Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

Bercita-citalah

Minggu, 11 Januari 20090 komentar

“Barang siapa mati sedangkan ia belum pernah berjihad, dan ia tidak bercita-cita untuk berjihad, maka kematiannya pada salah satu cabang kemunafikan.”
(HR. Muslim dalam Ash-Shahih, III/517)

Haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi,
wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi

Kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin,
dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari.
(Hasan Al Banna)

Dalam sebuah majelis, ada seorang Syeikh yang mengatakan,
“Laa budda lil qaa-idi an yakuuna lahu ahlam, wa illa yashluh an yakuuna qaa-idan.”

Seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak dia tidak layak menjadi pemimpin.

Karena menjadi pemimpin berarti menjadi orang yang cerdas. Yakni berani berpikir mendahului masanya, meski kadang orang lain belum bisa memahaminya. Ia juga obsesif. Memiliki pikiran dan gagasan besar di luar apa yang dipikirkan orang lain. Seperti yang dilakukan Khidr, hal-hal yang tidak bisa dipahami dan dimengerti oleh Nabi Musa.
Filosofi cita-cita…
Keluhuran cita-cita adalah bagian dari keimanan
Cita-cita besar itu ibarat dinamo
Cita-cita besar itu adalah pintu
Cita-cita besar itu merupakan obat
Cita-cita ciri kemuliaan

Begitu banyak dan begitu penting untuk menjadi besar dengan cita-cita besar. Tapi jangan sekali-kali merasa besar. Karena merasa besar akan menumbuhkan penyakit jiwa, menyebabkan sengsara dan pembawa derita. Sedang menjadi besar membawa bahagia.
Jangan Takut Punya Cita-Cita
“Kalau kita memulai langkah dengan rasa takut, maka sebenarnya kita tidak pernah melangkah…”
(A.H. Nayyar, Ph.D. Presiden Pakistan Peace Coalition)

Cita-cita lah yang membawa Imam Ahmad tegar di tengah cambukan tanpa menggeserkan sedikitpun keimanan dan keyakinan yang tertanam.
Cita-cita pula yang menghadirkan cinta dan kasih sayang ibu terhadap anaknya, melumurinya dengan doa, menghiasinya dengan tarbiyah. Seperti pengorbanan ibunda Imam Syafi’I yang mengorbankan seluruh hartanya dan menginfaqkan waktunya untuk melahirkan ulama besar referensi peradaban Islam.
Cita-cita separo dari sukses
Kesuksesan tidak semata-mata diukur pada hasil tapi juga pada proses. Proses merencanakan dengan tujuan yang benar dan mulia. Proses mengorganisasikan dengan rapi dan sistematis. Proses melaksanakan dengan ikhlas, tekun, teliti dan profesional. Dan proses evaluasi dengan jujur dan semangat perbaikan tak kenal henti.

“Carilah dari apa yang dianugerahkan Allah untuk meraih kehidupan akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari kenikmatan dunia.”
(QS. Al Qashash: 77)

Memiliki cita-cita berarti memiliki tujuan hidup yang jelas. Memiliki kejelasan tujuan adalah separo dari kesuksesan. Adapun yang separo itu adalah bagaimana kita menempuhnya, bukankah begitu wahai saudaraku?
Ciri-ciri pribadi unggul
Orang yang memiliki cita-cita yang menggelora
Mereka yang memiliki jiwa yang membara
Mereka yang selalu berusaha dengan giat
Mereka yang memiliki kesiapan yang terus menerus.
Rebut Cita-Cita Dunia

Salah satu bentuk ungkapan cita-cita adalah doa. Seperti saat orang tua memberi nama anaknya, ia punya harapan, doa dan permohonan. “Rabbij ‘alnii muqiimash shalaati wa min dzurriyaatii…”
Ya Allah jadikan aku dan keluargaku orang-orang yang mendirikan shalat.
Ini salah satu contoh, doa Nabi Ibrahim buat diri dan keluarganya.

Kita juga punya doa. Doa sapu jagat, andalan seluruh umat. Yakni doa pamungkas, “Robbanaa aatina fiddun-ya hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa ‘adzaa-bannar.”

Ya Allah berikanlah kami kebahagiaan di dunia dan berikan pula kebaikan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.
(QS. Al Baqarah: 201)

Rasulullah saw bersabda, “Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”
(HR. Muslim)

Lalu siapakah wanita shalihah itu?

“Kalau dipandang menyenangkan hati, kalau diperintah ia taat, kalau ditinggal pergi ia menjaga diri dan harta suaminya.”
Raih Cita-Cita Akhirat

Cita-cita dunia diwakili dengan ungkapan, “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya…”

Berikutnya mari kita raih cita-cita akhirat, “Beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok pagi.”

Mati? Ya kita semua pasti akan mati. Karenanya yang penting bukan mengapa kita mati dan kapan kita undur diri, tetapi bagaimana kita mati dan mempersiapkan diri? Sebab rasa mati itu sama, tapi sebabnya beragam, nilainya berbeda. Ada yang syahid karena taat, ada yang “sangit” karena gosong dalam maksiat. Ada yang mulia karena takwa, dan banyak yang hina karena angkara.

Cita-cita akhirat inilah puncak kita untuk beristirahat. Seperti kata Imam Ahmad saat ditanya kapan seorang mukmin itu istirahat?
“Saat ia menginjakkan kakinya di surga.”
Jawab beliau.
Fokuskan Diri Untuk Meraih Cita
Mari kita renungkan. Orang buta bila ia bersyukur ternyata ia lebih bisa menghafal Al Quran karena matanya tak sempat banyak melakukan maksiat. Dengan modal itulah ia bisa lebih fokus, menggunakannya untuk lebih banyak beribadah seperti Abdullah Ibnu Ummi Maktum.
Fokuskan Diri Untuk Meraih Cita
Orang miskin. Dibalik kekurangannya ia bisa lebih banyak menyibukkan diri dalam taqarrub ilallah. Karena hatinya tidak terlalu disibukkan dengan urusan harta duniawi yang menyita perhatian dan perhitungan
Fokuskan Diri Untuk Meraih Cita
Apalagi kalau kaya, kalau fokus sudah jelas, kekayaannya pun bisa menjadi berkah seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Abu Thalhah Al Anshari, Suhaib Ar Rumi. Mereka para konglomerat, tapi hidup mereka fokus ke akhirat. Terhadap dunia hati mereka tak terlalu terpikat.

Kuncinya, fokuskan apa yang ada untuk berprestasi yang terbaik. Ahsanu Amala.

“Dialah Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya.”
(QS. Al Mulk: 2)
Innalillahi wa innailahi rooji’un
Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger