,763

0.80


Bank/Keu/Perum

44,545

0.44

47,267

0.45


Jasa

179,597

1.76

195,292

1.85


Total

10,201,672



10,580,806




Laju Pertumbuhan

-



-





Jumlah Penduduk Daerah dan Penduduk Nasional


Pertumbuhan Ekonomi Menurut TIPOLOGI KLASSEN

Dalam rangka membangun daerah, pemerintah daerah perlu membuat prioritas kebijakan. Penentuan prioritas kebijakan diperlukan agar pembangunan daerah dapat lebih terarah serta berjalan secara efektif dan efisien, dibawah kendala keterbatasan anggaran dan sumberdaya yang dapat digunakan. Untuk menentukan prioritas kebijakan ini, khususnya kebijakan pembangunan ekonomi, diperlukan analisis ekonomi (struktur ekonomi) daerah secara menyeluruh. Terkait dengan hal tersebut, seri tulisan ini akan mencoba membahas beberapa teknik dan alat yang dapat digunakan dalam menganalisis struktur ekonomi daerah. Untuk seri pertama tulisan ini, akan membahas mengenai Tipologi Klassen.

Tipologi Klassen mendasarkan pengelompokkan suatu sektor, subsektor, usaha atau komoditi daerah dengan cara membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah (atau nasional) yang menjadi acuan dan membandingkan pangsa sektor, subsektor, usaha, atau komoditi suatu daerah dengan nilai rata-ratanya di tingkat yang lebih tinggi (daerah acuan atau nasional). Hasil analisis Tipologi Klassen akan menunjukkan posisi pertumbuhan dan pangsa sektor, subsektor, usaha, atau komoditi pembentuk variabel regional suatu daerah. Tipologi Klassen dengan pendekatan sektoral (yang dapat diperluas tidak hanya di tingkat sektor tetapi juga subsektor, usaha ataupun komoditi) menghasilkan empat klasifikasi sektor dengan karakteristik yang berbeda sebagai berikut.

1. Sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran sektor dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan memiliki kontribusi terhadap PDRB (si) yang lebih besar dibandingkan kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (s). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi lebih besar dari g dan si lebih besar dari s. Sektor dalam kuadran I dapat pula diartikan sebagai sektor yang potensial karena memiliki kinerja laju pertumbuhan ekonomi dan pangsa yang lebih besar daripada daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.

2. Sektor maju tapi tertekan (Kuadran II). Sektor yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi memiliki kontribusi terhadap PDRB daerah (si) yang lebih besar dibandingkan kontribusi nilai sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (s). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi lebih kecil dari g dan si lebih besar dari s. Sektor dalam kategori ini juga dapat dikatakan sebagai sector yang telah jenuh.

3. Sektor potensial atau masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini merupakan kuadran untuk sektor yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB (si) lebih kecil dibandingkan nilai kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (s). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi lebih besar dari g dan si lebih kecil dari s. Sektor dalam Kuadran III dapat diartikan sebagai sektor yang sedang booming. Meskipun pangsa pasar daerahnya relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata nasional.

4. Sektor relatif tertingggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh sektor yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan sekaligus memiliki kontribusi tersebut terhadap PDRB (si) yang lebih kecil dibandingkan nilai kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (s).

:

Dimana
gi = pertumbuhan sector daerah analisis
g = pertumbuhan sector daerah acuan
si = kontribusi sector daerah analisis
s = kontribusi sector daerah acuan

Keterangan: daerah acuan adalah daerah yang lebih tinggi. Misalnya, kalau daerah analisis adalah kabupaten/kota, daerah acuan bisa menggunakan propinsi. Kalau daerah analisis adalah propinsi, maka daerah acuan bisa menggunakan nasional atau pulau, ataupun wilayah pembangunan tertentu dimana daerah analisis merupakan bagian dari wilayah tersebut.




Dari table tersebut terlihat bahwa sector yang dapat dikategorikan sebagai sector yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I) adalah sektor pertanian. Dengan kata lain, di Kabupaten ini sektor pertanian memiliki kinerja laju pertumbuhan ekonomi dan pangsa yang lebih besar dibandingkan keadaan propinsinya secara keseluruhan.
Selanjutnya, sektor pertambangan dan penggalian menurut tipologi Klassen terkategori sebagai sektor yang maju tapi tertekan (Kuadran II). Sektor pertambangan memiliki nilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB Provinsi, tetapi memiliki kontribusi terhadap PDRB kabupaten yang lebih besar dibandingkan kontribusi nilai sektor tersebut terhadap PDRB Provinsi. Dengan kata lain, sektor pertambangan dan penggalian di kabupaten ini dapat dikategorikan sebagai sector yang telah jenuh.
Analisis tipologi Klassen juga menemukan bahwa di kabupaten ini terdapat banyak sektor yang terkategori sebagai sektor potensial atau masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III)

Sektor-sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi dan jasa-jasa. Sektor dalam Kuadran III dapat diartikan sebagai sektor yang sedang booming. Meskipun pangsa pasar daerahnya relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata Provinsi. Dalam konteks tipologi Klassen ini juga terlihat bahwa sektor keuangan, persewaan dan jasa di kabupaten ini ternyata tergolong sebagai sektor yang relative tertinggal (Kuadran IV). Hal ini terlihat dari nilai pertumbuhan PDRBnya yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB Provinsi dan sekaligus memiliki kontribusi terhadap PDRB yang lebih kecil dibandingkan nilai kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB propinsi.
Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger