Selamat Datang di Website Romo Selamat Suwito
Selamat Datang dan Selamat Menikmati Blog Ini

Bahaya Keracunan Mengintai

Senin, 01 April 20130 komentar


















Bahaya Keracunan Mengintai






Makanan Rumah Belum Tentu Aman

MAUNYA sih berhemat, tapi apa lacur, alih-alih makanan berlebih malah perut semakin melilit. Ya gara-gara menyantap makanan basi, Kamis (16/1) sedikitnya 69 jamaan haji Indonesia di Madinah keracunan ringan. Barangkali mereka pun tidak menyadari akibat tindakannya menyimpan makanan terlalu lama menyebabkan makanan tersebut basi. Mereka pikir waktu yang tak terlalu lama tidak akan memengaruhi kondisi makanan, sehingga mereka menunda menyantap makanan yang telah disediakan.

"Kebiasaan jamaah kita yang baru datang dari tanah air, saat diberi nasi di Bandara tidak segera dimakan. Ada yang disimpan hingga lebih dari lima jam, padahal itu sudah tidak sehat lagi," ujar Kasubdit Penyuluhan Haji Depag Drs H Muchtar Ilyas kepada sebuah media ibukota.

Keracunan makanan tak hanya menimpa para jamaah haji, tapi di beberapa daerah di Indonesia, misalnya beberapa orang terpaksa masuk rumah sakit akibat menyantap makanan di kenduri seorang warga. Bahkan dikabarkan ada juga yang nyawanya melayang.

Karenanya kita harus waspada dan hati-hati memilih dan mengolah makanan. Hingga apa yang menjadi tema Hari Gizi (25/1) ”Gizi Baik Bangsa Berkualitas Tugas Kita Bersama” dapat tercapai.

Bahaya Keracunan

Tanpa disadari kadang-kadang kita menebar racun bagi diri sendiri, meskipun kita tak pernah langsung mengakuinya. Semua orang dengan mudah akan menderita keracunan bila tidak berhati-hati dalam memilih maupun menangani sesuatu makanan. Racun tersebut dapat berasal dari kuman, pembasmi hama (pestisida), atau bahkan bahan tambahan makanan yang sengaja ditambahkan oleh orang tertentu (misanya pedagang) untuk memperoleh efek tertentu dari sesuatu makanan.

"Belum lagi makanan yang mengundang selera, namun kurang bergizi yang juga bisa meracuni. Masih banyak di antara masyarakat kita yang lebih mengutamakan selera dan cita rasa tinggi terhadap makanan, namun mengabaikan aspek keselamatan bagi jiwanya sendiri maupun orang lain. Jarang sekali makanan terutama fast food yang dikonsumsi dipertimbangkan aspek gizi dan kesehatannya," kata Elly Musa, Ir, M. Kes, Ka. Sei. Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.

Potensi yang menimbulkan keracunan sendiri, menurut Elly bisa dimulai dari proses pemilihan makanan, penyimpanan, pengolahan, penghidangan, hingga proses/ cara makan itu sendiri.

Dalam kenyataan sehari-hari, proses pemilihan makanan yang sehat, bergizi, dan aman atau tidak tercemar sering diabaikan.

Makanan yang secara fisik tidak terlihat aman-aman saja, bukan berarti di dalamnya tidak mengandung ancaman racun, kendati itu makanan yang berasal dari dapur rumah kita. Kalaupun makanan yang dimasak di dapur terjamin kebersihannya, bisa jadi bumbu yang dipakai para ibu mengandung bahan yang berbahaya, misalnya boraks yang seringkali terdapat pada bakso.

Menurut Dra. Euis Megawati, Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM Bandung boraks (Na2B4O7) yang sinonimnya natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat, wujudnya berwarna putih dan sedikit larut dalam air. Boraks ini bukan untuk makanan, tapi biasanya digunakan untuk bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik kayu, dan pengontrol kecoa. Bayangkan akibatnya bila zat seperti itu masuk ke perut kita?

Mungkin jika seseorang mengonsumsinya hanya sedikit akibatnya tidak terasa secara langsung. Namun jika sering mengonsumsi makanan yang mengandung boraks, bisa jadi zat itu akan terkumpul secara akumulatif pada otak, hati, lemak dan ginjal.

Dan jika pemakaiannya dalam jumlah banyak bisa menyebabkan demam, anuria, koma, merangsang SSP, depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian.

Selain yang terkandung dalam makanan yang biasa diolah di rumah, zat-zat yang membahayakan juga sering terdapat pada jajanan anak-anak, misalnya pewarna yang bukan khusus untuk makanan. Terkadang para pedagang jajanan ini nakal menggunakan pewarna tekstil untuk mewarnai makanan atau minuman.

Anda pun sebaiknya berhati-hati dengan mi atau tahu, karena disinyalir ada beberapa produk mi dan tahu yang mengandung formalin.

Formalin bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Efek lainnya, bisa mengakibatkan keracunan pada tubuh manusia, seperti timbul rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan saraf atau kegagalan peredaran darah. Bahkan pada orang yang keracunan dengan dosis yang sangat tinggi dapat mengakibatkan kejang-kejang, kencing darah, tidak bisa kencing dan muntah darah yang akhirnya menyebabkan kematian.

Bahan kimia lain yang berbahaya adalah Rodamin B. Rodamin B ini merupakan zat warna sintetis berbentuk serbuk kristal, tidak berbau, berwarna merah keunguan, dalam larutan berwarna merah terang berpendar (berluorescensi).

Penggunaan Rodamin B sering digunakan sebagai zat pewarna untuk kertas, tekstil dan sebagai reagnesia untuk pengujian antimon, cobalt, bismuth dan lainnya.

Namun Rodamin juga sering disalahgunakan untuk pewarna pangan dan kosmetik, misalnya sirup, lipstik, permen, obat-obatan.

Paparan Rodamin B dalam waktu yang lama (kronis) dapat menyebabkan gangguan fungsi hati/ kanker hati.

Kuman ada dimana-mana

Harap diingat, setiap orang sebenarnya selalu membawa kuman, baik di mulut, hidung, saluran pernapasan, saluran pencernaan, maupun pada kulitnya. Kuman ini dengan mudah dapat dipindahkan ke makanan. Bakteri patogen atau bakteri penyebab penyakit memang sering ditularkan dari para karyawan yang menangani bahan makanan, biasanya melalui tangan yang kurang bersih sewaktu persiapan maupun penyajian makanan.

Di samping manusia, ternak, serangga, maupun binatang rumah, juga berpeluang berkembang biaknya bakteri patogen. Secara umum, tanah pun selalu mengandung bakteri. Jumlah bakteri tersebut akan menjadi semakin banyak dan berbahaya bila tercemar kotoran manusia. "Karena itulah, sayur-sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian harus selalu dibersihkan atau dicuci untuk menghilangkan kotoran. Tempat pencucian pun harus terpisah dengan tempat untuk mempersiapkan makanan," ungkap Elly Musa.

Istilah cross contamination atau pencemaran silang juga bisa terjadi. Terjadinya karena bakteri dari salah satu sumber yang tercemar pindah ke sumber belum tercemar yang biasanya baru saja dimasak. Pencemaran silang ini dapat melalui alat-alat atau karena salah meletakkan makanan atau bahan pangan dalam lemari es sehingga bahan pangan yang belum tercemar menjadi tercemar.

Seseorang yang mengonsumsi makanan kaleng pun tidak luput dari ancaman bahaya keracunan. Beberapa tanda makanan kaleng yang telah rusak antara lain, keadaan kaleng kembung dengan derajat kekembungan yang lunak sampai keras. Dapat pula dikenali adanya kerusakan pada sambungan kaleng, karatan, bocor, penyok, labelnya rusak, atau penampilannya mencurigakan. Namun demikian, kaleng yang normal pun belum tentu bermutu baik. Kerusakan keasaman tidak menyebabkan kaleng kembung.

Jangka pendek

Keracunan yang paling banyak disoroti biasanya yang sifatnya jangka pendek, namun jarang sekali kita mempersoalkan dampak makanan yang beracun yang mengancam manusia dalam jangka waktu yang panjang. Sebut saja kerusakan organ tubuh atau keracunan secara permanen setelah mengonsumsi makanan tertentu.

"Secara hukum pun belum tegas dinyatakan untuk memberikan sanksi pada keracunan jangka panjang, karena pembuktiannya sulit dilakukan. Bila keracunan saat itu kan bisa langsung ditindak oleh aparat kepolisian, namun bila membunuh pe­lan-pelan atau membahayakan organ tubuh manusia dimasa yang akan datang sulit dicarikan pembuktiannya," kata Elly.

"Untuk itu harus ada upaya positif dari berbagai pihak untuk memahami pentingnya menghindari keracunan baik yang bisa dikenali langsung atau spontan, mapun yang berdampak pada keracunan dimasa datang. Misalnya akibat mengonsumsi makanan yang tercemar merkuri, pestisida, serta zat-zat lain yang berdampak buruk bagi kesehatan," imbuh Elly.

Memang, katanya, banyak undang-undang yang mengatur tentang pencegahan dampak keracunan jangka panjang, namun sejauh ini upaya sosialisasi masih terhambat.

Pencegahan

Pencegahan keracunan makanan bisa dilakukan dengan mencuci tangan setelah pulang ke rumah, sebelum memasak, sebelum makan dan setelah buang air. Cucilah peralatan masak dan makan dengan baik, dan mengeringkannya dengan lap kain yang bersih. Makanan yang dibeli hendaknya secepat mungkin dimakan. Makanan yang sudah dibiarkan terlalu lama sejak dimasak hendaknya dibuang. Terutama pada musim panas, hendaknya berhati-hati dengan bento (makanan kotak).

Namun salah satu upaya pencegahan yang paling murah adalah dengan sanitasi pangan. Sanitasi pangan termasuk produk yang disimpan, ditangani, dipersiapkan, atau diproduksi, serta higiene karyawan yang menangani pangan tersebut. Hal ini juga dapat diterapkan dalam lingkungan keluarga.

Untuk mencegah pencemaran silang, bahan pangan mentah sebaiknya tidak diletakkan berdampingan dengan makanan matang. Makanan matang harus diusahakan diletakkan di rak paling atas. Jangan membiarkan tetesan air atau makanan menjatuhi makanan di bawahnya. Ceceran makanan pada rak maupun dinding lemari es bisa merupakan sumber pencemaran. Karena itu, lemari es harus dibersihkan beberapa hari sekali. Semakin lama tidak dibersihkan, semakin tinggi kadar pencemarannya. Tandanya, banyak makanan yang justru cepat membusuk bila disimpan di dalam lemari es.

Mencegah keracunan makanan kaleng, antara lain dengan tidak mengonsumsi makanan kaleng yang telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan, seperti kaleng kembung, karatan, penyok, label tidak jelas, telah melewati masa berlakunya (kadaluwarsa), dan sebagainya. Jangan mencoba mencicipi makanan kaleng yang mutunya diragukan, tetapi didihkan makanan tersebut selama 15 menit sebelum disantap terutama yang bukan bersifat asam.

Bahan tambahan makanan alami jauh lebih sehat dan aman dibandingkan dengan yang bukan. Jika terpaksa menggunakan bahan tambahan makanan seperti penyedap, pemanis, pengawet, pakailah yang khusus untuk makanan, itupun dalam takaran wajar.

Melalui pengujian

Demi mencegah peredaran makanan dengan bahan-bahan berbahaya BB POM selalu mengadakan pengawasan produk makanan besar dan indusrti makanan rumah tangga, termasuk didalamnya makanan jajanan anak sekolah.

Pemeriksaan itu sendiri, menurut Euis (Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM Bandung), meliputi sarana produksi misal tempat bangunannya, cara memproduksi, bahan baku dan distribusi, termasuk penyimpanannya. Kemudian mereka mengadakan pengujian di laboratorium. Menurutnya bila hasil pengujian ternyata suatu produk tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya baru diberikan nomer registrasi. Jadi sebaiknya pilih produk makanan yang memiliki nomor registrasi dari POM. Kategori lainnya ML untuk makanan produksi luar negeri, dan SP/PIRT (Sertifikat Penyuluhan Pangan Industri Rumah Tangga) untuk makanan home industry. Sementara untuk makanan dalam kategori halal, menurut Euis yang berwenang adalah LPPOM MUI Jawa Barat, namun ijin percantuman dari BB POM.

Jika di antara pembaca ada yang memerlukan informasi mengenai obat dan makanan silankan menghubungi Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Bandung Jln. Pasteur No. 25 Bandung, 022-4266620 faks. 022-4213150

Halal dan baik

Memilih makanan memang tidak cukup hanya sehat, bergizi dan aman. Tapi bagi kaum Muslim sebaiknya makanan pun memenuhi syarat halal dan baik, halalan thayyiban.

"Jadi mencari makanan itu jangan asal beli dan hanya untuk mengatasi perut lapar saja," ujar Sekretaris LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan Kosmetika) MUI Jawa Barat ini. ujar Sekretaris LPPOM MUI Jabar dan Ketua Yayasan Masyarakat Konsumen (Yamki) Indonesia, Ir. Ferika Aryanti.

Ferika pun mengatakan pihaknya memberikan pengawasan dan pembinaan terhadap produsen makanan untuk mencari bahan-bahan produk makanan yang halal, baik dan sehat.

"Dan alhamdulillah LPPOM MUI Jawa Barat sudah melakukan sertifikasi halal sebanyak 500 produsen makanan, namun diakuinya ini masih jauh sekali dengan jumlah produk makanan yang beredar di masyarkat," ujarnya seraya mengatakan baru 5 persen yang bersertifikat halal.

EYP/Aji/"PR"- Jihad/Jalu


































































































Integrasi Sanitasi dengan Analisis Bahaya dan Titik Pengawasan Kritis


Terakhir diperbaharui Wednesday, 11 October 2006


Tri Prasetyo Sasimartoyo dan Sri Irianti Kedeputian Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Badan Pengkajian dan


Penerapan Teknologi (BPPT) Jl. M.H. Thamrin No.8, Jakarta Pusat, 10340, dan Puslitbang Ekologi dan Status


Kesehatan, Badan Litbangkes, Depkes RI. J1. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 E_mail : martoyo@bppt.go.id,


irianti@litbang.depkes.go.id


Abstrak Food safety is a growing concern for consumers and professionals in the food and foodservice sectors as its


goal is to minimize the incidence of food borne diseases. In order to achieve that goal, there are two approaches that


should be applied integrally, namely Hazards Analysis and Critical Control Points (HACCP) and sanitation. The two


systems share the same goal of producing safe food products, however, they are different in their focuses. The first one


focuses on controlling hazards intrinsic to food materials and the latter is on the environment surrounding the food to


prevent contamination. This review will discuss about the advantages of HACCP and sanitation that should be used in


food safety system and find better solution in the implementation of the two approaches in food industries in Indonesia.


Kata kunci: sanitasi, analisis bahaya, pengawasan kritis, industri makanan


Pendahuluan


Penyakit melalui makanan (foodborne diseases) telah menjadi masalah penting dan meningkat dalam bidang kesehatan


masyarakat dan ekonomi di berbagai negara selama dua dekade terakhir. Kejadian luar biasa (KLB) yang sering terjadi


disebabkan oleh patogen baru, penggunaan antibiotik pada ternak dan penyebaran antibiotik yang kebal kepada


manusia dan kepedulian akan penyebaran bovine spongiform encephalitis merupakan beberapa contoh dari masalah


kesehatan masyarakat (Rocout J, 2003). Beberapa negara yang telah mempunyai sistem surveilans penyakit melalui


makanan (PMM) menengarai adanya peningkatan insidensi penyakit tersebut. Diperkirakan bahwa setiap tahun PMM


menyebabkan sekurangnya 76 juta orang mati, di antaranya 325 orang yang dirawat, 5000 kematian di Amerika Serikat


dan 718 orang mati di Inggris (Rocout J, 2003). Hal yang sama diperkirakan terjadi di negara berkembang, bahkan


dengan tingkat kematian yang lebih tinggi mengingat belum baiknya sistem surveilans penyakit. Kontaminasi makanan


terjadi melalui pencemaran udara, air dan tanah seperti pada kasus logam berat, polychlorinated biphenyls (PCBs) dan


dioksin. Bahaya bahan kimia yang lain adalah toksin yang secara alamiah terdapat dalam bahan makanan yang akan


muncul selama produksi makanan, panen, proses pengolahan dan penyiapan. Kontaminasi makanan oleh bahan kimia


biasanya diawasi dengan baik di negara maju walaupun beberapa kasus tetap merupakan masalah kesehatan


masyarakat (FAO dan WHO, 2003). Dewasa ini keamanan makanan menjadi kepedulian masyarakat konsumen dan


para profesional di bidang kesehatan dan industri makanan karena masih tingginya kejadian penyakit yang ditularkan


melalui makanan (Billy TJ, 2002; Badrie N et al., 2005). Keberadaan berbagai kuman patogen pada makanan siap saji


seperti Staphylococcus aureus, Escherichia coli, E. coli O157:H7, Listeria spp., Salmonella spp., dan Clostridium


perfringens telah terbukti menjadi penyebab KLB penyakit melalui makanan. Dampak dari tingginya angka kejadian


penyakit melalui makanan dapat mempengaruhi tidak hanya status kesehatan masyarakat tetapi juga kemajuan industri


pariwisata dan industri makanan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit melalui makanan,


namun demikian semua faktor tersebut dapat dikendalikan apabila perhatian industri makanan difokuskan pada


penerapan sanitasi makanan dan HACCP untuk mencapai tujuan akhir dari keamanan makanan (Taylor E dan KaneK,


2004). Berbagai data menunjukkan bahwa industri makanan bertanggung jawab atas terjadinya KLB penyakit melalui


makanan baik di negara maju maupun negara berkembang. Industri makanan terutama makanan siap saji menjadi fokus


utama apabila terjadi KLB penyakit melalui makanan walaupun tidak menutup kemungkinan terjadinya kontaminasi pada


rantai awal produksi bahan makanan. Bahaya potensial pada makanan dapat dikelompokkan dalam dua hal. Pertama


adalah agen penyebab penyakit yang masuk ke dalam makanan saat penyiapan makanan, misalnya kuman patogen


dari peralatan pengolah makanan yang tidak saniter dan kedua agen atau bahan yang memang ada dalam bahan


makanan itu sendiri, misalnya kuman patogen pada daging mentah. Metode untuk mengendalikan bahaya pada


kelompok pertama adalah melalui pencucian, higiene, dan sanitasi peralatan dan lingkungan tempat pengolahan


makanan. Sedangkan metode untuk mengatasi kelompok kedua adalah penanganan dan pengolahan yang sempurna


bila agen biologik atau pada prinsipnya pengaturan temperatur dan waktu yang tepat dari bahan makanan (Cichy RF,


1982; Smith JP et al., 1999). Dengan demikian integrasi dari kedua metode di atas dapat mencapai keamanan makanan


yang diinginkan oleh konsumen maupun insustri makanan sebagai produsen. Dalam makalah ini akan dibahas


pengalaman berbagai negara maju dan berkembang dalam penerapan HACCP dan sanitasi makanan serta kendala


yang dihadapi dalam penerapan kedua metode tersebut bagi industri makanan di Indonesia. Metodologi, Hasil dan


Pembahasan Metodologi


Makalah ini merupakan kajian literatur (literature review) yang berkaitan dengan penerapan sanitasi makanan dengan


Analisis Bahaya dan Titik Pengawasan Kritis (HACCP) di berbagai negara Asia dan negara maju lainnya dan kemudian


membandingkan dengan pelaksanaannya di Indonesia. Beberapa literatur yang menjadi bahan kajian berasal dari jurnal


ilmiah dan beberapa sumber dari situs internet baik di luar negeri maupun dalam negeri. Pokok bahasan difokuskan


pada pengertian sanitasi dan HACCP, tujuan sanitasi dan HACCP, ruang lingkup penerapan sanitasi dan HACCP,


peraturan perundangan di Indonesia, hasil dari penerapan HACCP, kendala dalam penerapannya dan menemukan


solusi yang dapat diterapkan dalam rangka mencapai tujuan keamanan makanan. Hasil dan Pembahasan


Pengertian, tujuan dan lingkup sanitation makanan.


Sanitasi adalah upaya penghilangan semua faktor luar makanan yang menyebabkan kontaminasi dari bahan makanan


sampai dengan makanan siap saji (FAO dan WHO, 2003). Sedangkan tujuan sanitasi adalah mencegah kontaminasi


bahan makanan dan makanan siap saji sehingga aman dikonsumsi oleh manusia. Kontaminasi terjadi saat agen biologi,


fisika atau kimia yang ada di lingkungan masuk ke dalam bahan makanan saat pengolahan maupun penanganan.


Situs Kedai Iptek PKT - BPPT


http://lc.bppt.go.id/iptek Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source Matters. All rights reserved Generated: 4 May, 2007, 05:23


Pendekatan yang diambil untuk mencegah terjadinya kontaminasi adalah membersihkan alat-alat dan permukaan


daerah yang mungkin kontak dengan bahan makanan dan mensterilkan alat dan permukaan tersebut. Tujuan dari


tindakan pembersihan adalah untuk menghilangkan tanah dan partikel bahan makanan dari daerah permukaan yang


akan dipakai untuk mengolah makanan, misalnya peralatan dapur, meja dapur, talenan, daerah sekitar kompor, dan


sebagainya. Biasanya, tindakan pembersihan meliputi dua langkah, yaitu pencucian dengan larutan deterjen dan


pembilasan dengan air yang mengalir. Tindakan sanitasi atau sterilisasi dilakukan setelah pembersihan dan


dimaksudkan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme hingga sampai pada batas aman. Daerah permukaan yang telah


dibersihkan dapat direndam dalam air panas (171°F selama 30 detik) atau dibilas dengan senyawa kimia (Taylor, E dan


Kane K, 2004).. Agar tindakan sanitasi efektif, tindakan pembersihan yang dilakukan sebelumnya juga harus efektif.


Tanah atau partikel bahan makanan yang tersisa akan melindungi mikroorganisme dari pengaruh air panas atau


senyawa kimia yang digunakan untuk sanitasi. Daerah permukaan yang pasti akan terkena bahan makanan adalah


tangan para pengolah makanan. bagian dari program sanitasi meliputi serangkaian prosedur dan metode untuk


mencegah kontaminasi oleh pengolah makanan. Semua pendekatan di atas membentuk suatu sistem yang ditujukan


untuk mencegah kontaminasi bahan makanan. Sistem tersebut diaplikasikan ke seluruh operasi pelayanan dan


penyiapan makanan, termasuk peralatan produksi makanan, pekerja, dan fasilitas yang ada. Sistem tersebut juga dapat


ditambah dengan adanya catatan mengenai metode yang digunakan dan kapan metode tersebut digunakan, serta halhal


lain yang mungkin terjadi selama proses pembersihan dan sanitasi. Pengertian, tujuan dan lingkup HACCP


Tujuan dari HACCP adalah untuk mencegah terjadinya bahaya tertentu pada serangkaian menu makanan tertentu


(Cichy RF, 1982; Soriano, JM, et al, 2002). Tim HACCP yang terdiri dari para pegawai yang mengenal baik produksi


makanan dan persyaratan keamanan makanan perlu ditunjuk. Biasanya, sebuah menu makanan tertentu (atau


sekelompok menu) dipilih oleh tim HACCP yang nanti akan menentukan berbagai bahya yang mungkin terjadi pada


menu makanan tersebut. Dalam pelayanan makanan, cara pengendalian biasanya meliputi pengaturan waktu dan suhu


yang dilalui makanan tersebut selama pendinginan, pemasakan, dan penyimpanan. Tujuan dari HACCP adalah


pengawasan sistematis dari bahaya tertentu yang mungkin terjadi pada makanan. Sebuah sistem HACCP disusun


oleh sebuah tim HACCP khusus dan didasarkan pada tujuh prinsip HACCP yang dinyatakan oleh Smith, JP et al, 1990)


seperti di bawah ini: · Identifikasi bahaya · Menentukan titik pengawasan kritis · Menetapkan batas kritis yang harus


dicapai untuk setiap titik pengawasan kritis · Menetapkan prosedur untuk memonitor setiap titik pengawasan kritis ·


Menetapkan tindakan korektif yang harus dilakukan apabila ditemui penyimpangan · Menetapkan catatan yang efektif ·


Menetapkan prosedur untuk verifikasi bahwa sistem HACCP berjalan dengan benar Rencana HACCP yang dihasilkan


merupakan protokol untuk produksi dan pelayanan serangkaian menu makanan yang aman. Sistem HACCP untuk menu


target diperoleh ketika rencana HACCP diimplementasikan. Untuk mendapatkan manfaat dari sistem HACCP dalam


pelayanan makanan memerlukan pengetahuan menyeluruh dari sistem produksi makanan (ditunjukkan dengan diagram


alur bahan yang mendetil) dan bahaya terkait makanan yang dapat terkena oleh makanan tersebut. Ratusan resep


digunakan dalam pelayanan makanan, namuan hanya beberapa yang merupakan kandidat baik untuk HACCP.


Biasanya sistem HACCP dilakukan secara bertahap, satu per satu menu (Taylor, E dan Kane K, 2004). Ini memberikan


tim HACCP kesempatan untuk mengkaji dampak dari implementasi HACCP dan waktu untuk belajar dari pengalaman


sebelumnya. Penyimpanan catatan juga termasuk dalam sistem. Penyimpanan catatan tidak hanya membantu para


pegawai untuk memfokuskan diri akan perannya dalam memastikan penyajian makanan yang aman, namun juga untuk


dokumentasi dan verifikasi bahwa prosedur yang benar telah dilakukan. HACCP dianggap efektif bila keamanan


makanan menjadi bagian dari tugas setiap orang. Karena dikembangkan dan direncanakan secara lokal – oleh


orang-orang di tempat pelayanan makanan tertentu – maka HACCP tersebut dapat mengakomodasi kondisi dan


hambatan yang terjadi di tempat tersebut (Hielm S et al, 2005). Salah satu persepsi yang salah tentang HACCP adalah


bahwa implementasinya akan menambah beban kerja. Karena rencana dikembangkan secara lokal, maka hal tersebut


tidak perlu terjadi. Perubahan besar yang disebabkan oleh HACCP adalah bahwa tindakan untuk memastikan keamanan


bahan makanan direncanakan dan dicatat. Seberapa banyak pekerjaan tambahan yang disebabkan oleh HACCP


tergantung pada para perencana HACCP. Tujuan dari HACCP selalu adalah untuk mengendalikan bahaya tertentu yang


mungkin terjadi pada makanan di menu tertentu.


- Penerapan HACCP di berbagai negara:


Inggris (Taylor, E dan Kane K, 2004)


Penerapan HACCP di Inggris terutama oleh industri makanan kecil dan sedang mengalami kendala terutama karena


mereka merasa bahwa adanya kegiatan HACCP menambah beban kerja dan waktu yang berimplikasi pada


penambahan biaya investasi atau operasional karena merupakan kegiatan yang sistematis dan bukan sesaat saja.


Namun demikian, setelah adanya bantuan pemerintah dalam pendirian Pusat Sumberdaya HACCP dan pihak ketiga


dalam penetapan sistem yang menyederhanakan dokumen pencatatan dan pelaporan serta metode verifikasi maka


ditemukan solusi bagi industri makanan kecil dan sedang.


Finlandia (Hielm S et al, 2005).


Adanya kesamaan persepsi tentang upaya menangani PMM di kalangan industri makanan di Finlandia dan pengawasan


oleh masyarakat sebagai konsumen, maka disepakati bahwa tanggung jawab industri makanan termasuk operator


makanan adalah menghasilkan makanan yang aman untuk dikonsumsi. Selain itu peran peraturan merupakan dasar dari


kesuksesan penerapan HACCP. HACCP disepakati oleh berbagai negara anggota Uni Eropa sebagai panduan


manajemen risiko utama sehingga semua pelaku bisnis di bidang makanan harus mengacu panduan tersebut untuk


menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen. Peran yang paling menonjol adalah para pegawai industri makanan


yang telah dilatih sehingga dapat melakukan pengawasan makanan pada setiap titik kritis dengan terampil.


Situs Kedai Iptek PKT - BPPT


http://lc.bppt.go.id/iptek Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source Matters. All rights reserved Generated: 4 May, 2007, 05:23


Spanyol (Soriano JM et al, 2002).


Penerapan HACCP di Spanyol dievaluasi dengan menggunakan indikator mikroorganisme seperti Staphylococcus


aureus, Escherichia coli, E. coli O157:H7, Listeria monocytogenes, Salmonella spp., dan Clostridium perfringens. Hasil


penelitian menunjukkan penurunan konsentrasi yang bermakna pada mikroorganisme tersebut. selain itu pelatihan


higiene perseorangan, praktik produksi yang baik, prosedur pembersihan dan sanitasi yang baik serta keamanan


petugas (alat pelindung diri) dan pengaturan kembali infrastruktur sangat berperan pada peningkatan kualitas makanan


yang dihasilkan.


Amerika Serikat (Cichy, RF, 1982; Billy TJ, 2002)


Sebelum diterapkan HACCP secara penuh, banyak ditemukan penyimpangan pada industri daging sapi segar dan beku


pada tahun 1980an. Penerapan HACCP dapat mengidentifikasi penyimpangan terutama hubungan antara waktu dan


temperatur baik pada saat di tempat produksi daging mentah sampai ke restoran yang akan mengolah daging tersebut


menjadi makanan siap saji. Titik pengawasan kritis diidentifikasi berdasarkan diagram alir dari urutan proses


penanganan daging mentah tersebut. Terdapat beberapa titik pengawasan kritis yang mempengaruhi perubahan waktu


dan temperatur yang menentukan perkembangan bakteri dalam daging. Adanya kebijakan nasional dan kerangka


peraturan yang menjadi acuan dalam Keamanan Makanan dan Pelayanan Pengawasan merupakan strategi utama


dalam keamanan makanan di Amerika Serikat. Integrasi sanitasi makanan dan HACCP telah diterapkan dan


kemajuannya sedang dimonitor dalam rangka meningkatkan kualitas industri makanan. Kemajuan dapat dicapai karena


adanya strategi keamanan makanan yang berdasarkan prinsip pencegahan masalah keamanan makanan, menjamin


bahwa industri makanan dan pemerintah bekerja tepat sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya dan menjamin


bahwa fokus dari kegiatan sesuai peraturan pada risiko yang paling kritis dalam pengamanan makanan. Canada


(Smith, JP et al, 1990).


Pendekatan HACCP di Canada diterapkan untuk identifikasi bahaya dan penentuan titik pengawasan kritis pada setiap


jenis makanan dan tahapan penanganannya. Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif dalam pengawasan


kualitas mikrobiologi dan bermaksud mencegah masalah sebelum muncul daripada menemukan masalah setelah


makanan siap disajikan. Titik pengawasan kritis untuk mengidentifikasi bahaya mikrobiologi termasuk dalam kualitas


bahan bumbu, hubungan waktu dan temperatur, sanitasi dan pengawasan pengkemasan, penyatuan dari kendala pH


dan penurunan aktivitas kadar air pada saat formulasi produk. Keberhasilan penerapan HACCP dan pelatihan pegawai


dalam industri makanan akan menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional lainnya.


Indonesia


Penerapan HACCP di Indonesia


Penerapan HACCP di Indonesia dimulai pada tahun 1998 yang diawali dengan pembentukan Sistem Keamanan Pangan


Terpadu (Integrated Food Safety System) yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan dalam penyediaan pangan


dengan membuat praktik terbaik dengan sumberdaya yang ada (Fardiaz D, 2004). Dengan komunikasi, pertukaran


informasi dan bekerjasama mencapai tujuan yang bersama meningkatkan keamanan pangan. IFSS menerapkan prinsip


analisis risiko di tingkat nasional melalui tiga jaringan yaitu Food Intelligent Network yang berisi tentang analisis risiko,


Food Control Network yang berisi manajemen risiko, dan Food Promotion Network yang berisi tentang komunikasi risiko.


Dalam pelaksanaan di lapangan telah dibentuk tiga sub grup yaitu Food WatchFood Stars yang berfungsi dalam


pelatihan di tiga tingkatan, masing-masing one star untuk pelatihan higiene dasar, two starthree star untuk penerapan


makanan melalui HACCP. yang berfungsi melakukan monitoring, untuk pelatihan praktik manajemen yang baik dan


Integrated Food Safety System (IFSS) dibentuk berdasarkan dokumen WHO tentang Pedoman untuk Memperkuat


Program Nasional dalam Keamanan Pangan. IFSS menyediakan kerangka nasional yanuntuk keamanan pangan


dengan kerjasama antar stakeholders. Peraturan perundang-undangan dalam keamanan makanan


- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan.


- Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan nomor HK 00.05.52.0685 tentang Ketentuan Pokok


Pengawasan Pangan Fungsional


- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Higiene dan Sanitasi Rumah


Makan dan Restoran


- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715 tentang Persyaratan Higiene dan Sanitasi Makanan Jajanan Jasaboga.


Kendala dalam penerapan HACCP


Kendala dalam penerapan HACCP di Indonesia hampir sama dengan kendala yang dihadapi oleh negara berkembang


lainnya, yaitu:


- Kurangnya komitmen pemerintah


- Kurangnya kebutuhan konsumen dan produsen akan pangan yang berkualitas


- Kurangnya peraturan perundangan


- Kurangnya dana


- Kurangnya tenaga terampil


- Kurangnya keahlian dan bantuan teknis


- Kurangnya sarana dan prasarana


- Kurangnya komunikasi


Situs Kedai Iptek PKT - BPPT


http://lc.bppt.go.id/iptek Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source Matters. All rights reserved Generated: 4 May, 2007, 05:23


Integrasi HACCP dengan Sanitasi


Sanitasi pelayanan makanan dan program HACCP memiliki tujuan yang sama: untuk memastikan keamanan bahan


makanan. Namun apabila terpisah, tidak satupun sistem tersebut akan memberikan kepastian yang dapat diverifikasi


bahwa tujuan telah tercapai. Beberapa bahaya tidak dapat dihilangkan hanya dengan sanitasi ataupun pemasakan.


Kedua pendekatan tentang keamanan bahan makanan tersebut memiliki perbedaan dalam tujuan, metode, pelatihan


yang diperlukan, dasar pengembangan, dan fokusnya. Meskipun tujuan akhirnya sama, keduanya merupakan sistem


terpisah yang harus disusun dan direncanakan secara terpisah. Dalam sebuah program sanitasi, semua pegawai


yang terlibat dalam pelayanan makanan harus menerima orientasi dan pelatihan memadai mengenai sanitasi makanan.


tiap orang harus mengetahui kebijakan operasional dan prinsip-prinsip perlindungan makanan. Sebaliknya, tidak semua


pegawai harus dilatih mengenai sistem HACCP. Misalnya, setiap pegawai tidak harus tahu bagaimana menyusun dan


menjaga rencana HACCP. Meskipun para manajer dan penyelia perlu mengerti tentang HACCP, peran pegawai pada


umumnya adalah untuk melakukan pencatatan, monitoring titik pengawasan kritis, dan mengawasi ada tidaknya


penyimpangan dan merespons saat terjadi penyimpangan. Sanitasi mengaplikasikan metode yang bertujuan untuk


mengawasi berbagai bahaya tanpa memperhatikan identitas dan clasifikasi dari bahan pangan. Bahaya biologik, kimia,


maupun fisik dapat dieliminasi dengan pembersihan dan proses sanitasi lingkungan kerja dan peralatan pengolahan


pangan. Sebaliknya, HACCP menargetkan pada bahaya yang spesifik dan fokus pada bahan pangan untuk mengawasi


bahayanya. Sanitasi yang berdiri sendiri tidak akan mampu dan cukup untuk mengamankan bahan pangan. Dengan


mengintegrasikan metode sanitasi dan HACCP akan dapat dicapai keamanan pangan yang optimal. Kesimpulan


Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:


- Penyakit melalui makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena angka kesakitan dan kematiannya


cukup tinggi


- Metode sanitasi makanan dan HACCP dapat diterapkan oleh industri makanan dalam rangka mencapai tujuan


keamanan pangan, namun keduanya harus diterapkan secara terpadu


- Sanitasi pangan dan HACCP di berbagai negara maju dapat berhasil diterapkan untuk meningkatkan keamanan


pangan karena adanya kerjasama stakeholders dan penegakan peraturan perundangan


- Beberapa kendala ditemuai dalam penerapan metode sanitasi pangan dan HACCP di Indonesia karena kurangnya


peraturan yang efektif, kurangnya sumberdaya dan komitmen pemerintah Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Anggia Prasetyoputri, S.Si, peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang


telah mengoreksi terjemahan bahan pustaka berbahasa Inggris. Daftar Pustaka Badan POM, 2004, Peraturan Kepala


Badan Pengawasan Obat dan Makanan nomor HK 00.05.52.0685 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan


Fungsional, BPOM, Jakarta. Billy, TJ, 2002, HACCP ¾ A Work in Progress, Food Control, (13) 359-362. Cichy, RF, 1982,


HACCP as a quality assurance tool in a commissary food-service sistem, Int. J. Hospitality Management, 1 (2), 103-106.


Departemen Kesehatan, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan


Higiene dan Sanitasi Makanan Jajanan Jasaboga Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003


tentang Persyaratan Higiene dan Sanitasi Rumah Makan dan Restoran FAO and WHO, 2003, Hazard Characterization


for Pathogens in Food and Water: Guidelines, FAO and WHO, Geneva. Fardiaz D and Jones S, 2004, Food Safety in


Indonesia. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, BPOM, Jakarta. Hielm S, et al, 2006, Attitude towards ownchecking


and HACCP plans among Finnish food industry employees, Food Control, (17) 402-407. Rocourt J et al, 2003,


The Present State of Food borne Disease in OECD Countries, WHO, Geneva. Sekretariat Negara, 2002, Peraturan


Pemerintah No. 28 Tahun 2002 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Sekneg, Jakarta. Smith JP, et al, 1990, A


Hazard Analysis Critical Control Point Approach (HACCP) to Ensure the microbiological Safety of Sous Vide Processed


Meet/pasta product, Food Microbiology, (7)177-198. Soriano, JM, et al, 2002, Effect of Introduction of HACCP on the


microbiological quality of some restaurant meals, Food Control, (13) 253-261. Taylor E and Kane, K, 2005, Reducing the


burden of HACCP on SMEs, Food Control, (16) 833-839. WHO. 2002. WHO Global Strategy for Food Safety: Safer


Food for Better Health. WHO. Geneva.


Situs Kedai Iptek PKT - BPPT


http://lc.bppt.go.id/iptek Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source Matters. All rights reserved Generated: 4 May, 2007, 05:23






























































































































































































































































PERSPEKTIF PENGAWASAN MAKANAN DALAM


KERANGKA KEAMANAN MAKANAN DAN UNTUK MENINGKATKAN KESEHATAN


SITI MORIN SINAGA


PIDATO


Disampaikan pada waktu Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap


Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam


Universitas Sumatera Utara


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Selamat pagi dan salam sejahtera,


Yang terhormat,


Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia


Bapak Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universitas Sumatera Utara


Bapak Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara I


Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Sumatera Utara


Para Dekan dan Pembantu Dekan di lingkungan Universitas Sumatera Utara


Para Dosen di lingkungan Universitas Sumatera Utara


Para Pembesar Sipil dan Militer


Para Alumni Universitas Sumatera Utara


Para teman sejawat, mahasiswa, famili, undangan dan hadirin yang saya hormati.


Mengawali pidato ini izinkanlah saya mengajak kita semua untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahman dan rahimNya sehingga kita dapat hadir mengikuti acara ini. Selanjutnya, salawat beriring salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang, safa'atnya kita harapkan di hari kemudian kelak. Saya sangat berbahagia dan mengucapkan terima kasih kepada hadirin yang telah berkenan meluangkan waktu untuk menghadiri upacara pengukuhan ini. Sungguh merupakan suatu kebahagiaan bagi saya karena dapat berdiri di depan Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya denganjudul:


"Perspektif Pengawasan Makanan Dalam Kerangka Keamanan Makanan Dan Untuk Meningkatkan Kesehatan"
Pendahuluan


Pada tingkat awalnya kebutuhan dasar kehidupan manusia cukup bila dipenuhi hanya dengan sandang, pangan dan perumahan. Dalam masyarakat yang semakin maju, tiga jenis kebutuhan dasar tersebut dianggap belum cukup dan masih perlu ditambah dengan kebutuhan dasar yang lain yaitu pendidikan, kesehatan dan perlunya lingkungan yang baik. Penyediaan makanan yang aman, bergizi dan cukup merupakan salah satu strategi yang renting untuk mencapai sasaran dalam bidang kesehatan. Bagaimanapun, mutu dan keamanan makanan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sosial baik individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Di samping tujuan utama penggunaan makanan sebagai pemberi zat gizi bagi tubuh yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup agar tetap sehat, manusia juga menggunakannya sebagai nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari.


Pembangunan di bidang makanan ditujukan antara lain untuk mencukupi kebutuhan dasar masyarakat akan makanan dalam jumlah yang cukup, beragam dan bermutu baik dari segi gizi maupun keamanannya sehingga terpenuhi salah satu





© 2004 Digitized by USU digital library 1


kebutuhan pokok untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hadirin yang saya hormati
Mengapa Pengawasan Makanan Begitu Penting ?


Pada umumnya pangan atau makanan tidak hanya tersusun dari protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan air tetapi juga terdiri atas berbagai zat kimia lain yang sudah berada dalam makanan secara alami maupun yang sengaja ditambahkan. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi, berbagai jenis makanan dapat dibuat lebih tahan lama, lebih menarik dalam penampilan bentuk dan Warna, lebih enak, serta lebih praktis bagi konsumen. Ternyata hal-hat tersebut diatas menjadi kurang berarti apabila makanan tersebut tidak aman untuk dikonsumsi. Keamanan makanan menjadi faktor yang sangat penting dalam pemilihan makanan, karena betapapun nikmatnya suatu makanan tetapi bila tidak aman bagi kesehatan, tentu konsumen tidak akan mengkonsumsinya.


Keamanan makanan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Balai POM RI, 2003). Selain itu keamanan makanan juga dimaksudkan untuk menjamin persediaan makanan yang bebas dari pencemaran bahan-bahan kimia berbahaya dan cemaran mikroba yang dapat menganggu,merugikan dan membahayakan kesehatan manusia atau mengganggu keyakinan seseorang atau masyarakat (Dep. Kes. RI.1997).


Peningkatan pengawasan makanan dititik beratkan dalam kerangka keamanan makanan untuk mencegah terjadinya pencemaran bahan berbahaya pada makanan sejak dari bahan baku hingga produk makanan. Untuk mengendalikan keamanan makanan, produsen diarahkan untuk menerapkan sistem dan teknologi produksi makanan yang berwawasan lingkungan antara lain dengan mencengah atau menggurangi penggunaan pestisida, hormon, dan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Selain itu tindakan yang dilakukan lebih mengutamakan pada tindakan pencengahan.


Pengawasan keamanan makanan juga renting dalam era globalisasi perdagangan bebas dalam bidang makanan. Hal ini terlihat semakin banyaknya bahan atau produk pangan yang masuk dari luar ke Indonesia yang kemungkinan tidak dapat dipertanggung jawabkan kelayakan dan keamanannya. Persaingan internasional yang semakin ketat dalam bidang perdagangan makanan, menuntut di produksinya makanan yang lebih bermutu dan aman. Selanjutnya kondisi diatas juga merupakan peluang bagi produk-produk pangan lokal untuk dapat bersaing dipasar dalam negeri dan luar negeri.
Residu Pestisida Di Dalam Makanan


Berdasarkan tujuan dan sasarannya pestisida dapat dibedakan menjadi golongan insektisida, fungisida, herbisida, rodentisida dan bakterisida. Pestisida digunakan untuk mengurangi kerusakan komoditi pangan baik yang masih di ladang maupun dalam penyimpanan. Bagaimanapun pestisida tersebut dapat meninggalkan residu pada bahan pangan yang dapat membahayakan konsumen. Oleh sebab itu pemakaiannya harus diawasi baik dari jenis maupun dosis yang digunakan (Winarno,


1993). Residu pestisida pada hasil tanaman biasanya berasal dari pestisida organophosphor sedang pada hasil ternak biasanya berasal dari pestisida organokhlorin. Terdapatnya residu pestisida pada makanan dapat menyebabkan tumor dan kanker pada manusia karena pestisida bersifat karsinogenik dan mutagenik pada manusia.Untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan dari bahaya residu pestisida, pada tahun 1996 pemerintah melalui Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian telah membuat Keputusan Bersama masing-masing dengan No.





© 2004 Digitized by USU digital library 2


861/Men. Kes/SKB/VIII/1996 dan No. 711/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian. Keputusan tersebut menetapkan antara lain batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian yang meliputi tanaman pangan, holtikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan baik yang dapat langsung di konsumsi maupun tidak dapat langsung di konsumsi.


Residu Obat-Obatan Ternak Di dalam Makanan


Pada umumnya obat-obatan ternak digunakan untuk beberapa tujuan yang berbeda, yaitu untuk pencengahan dan pengobatan penyakit, perangsang pertumbuhan, mengendalikan reproduksi dan menekan terjadinya stress pada ternak sebelum ternak dipotong. Obat-obatan yang banyak digunakan adalah obat anti bakteri, anti jamur, anti parasit dan obat anti cacing.


Penambahan obat-obatan ternak anti bakteri kedalam ransum pakan ternak, pertama sekali tujuannya adalah untuk meningkatkan laju pertumbuhan berat badan atau meningkatkan laju efisiensi ransum, tetapi kemudian penggunaan obat-obatan tersebut meningkat tajam khususnya bagi ternak sapi pedaging dan ayam pedaging (ayam potong) agar laju pertumbuhan badannya semakin cepat.


Selain itu obat-obatan anabolik atau hormon perangsang pertumbuhan seringjuga digunakan untuk memperbaiki produksi ternak terutama dari laju pertumbuhan berat badan ternak. Obat-obatan temak diberikan melalui makanan, air minum atau dengan cara disemprotkan atau disuntikkan. Apabila ternak – ternak yang baru saja mendapatkan suntikan obat-obatan atau ransum tersebut harus segera dipotong, tentu saja dapat meninggalkan residu obat-obatan dan hormon di dalam daging ternak, telur, susu atau produk-produk temak lainnya (Crosby, 1991; Sinaga, 2002).


Gangguan terhadap kesehatan manusia antara lain dapat berupa: (1) residu obat-obatan yang diperkirakan akan mampu bertindak sebagai karsinongen (perangsang timbulnya kanker) pada manusia, (2) ada kalanya dosis obat-obatan ternak yang diberikan begitu rendah (dosis yang diberikan dibawah dosis pengobatan) sehingga mengakibatkan timbulnya turunan bakteri yang resisten terhadap obat-obatan dan seterusnya dapat mengakibatkan penyakit kepada manusia yang mengkonsumsi daging ternak tersebut dan (3) obat-obatan ternak dapat bersifat alergi baik pada ternak maupun manusia, contohnya Penisilin. Beberapa negara di dunia telah memiliki peraturan mengenai penggunaan obat-obatan ternak, tetapi masih belum banyak negara yang mengatur batas residu obat ternak dalam makanan, termasuk Indonesia. Selanjutnya masalah residu obat- obatan dan hormon dalam produk pangan hasil ternak sering menimbulkan masalah dalam perdagangan intemasional karena setiap negara mempunyai peraturan perundangan-undangan dan persyaratan tertentu serta teknik analisis yang berbeda. Bahan pangan yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh negara tersebut akan ditolak. Sebagai contoh, pada Desember 1991 pemerintah Jepang telah menolak udang yang di ekspor ke Jepang karena mengandung Tetrasiklin sebanyak 3,4 ppm (Winarmo dan Rahayu, 1994).


Hadirin yang saya hormati,
Kontaminasi Logam Berat Di Dalam Makanan


Kasus keracunan logam berat merkuri (metil merkuri) yang terkenal terjadi di Teluk Minamata (Jepang) pada tahun 1953, karena para korban memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri. Ternyata merkuri berasal dari buangan sisa industri yang didialirkan ke sungai-sungai yang bemuara di teluk itu. Demikian banyaknya korban akibat keracunan tersebut, penyakit akibat keracunan merkuri disebut penyakit Minamata dengan gejala-gejala antara lain panas pada anggota badan, mulut, bibir dan lidah serta sukar berbicara dan menelan. Selain merkuri, logam-





© 2004 Digitized by USU digital library 3


logam berat yang dapat mengkontaminasi makanan ialah timbal (Pb) dan kadmium (Cd).


Kontaminasi timbal dan kadmium dalam makanan dapat terjadi melalui makanan dalam kaleng yang sambungannya masih dipatri dengan timbal, pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan serta makanan yang tercemari oleh udara dan air yang telah tercemar oleh gas dan debu knalpot kenderaan bermotor. Makanan yang tinggi kadar timbalnya antara lain makanan yang dikemas dalam kaleng, kerang-kerangan dan sayur-sayuran yang ditanam di dekat jalan raya (Winarno dan Rahayu,1994). Akibat pencemaran timbal dan kadmium pada lingkungan dapat rnenyebabkan makanan yang kita konsumsi, air yang kita minum dan udara yang kita hirup kemungkinan telah terkontaminasi dengan timbal dan kadmium. Residu logam-logam berat di dalam tubuh bersifat kumulatif dan dapat mengganggu sistem darah dan urat syaraf serta kerja ginjal.


Batas maksimum cemaran logam dalam makanan telah diatur oleh pemerintah melalui Keputusan Direktur lenderal Pengawasan obat dan Makanan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Dalam Makanan. Logam-logam tersebut adalah: arsen, timbal, tembaga, seng, timah dan merkuri.


Produk-produk makanannya adalah: buah dan hasil olahannya, coklat, kopi, teh, daging dan hasil olahannya, gula dan madu, ikan dan hasil olahannya, makanan bayi dan anak, minyak dan lemak, minuman ringan, minuman keras, rempah-rempah dan bumbu, sayur dan hasil olahannya, susu dan hasil olahannya, tepung dan hasil olahannya serta makanan lain yang tidak tertera diatas (Dep.Kes. RI., 1994).
Kontaminasi Mikroba Di dalam Makanan


Kontaminasi mikroba di dalam makanan sering dihubungkan dengan keracunan makanan dan beberapa kasus keracunan makanan yang terjadi telah di beritakan di media massa. Sebagai contoh keracunan makanan yang menimpa anak-anak sekolah dan karyawan pabrik. Korban yang terkena keracunan makanan dapat terjadi dimana saja dan tidak memandang usia dan menimpa banyak orang. Selain itu, kasus keracunan makanan ini sangat erat kaitannya dengan sanitasi pangan dan higienis. Sanitasi pangan adalah upaya pencengahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya mikroba pembusuk dan patogen dalam makanan.


Keracunan makanan oleh mikroba dapat dibagi menjadi dua yaitu intoksikasi dan infeksi. lntoksikasi terjadi karena mengkonsumsi makanan yang telah mengandung toksin yang xin diproduksi oleh mikroba baik bakteri maupun kapang Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan keracunan makanan ialah Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas cocovenenans. Sedangkan dari kapang adalah Aspergilus jlavus, Penicillium sp. dan sebagainya. Infeksi terjadi bila seseorang setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung patogen mendapat gejala-gejala penyakit. Contohnya Salmonella, Eschericia coli dan Clostridium perfringens.


Aflatoxin adalah mikotoksin yang diproduksi oleh Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus. Terdapat beberapa jenis aflatoksin tetapi yang berbahaya adalah anflatoksin B. Bahan makanan yang paling disenangi oleh jamur ini antara lain kacang tanah dan produk-produknya, biji-bijian, minyak yang berasal dari biji-bijian, jagung, beras serta produk pertanian lainnya yang telah mengalami kerusakan selama penyimpanan atau karena pengeringan yang kurang baik (Sinaga, 1986). Aflatoksin yang mencemari produk pertanian, bila dikonsumsi ternak dapat berpengaruh kurang baik terhadap kesehatan dan produktivitasnya.


Sedangkan residunya pada hasil ternak dapat membahayakan kesehatan manusia, apalagi bila dikonsumsi langsung. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh





© 2004 Digitized by USU digital library 4


alfatoksin ini antara lain keracunan hati pada beberapa hewan dan kemungkinan pada manusia Cemaran mikroba di dalam makanan telah diatur pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No. 03726/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Makanan. Produk makanannya adalah buah dan hasil olahannya, coklat, kopi, daging dan hasil olahannya, gula, ikan dan hasil olahannya, kacang-kacangan, makanan bayi dan anak, makanan dan minuman kalengan, rempah-rempah dan bumbu, sayur dan hasil olahannya, susu dan hasil olahannya serta tepung dan hasil olahannya (Dep. Kes. RI., 1994).
Pencemaran Makanan oleh Radioaktif


Pada bulan April 1986, suatu tragedi internasional telah terjadi yaitu kerusakan, kebocoran dan kebakaran suatu reaktor atom di Chemobyl (Rusia). Kecelakaan tersebut selain menelan banyak korban juga membahayakan lingkungan. Kontaminasi radioaktif dapat terjadi pada air dan bahan pangan melalui isotop radioaktif yang terjadi secara alami dari debu radioaktif, baik dari peledakan senjata nuklir atau dari pabrik pembangkit tenaga nuklir (Winarno dan Rahayu, 1994). Sejak Februari 1987, melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 00474/B/II/87 (Dep. Kes. RI.1987) pemerintah telah menetapkan Keharusan Menyertakan Sertifikat Kesehatan dan Sertifikat Bebas Radiasi untuk Makanan Impor. Jenis makanan dan minuman impor yang harus disertai dengan sertifikat bebas radiasi tersebut adalah susu dan hasil produk susu, buah dan sayuran segar maupun yang terolah, ikan dan hasil laut lainnya segar maupun terolah, daging dan produk daging, air mineral dan serealia.


Hadirin yang saya hormati,
Bahan Tambahan Makanan


Selain peraturan tentang cemaran mikroba dan kandungan bahan berbahaya dalam makanan, Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan mengenai Bahan Tambahan Makanan yang diizinkan dan dilarang digunakan dalam makanan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 (Dep. Kes. RI., 1989). Bahan Tambahan Makanan adalah bahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, antara lain pemanis buatan, bahan pengawet, pewarna, penyedap rasa dan aroma, anti gumpal dan pengental. Ketentuan lain yang mengatur penggunaan bahan tambahan makanan adalah larangan bagi setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan menggunakan bahan tambahan makanan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang telah ditetapkan.


Bahan pewarna, pengawet dan pemanis buatan merupakan bahan tambahan makanan yang sering disalahgunakan pemakaiannya. Sebagai contoh, pewarna untuk tekstil dipakai untuk mewarnai makanan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada pewarna tersebut.Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai pewarna untuk makanan, warna dari pewarna untuk tekstil lebih menarik dan harganya relatif lebih murah berbanding dengan pewarna untuk makanan (Sinaga,1991; Sinaga, 1993).


Selanjutnya, untuk menghindari penyalahgunaan pewarna makanan tersebut Pemerintah melalui Keputusan Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan No. 01415/B/SK/IV/91 telah mengeluarkan peraturan tentang Tanda Khusus Pewarna Makanan. Keputusan ini memuat ketentuan bahwa pada kemasan atau bungkus luar pewarna makanan harus dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk pewarna makanan yaitu lingkaran dengan tepi berwarna hitam dengan huruf M di bagian dalamnya.





© 2004 Digitized by USU digital library 5
Label dan Iklan Pangan


Selain dari kandungan bahan berbahaya di dalam makanan, hal lain yang hams diperhatikan adalah kemasan serta label produk makanan. Label pada produk makanan telah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 79/Men. Kes/Per/III/1978 tentang Label dan Periklanan Makanan (Dep. Kes. RI., 1994). Pada


label produk makanan harus mencantumkan antara lain: nama makanan' atau merk dagang, komposisi, nama dan alat alamat perusahaan, nomor pendaftaran dan kode produksi. Disamping itu untuk jenis makanan tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan Menteri Kesehatan, pada labelnya harus dicantumkan tanggal daluwarsa, nilai gizi, petunjuk penggunaan dan cara penyimpanan (Dep. Kes. RI., 1994). Demikian pentingnya tentang label dan iklan ini, selanjutnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan Makanan melalui Keputusan Direktur lendral Pengawasan Obat dan Makanan No. 02240/B/SK/VII/91.


Ketentuan tentang Makanan Daluwarsa telah pula diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Men. Kes/Per/IV/85 dan Keputusan Direktur lenderal Pengawasan Obat dan Makanan tentang ketentuan untuk jenis makanan tertentu pada labelnya harus dicantumkan tanggal, bulan dan tahun daluwarsa. (Dep. Kes. RI., 1994). Berkaitan dengan hal tersebut diatas, masalah yang sering terjadi adalah masih beredamya produk-produk makanan yang sudah kadaluwarsa dan keadaan ini tentunya dapat merugikan konsumen.


Disamping itu, melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agarna RI masing-masing dengan No. 427/Men. Kes/SKB/VIII/85 dan No. 68 Tahun 1985 telah diatur tentang Pencantuman Tulisan "Halal" Pada Label Makanan. Keputusan tersebut juga menyebutkan bahwa produsen makanan tersebut wajib melaporkan kepada Departemen Kesehatan tentang komposisi makanan dan proses pengolahannya.


Pengawasan iklan makanan telah pula diatur melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan RI masing-masing dengan No. 252/Men. Kes/SKBNII/85 dan No. 122/Kep/Menpen/1980 tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan dan Minuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan yang dilakukan melalui media massa. Departemen Penerangan mengadakan pengendalian materi periklanan melalui media massa.


Pengawasan periklanan menjadi sangat penting karena produk pangan bukanlah obat dan tidak boleh dipresentasikan sebagai obat. Selain itu, pengertian benar dan tidak menyesatkan yang di informasikan melalui label dan iklan hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah (untuk keperluan pengawasan), kalangan produsen (Untuk keperluan persaingan yang sehat) maupun oleh konsumen (untuk keperluan menentukan pilihannya).


Hadirin yang saya hormati
Pengawasan Makanan


Mengingat demikian pentingnya hal-hal yang menyangkut mutu dan keamanan makanan dan untuk mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang efektif di bidang pangan diperlukan antara lain peraturan. Peraturan tersebut dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan atas proses produksi, peredaran dan perdagangan pangan. Hal ini telah diwujudkan dengan ditetapkannya Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang pangan tersebut antara lain mengatur mengenai keamanan pangan, mutu dan gizi pangan, label dan iklan pangan, tanggungjawab industri pangan dan ketentuan pidana (Badan POM RI.2003).





© 2004 Digitized by USU digital library 6


Sistem pengawasan keamanan pangan sebaiknya dilakukan secara total dengan pendekatan antar sektor yang sifatnya terpadu diantara para pelaku yang terlibat terrnasuk lembaga-lembaga pemerintah terkait, produsen dan konsumen. Pengawasan makanan dilaksanakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait yaitu Departernen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian.
Penutup


Hadirin yang saya hormati


Masalah keamanan makanan pada kenyataannya merupakan masalah yang terkait dengan isu kesehatan. Bagaimanapun, pengawasan mutu dan keamanan makanan merupakan tanggung jawab kita bersama dan membutuhkan keterlibatan pemerintah dan para pelakunya di masyarakat termasuk dibidang-bidang pertanian, industri, perdagangan, pendidikan dan lingkungan serta peran serta masyarakat.


Selain itu untuk meningkatkan pengawasan keamanan makanan perlu kiranya semua peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan sebaik-baiknya. Disamping itu, demi untuk memperjelas tugas dan tanggungjawab masing-masing instansi yang terlibat dalam pengawasan makanan, kerja sama lintas sektoral perlu ditingkatkan.


Beberapa alternatif pengawasan dapat dikembangkan antara lain: penyusunan dan penyempumaan peraturan dan standar di bidang makanan, terutama menyusun peraturan yang belum ada misalnya batas maksimum residu obat-obatan ternak di dalam makanan. Selain itu perlu diberikan informasi kepada produsen primer (industri hulu yaitu petani, peternak dan nelayan) untuk menggurangi penggunaan pestisida, hormon dan antibiotika dan bahan kimia pertanian lainnya secara aman dan efektif serta ramah lingkungan.


Seterusnya pembinaan juga diberikan kepada produsen makanan untuk menerapkan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) (Dep. Kes. RI, 1994) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah sistem manajemen pengawasan mutu terpadu, khususnya untuk penanganan atau pengolahan yang didasarkan pada pendekatan sistematika dan ilmu pengetahuan dalam mengidentifikasi kemungkinan terjadinya bahaya (Hazard) dan tindakan pengendaliannya pada titik-titik kritis (critical control point) di dalam tahapan penanganan dan pengolahan (Badan Standardisasi Nasional, 2001). Dengan pembinaan ini diharapkan para produsen makanan mempunyai kewajiban moral untuk memproduksi makanan yang aman bagi konsumen.


Selanjutnya untuk meningkatkan pengawasan makanan, tentunya fasilitas laboratorium perlu ditingkatkan agar dapat memonitoring secara ketat cemaran mikroba dan kandungan bahan berbahaya di dalam makanan. Selain itu untuk meningkatkan peran serta masyarakat, informasi juga perlu diberikan kepada konsumen/rumah tangga mengenai penanganan dan penyimpanan makanan yang aman, gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar, makanan yang cukup bergizi untuk keluarga, kebersihan dan lain sebagainya. Sebagai informasi data perlu kiranya ada profil tentang jumlah, penyebaran dan penyebab kasus keracunan dan penyakit yang bersumber dari makanan, profil industri makanan serta profil masalah mutu dan keamanan makanan yang beredar termasuk makanan produksi dalam negeri dan makanan impor.





© 2004 Digitized by USU digital library 7
RUJUKAN


Badan Pengawas Ohat Dan Makanan (2003). Peraturan Di Bidang Pangan. Jakarta. Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya. 2, 4, 15 , 21 , 30.


Badan Standarisasi Nasional (2001). Sistem Standardisasi Nasional. Jakarta. Hal. 14.


Crosby, N. T. (1991). Determination of Veterinary Residues in Food. New York. Ellis Horwood. Hal. 123-125.


Departemen Kesehatan RI (1987). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 00474/B/IV87 tentang Keharusan Menyertakan Sertifikat Kesehatan dan Sertifikat Bebas Radiasi untuk Makanan Impor. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.


Departemen Kesehatan RI (1989) .Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 722/Menkes/Per/ IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.


Departemen Kesehatan RI (1994). Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Makanan. Edisi III. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Hal. 71-73,157-170,270- 274.


Departemen Kesehatan RI (1997). Program dan Kegiatan Pengawasan Makanan. Buletin Direktorat Jenderal Pengawasan Ohat dan Makanan. Vol. 19. No.2. Hal. 10- 17.


Sinaga, S. Morin (1986) .Controlled Atmosphere Storage to Reduce Microflora And Aflatoxin Production In Maize.Master Thesis. Division of Agricultural and Food Engineering, Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand.


Sinaga, S. Morin (1991). Pemeriksaan Zat Warna Dan Cemaran Mikroba Dalam Agar-Agar Jelly Yang Beredar di Pasaran Kotamadya Medan". Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian USU Medan.


Sinaga, S. Morin (1993). Analisa Zat Tambahan Makanan (Food Additive) Dan Cemaran Mikroba Pada Makanan Jajanan Anak-Anak Sekolah Dasar di Kotamadya Medan. Laporan _Penelitian, Lembaga Penelitian USU Medan.


Sinaga, S. Morin. (2002). Penggunaan Voltammetri Elektrod Pasta Karbon Dan Elektrod Pasta Karbon Terubahsuai Bagi Penentuan Sebatian Asid 3-Nitr0-4-Hidroksifenil Arsonik Dan Asid para Arsanilik (2002). Ph.D. Tesis. Fakulti Sains, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Baru, Malaysia.


Winarno, F. G. (1993). Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 392-394.


Winarno, F. G. dan Rahayu. T. S. (1994). Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal.176, 185-186.





PENGETAHUAN DAN PERILAKU PENJAMAH TENTANG SANITASI PENGOLAHAN MAKANAN PADA INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT DI JAKARTA Djarismawati, Bambang Sukana, Sugiharti * Abstrak Sanitasi makanan sangat penting terutama di tempat-tempat umum yang erat kaitannya dengan pelayanan orang banyak. Rumah sakit merupakan salah satu tempat umum yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan inti kegiatan berupa pelayanan medis yang diselenggarakan melalui pendekatan preventif, kuratif, rehabilitatif dan promotif. Untuk menunjang pelayanan medis bagi pasien yang di selenggarakan rumah sakit, perlu adanya pengolahan makanan yang baik dan memenuhi syarat higiene sanitasi makanan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses pengolahan makanan di 3 (tiga) rumah sakit (RS. Fatmawati, RS Pasar Rebo, dan RS Persahabatan) belum memenuhi syarat higiene sanitasi makanan. Pengetahuan dan perilaku penjamah sudah baik, tempat pengolahan belum memenuhi syarat dan kurangnya pengawasan serta pembinaan terhadap proses pengolahan makanan. Saran yang dapat diberikan adalah perlu diadakan kursus mengenai sanitasi makanan dan higiene perorangan kepada tenaga penjamah, pengawasan, terhadap perilaku dan kualitas makanan perlu di tingkatkan MPendahulua akanan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan kehidupan. Makanan yang dibutuhkan harus sehat dalam arti memiliki nilai gizi yang optimal seperti : vitamin, mineral, hidrat arang, lemak dan lainnya. Makanan harus murni dan utuh dalam arti tidak mengandung bahan pencemar serta harus higiene. Bila salah satu faktor tersebut terganggu makanan yang dihasilkan akan menimbulkan gangguan kesehatan dan penyakit bahkan keracunan makanan. n Masalah sanitasi makanan sangat penting, terutama ditempat-tempat umum yang erat kaitannya dengan pelayanan untuk orang banyak. Rumah sakit merupakan salah satu tempat umum yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan inti pelayanan medis. Agar dapat menunjang kegiatan pelayanan medis diperlukan tempat pengolahan makanan yang kegiatannya berada di instalasi gizi rumah sakit. Untuk mendapatkan makanan yang bermanfaat dan tidak membahayakan bagi yang memakannya _____________ * Puslitbang Ekologi Kesehatan, Badan Litbangkes perlu adanya suatu usaha penyehatan makanan dan minuman, yaitu upaya pengendalian faktor yang memungkinkan terjadinya kontaminasi yang akan mempengaruhi pertumbuhan kuman dan bertambahnya bahan aditif pada makanan dan minuman yang berasal dari proses pengolahan makanan dan minuman yang disajikan di rumah sakit agar tidak menjadi mata rantai penularan penyakit dan gangguan kesehatan.1 Dari hasil penelitian 64 % karyawan pengolahan makanan berpendidikan SD,2,3,4 masih tingginya tingkat kontaminasi bakteri makanan yang disajikan di tempat pengolahan makanan (TPM), 3 rendahnya kondisi sanitasi dapur dengan pendidikan penjamah SD. Kejadian luar biasa (KLB) diare masih tinggi 116.075 kasus dan keracunan makanan 31.919 kasus pada tahun 1995.5 Penjamah makanan memegang peranan penting dalam melindungi kesehatan penderita/ pasien di rumah sakit dari penyakit akibat kontaminasi makanan, untuk itu perlu diperhatikan 6 prinsip upaya sanitasi oleh penjamah makanan dan minuman di rumah sakit, yaitu pengawasan bahan makanan, penyimpanan Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 31


32 Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 bahan makanan, pengolahan bahan makanan, penyimpanan makanan matang dan penyajian makanan. 6 Bakteri yang sering mencemari makanan dan minuman adalah E. Coli, Stapylococus sp, Pseudomonas sp, Klebsiella sp dan Proteus sp.7 Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi pada pengolahan makanan di Instalasi Gizi di beberapa Rumah Sakit (RS. Fatmawati, RS Pasar Rebo, dan RS Persahabatan) dan pengetahuan dan perilaku tenaga penjamah makanan serta pengawasan dan pembinaan. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam upaya higiene sanitasi. Metodologi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 90 orang tenaga penjamah makanan dan minuman di Instalasi Gizi di 5 rumah sakit (RS. Fatmawati, RS Pasar Rebo, dan RS Persahabatan). Setiap rumah sakit diambil 30 orang untuk sampel tenaga penjamah, terdiri dari 7 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Untuk pengumpulan data dilakukan wawancara dengan menggunakan alat kuesioner, pengamatan menggunakan observasi. Untuk melihat pengaruh antara pengetahuan responden tentang sanitasi pengelolaan makanan terhadap perilaku responden terhadap sanitasi pengelolaan makanan dilakukan uji kai kuadrat. Rumus Kai Kuadrat : X2 = ∑ ( O – E )2 E Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian higiene dan sanitasi pada pengolahan makanan di dapur beberapa rumah sakit di peroleh hasil seperti pada tabel 1 dimana terlihat komposisi tingkat pendidikan tenaga penjamah makanan di beberapa instalasi gizi rumah sakit cukup memadai. Penjamah makanan yang berpendidikan tamat SLTP dan SLTA (66,7 %) sedangkan yang tidak tamat dan tamat SD 33,3%. 1. Pendidikan Tabel 1. Jumlah Responden Menurut Pendidikan di Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta No. Pendidikan Jumlah Penjamah Prosentase 1. 2. 3. 4. 5. Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Perguruan tinggi 3 27 24 36 0 3,3 30 26,7 40 0 Jumlah 90 100 2. Pengetahuan dan Perilaku Tabel 2. Jumlah Responden Tentang Perlu Tidaknya Mempunyai Sertifikat Kesehatan Menurut Manfaat pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001 Sertifikat Kesehatan No. Manfaat Perlu % T. perlu % ∑ % 1 2. 3. Untuk meng. Status Kesehatan Penjamah. Untuk memenuhi Persyaratan. Tidak Tahu. 66 9 6 73,3 10 6,7 0 0 9 0 10 66 9 15 73,3 10 16,7 Jumlah 81 90 9 10 90 100


Dari tabel 2. terlihat 90% responden mengetahui perlunya sertifikat kesehatan dan 73,3% menjawab dengan benar yaitu untuk mengetahui kesehatan penjamah. Sebagian besar tenaga penjamah makanan dan minuman pada beberapa instalasi gizi rumah sakit mempunyai prilaku yang baik dengan pemilikan sertifikat sebanyak 60% serta melakukan pemeriksaan kesehatan pertahun 80%, >1 tahun sekali sebanyak 43,3% (tabel 3 dan 4). Pada tabel 5 dan tabel 6 terlihat bahwa pengetahuan penjamah tentang higiene sanitasi cukup baik (100%). Penjamah mengetahui makanan dan minuman dapat menularkan penyakit (100%) penjamah mengetahui perlunya mencuci tangan dengan sabun untuk menjawab dengan benar tentang dapatnya makanan menularkan penyakit hanya 66,7% yaitu penyakit gangguan pencernaan. Tabel 3. Jumlah Responden yang Memiliki Sertifikat Kesehatan pada Beberapa Instalasi Gizi di Rumah Sakit di Jakarta 2001. No. Pemilikan Sertifikat Kesehatan Jumlah Prosentase 1. 2. Sudah Belum 54 36 60 40 Jumlah 90 100 Tabel 4. Jumlah Responden yang Memeriksakan Kesehatan Menurut Frekwensi pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Pemeriksaan Kesehatan No. Frekuensi Pernah % T. Pernah % Jumlah 1. 2. 3. < 1x Setahun 1x Setahun > 1x Setahun 0 33 39 0 36,9 43,3 18 0 0 20 0 0 18 33 39 Jumlah 72 80 18 20 90 Tabel 5. Jumlah Responden tentang Dapat Tidaknya Makanan Menularkan Penyakit Menurut Jenis Penyakit pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Pengetahuan No. Jenis penyakit Dapat % T. Dapat % Jumlah 1. 2. 3. Peny. Kulit Peny. Pernafasan Peny. Pencernaan 3 27 60 3,3 30 66,7 0 0 0 0 0 0 3 27 60 Jumlah 90 100 0 0 90 Tabel 6. Jumlah Penjamah yang Mencuci Tangan dengan Sabun Menurut Manfaat pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Mencuci Tangan dengan Sabun No Manjfaat Perlu % T. Perlu % Jml. 1. 2. 3. Mencegah pencemaran melalui tangan Agar tangan bersih Ikut-ikutan 84 6 0 93,3 6,7 0 0 0 0 0 0 0 84 6 0 Jumlah 90 100 0 0 90 Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 33


34 Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 Tabel 7. Jumlah Responden tentang Perlu Tidaknya Memotong Kuku Tangan pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Memotong Kuku Tangan No Manfaat Perlu % T. Perlu % Jml. 1. 2. 3. Tdk mengganggu saat kerja Kelihatan rapi Tdk menjadi tempat perkembang biakan kuman 21 60 9 23,3 66,7 10 0 0 0 0 0 0 21 60 9 Jumlah 90 100 0 0 90 Tabel 8. Jumlah Responden tentang Perlu Tidaknya Memeriksakan Bahan Makanan pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Pemeriksaan Bahan makanan No. Manfaat Perlu % T. Perlu % Jumlah 1. 2. 3. Mutu bahan makanan. Jumlah bahan makanan Sesuai dengan permintaan. 69 9 12 76,6 10 13,3 0 0 0 0 0 0 69 9 12 Jumlah 90 100 0 0 90 Tabel 9. Jumlah Responden tentang Perlu Tidaknya Mencuci Peralatan Makanan dengan Air Panas pada Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Mencuci Peralatan dengan Air Panas No Manfaat Perlu % T. Perlu % Jumlah 1. 2. 3. Menghilangkan lemak Membunuh kuman / bakteri Menghilangkan sisa sabun 6 72 0 6,7 80 0 0 12 0 0 13,3 0 6 84 0 Jumlah 78 86,7 12 13,3 90 Seluruh responden mengetahui perlu memotong kuku tangan yang panjang, tapi hanya (10%) yang menjawab dengan benar, yaitu agar tidak menjadi tempat perkembang biakan kuman penyakit (Tabel 7) Pada tabel 8 terlihat 100% responden menjawab perlu pemeriksaan bahan makanan, tapi hanya 76,7% yang menjawab benar yaitu untuk mengetahui keadaan mutu bahan makananDari tabel 9 diketahui sebanyak (86,7%) responden menyatakan perlu mencuci peralatan makanan dengan air panas dan (80%) responden menjawab untuk membunuh kuman / bakteri. Yang menjawab tidak perlu hanya (13,3 %). Dari tabel 10 responden yang mempunyai pengetahuan baik dan perilaku baik 50 orang (55,5%), pengetahuan tidak baik dan perilaku baik 15 orang (16,7%). Responden yang berpengetahuan baik dan berperilaku tidak baik sebanyak 7 orang (7,8%), responden yang berpengetahuan tidak baik dan berperilaku tidak baik 18 orang (20%).


Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 35 Tabel 10. Prosentase Perilaku Sehat Responden Menurut Baik dan Tidak Baik pada Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Perilaku yang Diamati Pengetahuan Baik Tidak Baik Jumlah Baik Tidak Baik 50 (55,5 %) 15 (16,7 %) 7 (7,8 %) 18 (20 %) 57 33 Jumlah 65 25 90 Tabel 11. Rata-rata Prosentase Responden yang Berperilaku Sehat Menurut Beberapa Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta 2001. Perilaku yang Diamati No. Item Perilaku Penjamah Makanan Sehat % T. Sehat % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Memakai pakaian kerja. Tidak merokok. Mencuci tangan dengan sabun. Tidak bicara waktu kerja. Kuku pendek / bersih. Tidak meludah di area kerja. Mengeringkan tangan dengan lap. 90 74 0 30 81 78 36 100 93,3 0 33,3 90 86,7 40 0 6 90 60 9 12 54 0 6,7 100 66,7 10 14 60 Rata-rata 62 38 Dari hasil observasi penelitian pada tabel 11 ternyata 62% penjamah makanan berperilaku sehat, sedangkan 38% penjamah makanan berperilaku tidak sehat. Pembahasan Makanan yang sehat dan aman merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat apalagi terhadap pasien di rumah sakit yang sangat memerlukan perhatian khusus baik dari segi kualitas makanan secara bakteriologis atau pun fisik. Dari hasil penelitian pembahasan dapat di bagi menjadi 3 bagian : 1. Pendidikan Tabel 1 menunjukkan pendidikan penjamah makanan dan minuman yang ada di beberapa instalasi gizi rumah sakit dapat dianggap cukup, terlihat dari komposisi pendidikan pada tabel 7. Untuk menjalankan pengolahan makanan di instalasi gizi dengan pendidikan SLTP dan SLTA tentu sudah bisa, oleh karena itu pengetahuannya perlu di tambah dengan memberikan kursus tentang higiene sanitasi. Hasil survei pendahuluan dari instalasi sanitasi lingkungan dan pertanaman RSUP Fatmawati, diketahui bahwa sebanyak 22 orang (64,7%) tenaga yang terlibat dalam pengolahan makanan di dapur mempunyai pengetahuan dan perilaku kurang tentang sanitasi makanan. Dalam pemeriksaan makanan di temukan E. Coli dan angka kuman dalam makanan sebesar 228*10/gr, sedangkan standar-nya 10 * 10 / gr. 8 Bakteri yang sering mencemari makanan dan minuman adalah E. Coli, Sapylocoecus, Pseudomonas sp, dan lain-lain. E. Coli merupakan indikator bahwa makanan tersebut telah tercemar kotoran manusia, oleh ka-rena itu upaya higiene sanitasi makanan di rumah sakit harus dilaksanakan dengan baik sebagai upa-ya preventif agar kualitas makanan dan minuman yang dihasilkan memenuhi syarat kesehatan. 2. Pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tenaga penjamah makanan di instalasi gizi rumah sakit dapat dikatakan cukup (63,3 %) karena memiliki pengetahuan yang dapat diandalkan, sedangkan (36,7%) memiliki pengetahuan sedang. Hal ini disebabkan sebagian besar pendidikan penjamah tamat SLTA, sebagai


36 Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 penjamah tidak diperlukan seorang sarjana. Penambahan pengetahuan bisa melalui kursus, pelatihan, penyegaran tentang sanitasi dan higiene perorangan, karena yang diperlukan adalah keterampilan. Pada tabel 2 dan 3 tenaga penjamah makanan sudah mengetahui perlunya sertifikat kesehatan (90%) menyatakan perlu dan (10%) menyatakan tidak perlu. Untuk meningkatkan pengetahuan penjamah perlu dilakukan pelatihan, kursus dan penyegaran karena pengetahuan didapat melalui penginderaan terhadap suatu objek oleh indera rasa dan raba dan sebagian besar melalui mata dan telinga.9 Pengetahuan penjamah diikuti dengan pemilikan sertifikat, 60% sudah memiliki sertifikat dan 40% tidak memiliki sertifikat. Dari hasil penelitian ini penjamah makanan di instalasi rumah sakit sudah mengetahui bagaimana seharusnya seorang tenaga penjamah makanan bekerja sesuai dengan Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia 1995. Dari hasil uji kai kuadrat antara pengetahuan dengan perilaku ternyata tidak ada perbedaan yang bermakna, ini menunjukkan bahwa pengetahuan seseorang mengenai sanitasi pengelolaan makanan tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang untuk berperilaku baik dalam hal pengelolaan makanan. 3. Perilaku. Perilaku manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam peningkatan derajat kesehatan manusia. Perilaku manusia adalah refleksi dari pada berbagai gejala kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berfikir, sikap, motivasi, reaksi.9 Dari tabel 4 diketahui bahwa perilaku penjamah makanan terhadap pemeriksaan kesehatan berkala tergolong baik, 80% menyatakan pernah di periksa kesehatan secara berkala 43,3% lebih dari 2 kali dalam 1 tahun. Dari hasil observasi perilaku penjamah pada beberapa rumah sakit dapat dilihat bahwa seluruh tenaga penjamah makanan memakai penutup kepala, celemek dan tidak merokok, kuku penjamah semua pendek, tidak berbicara saat kerja, tenaga penjamah pria berambut pendek, semua penjamah makanan mencuci tangan tanpa memakai sabun. Pada tabel 6 hasil wawancara terlihat jawaban penjamah tentang perlunya mencuci tangan dengan sabun (100% menjawab perlu, tapi hasil observasi perilaku penjamah 100% tidak mencuci tangan dengan sabun saat memulai pekerjaan, ini sangat bertolak belakang). Padahal salah satu syarat seorang penjamah harus mengetahui higiene perorangan diantaranya adalah kebersihan tangan, kulit, rambut dan pakaian kerja. Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit yang disebabkan oleh penjamah makanan dan minuman, maka perlu adanya pengawasan dan pembinaan yang baik, meskipun sudah menjadi keharusan bagi tiap penjamah untuk menjaga kesehatan dan kebersihannya, tetap harus ada pengawasan untuk memastikan seorang penjamah makanan dalam keadaan sehat ketika sedang bekerja. Kesimpulan 1. Dalam pengolahan makanan penjamah kurang memperhatikan cara kerja yang sanitasi, terlihat bahwa seluruh tenaga penjamah makanan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah makanan (100%), saat mengolah makanan masih banyak penjamah yang berbicara (66,7 %). 2. Kurangnya pengawasan terhadap tenaga penjamah selama berlansungnya proses pengolahan setiap hari oleh petugas instalasi gizi rumah sakit. 3. Dari hasil pemeriksaan terhadap bakteriologis makanan diketahui bahwa kualitas makanan yang dihasilkan masih belum memenuhi syarat kesehatan karena angka kuman diatas nilai ambang batas. 4. Masih kurangnya pembinaan baik melalui kursus, pelatihan tentang higiene sanitasi makanan bagi penjamah makanan. Saran 1. Tingkatkan pengetahuan tenaga penjamah makanan tentang sanitasi makanan dan higiene perorangan melalui kursus maupun penyuluhan. 2. Tingkatkan pengawasan terhadap perilaku penjamah dengan cara memasang poster yang berisi peringatan tentang perilaku yang harus dihindari saat kerja / melakukan pengolahan makanan. 3. Lakukan pemeriksaan rutin terhadap kualitas makanan, tenaga penjamah dan alat.


Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, Jakarta, 1995 : 81. 2. Utami, Atik Kontaminasi Bakteri E. Coli pada Peralatan Makanan Di Beberapa Penjual Makanan Dan Minuman Di Kampus UI Depok, Skripsi, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Depok. 1996. 3. Winarno, F.G. Seminar Nasional Proyek Makanan Jajanan Indonesia-Netherlands of Nutrition and Food Research Zeist Free University Amsterdam Street Food Project, Bogor, IPB-TNU Division. 1991. 4. Prajaya, S. Warow, Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Kontaminasi Makanan di TPM Halu Liwa, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Indonsia, Depok. 1991. 5. Departemen Kesehatan RI, Laporan Direktorat Jendral PPM dan PLP Tentang Kejadian Luar Biasa dan Keracunan tahun 1995. 6. Anwar, dkk., Sanitasi Makanan dan Minuman Pada Instalasi Tenaga Sanitasi, Jakarta, 1988. 7. Depkes RI, Protop Juhloh dan Juknis Pengaman Makanan KTT Non Blok ke-10, Ditjen PPMdan PLP Jakarta 1992. 8. SK Ditjen POM No.032726 / B / SK / VII / 1989 Tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Makanan. 9. Notoadmodjo, Soehidyo, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, BPKM FKM-UI, Jakarta, 1991. Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004 37


Silahkan share artikel ini : :
 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger