Perbesar Kualitas, Perbanyak Kuantitas !
Kebijakan umum kaderisasi di
era jahriyah-jamahiriyah ini adalah penumbuhan jumlah dan peningkatan kualitas
kader. Ini membuat agenda tarbiyah menjadi lebih besar dan berat. Namun bukan
berarti tidak mungkin.
Selama ikhtiar da’awi kita
selaras dengan sunnah syar’iyyah dan sunnah kauniyah, hal-hal yang berat dalam
pandangan sebagian manusia menjadi ringan karena pertolongan Allah SWT.
Kualitas tentu saja harus mendahului kuantitas. Numu nau’iyah nuqaddam ‘ala
numu kammiyah. Ketika kualitas kader baik, maka mudah untuk memompa kuantitas.
Harakah
Nukhbawiyah
Perlu dipahami kembali bahwa
da’wah kita adalah harakah nukhbawiyah. Artinya da’wah yang menempatkan kader
sebagai aset utama gerakan dan sebagai ujung tombak terdepan seluruh aktifitas
da’wah.
Ketika da’wah harus mampu
menjangkau dan menggerakkan seluruh unsur masyarakat, maka pembesaran jumlah
kader sebagai anashir da’wah menjadi mutlak diperlukan. Dan ketika misi da’wah
juga harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan besar di berbagai aspek
kehidupan, maka peningkatan kualitas kader menjadi suatu keniscayaan.
Perpaduan antara aspek
kuantitas dan kualitas inilah yang digambarkan Allah SWT dalam ayat: "Dan
berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikutnya yang bertaqwa (rabbaniyyin). Mereka tidak menjadi lemah karena
bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula
menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar." (QS. Ali
Imran: 146).
Urgensi Kualitas
dan Akibat Mengabaikannya
Kualitas kader dalam
kehidupan da’wah harus senantiasa mengikuti kebutuhan marhaliyah dan mihwar
da’wah. Semakin meningkat marhalah dan semakin meluas mihwar da’wah, maka kualitas
kader pun dituntut untuk semakin berkembang. Bila yang terjadi sebaliknya, maka
akan muncul bencana bagi da’wah. Apa bentuk bencana itu?
Pertama, akan muncul
kader-kader yang tidak mampu istiqamah di dalam mengikuti irama perjalanan
da’wah yang dinamis. Ia akan tersibukkan
oleh problem-problem personal dan terjauhkan dari aktifitas da’wah. Ingatlah,
ayat yang membuat rambut nabi Muhammad SAW beruban adalah: "Maka
istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlak kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
(QS. 11:112 ). Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah kunci
rahasianya. "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas." (QS. 18:28).
Kedua, munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan da’wah sebagai
sesuatu yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi enggan
ketika perjalanan da’wah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan yang
banyak. Mereka cenderung menjadi orang yang ingin "hidup dari da’wah"
dan bukan "menghidupi da’wah". Perhatikan peringatan Allah SWT:
"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh
dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh
mereka. Mereka bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup,
tetulah kami berangkat bersamamu". Mereka membinasakan diri mereka sendiri
dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya benar-benar orang yang
berdusta." (QS. 9:42).
Ketiga, munculnya ketidakmampuan di dalam menjalankan misi da’wah
ditengah-tengah masyarakat. Ini karena daya dukung dan daya topang yang
dimiliki kader semacam ini, tidak seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan da’wah
yang semakin terbuka. Allah SWT mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan
diri sedemikian rupa agar mampu mengemban misi da’wah yang besar dan berat. "Hai orang yang berselimut. Bangunlah,
lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah.
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,
bersabarlah." (QS. 74: 1-7).
Keempat, akibat dari ketiga hal ini, da’wah menjadi disibukkan oleh
problematika internal yang menguras energi da’wah, sehingga tidak mampu
menjalankan misi-misi perubahan secara efektif. Padahal misi utama da’wah adalah
melakukan perubahan dan perbaikan secara nyata. "... Dan aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali." (QS. 11:88).
Kelima, akibat ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara harapan besar
masyarakat dengan apa yang bisa diberikan oleh da’wah. Lalu terjadi krisis
kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis ini bisa jadi akan diperamai oleh
sejumlah kasus-kasus negatif yang muncul ke permukaan. Perhatikan peringatan
Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. 61:2-3).
Terakhir, pada saat semacam itulah, akan muncul pikiran di sebagian kader
yang lemah, untuk menarik kembali da’wah ke belakang. Mereka merasa lebih
nyaman ketika da’wah ini belum berhadapan langsung dengan masyarakat secara
terbuka. Cukuplah pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini:
"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira
dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi
berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas", jikalau
mereka mengetahui." (QS. 9:81). Inilah bencana yang bisa terjadi pada
da’wah manakala aspek kualitas diabaikan.
Perluasan Da’wah Berdampak Penurunan Kualitas?
Ketika tuntutan da’wah mengarahkan kerja kita pada perluasan wilayah da’wah
dengan peningkatan rekrutmen kader, muncul penilaian di sementara kalangan
bahwa kualitas kader-kader baru semakin menurun. Benarkah ini? Bagaimana kita
memandang persoalannya?
Bila dilihat secara permukaan, sangat mungkin penilaian itu benar. Tetapi
dengan cara pandang yang utuh, kita bisa menguji kembali keabsahan penilaian
itu. Ada hal-hal prinsip yang harus dipahami.
Pertama, perluasan da’wah berarti memperluas wilayah interaksi
da’wah ke berbagai unsur dan segmen masyarakat yang sangat beragam. Keberagaman
sosio-demografis, tentu saja berpengaruh kepada keberagaman standar kualitas
penerimaan da’wah. Dalam sunnah da’wah, as-sabiqunal awwalun selalu memiliki
standar kualitas lebih tinggi dari generasi berikutnya.
Sampai kemudian terjadi upaya tajdid (pembaharuan) atas kualitas generasi
berikutnya. "Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada
dalam surga keni’matan. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan
segolongan kecil dari orang-orang kemudian." (QS. 56:11-14).
Generasi awal da’wah ini direkrut dari unsur pemuda terdidik yang memiliki
kesiapan optimal untuk menjadi anashir da’wah yang muntij (produktif).
"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan
mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami telah meneguhkan
hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: "Tuhan kami
adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia,
sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh
dari kebenaran." (QS. 18:13-14).
Sekarang ini, perluasan da’wah menghasilkan rekrutmen dari beragam segmen
(misalnya: kaum pekerja, ibu rumah-tangga, buruh, dan lain sebagainya) dengan
keberagaman tingkat penerimaan Islam dan keberagaman tingkat interaksi
da’wahnya. Sehingga sangat mungkin di antara mereka ada orang-orang seperti
digambarkan dalam ayat: "Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami
telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah
"Kami telah tunduk". Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan
jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. 49:14).
Kedua, perluasan wilayah da’wah juga menuntut pengembangan
pada uslub (metode), wasilah (sarana) dan ijro’at (mekanisme) rekrutmen dan
pembinaan. Pada generasi awal da’wah, ada kebutuhan percepatan proses pembinaan
ke arah takwin. Sehingga dalam waktu relatif singkat, terbangun komitmen Islam
dan komitmen da’wah yang kuat. Lalu semakin dimatangkan dengan interaksi da’wah
secara langsung. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. 3:104).
Ketika terjadi perluasan da’wah, proses pengkondisian dan seleksi da’wah
berjalan lebih panjang. Ini penting, untuk mengukur tingkat kesiapan penerimaan
da’wah sehingga kita tidak memberikan beban melampaui kadar kemampuan obyek
da’wah. Metode, sarana dan mekanisme rekrutmen serta pembinaan pun dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga bisa menjangkau dan menampung obyek da’wah secara
lebih masal. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. 5:35).
Bila kita amati perkembangan da’wah ‘ammah dalam 5 sampai 10 tahun
terakhir, ada banyak ijtihad dalam pola rekrutmen dan pembinaan da’wah. Ini hal
yang baik dan dimungkinkan, karena ada dalam wilayah mutaghayyirat (hal-hal
yang dinamis).
Ketiga, da’wah Islam sesungguhnya membutuhkan sangat banyak
anashir dengan beragam kondisi dan kemampuannya. Di antara mereka ada yang
dijadikan qaidah siyasiyah (basis kepemimpinan), qaidah fikriyah (basis
pemikiran), qaidah harakiyah (basis gerak) dan juga qaidah ijtima’iyah (basis
sosial). Bahkan dalam sunnah da’wah, qaidah ijtima’iyah harus jauh lebih besar
dari basis-basis da’wah lainnya. Perbedaan setiap qaidah tentu saja mengarah
kepada perbedaan standar kualitas yang dimiliki. Sehingga yang dibutuhkan dalam
melihat keberagaman standar kualitas adalah pada siasat untuk menempatkan dan
mendayagunakan anashir tersebut dalam bangunan amal jama’i da’wah. Perhatikan
firman Allah SWT:
"Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah kamu sesuai dengan keadaanmu.
Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui..."
(QS. 39:39).
Terakhir, tentu saja Allah SWT telah meletakkan miqyar ‘aam
(standar umum) dalam menilai keimanan dan keshalehan seseorang. Parameternya
disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bingkai besar kita dalam
menilai dan menimbang kualitas kader adalah pada timbangan Islam itu sendiri.
Tidak lebih dan tidak kurang. Firman Allah SWT: "Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan
melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kami mengurangi neraca itu." (QS. 55:7-9). Jadi selama
aspek-aspek kualitas kader da’wah tidak keluar dari bingkai umum ajaran Islam,
maka mereka adalah kader yang berkualitas.
Mensikapi "Kesalahan" Kader
Dari keempat prinsip ini, kita akan mampu melihat masalah ini secara lebih
utuh dan obyektif. Akan tetapi, barangkali ada yang menyoroti menurunnya
kualitas dari sisi terjadinya kasus-kasus pelanggaraan syari’at dalam beberapa
aspek kehidupan. Baik dalam urusan mu’amalah ataupun da’wah. Bagaimana ini?
Bila ini terjadi, memang hal yang memprihatinkan. Karena sejatinya
kader-kader da’wah menjadi orang-orang terdepan dalam melakukan kebajikan dan
juga terdepan dalam meninggalkan kemunkaran. Tetapi manusia adalah tempatnya
kesalahan. Dan Allah SWT menyediakan sifat
Pema’af, Pengampun dan Penerima Taubat kepada manusia-manusia beriman yang
melakukan kesalahan. Artinya kesempurnaan ajaran Islam muncul ketika Islam
menerima kesalahan perbuatan manusia sebagai keniscayaan, dan memberikan jalan
bagi perbaikannya. Ini tinjauan dari sisi manusia sebagai individu.
Tinjauan lain adalah proses tasyri’. Sebagian dari syari’at Islam
diturunkan Allah SWT karena kasus-kasus kesalahan yang dilakukan nabi Muhammad
SAW dan para sahabatnya. Penetapan hukum ini berkaitan dengan urusan
rumah-tangga, jual-beli, makan-minum, ibadah, da’wah dan juga jihad. Artinya,
ketika terjadi kesalahan-kesalahan dalam komunitas da’wah, maka hal itu mesti
diperlakukan dalam perspektif tasyri’.
Di sinilah kemudian pola hubungan qiyadah-jundiyah diberlakukan dalam
konteks penerapan syari’at Islam. Perhatikan firman Allah SWT: "Dan Kami
tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk dita’ati dengan izin Allah.
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. 4:64-65).
Dalam kaitan ini, maka da’wah dan jajaran qiyadahnya di semua lini harus
mampu mengelola masalah-masalah semacam ini untuk pengokohan tahqiq as-syari’ah
dalam kehidupan berjama’ah. Juga untuk mematangkan kualitas kader ketika mereka
belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Marilah kita mengambil
ibrah dari kisah Haditsul-Ifki yang
menggegerkan itu. "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong iyu
buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa
yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar." (QS.
24:11).
Pada sisi lain, ketika ada sementara orang yang sulit diperbaiki dari
kesalahan-kesalahannya, sangat mungkin ia merupakan cara Allah untuk
membersihkan shaf da’wah. "Allah sekali-kali tidak akan membiarkan
orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah
memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara rasul-rasulNya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya.Dan jika kamu beriman dan bertakwa,
maka bagimu pahala yang besar." (QS. 3:179).
Jalan Memperbaiki Kesalahan
Dengan memahami pandangan yang lebih utuh tentang kualitas kader dan
kasus-kasus kesalahan yang terjadi, diharapkan kita bisa melihat persoalan
dalam perspektif obyektif, positif dan ke depan. Namun begitu, bukan berarti
kita mengabaikan persoalan-persoalan penurunan kualitas yang sementara ini
terjadi.
Manajemen da’wah yang baik, tentu saja harus mampu melakukan tiga hal
sekaligus dalam menghadapi permasalah ini. Yaitu tindakan antisipatif agar
masalah masalah tidak meluas atau terulang kembali. Lalu tindakan responsif,
yaitu menanggapi secara cepat berbagai gejala permasalahan sehingga bisa
teratasi dengan cepat dan tuntas. Lainnya adalah tindakan kuratif, yaitu
menyelesaikan dan memperbaiki kasus-kasus permasalahan yang ada di kalangan
kader.
Terkait dengan tindakan kuratif (‘ilaj), dalam da’wah ini tersedia tiga
pendekatan. Pertama adalah ‘ilaj
ukhawi. Yaitu menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan ukhuwah. Setiap
kader memiliki hak untuk menerima taushiyah dan sekaligus berkewajiban
melakukan taushiyah. Bahkan dalam budaya da’wah, ketika seseorang melihat
kesalahan saudaranya secara langsung, ia akan segera menegurnya dengan cara
yang baik, dan bukan mengadukannya kepada orang lain. Inilah hakikat taushiyah
bil-haq, bis-shabr dan taushiyah bil-marhamah.
Ketika teguran sudah diberikan, kita harus menunggu beberapa waktu untuk
melihat apakah saudara kita itu mau memperbaiki kesalahannya. Manakala teguran
kita tidak berhasil, baru kita bisa menceritakan dan meminta bantuan orang lain
untuk memperbaikinya. Tentu saja orang itu adalah pihak yang memiliki otoritas,
kemampuan atau kedekatan terhadap kader yang bermasalah. Menceritakan kasus
atau aib saudara kita kepada orang lain yang tidak dalam kualifikasi ini, sudah
termasuk perkara ghibah.
Hal lain yang penting, ketika kita menemukan seorang kader yang melakukan
kesalahan atau memiliki aib, salah satu tugas kita adalah menutupi aib itu dari
orang lain. Dan kita harus tetap memandang saudara kita itu dari sisi-sisi
kebaikannya, agar kita tetap mampu bergaul dan
beramal jama’i. Dalam suasana seperti ini, kita akan terus berupaya
mengarahkan dan mengingatkan saudara kita itu, agar tidak melakukan kesalahan
yang sama. Ini adalah bentuk lain taushiyah melalui bimbingan atau arahan amal.
Kedua adalah ‘ilaj tarbawi. Yaitu mengatasi permasalahan yang
dialami kader melalui taujihat tarbawiyah dalam forum-forum pembinaan.
Fadzakkir, inna dzikro tanfa’ul mu’minin. Sangat mungkin, seseorang melakukan
kesalahan akibat ketidakpahamannya (‘adamul-fahm) akan suatu persoalan. Dengan
diberikan ilmu tentang hal itu, masalah yang ada akan bisa diselesaikan. Untuk
itulah, seorang murabbi dan muwajjih harus peka dan mampu mengidentifikasi
persoalan-persoalan yang berkembang di kalangan kader. Sehingga taujihat
tarbawiyah yang diberikan secara rutin, bisa diarahkan secara lebih spesifik.
Perhatikanlah, taujihat Rasulullah kepada para sahabat dalam forum-forum
pembinaan, biasanya sangat spesifik dan sering berangkat dari kasus-kasus
tertentu yang terjadi di lapangan amal.
Ketiga adalah ‘ilaj tanzhimi. Harakah kita adalah munazhzhamah.
Ada ijro’at tanzhimi (mekanisme dan aturan organisasi) yang mengikat kita.
Ketika suatu kesalahan yang dilakukan kader tidak mampu diatasi dengan ‘ilaj
ukhawi dan ‘ilaj tarbawi, maka dengan otoritasnya, da’wah bisa melakukan ‘ilaj
tanzhimi. Jajaran qiyadah di berbagai jenjang struktur harus mampu menggunakan
otoritasnya. Pada titik ini, seorang kader akan dihadapkan pada pilihan-pilihan
komitmen da’wah-harakahnya. Karena keta’atan pada jama’ah dan qiyadah adalah
salah satu kewajiban asasi dalam amal jama’i. "Wahai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya."
(QS.4:59).
Ketika ‘ilaj tanzhimi dilakukan, maka di antara otoritas da’wah dan qiyadah
adalah menetapkan uqubah (sanksi). Hakihat uqubah adalah sebagai bukti adanya
kesalahan yang telah dilakukan, sebagai konsekuensi yang harus dibayar dari
kesalahan itu dan sebagai jalan untuk mengingatkan serta mengembalikan orang
yang bersalah kepada jalan kebenaran. Oleh karena itu, uqubah menjadi sangat
penting agar kewibawaan da’wah dan kewibawaan Islam tetap terpelihara. Tentu
saja, ini harus dilakukan oleh pihak yang benar-benar berwenang, dengan aturan
yang jelas dan syura yang mendalam.
Tiga Agenda Tarbiyah
"Banyak dalam Kuantitas, Baik dalam kualitas". Ungkapan ini
adalah keinginan semua orang dalam da’wah ini. Ini bukan khayalan yang musykil.
Allah SWT memberikan isyarat kemungkinannya pada QS. 3:146-148, yang artinya:
"Dan berapa banyak para nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana
yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah
(kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do’a mereka
selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan
tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah
pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia
dan pahala di akherat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan."
Ada tiga kandungan penting dari ayat ini. Pertama, kenyataan bahwa para
nabi membutuhkan pengikut dalam jumlah besar sebagai barisan mujahid fi
sabilillah. Kedua, mereka itu (rabbaniyyin) memiliki kualitas yang handal dalam
medan perjuangan. ‘Adamu al-wahn (tidak mudah lemah) dalam menghadapi ujian dunia,
‘Adamu adh-dha’fu (tidak mudah lesu) dalam menghadapi kesulitan perjuangan dan
‘Adamu al-Istikanah (tidak gampang menyerah) kepada musuh-musuh Allah. Ketiga, mereka adalah orang-orang yang menyadari
kelemahan dan kesalahan dirinya. Mensikapinya dengan senantiasa memohon ampun
dan bertaubat dari kesalahan dan kekeliruan, serta menggantungkan diri semata
kepada Allah SWT dalam menghadapi musuh.
Tiga kandungan inilah yang menggambarkan agenda tarbiyah sekarang ini.
Yaitu upaya sistematis untuk merekrut dan mencetak kader sebanyak-banyaknya.
Kedua, mentarbiyah mereka secara manhaji agar memiliki kualitas yang handal.
Ketiga, membangun sistem dan iklim da’wah yang baik. Yaitu yang mampu
menghidupkan semangat quwwatu ash-shilah bil-lah, semangat muraqabatullah wa
muhasabatun-nafs, semangat ta’awun wa tanashur serta iklim ihsanul-‘amal.
Agenda 1: Memperbanyak Rekrutmen Kader
Merekrut kader da’wah adalah upaya untuk memberi jalan kepada manusia untuk
mendapatkan hidayah dan pilihan Allah SWT. Hasil akhirnya bergantung kepada
kesediaan manusia untuk datang kepada Allah dan pada kehendak mutlak Allah
sendiri. "... Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya
dan memberi petunjuk kepada (agama) Nya, orang yang
kembali (kepada-Nya)." (QS. 42:13).
Oleh karena itu, misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah,
hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang secara sadar mengkhidmatkan
dirinya kepada Islam. Karena seorang da’i tidak mampu memberi hidayah, ia hanya
menuntun manusia kepada hidayah itu. "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk." (QS. 28:56).
Misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah hanya mampu
dilakukan oleh mereka yang menjadikan da’wah sebagai pekerjaan utama dan
terbaiknya, dengan ganjaran semata-mata dari Allah SWT. "Siapakah yang
lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri." (QS. 41:33).
"Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." (QS. 26:109).
Dengan ittijah semacam inilah, setiap kader akan memiliki kesiapan untuk
berda’wah. Keberhasilan merekrut manusia kemudian akan ditentukan oleh
kesungguhan dan totalitasnya dalam mengajak manusia. Hari-harinya adalah waktu
da’wah. Perhatikan ungkapan nabi Nuh as: "Nuh berkata: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang." (QS.
71:5). Ayat ini menggambarkan, dalam setiap kesempatan kapanpun, dalam
setiap keberadaan di manapun, dalam situasi dan kondisi apapun, nabi Nuh
menjadikan da’wah sebagai misi besar dan utamanya.
Keberhasilan dalam mencetak kader da’wah baru juga akan ditentukan oleh
sikap mengembangkan generasi, bukan mengerdilkannya. Perhatikan peringatan
Allah SWT: "Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya
Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah." Akan tetapi
(dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya."
(QS. 3:79).
Nabi Zakaria as, dalam usia yang sangat senja, masih memiliki kemauan kuat
untuk bisa mengembangkan generasi da’wah. "Ia (Zakaria) berkata: "Ya
Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku sudah beruban. Dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau,
ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap penerus sepeninggalku,
sedang istriku adalah seorang yang mandul. Maka anugerahilah aku dari sisi
Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga
Ya’qub. Dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai." (QS.
19:4-6).
Prinsip dan sikap semacam inilah yang dibutuhkan pada setiap kader da’wah,
sehingga mampu menggerakkan kekuatan rekrutmen da’wah secara optimal. Da’wah
tidak dipandang sebagai beban, karena ia adalah jalan kehidupan kita.
Sabilil-Mu’minim.
Agenda 2: Meningkatkan Kualitas Kader
Tidak ada keberhasilan terbaik dalam mencetak kader berkualitas kecuali apa
yang dilakukan Muhammad Rasulullah SAW. Dengan izin Allah, beliau mampu
mencetak pedagang menjadi pejuang, algojo menjadi pemimpin yang zuhud, pemuda
menjadi ulama, dan budak menjadi birokrat. Apa kunci keberhasilan tarbiyah
Islamiyah yang dilakukan Rasulullah SAW?
* Mengokohkan Bangunan Keyakinan
Rasulullah SAW mengawali pembentukan kepribadian kader
dengan menanamkan bangunan keyakinan baru secara kokoh. Keimanan akan ke-Maha
Kuasa-an Allah, keyakinan akan kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh akan jalan
da’wah Islam dan kerinduan yang sangat besar terhadap syurga. Keyakinan semacam
inilah yang membentuk orientasi dan wawasan hidup para sahabat. Di sinilah
lahir apa yang disebut militansi Islam dan militansi da’wah.
Ketika bangunan keyakinan ini kuat dan terpelihara, maka
militansi para sahabat tetap membara. Sampai-sampai Khalid bin Walid begitu
sedih karena harus menemui kematiannya di atas tempat tidur. Sebagai murabbi,
Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan murid-muridnya akan keyakinan dan
orientasi ini. Khususnya ketika para sahabat mengalami ujian dan cobaan sulit
dalam kehidupannya. Sekali lagi, rahasia pertama adalah: keimanan yang besar
terhadap Allah SWT, keyakinan yang kuat akan kebenaran Islam, pemahaman yang
kokoh tentang jalan da’wah dan kerinduan yang dalam terhadap syurga.
Yang diperlukan sekarang, bagaimana program-program
tarbiyah di berbagai jenjang dan dalam berbagai forum, dihiasi dengan upaya
untuk menyegarkan dan mengokohkan bangunan keyakinan ini. Munakh ruhi-ta’abbudi
sangat mutlak untuk dihidupkan dalam berbagai liqa’at. Mengkaji sejarah
kehidupan para anbiya, para salafus-shalih dan para mujahid da’wah akan sangat
berpengaruh terhadap kekokohan militansi. Diskusi dan pendalaman akan manhaj
da’wah dan doktrin-doktrinnya, perlu secara rutin dilakukan pada bagian awal
liqa’at tarbawi atau tanzhimi. Juga membiasakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pekerjaan,
bukan saja dari sudut-pandang manajerial, tetapi juga ibrah dan hikmah
rabbaniyah yang terkandung di dalamnya.
* Mendekatkan Interaksi dengan Al-Qur’an
Kunci kedua adalah kuatnya interaksi langsung antara
ayat-ayat Allah dengan dinamika kehidupan. Sebagaimana kita pahami bersama,
dinamika kehidupan Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya berjalanan beriringan
dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga, bukan saja kehidupan itu
berjalan di bawah bimbingan atau taujih Rabbani, tetapi juga ditandai interaksi
yang langsung dan kuat dengan Al-Qur’an sebagai minhajul-hayah. Inilah yang
menjadi alasan Sayyid Qutb menyebut mereka sebagai Jiil-Qur’ani atau generasi
Qur’an.
Dalam konteks kekinian, interaksi dengan Al-Qur’an bukan
sebatas aspek tilawah, hafalan dan pemahaman. Tetapi lebih penting pada sisi
pengamalan Islam dan da’wah yang terus mengacu kepada bimbingan Al-Qur’an.
Sepatutnyalah, setiap kader mampu menjelaskan seluruh aktifitas hariannya
dengan acuan Al-Qur’an dan berusaha menemukan jawaban atas persoalan-persoalan
hariannya dalam Al-Qur’an.
Ada indikasi sederhana pada generasi awal da’wah ini.
Mereka memiliki kedekatan dengan Al-Qur’an terjemahan. Melalui terjemahan ini,
kader-kader da’wah awal senantiasa mentadabburi ayat-ayat Allah untuk memahami
dan menjelaskan kehidupannya. Sekarang ada fenomena dimana Al-Qur’an terjemahan
tidak lagi populer dan tidak menjadi pegangan dalam berbagai liqa’at
tarbawiyah. Mudah-mudahan saja, ia karena sudah banyak kader-kader da’wah yang
menguasai bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an.
Untuk menjawab tantangan kualitas, maka harus segera
dilakukan upaya mendekatkan interaksi kader dengan Al-Qur’an. Dalam enam bulan
pertama mengawali proses tarbiyah, setiap mutarabbi dirancang sudah mampu
menguasai bacaan Al-Qur’an dengan baik. Enam bulan berikutnya, mereka diprogram
untuk menghapal ayat-ayat keimanan, khususnya pada juz 30. Masa-masa
selanjutnya, program hapalan Al-Qur’an disesuaikan dengan tema-tema pembahasan
tarbiyah, sehingga pemahaman ke-Islaman dan fikrah da’wah diikuti dengan
hapalan ayat-ayat yang berkaitan.
Kegiatan kultum atau taushiyah dalam liqa’ tarbawi bisa
dipolakan dengan kilasan tafsir dari ayat-ayat tilawah yang sedang dibaca.
Tentu saja, kilasan tafsir ini diarahkan untuk mengacu kepada kitab-kitab
tafsir (yang sudah banyak diterjemahkan). Begitupun, pembahasan berbagai
qadhaya da’wah diupayakan mengacu kepada tinjauan Qur’ani. Sehingga pemahaman
dan penguasan kader terhadap ma’na dan ibrah dari ayat-ayat Al-Qur’an menjadi
kuat.
* Membimbing kepada Penerapan Amal
Islam adalah dinul-‘amal. Dalam arti bahwa Islam
mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti dari keimanan dan pemahaman.
Selanjutnya, penerapan amal justru akan mempercepat dan memperkokoh bangunan
keimanan dan pemahaman terhadap Islam. Tentu saja semua ini dilakukan dengan
menjaga agar setiap amal yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan
al-fahmu.
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam
mentarbiyah umatnya. Mereka menjadi qaumun ‘amaliyyun atau orang yang
senantiasa beramal. "Dan katakanlah: "Beramallah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya beserta orang-orang mu’min akan melihat amalmu itu. Dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan." (QS. 9:105).
Ketika arahan amal begitu kuat dalam Islam, hal ini
mendorong para sahabat untuk senantiasa berkomunikasi dan berkonsultasi kepada
Rasulullah SAW dalam kapasitas sebagai nabi, qaid dan juga qadhi. Dari sinilah
pemahaman mereka bertambah sejalan dengan banyaknya amal. Kebaikan mereka
berlipat sejalan dengan kesalahan yang diperbaiki. Keyakinan mereka menguat sejalan dengan kemenangan amal
yang mereka raih. Dan akhirnya, keyakinan Islam mereka semakin kokoh karena
Rasul senantiasa menjanjikan balasan syurga kepada mereka yang sukses beramal
shalih.
Tarbiyah bukan untuk tarbiyah. Tapi tarbiyah untuk
da’wah. Kita adalah harakah da’wah, bukan harakah tarbiyah. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas kader harus mengacu kepada prinsip ini. Yaitu bagaimana
para mutarabbi sejak awal tarbiyahnya, diarahkan dan dibimbing untuk mulai
mengamalkan Islam dan da’wahnya. Murabbi yang sukses
adalah yang mampu menjadikan mutarabbinya sebagai subyek da’wah, dan bukan
obyek da’wah. Ingatlah firman Allah SWT: ""Tidak wajar bagi seorang
manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia
berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku,
bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (QS. 3:79).
Akhirnya kita menemukan satu kata kunci. Tajribah
maydaniyah (pengalaman lapangan) adalah cara efektif untuk mematangkan
keyakinan, pemaham dan kemampuan amal seorang kader. Ilmu Allah yang sangat
luas akan diajarkan kepada kita, ketika kita ada di lapangan - untuk
mengamalkan ajaran Islam - dengan sepenuh tawakal. "... Dan bertakwalah
kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu. Dan Allah Maha Mengatahui
segala sesuatu." (QS. 2:282)
* Mengedepankan Keteladanan dan Kepemimpinan
yang Baik
Perilaku dan amal para da’i adalah cerminan dari
da’wahnya. Mereka adalah teladan dalam pembicaraan dan amalan. Slogan mereka
adalah "ashlih nafsaka, wad’u ghairaka" (perbaiki dirimu, kemudian
serulah orang lain).
Rasulullah SAW telah menampilkan keteladanan ini dalam
dirinya. Sungguh, beliau adalah teladan yang sempurna bagi manusia. Ia adalah
teladn bagi setiap da’i, setiap pemimpin, setiap bapak dari anak-anaknya,
setiap suami dari istrinya, setiap sahabat, setiap murabbi, setiap praktisi
politik, dan berbagai posisi sosial manusia yang lain.
Dengan cara inilah, Rasulullah sukses dalam mengkader
sahabat-sahabatnya. Islam menampilkan keteladanan sebagai sarana da’wah dan
tarbiyah yang paling efektif. Sehingga Islam menetapkan sistem tarbiyah yang
kontinyu atas dasar prinsip keteladanan tersebut. Sesungguhnya, kebaikan amal
seorang da’i adalah khutbah yang paling mantap. Akhlaknya yang mulia adalah
"sihir" yang memikat hati. Karena itulah, seorang da’i yang sukses
adalah da’i yang mengajak kepada kebenaran dengan perilakunya, meskipun dia
sedikit bicara. Karena
pribadinya telah menjadi contoh yang hidup dan bergerak.
Memperagakan prinsip-prinsip yang diyakininya.
Munculnya gejala penurunan kualitas kader sekarang ini
sangat mungkin disebabkan karena lemahnya keteladanan yang ditampilkan para
du’at dan para pemimpin. Mereka tidak bisa belajar secara langsung tentang
kebaikan dari da’i dan pemimpinnya. Atau bahkan mereka dikacaukan dengan
perilaku kontradiktif dari da’i dan pemimpinnya.
Untuk itu, apapun upaya peningkatan kualitas kader yang
kita lakukan, pada akhirnya harus disempurnakan dengan keteladanan dan
kepemimpinan yang baik dari para murabbi dan da’i. Kita tidak berhak menggugat
kader yang lemah kualitasnya, selama kita sendiri belum mampu mengajarkan dan
menunjukkan mereka tentang keteladanan.
Agenda 3: Mengembangkan Iklim Taushiyah
Ketika kita bekerja untuk menyiapkan kader berkualitas dalam jumlah banyak,
langkah penting selanjutnya adalah melakukan ri’ayah nukhbawiyah (pemeliharaan
kader). Ri’ayah ini mencakup aspek syakhsiyah Islamiyah dan syakhsiyah da’iyah
mereka, sehingga kehidupan da’wah ini terus sehat dan kuat.
Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, salah satunya adalah
mengembangkan iklim atau budaya taushiyah. Masyarakat mu’min diantara cirinya
adalah kuatnya budaya taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memandang
hal ini sebagai kebutuhan untuk menjaga kebaikan Islam. Juga sebagai
hak-kewajiban seorang mu’min atas mu’min lainnya. Dan lebih penting, ini
merupakan salah satu misi da’wah Islam.
Dalam sejarahnya, kehancuran umat terdahulu karena mereka tidak
mengembangkan iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bisa jadi hal ini
bukan karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama, tetapi karena kungkungan
budaya tertentu. Misalnya sikap pakewuh bila menegur orang lain, terutama yang
status atau derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Atau rasa tidak enak hati
akan menyinggung perasaan orang lain. Sikap-sikap ini akan menggiring untuk
membiarkan kesalahan yang terjadi pada saudara kita. Kalau hal ini terus
berlangsung, maka sensitifitas kita terhadap kemunkaran yang terjadi dalam
kehidupan da’wah bisa lenyap. Inilah pintu malapetaka yang nyata bagi da’wah.
Ada banyak jalan untuk mengembangkan iklim ini. Yang paling mendasar adalah
menghidupkan kembali suasana ukhuwah Islamiyah di kalangan kader. Manakala
interaksi ukhowi hidup dengan baik, sesama kader saling menjalin silaturahim
dan berbagai bentuk mu’amalah lainnya, ini akan
membuat seorang akh mengenal betul keadaan saudaranya yang lain. Semakin
kenal kita dengan saudara yang lain, semakin tahu akan kebaikan atau
kekurangannya. Di sinilah peluang amal shalih untuk melakukan taushiyah
terbuka. Tabi’atnya, seseorang merasa lebih nyaman dan lapang, manakala yang
memberi taushiyah adalah orang yang dekat dengannya.
Kemudian, peran taushiyah yang dilakukan setiap murabbi. Yaitu bagaimana
seorang murabbi menjadikan liqa’ tarbawi sebagai sarana efektif untuk
mentaushiyah para mutarabbinya. Nasehat-nasehat yang diberikan sesuai dengan
dinamika dan persoalan kehidupan mereka. Sehingga para mutarabbi senantiasa
terbimbing untuk istiqamah di jalan Islam. Untuk itu, interaksi antara murabbi
dan mutarabbi tidak bisa sebatas di dalam liqa’at semata. Interaksi yang lebih
personal di luar waktu liqa’at menjadi penting, agar kedua belah pihak lebih
saling mengenal. Ingatlah dien itu adalah nasehat.
Terakhir adalah peran jajaran qiyadah di semua jenjang. Ketika memimpin
rapat, mereka adalah qaid yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan
mengarahkan perilaku bawahannya. Taushiyah seorang pemimpin yang disampaikan
secara bijak dan penuh ungkapan kasih-sayang, bukan saja akan meluruskan orientasi
dan proses kerja. Tetapi juga akan menguatkan soliditas organisasi. Karena
orang-orang di dalamnya tidak semata merasa terikat secara administratif, tapi
juga dengan ikatan hati. Sehingga menjadi sangat penting dan mendesak, jajaran
pemimpin da’wah – khususnya yang ada di basis operasional - untuk mengokohkan
peran kepemimpinan spiritualnya. Dan jangan terjebak sebatas kepemimpinan
administratif, yang fungsi dan peran kepemimpinannya hanya muncul saat liqa’at
tanzhimiyah saja.
Dalam konteks kepemimpinan organisasi, perlu disediakan saluran agar antara
pemimpin dan anggota-anggota organisasinya di setiap jenjang bisa bertemu dan
membicarakan hal-hal penting secara bersama-sama. Di sini, disampaikan
perkembangan dan permasalahan da’wah yang perlu diketahui para anggota. Dan
jajaran pemimpin menghimpun masukan sebanyak-banyaknya dari para anggota.
Setiap anggota berhak untuk menyampaikan kritikan, uneg-uneg dan sejenisnya
secara terbuka dan konstruktif dalam forum ini.
Format acara ini bisa berbentuk temu kader tingkat ranting, tingkat cabang,
dan seterusnya.
Apabila iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar hidup dengan baik di
semua lini, Insya Allah kehidupan da’wah ini akan selalu sehat dan kuat. Karena
setiap potensi dan gejala penyakit bisa diantisipasi dengan cepat secara
spontan. Menumpuknya masalah yang mengganggu tanzhim da’wah biasanya akibat
tidak hidupnya iklim ini, sehingga semua persoalan harus ditanggung oleh
tanzhim. Perhatikan firman Allah SWT: "Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Mendirikan sholat,
menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maja
Bijaksana." (QS. 9:71).
Agenda Da'wah di 'Am Jamahiri
Da’wah kita berada pada momentum besar. Yaitu secara
bersamaan, kita memasuki marhalah jahriyah-jamahiriyah (fase terbuka dan
kemasyarakatan) dengan peran-peran perubahan pada mihwar muassasi (orbit
kelembagaan)
Ini adalah tadbir dan taqdir Rabbani. Allah Azza wa-jalla memberi
kepercayaan dan kesempatan kita untuk meraih derajat amal shalih yang tinggi.
Melampaui perkiraan atau perencanaan sebagai manusia.
Jahriyatud-Da’wah
Jahriyah-jamahiriyah. Ini fase yang menuntut kader-kader da’wah
mentransformasikan diri dan da’wahnya ke tengah masyarakat, secara terbuka dan
luas. Kita menjadi Ashabul-Kahfi yang keluar mendatangi masyarakat dengan
da’wah.
Organisasi (partai) da’wah kita jelas. Sebagaimana jelasnya jajaran
qiyadah, kader, misi, manhaj dan program-program da’wahnya. Yang penting,
bagaimana mengelolanya sebagai anashir quwwah untuk menda’wahi masyarakat.
Menyapa dengan bahasa manusia. Berbicara dan berinteraksi dengan bahasa Islam.
Mengarahkan dan mempengaruhi dengan bahasa da’wah. Kemudian menggerakkan
kebaikan mereka untuk menegakkan Islam, melalui janji-janji syurga. Semua itu
bertujuan untuk memperbesar dan memperluas basis dukungan sosial (qaidah
jamahiriyah) bagi da’wah.
Ada prinsip-prinsip yang harus dipahami. Pertama, da’wah hak semua manusia
dan semua unsur masyarakat. Kita wajib menyiarkan da’wah ke setiap orang.
Kedua, masyarakat Islam meliputi beragam unsur dan tingkatan masyarakat.
Tua-muda, laki-laki dan wanita, awam dan terdidik, kaya-miskin, politisi dan
pedagang, birokrat dan budayawan, dan seterusnya. Agar bangunan masyarakat
Islam tegak utuh, maka da’wah harus menjangkau semua. Ketiga, syari’at mengatur
semua aspek kehidupan. Dalam men-tahqiq syari’at Islam, maka harus disiapkan
lapangan (masyarakat) yang lengkap dalam berbagai unsurnya.
Urgensi Qaidah Jamahiriyah
Dalam kerangka siyasatud-da’wah, perluasan basis sosial da’wah (qaidah
jamahiriyah) sangat penting. Ada beberapa alasan. Pertama, perluasan qaidah jamahiriyah akan mengokohkan
eksistensi dan daya-tarik da’wah. Organisasi da’wah, du’at dan berbagai wajihat
di dalamnya akan tampil lebih kokoh, menarik, berwibawa dan diperhitungkan.
Kedua, memperluas rizki da’wah dengan tersalurkannya
tangan-tangan para aghniya untuk menopang da’wah ini. Prinsip sunduquna
juyubuna (dana kita adalah dari kantong kita) yang melekat di setiap kader
bertemu dengan ta’yid mali (dukungan finansial) para pendukung da’wah. Bukan
hanya finansial, tapi juga sarana-prasarana, opini, dukungan politik, dan lain
sebagainya.
Ketiga, pembesaran dan perluasan qaidah jamahiriyah akan
mempercepat pembentukan mujtama’ Islami. Luasnya iklim penerimaan Islam, akan
melahirkan tuntutan spontanitas dari warga masyarakat untuk menerapkan nilai
dan ajaran Islam di berbagai bidang kehidupan. Terwujudnya masyarakat Islam,
bukan semata karena kuatnya dorongan da’wah, tetapi juga kuatnya kesadaran umat
yang menginginkan Islam.
Keempat, memperbesar dukungan suara politik bagi da’wah. Dalam
konteks musyarakah siyasiyah (partisipasi politik), dukungan suara menjadi
ukuran eksistensi, kredibilitas dan legitimasi politik suatu partai. Semakin
besar dukungan suara, semakin kuat posisi tawar dan semakin efektif peran
perubahan yang dijalankan.
Kelima, perluasan qaidah jamahiriyah - pada saatnya - akan
menghasilkan basis perlindungan bagi eksistensi da’wah. Sunnahnya, setiap
harakah da’wah akan menghadapi tantangan, tekanan dan permusuhan dari berbagai
kekuatan kuffar. Ketika itu terjadi, dukungan masyarakat yang berperan sebagai
benteng dan bumper, sangat diperlukan bagi kesinambungan eksistensi dan misi
da’wah.
Terakhir, ia adalah salah satu pilar kesuksesan da’wah dan bukti
pertolongan Allah SWT terhadap kebenaran risalah da’wah. "Apabila telah
datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama
Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan
mohonlah ampun kepadanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat."
(QS. An-Nashr: 1-3).
Empat
Agenda Da’wah Jamahiriyah
Setelah kita memahami hakikat marhalah jahriyah-jamahiriyah dan urgensi
bina al-qaidah al-jamahiriyah, muncul pertanyaan yang lebih operasional. Apa
agenda kerja da’wah kita sekarang?
Pada prinsipnya, agenda dan program harus mengacu kepada syumuliyah dan
takamuliyah dalam Islam. Artinya, harus menyentuh semua aspek kehidupan da’wah
dan masyarakat, serta ada saling keterkaitan antar program-program tersebut.
Proporsi dan pembobotan program juga mesti tawazun dan memiliki kejelasan
awlawiyat-nya.
Dalam konteks awlawiyat al-‘amal (prioritas kerja) inilah, setiap periode
atau tahapan akan memiliki tarkiz (fokus) kerjanya. Secara umum, fokus kerja
da’wah pada marhalah jahriyah-jamahiriyah adalah melakukan ri’ayah jamahiriyah.
Artinya mendayagunakan potensi-potensi da’wah untuk mengembangkan, memelihara
dan mengarahkan basis dukungan sosial da’wah.
Ini dalam rangka memperkokoh eksistensi da’wah dan meningkatkan efektifitas
peran-peran perubahan yang dilakukan.
Ada tiga agenda besar dalam mengembangkan basis dukungan sosial da’wah.
Yaitu siyaghah al-bina al-ijtima’i
(merekonstruksi tatanan kemasyarakatan), ri’ayah al-mashalih al-ijtima’iyah (memelihara aset kebaikan
masyarakat), hallu al-qadhaya
al-ijtima’iyah (memecahkan problema masyarakat) dan taqwiyah at-tadhamun al-ijtima’i (menguatkan solidaritas
sosial).
Agenda 1 : Siyaghah Al-Bina Al-Ijtima’i
Perlu dipahami, sebuah masyarakat bukan hanya terdiri dari kumpulan manusia
dan interaksi. Tetapi juga mencakup
kumpulan institusi atau tatanan, dengan beragam struktur dan fungsinya. Tatanan
inilah yang menjadi wadah dan saluran berbagai pola interaksi anggota-anggota
masyarakat.
Keluarga adalah tatanan terkecil dan inti sebuah masyarakat. Terkecil,
karena bisa dibentuk dengan dua orang anggota masyarakat. Keluarga inti
kemudian berkembang menjadi keluarga besar (extended family). Keluarga menjadi
institusi inti karena ada-tidaknya masyarakat, hidup-matinya dan maju-mundurnya
suatu masyarakat sangat ditentukan oleh keberadaan keluarga-keluarga di
dalamnya. Itulah sebabnya, Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap
keluarga.
Dalam maratibul-‘amal (tahapan langkah kerja) da’wah kita, pembangunan
institusi keluarga adalah langkah lanjutan pembentukan pribadi muslim dan
langkah antara menuju pembangunan masyarakat Islam. Dari sini, peran da’wah
keluarga menjadi sangat jelas. Keluarga menjadi sarana hidup untuk mengokohkan
kepribadian kader dan mencetak generasi baru da’wah. Juga menjadi sarana da’wah
untuk membangun mujtama’ Islami.
Problem sosial masyarakat paling kritis saat ini adalah terkikisnya
eksistensi keluarga. Orang muda takut menikah karena ingin bebas, muda-mudi
serumah tanpa nikah karena tak ingin terikat, pasangan muda enggan melahirkan
anak karena mengganggu karier, keuangan dan kecantikan. Pasangan lama mulai
retak karena isu selingkuh, kawin-cerai jadi urusan ringan, single-parent dan
single-parenthood menjadi mode, broken home dan loss generation menimpa
anak-anak dalam keluarga, dan setumpuk persoalan lainnya.
- Siyaghah Al-Bina Al-A’iliy
Dari realitas ini, upaya merekonstruksi dan memperbaiki
institusi keluarga di tengah masyarakat menjadi prioritas dalam siyaghah
al-bina al-ijtima’i. Kita harus meluruskan kembali orientasi (ittijah)
masyarakat tentang berkeluarga. Mengarahkan cara pengelolaan kehidupan keluarga
sesuai tuntunan Islam. Membantu penyelesaian problem dan konflik keluarga,
mengokohan hubungan dalam keluarga besar (extended family) serta memberdayakan
peran-peran keluarga di masyarakat dalam berbagai bidang.
Untuk merealisir hal ini, perlu penyesuaian dalam uslub
dan wasilah da’wah. Keluarga adalah cermin kehidupan keseharian setiap orang.
Maka diperlukan pem-bahasa-an nilai dan konsep yang normatif ke dalam bahasa
komunikasi da’wah yang sehari-hari, praktis dan lebih bernuansa
non-formal. Pergaulan da’wah pada akhirnya akan sangat
menentukan keberhasilan agenda ini.
Da’wah keluarga juga membutuhkan keluarga da’i sebagai
sarana. Bagaimana keluarga da’i menjadi usrah mitsaliyah (keluarga model) yang
memiliki misdaqiyah a’iliyah (kredibilitas keluarga). Tentu saja bukan dalam
perspektif material. Tetapi bagaimana iklim dan suasana kehidupan keluarga da’i
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh keluarga-keluarga lain, walaupun
mereka dilengkapi dengan berbagai sarana material.
Manakala da’wah mampu membangun tali hubungan baik dengan
keluarga-keluarga di masyarakat, berarti kita mulai memegang (dan selanjutnya
mengendalikan) jantung kehidupan masyarakat. Karena dari keluarga lah, muncul
dan berkembang berbagai institusi lain. Misalnya sekolah, masjid, pasar,
pabrik, media massa, lembaga kesenian, ormas, dll.
- Siyaghah Al-Bina At-Ta’abbudi
Secara sosio-kultural, masyarakat kita bersifat relijius.
Di berbagai tempat, kita mudah menemukan masjid, musholla, majelis ta’lim dan
perkumpulan peribadahan. Sayangnya, berbagai sarana fisik peribadahan itu
mengalami kejumudan dalam aktifitasnya. Penyebabnya karena orang-orang di
dalamnya terjebak dalam rutinitas ritual yang parsial dan sektoral.
Institusi-institusi peribadahan ini membutuhkan alam
pikiran baru, semangat dan dinamika baru serta pelopor-pelopor kebaikan baru.
Nyaris mereka tidak bisa mendapatkan itu semua, kecuali dari kader-kader da’wah
ini. Sosok yang hatinya dekat dengan masjid, tampilannya mencerminkan kemuliaan
akhlak Islam, pergaulannya menyenangkan semua orang dan pekerjaannya selalu
dilakukan dengan ihsan.
Di tengah idealisme fikrah, kita harus mulai memahami
latarbelakang sosio-kultural masyarakat. Sehingga kita tahu jalan masuk apa
yang tepat. Penguasaan yang lebih atas ‘ulum syar’iyyah (termasuk juga lughah
‘arabiyah) menjadi sangat penting. Dua hal ini, insya Allah akan bisa
mengantarkan kita pada jazabiyah da’wah (pesona da’wah).
- Siyaghah Al-Bina Al-Iqtishadi
Di antara kebutuhan dasar manusia adalah makan dan minum.
Lalu berkembang kepada kesejahteraan dan kekayaan. Maka aktifitas dan institusi
ekonomi senantiasa melekat di setiap masyarakat. Pernahkan kita menghitung,
berapakah jumlah uang yang beredar dalam sebuah komunitas kecil masyarakat?
Pasti sangat besar. Hakikatnya, ia adalah potensi kekayaan umat, namun belum
terdayagunakan bagi kepentingan da’wah.
Bila kita menetapkan sebuah masjid sebagai parameter
eksistensi suatu komunitas kecil masyarakat muslim, maka setidaknya kita
memiliki 100 sampai 200 keluarga. Bila langkah siyaghah al-bina al-‘ailiy dan
siyaghah al-bina at-ta’abbudi berjalan efektif, maka kita bisa mengarahkan
bentuk-bentuk aktifitas ekonomi dan perputaran uang umat ke dalam bentuk-bentuk
usaha ekonomi Islami berbasis masjid. Ini hanyalah satu contoh sederhana.
Pelaku-pelaku ekonomi besar sekarang ini menerapkan pola community market dalam
usaha retail barang-barang kebutuhan harian. Lihat saja Indomaret yang semakin
merambah di kawasan perkotaan.
- Siyaghah Al-Bina At-Ta’limi
Institusi berikut yang penting adalah pendidikan.
Walaupun tugas utama ada pada keluarga, tapi di dalam masyarakat yang semakin
kompleks, fungsi pendidikan anak dikembangkan kepada sektor formal. Bahkan di
perkotaan, institusi pendidikan formal nyaris menjadi satu-satunya
lembaga yang membentuk aspek-aspek kepribadian anak.
Realitas sekarang diwarnai gejala ketidakmampuan sekolah
(dan kampus) dalam menjalankan fungsi-fungsi pendidikan secara efektif. Tawuran
massal, sex bebas, narkoba dan tindak kriminal mulai menjadi budaya baru kaum
pelajar/mahasiswa. Di tengah ketidakmampuan ini, muncul ironi lain di mana
aktor-aktor pendidik justru terlibat dalam berbagai bentuk penyakit moral dan
sosial.
Secara historis, da’wah kita berangkat dari sekolah dan
kampus. Nyatanya pula, banyak kader da’wah yang bergerak di sektor pendidikan
formal dan informal. Ini menjelaskan bahwa ada potensi besar tersedia di
hadapan kita, untuk merekonstruksi dan memperbaiki tatanan pendidikan di negeri
ini. Ingat, kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikan
masyarakatnya.
Dalam konteks ini, agenda da’wah diarahkan untuk
menyiapkan aktor-aktor pendidik dari barisan kader da’wah. Tugasnya mewarnai
berbagai institusi pendidikan yang ada. Mengembangkan wacana konsep pendidikan
baru yang Islami dan gagasan solutif bagi benang-kusut pendidikan di negeri
ini. Juga mengembangkan sekolah-sekolah model yang nantinya akan diadopsi oleh
berbagai sekolah di tengah-tengah masyarakat.
Demikianlah, upaya merekonstruksi dan memperbaiki tatanan
kemasyarakatan harus menjangkau sektor-sektor lain. Kerja ini bersamaan dengan
upaya merekonstruksi tata-nilai dan orientasi kebutuhan hidup masyarakat yang
sejalan dengan Islam. Sehingga akan muncul interrelasi antara nilai Islami,
pola hubungan dan interaksi Islami, kebutuhan dan kepentingan riil masyarakat
yang Islami dengan berbagai institusi yang juga mengalami Islamisasi.
Agenda 2 : Ri’ayah Al-Mashalih Al-Ijtima’iyah
Agenda kedua adalah ikut memelihara aset kebaikan masyarakat. Syumuliyah
ar-ru’yah menuntun kita melihat dan menilai masyarakat secara obyektif. Di
tengah kebodohan terhadap Islam dan kerusakan budaya akibat serbuan budaya
permisif barat, masyarakat masih memiliki potensi dan aset kebaikan. Baik yang
bersifat materiil maupun non-materiil.
Pada masyarakat yang mengalami transisi kebudayaan, seringkali tidak mampu
memelihara kebaikannya secara efektif. Sehingga tatanan budayanya nyaris
berganti sama sekali dengan sesuatu yang baru. Atau ketika hal baru itu sesuatu
yang baik, mereka seringkali tidak mampu memeliharanya.
Realitas sosial masyarakat kita sangat dekat dengan ini. Misalnya krisis
adab pergaulan antara anak dan orang-tua, antara guru dan anak-didik. Juga
dalam kebiasaan hidup semacam pengajian anak-anak pada sore hari di musholla
atau surau, ibu-ibu yang menyenandungkan shalawat saat menidurkan anaknya,
sampai kepada kisah-kisah kepahlawanan tokoh-tokoh
Islam lokal.
Di sini, da’wah memiliki kewajiban memelihara kebaikan yang ada di
masyarakat. Sehingga kita tidak membangun dari nol, dan akan mempercepat
pembentukan masyarakat Islami. Alhamdulillah, selama ini kita banyak
menginspirasi dan mensyiarkan berbagai bentuk budaya Islam.
Berkembangnya senandung shalawat di masyarakat tidak bisa dilepaskan dari
semarak anasyid da’wah. Berkembangnya mode busana muslimah yang trendy juga tak
lepas dari syi’ar jilbab yang diperjuangkan aktifis da’wah.
Yang perlu kita pahami bersama, kebaikan masyarakat ada yang bersifat
syar’i dan ada yang sifatnya ‘urf (adat kebiasaan). Budaya gotong-royong, kerja
bakti, siskamling, arisan warga, dan lain sebagainya adalah adat baik yang bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan da’wah. Ini mashlahat dari sisi budaya.
Dari sisi material, masyarakat memiliki banyak kebaikan fisik yang tidak
mampu mereka pelihara. Masjid-masjid baru yang megah, sarana transportasi umum
yang vital, taman-taman kota, dan lain sebagainya.
Apabila da’wah ikut terlibat dalam memelihara aset-aset kebaikan material
masyarakat semacam ini, maka akan menghasilkan simpati dan dukungan besar dari
warga masyarakat. Bahkan tidak mustahil, dukungan finansial (ta’yid mali) akan
mudah diberikan oleh mereka.
Ketika kerja da’wah dilakukan dalam bentuk ini, maka tersedia peluang lain
bagi da’wah. Yaitu pemanfaatan secara optimal alokasi dana-dana pembangunan
pemerintah daerah yang relatif besar jumlahnya. Pihak pemerintah akan senang
dan merasa lebih aman apabila dana-dana semacam itu dikelola dan dikerjasamakan
dengan lembaga-lembaga da’wah yang memiliki kredibilitas moral serta kemampuan
kerja profesional.
Agenda 3: Hallu Al-Qadhaya Al-Ijtima’iyah
Agenda ketiga, berperan aktif dan pro-aktif dalam memecahkan problematika
masyarakat. Ada pelajaran sejarah yang sangat berharga dari Sirah Nabawiyah.
Ketika kabilah-kabilah di Makkah nyaris konflik akibat tidak menemukan kesepakatan
dalam peletakan kembali Hajar Aswad, akhirnya Muhammad SAW tampil sebagai
"problem solver" bagi mereka. Masalah selesai tanpa konflik dan
mereka semua puas dengan solusi yang diberikan nabi. Apa hasilnya? Tokoh-tokoh
dan masyarakat Makkah menggelari nabi Muhammad sebagai "Al-Amin".
Sebuah pengakuan dan penghargaan sosial yang sangat mahal.
Begitu pula dengan nabi Yusuf as. Dengan kecerdasan intelektual dan
bimbingan Allah SWT, beliau mampu memberikan solusi jitu terhadap ancaman
krisis pangan panjang di negeri Mesir. Alhasil, Yusuf as mendapatkan posisi
tawar yang kuat sehingga mendapatkan jatah di kursi pemerintahan.
Demikian pula nabi Musa as. Dorongan spontan untuk membantu putri-putri
nabi Syuaib yang mengalami kesulitan dalam memberi minum gembalaannya,
menghasilkan ganjaran sosial yang luar biasa. Nabi Musa as diambil sebagai
menantu oleh nabi Syua’ib.
Kisah-kisah di atas menjelaskan kepada kita urgensi dari keterlibatan untuk
menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Yang diperlukan pertama kali adalah
pengenalan lengkap kita atas peta persoalan masyarakat di berbagai aspek.
Tafa’ul maydani yang intens akan menghasilkan wawasan dan pemahaman yang baik
tentang hal ini. Bila saja seorang kader bisa mendeskripsikan kondisi wilayah
geografisnya dalam lingkup se-kelurahan/desa, maka ia akan memiliki peluang
sebagai unsur problem solver.
Dengan mengklasifikasi dan membobotkan jenis-jenis persoalan masyarakat,
kita bisa memformulasi program-program riil apa yang dibutuhkan sebagai solusi.
Dari keseluruhan program solutif itu, kita bisa jabarkan mana-mana yang menjadi
porsi kerja da’wah secara langsung, dan mana yang diarahkan realisasinya kepada
unsur-unsur masyarakat lain, termasuk unsur pemerintahan.
Kejelasan agenda dan program da’wah - yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat - akan menggiring kita untuk menganalisis daya dukung dan daya
topang da’wah untuk merealisasikannya. Di sinilah perencanaan strategis
dilakukan di berbagai tingkat struktur dan unit-unit organisasi da’wah. Program
yang sesuai dengan daya dukung dan daya topang da’wah, tentu diprioritaskan.
Adapun yang belum bisa dijalankan, perlu dilakukan langkah-langkah konsolidasi
kekuatan da’wah. Ini dilakukan dengan peningkatan kemampuan kerja di berbagai
sisi dan dengan memperluas tingkat partisipasi warga masyarakat.
- Metode Charity
Dalam wacana social action, ada sejumlah metode yang bisa
dilakukan. Paling klasik adalah metode charity atau ‘amal khairy. Yaitu
membantu pengentasan problem masyarakat dengan pendekatan pelayanan kebajikan
secara cuma-cuma. Misalnya: bantuan pangan, bakti sosial, pelayanan kesehatan,
santunan yatim-piatu, dan sejenisnya. Metode ini berguna untuk membangun kontak
dan simpati masyarakat terhadap da’wah. Tetapi kelemahannya, ia tidak mampu
memecahkan problem sosial secara tuntas.
Kadangkala dampak negatifnya adalah memanjakan
masyarakat.
- Metode
Community Development
Metode
lainnya adalah pembangunan komunitas atau community development. Metode ini
berpijak pada prinsip pemberdayaan masyarakat melalui kemampuan mandiri dalam
skala komunitas. Di sini, da’wah memberikan bimbingan dan fasilitas kepada
suatu komunitas untuk memberdayakan dan mengembangkan kehidupan
sosial-ekonominya, sampai akhirnya mereka bisa berjalan sendiri.
Misalnya,
program pengelolaan dana zakat untuk proyek pemberdayaan usaha peternakan di
suatu komunitas. Kita memberikan penyuluhan, fasilitas, bimbingan dan supervisi
tentang usaha peternakan di suatu komunitas.
Setelah berjalan baik, maka mereka bisa dilepas, dengan
supervisi yang bersifat periodik. Metode ini cukup efektif. Namun cukup banyak
kendala sosio-kultural, karena komunitas miskin umumnya memiliki tingkat
residensi dan tingkat keterikatan sosial yang lemah. Selain kendala struktural
- dalam aspek ekonomi dan politik - yang menyulitkan komunitas ini
mengembangkan usahanya.
- Metode Advokasi
Atau berikutnya metode advokasi. Ini berangkat dari
asumsi bahwa banyak problem sosial adalah akibat dari ketidakadilan struktural,
khususnya di bidang ekonomi, hukum dan politik. Agar masyarakat mampu
mengembangkan dirinya, maka dibutuhkan iklim keadilan dari pihak penguasa atau
kekuatan-kekuiatan struktural lainnya. Misalnya masalah upah buruh, hak-hak
pekerja wanita dan anak, `penggusuran tanah, perlindungan hukum bagi pembantu
rumah-tangga, dan sebagainya. Di sini, da’wah berperan melakukan advokasi atas
nama warga masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya secara layak.
Metode advokasi umumnya dijalankan oleh berbagai asosiasi
independen yang menggeluti bidang-bidang kerja tertentu. Misalnya asosiasi
tentang hak-hak konsumen, asosiasi tentang hak-hak khalayak media massa,
asosiasi tentang perlindungan pekerja wanita dan anak, dan lain
sebagainya. Maka menjadi sangat penting, berbagai wajihah
dan muassasah yang banyak dikelola aktifis da’wah diarahkan untuk fokus pada
bidang-bidang yang spesifik.
- Metode Aggregasi Politik
Lainnya adalah metode aggregasi politik. Yaitu upaya
untuk mendorong lahirnya kebijakan perundang-undangan dan peraturan-peraturan
yang memihak kepada kepentingan rakyat. Ini umumnya fungsi yang dilakukan oleh
partai politik melalui aksesnya di lembaga legislatif, eksekutif dan juga
yudikatif. Problem-problem kemasyarakatan diidentifikasi dengan pendekatan
sistem dan kemudian ditindaklanjuti dengan solusi yang sifatnya legalistik. Misalnya
untuk mengatasi problem waktu sore anak-anak yang sulit dialokasikan untuk
aktifitas belajar di rumah, dijawab dengan produk kebijakan melalui
undang-undang atau peraturan tentang "jam belajar warga", peraturan
tentang "program siaran tv pada saat jam belajar warga", dan lain
sebagainya.
Dalam konteks otonomi daerah dimana proses pembangunan
masyarakat terfokus pada daerah tingkat dua (dati II), da’wah akan lebih mudah
mengindentifikasi problem masyarakat dan melakukan aggregasi politik pada
tingkat lokal. Sehingga sangat mungkin, dinamika aktifitas politik da’wah
tingkat lokal lebih intensif ketimbang tingkat profinsi atau nasional.
Agenda 4: Taqwiyah At-Tadhamun Al-Ijtima’i
Salah satu ciri penting keumatan adalah rasa ikatan sosialnya. Dalam konteks
umat Islam, keterikatan umat Islam bersifat ideologis yaitu kesatuan iman dan
Islam. Ini merupakan ikatan
paling kuat dan mampu menggerakkan. Pada sisi lain, ajaran-ajaran Islam sangat
kaya dengan
nilai dan perilaku yang mengarahkan pada terwujudnya rasa solidaritas
sosial dalam berbagai dimensinya.
Misalnya keterikatan nasab-kekerabatan, hubungan ketetanggaan
(neighbourhood), keterikatan antara muzakki dan mustahik, solidaritas antara
yang kuat dan lemah, dan seterusnya. Bentuk-bentuk ikatan ini tidak hanya
berlaku dalam ruang-lingkup keluarga, lokal kedaerahan, kebangsaan tapi juga
meluas dalam ruang-lingkup internasional (‘alamiyah).
Munculnya berbagai problematika umat menjadi sarana efektif untuk
menguatkan rasa solidaritas sosial ini. Bahkan dalam pengalaman sejarahnya,
isu-isu internasional keumatan, sangat efektif dalam menggalang rasa persatuan
umat, mobilisasi dukungan dana sampai pada
upaya jihad internasional.
Perang Afghanistan, Qadhiya Palestina, Genocide di Bosnia, dan lainnya
telah menunjukkan bukti-bukti nyata. Di skala lokal, kasus Maluku, Poso, Aceh
juga tidak kalah efektif sebagai bahan perekat solidaritas umat. Di sinilah,
da’wah harus mulai secara lebih nyata, luas dan intensif mengelola berbagai
persoalan keumatan untuk membangun basis dukungan sosial umat.
Bukti lain, ketika da’wah merespon berbagai bencana alam dalam aksi
solidaritas kemanusiaan, muncul simpati luar biasa dari warga masyarakat
terhadap da’wah. Bahkan sunnahnya, da’wah senantiasa terdepan dalam merespon
masalah ini.
Inilah empat agenda utama yang ada di hadapan kita sekarang. Beragam metode
sudah tersedia. Dalam kaitan ini, kita tentu saja bisa mencari formula yang
tepat dari berbagai metode yang tersedia. Yang pasti ada perbedaan mendasar.
Da’wah akan melakukan metode-metode ini dengan kerangka nilai-nilai da’wah.
Sehingga kita memandang persoalan masyarakat secara lebih utuh, dan bukan hanya
dari sisi permukaan belaka.
Rahasia Kesuksesan Jahriyah-Jamahiriyah
Kesuksesan marhalah jahriyah-jamahiriyah akan diraih manakala kader-kader
da’wah menempatkan dirinya sebagai bagian utuh dari masyarakat. Melalui
kepribadian insani, kepribadian Islami, kepribadian da’i dan kepribadian
ijtima’i-nya, masyarakat akan mengenal mereka, simpati pada kebaikannya, cinta
dengan kehidupannya dan mendukung perjuangannya.
Kesuksesan ini juga akan diraih, manakala kader-kader da’wah mampu
memperbaiki kehidupan masyarakat bukan semata dengan kata-kata. Sesuatu yang
memang diperlukan untuk merekonstruksi alam keyakinan dan alam pikiran
masyarakat. Tetapi juga melengkapi solusi kata-kata dengan solusi aksi dan
kerja nyata.
Terlalu banyak persoalan masyarakat dan umat yang butuh solusi praktis dan
pragmatis. Soal kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, keterancaman,
kesenjangan, dan lain sebagainya. Masyarakat membutuhkan kehadiran para pelopor
yang bisa menggerakkan alam sadar, alam kemauan dan alam keberanian mereka,
untuk menyelesaikan problematika hidup yang sudah
sangat menghimpit. Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini:
"Maka hendaklah mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang
telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4)
"Hai nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antara kamu,
mereka dapat mengalahkan seribu dari orang-orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS. Al-Anfaal: 65)
Kesuksesan semacam ini telah diiraih oleh baginda nabi Muhammad SAW.
Rahasianya, karena beliau memiliki syakhsiyah jahriyah-jamahiriyah yang kuat.
Inilah yang digambarkan secara indah dalam ayat: "Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya
penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat
belas-kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min."(QS. At-Taubah:
128). http://www.pks-pondokjaya.org/files/Agenda%20Tarbiyah%20di%20Era%20Jahriyah.doc