Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

ustad anis mata

Minggu, 11 Januari 20090 komentar

PKS-Jaksel: Suatu hari, Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as, "Hai Musa, bila nanti kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih baik daripada dia." Nabi Musa as lalu pergi ke jalan, pasar, dan tempat-tempat ibadah. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi Musa, tetapi Nabi Musa selalu menemukan ada hal pada diri orang itu yang lebih baik dari dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata, "Aku lebih baik dari dia."

Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada Nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak, misalnya, bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing kudisan. Nabi Musa berpikir, "Mungkin sebaiknya aku pergi membawa dia." Ia pun lalu mengikat leher anjing itu dengan tali. Namun ketika sampai ke suatu tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu.

Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah SWT, Tuhan bertanya, "Ya Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kaubawa?" Nabi Musa menjawab, "Tuhanku, aku tidak menemukan seseorang pun yang aku lebih baik darinya." Tuhan lalu berfirman, "Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepadaku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian."

Kata ana khairun minhu atau "Aku lebih baik dari dia" pertama kali diucapkan oleh Iblis untuk menunjukkan ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud kepada Adam AS tapi Iblis tidak mau. Ia beralasan, "Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah." Takabur yang dilakukan oleh Iblis pertama kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan.

Ada sebuah buku yang dengan secara terperinci mengkritik sebagian sayyid atau keturunan Rasulullah SAW yang merasa bahwa mereka lebih utama dari orang yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika ada orang bukan sayyid yang beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan tetap lebih rendah dari seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis buku tersebut, seorang sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang sayyid yang ahmaq atau tolol. Dalam salah satu buku itu, ia memberikan contoh sayyid yang berpikiran seperti itu sebagai orang yang takabur karena nasabnya. Ternyata, penulis buku itu pun adalah seorang sayyid.

Penulis itu mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia pernah menangis terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani mendekatinya dan bertanya, "Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat seperti ini? Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?" Lalu Imam dengan marah menjawab, "Jangan sebut-sebut di hadapanku ibuku dan kakekku, karena Allah SWT akan memberikan surga kepada siapa saja yang taat kepada-Nya, walaupun ia adalah seorang budak dari Afrika. Dan Allah akan memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid dari bangsa Quraisy."

Berbangga sebagai keturunan Rasulullah SAW saja adalah suatu perbuatan takabur, apalagi berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah SAW. Orang yang berbangga karena keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah seperti orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh takabur. Orang kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke neraka.

Kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab. Tuhan berfirman, "Innâ akramakum ‘indallâhi atqâkum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa." (QS. Al-Hujurat: 13 )

Takabur terbagi menjadi dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan agama dan kedua, takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Apa tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya? Ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia merasa dirinya paling pintar dan tidak memerlukan bantuan orang lain.

Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua orang yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya luar biasa pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang lain lulus dengan nilai pas-pasan. Dua tahun kemudian, diselidiki nasib kedua orang itu. Orang yang pintar itu ternyata menganggur sementara orang yang tidak pintar telah menjadi manajer di sebuah perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata orang pintar itu tidak tahan bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merasa dirinya pintar sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain.

Takabur yang kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal. Jika seseorang banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah hadis diriwayatkan seseorang yang datang ke majelis Nabi. Orang itu dipuji para sahabat karena kebagusan ibadahnya. Tapi Nabi mengatakan, "Aku melihat bekas tamparan setan di wajahnya." Nabi kemudian menyuruh sahabat membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik di antara orang lain.

Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda, "Jika ada seseorang yang berkata, ‘Manusia ini semuanya sudah rusak,’(dan ia merasa bahwa hanya dirinya yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang paling rusak."

Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari amalku." Setiap orang pasti ada kelebihannya. Kita juga punya kelebihan, tetapi hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia daripada orang lain. Begitu kita merasa diri kita lebih mulia dan ingin diperlakukan sebagai orang mulia, kita sudah jatuh kepada takabur. Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal.

Takabur bagian kedua adalah takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena nasab, seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena harta kekayaan. Ketiga, karena kekuasaan. Keempat, karena kecantikan. Kelima, karena banyaknya anak buah dan pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya diderita oleh para ulama.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi." Kita dapat mengukur hati kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: Ketika Anda masuk ke dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara dengan Anda duduk di tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat yang lebih rendah, apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Apakah Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada Anda? Apakah Anda merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab "ya" untuk salah satu dari pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam takabur.

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah SAW bersabda, "Pastilah orang yang takabur itu punya cacat dalam dirinya yang ia sembunyikan." Hadis itu saya kira sangat modern. Menurut Psikologi mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya adalah orang yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan mereka berusaha menutupinya.

Kita dapat mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap tawadhu. Tidak ada obat bagi takabur selain bersikap rendah hati. Rasulullah SAW bersabda, "Jika kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap tawadhu, maka hendaklah kamu bersikap lebih tawadhu lagi kepada mereka. Dan apabila kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap takabur, maka hendaklah kamu bersikap lebih takabur lagi kepada mereka."(Ilman)

Hadapi kesulitan dengan keuletan oleh Nur Atik Kasim Orang sukses bukan semata – mata karena pandai, namun karena mereka tekun, ulet, dan bertanggung jawab terhadap hidup mereka—Nur Atik Kasim Jauh sebelum albert Einstein mengatakan bahwa dalam setiap kesulitan terdapat kesempatan, maka ratusan abad lalu melalui Al Qur’an Allah menegaskan kepada hambaNya bahwa setelah kesulitan ada kemudahan.

Jadi yakini satu hal, bahwa tak pernah ada penderitaan berkepanjangan tanpa akhir dalam hidup ini bagi orang – orang yang beriman. Hal itu dipertegas oleh sejarah Hajar yang berjuang untuk mendapatkan air namun akhirnya memperoleh zam – zam sebagai karunia atas kesabarannya, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan kerjakanlah dengan sungguh – sungguh urusan yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”

Maka jangan panik menghadapi kesulitan seberat apa pun yang menimpa anda, ketahuilah bahwa jika anda berusaha dengan gigih dan terus berdo’a niscaya tidaklah kesulitan ini selamanya anda hadapi jika anda terus berusaha dengan gigih, “Andai kalian bertawakkal kepadaNya tentu ia akan memberi rezeki kepada kalian, sebagaimana ia memberi rezeki kepada burung, pagi – pagi ia pergi (keluar dari sangkar) dalam keadaan perut kosong, dan sore hari pulang (ke sangkarnya) dalam keadaan perut penuh.

” Bila kalimat tersebut adalah kata-kata yang mengandung pengertian dan mempunyai bobot motivasi tinggi, yang akan membawa anda menuju perubahan signifikan serta menjadi seperti apa yang anda inginkan untuk mengisi legenda pribadi hidup anda. Ya, pasti anda selalu mampu menghadapi kesulitan dengan ulet.

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.” Keuletan merupakan sikap mental orang-orang sukses. Sikap mental KEULETAN dapat anda praktekkan pada setiap tantangan yang muncul, hingga menjadi kebiasaan. bahkan dengan keuletan anda akan sadar bahwa hanya melalui kelemahan, kesulitan, kesalahan, kekalahan bahkan kegagalan, barulah anda mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan ini melalui belajar dalam arti yang sesungguhnya.

Dan untuk menjadi manusia yang ulet prinsip utama yang harus dimiliki adalah kekayaan mental untuk menghadapi kesulitan. Setiap kesulitan yang mampu anda atasi, maka bersamaan itu pula akan muncul kesempatan-kesempatan yang memungkinkan anda untuk melanjutkan usaha dan perjuangan sehingga tercapai kemajuan dan kesuksesan.

Maka tidak heran Kartini mengatakan, bahwa habis gelap terbitlah terang. Anda mungkin sering sekali dihadapkan pada rintangan, cobaan, kesulitan, problem yang bermunculan. Semangat perjuangan menjadi turun dan mudah menyerah.

Pada saat tertentu, kesulitan-kesulitan itu terasa begitu berat dan sangat membebani mental, bahkan tidak jarang sampai membuat kita merasa gagal, frustasi, depresi, dan putus asa sehingga menganggap semuanya merupakan suratan takdir nasib anda.

Mengapa anda mudah menyerah? Mengapa cepat merasa gagal? Bukankah perasaan semacam itu merupakan indikasi ketidakmatangan pikiran atau kesadaran kita tentang proses hidup yang selalu menuntut kita mampu menghadapi serta mengelolanya? Kita perlu sadar bahwa kesulitan adalah bagian dari kehidupan kita.

Setiap kesulitan pasti akan memberi pelajaran berharga. Kesuksesan sejati adalah kristalisasi dari berbagai macam kesulitan-kesulitan yang mampu kita atasi. Untuk itu tidak terkecuali kita bergerak dalam bidang pekerjaan apa pun, pasti akan menemui berbagai macam kesulitan sebagai tantangan yang harus dihadapi.

Maka jelas sekali, kita dituntut mempunyai keuletan extra. Keuletan yang berarti: tidak sekedar sabar bertahan, apatis, pasif, pasrah, tetapi keuletan yang di dalamnya mengandung sikap pantang putus asa, tetap bersemangat, kegigihan, ketegaran, keberanian untuk bereaksi terus menerus dan pantang menyerah.

Ingat, detik menanti sukses sambil terus berusaha giat dan ulet adalah detik bagi anda untuk meraih sukses. Tidak ada kegagalan jika anda yakin bahwa penundaan Allah tidak berarti penolakanNya. Teruslah berusaha dengan ulet. (Norabima)

Tulisan ini terinspirasi dari ceramah Aa’ Gym

Oleh: M. Anis Matta

PKS-Jaksel: Bismillaahirrohmaanirrohiim, kita patut

bergembira bahwa dari ke hari jumlah aktivis-aktivis Islam saat ini

terus bertambah dan itu berarti bahwa distribusi beban dakwah

perlahan-lahan mulai semakin merata. Walaupun begitu, memang masih

ditemukan di sana-sini adanya pemusatan beban karena jumlah beban

dengan pemikulnya belum terlalu seimbang.

Oleh karena itu para aktivis muslim sampai saat ini memang masih

memikul beban yang sangat berat dan juga sangat banyak. Dan itu

kadang-kadang melampaui jumlah waktu yang mereka miliki. Dari situ

kemudian muncul berbagai persoalan, di antaranya adalah soal rasio

produktivitas kita dalam bekerja, kemudian masalah efisiensi waktu,

tetapi dua hal ini –rasio produktivitas dan efisiensi waktu- sama-sama

terkait dengan kompetensi individu masing-masing aktivis.

Kalau kita mengatakan rasio produktivitas, yang saya maksud adalah

semestinya seorang aktivis Islam itu rasio produktivitasnya sebagai

berikut, yaitu satu unit waktu sama dengan satu unit amal.

Sekarang, karena jumlah pekerjaan lebih banyak dari waktu yang kita

miliki, maka kita harus memilih bahwa satu unit waktu sama dengan satu

unit amal terbaik. Jadi kita selalu berorientasi kepada afdhalul amal,

itulah kaidah yang menggabungkan antara rasio produktivitas yang tinggi

dengan tingkat efisiensi.

Artinya efisiensi itu adalah fi’li amal pada setiap satu unit

waktu. Tapi sekali lagi, itu kembali kepada kompetensi individu

masing-masing. Dan jika bicara tentang kompetensi individu yang kita

maksud adalah apakah individu itu atau aktivis muslim itu sudah

merencanakan pengembangan dirinya yang maksimum. Sehingga bakat-bakat

yang terpendam dalam dirinya, semuanya terpakai untuk dakwah. Sebab

penelitian terhadap orang-orang besar yang pernah dilakukan di Amerika

–seperti yang dikutip oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali- mengatakan bahwa

ternyata orang-orang besar yang pernah ada dalam sejarah hanya

menggunakan 5-10 persen dalam total potensinya.

Untuk mencapai hal di atas, kita harus selalu berorientasi kepada

penyatuan-penyatuan, pemaduan-pemaduan, pengharmonisan-pengharmonisan, dan mencoba meninggalkan kecenderungan pemisahan-pemisahan atau dikotomi, karena semua itu adalah kebajikan. Contoh: menuntut ilmu di kampus itu adalah kebaikan, berdakwah adalah juga kebaikan. Kita membutuhkan kedua-duanya sekaligus. Kita perlu ilmu supaya kita berdakwah dengan cara yang benar, dan kita harus berdakwah agar ilmu kita bermanfaat. Jadi, tidak ada alasan untuk memisah-misahkannya.

Persoalannya adalah persoalan manajemen, bagaimana mengelola waktu yang tersedia untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari semua amal yang ada. Itu saja masalahnya!

Dikutip dari buku:

Geliat Da’wah di Era Baru: Kumpulan Wawancara Da’wah.

Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger